You are on page 1of 20

askep henti jantung

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kematian jantung mendadak (SCD) adalah kematian akibat kehilangan fungsi jantung.
Korban mungkin atau mungkin tidak memiliki didiagnosa penyakit jantung. Waktu dan cara
kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi dalam beberapa menit setelah gejala muncul.
Alasan yang mendasari paling umum untuk pasien mati mendadak dari serangan jantung
adalah penyakit jantung koroner (buildups lemak dalam arteri yang memasok darah ke otot
jantung). Sehingga pembuluh darah sempit, otot jantung bisa berhenti karena kekurangan
suplai darah.
Dari 90 % korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari korban
disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak. Sedangkan dua-pertiga dari
korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung sebelumnya. Ketika kematian mendadak
terjadi pada orang dewasa muda, kelainan jantung lainnya merupakan penyebab yang lebih
mungkin. Adrenalin dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga yang sering menjadi
pemicu munculnya SCD. Dalam kondisi tertentu, berbagai obat jantung dan obat lainnya,
serta penyalahgunaan obat terlarang dapat menyebabkan irama jantung abnormal yang juga
dapat menyebabkan kematian SDC.
Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana jantung tiba-tiba dan tak
terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi, darah berhenti mengalir ke otak dan organ vital
lainnya. SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak dirawat dalam beberapa menit.
SCA tidak sama dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darah mengalir ke
bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung, jantung biasanya tidak tiba-tiba
berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun mungkin dapat terjadi setelah atau selama pemulihan
dari serangan jantung.
Penangkapan mendadak Jantung (SCA) adalah penyebab utama kematian di Amerika Serikat,
mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA membunuh 1.000 orang per hari atau
satu orang setiap dua menit. Dan paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung,
terutama mereka yang telah gagal jantung kongestif.
Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-tanda menunjukkan SCA serangan
jantung sebelumnya. Delapan puluh persen memiliki tanda-tanda penyakit arteri koroner.
SCAs dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873 kematian penyakit jantung pada orang
berusia 35-44 tahun, dan proporsi penangkapan jantung yang terjadi out-of-rumah sakit
meningkat dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen pada orang usia
lebih dari 85 years.
Orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk SCA. Namun,
kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit jantung
atau faktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit
jantung atau ada anggota keluarga yang pernah meninggal mendadak perlu mewaspadai
terjadinya cardiac arrest. Upaya pencegahan lain adalah dengan menjalankan gaya hidup
sehat dan rutin berolahraga.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep dasar dari henti jantung ?
2. Bagaiman penaganan yang tepat dari henti jantung ?
3. Bagaimana asuhan keperawatn pada henti jantung ?
C. Tujuan
1. Untuk menetahui bagaiman konsep dasar drai henti jantung.
2. Untuk mengetahui penanganan cepat dari henti jantung.
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada henti jantung.
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah kardiovaskuler III.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Henti jantung Suatu kegagalan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
tubuh (Purnawan Junadi, 1982).
Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output
tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat akhir
dari gangguan jantung, pembuluh darah atau kapasitas oksigen yang terbawa dalam darah
yang mengakibatkan jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada erbagai organ
(Ni Luh Gede Yasmin, 1993).
Henti jantung adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga tidak dapat
memompakan darah keseluruh tubuh. Ini disebabkan oleh beberapa penyakit jantung yang
diderita pasien.
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses kematian
yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93 persen SCD
adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama
jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga
disebut Sudden Cardiac Arrest) adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati
(perhentian jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu dan
cara kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala muncul. Yang
paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari perhentian jantung adalah penyakit
jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa pasokan darah ke otot jantung).
Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam konteks waktu, kata
“mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24 jam setelah timbulnya kejadian
klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest) yang fatal; batas waktu ini untuk
kepentingan klinis dan epidemiologic dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang terdapat
di antara saat timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.

B. Etiologi
Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terjadinya henti jantung dapat berupa :
1. Usia
Insiden henti jantung dapat meningkat seiring dengan betambahnya usia bahkan dengan
pasien yang bebas dari serangan jantung tiba-tiba (SCA: sudden cardiac arrest).
2. Jenis kelamin
Tampaknya pria mempunyai resiko lebih tinggi terkena serangan jantung tiba-tiba (SCA)
dibandingkan dengan wanita yang lebik beresiko mengalami henti jantung atau CAD yang
mendasari.
3. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden SCD (ada efek
aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium ventrikel). Tetapi menurut
pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang
menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti merokok. Merokok juga
meningkatkan insiden CAD yang tampil pada kebanyakan pasien yang menderita henti
jantung.
4. Penyakit jantung yang mendasari :
a. Penyakit arteri koronaria
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD mempunyai frekuensi
SCD Sembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa CAD yang jelas.The Multicenter
Post Infarction Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang menderita
MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang kurang dari 40%, 10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum
MI dan ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-2 tahun)
dibandingkan dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita
MI) dengan resiko SCD yang lebih besar.
b. Sinroma prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan tingginya insiden aritmia
ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop.
Terapi anti aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.
c. Hipertrofi septum yang asimetik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang bisa
menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar).
Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.
d. Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur tambahan atau AF
dengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena hantaran jalur tambahan antegrad)
menimbulkan frekuensi ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan
kematian mendadak.
e. Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik mempunyai peningktan
resiko SCD. Kematian sering timbul selama masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa
berhubungan dengan kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi ke
VF.
5. Faktor-faktor lainya :
a. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan predisposisi SCD.
b. Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol serum dan SCD yang
telah ditemukan.
c. Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita ditemukan peningkatan
insiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
d. Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam mengurangi insiden
SCD.
e. Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD pada pria, bukan
wanita.
6. Riwayat aritmia
a. Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel disertai dengan
peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel
menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak
stabilnya listrik, yang mengubah sifat elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-
menerus atau VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
b. Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus menpunyai
peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang
tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD
dan VT spontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan
tanpa riwayat VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan
VF atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.
Faktor-faktor pemcetis terjadinya henti jantung dapat berupa :
1. Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang meninggal
mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera
setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa mencetuskan SCD, terutama jika
aktivitas berlebih dan selama tidur SCD jarang terjadi.
2. Iskemik
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia dalam distribusi
arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang
aktif disertai dengan tidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai
kemungkinan lebih banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu
jarak.
3. Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan brakikardia
sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak
bahwa lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria,
lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn
dengan derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis
ditambah spasme arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan
pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.

C. Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun,
umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung,
peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk
semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak
mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi
kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang mendasari
terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal sebagai
serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark
miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi
keras dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri.
Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot
jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya,
sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan
menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari
jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stess fisik
Sterss fisik tertentu dapat menyebabakan sistem konduksi jantung gagal berfungsi,
diantaranya :
a. Pendarahan yang banyak akibat luka trauma atau pendarahan dalam.
b. Sengatan listrik
c. Kekurangan oksigen akibat tersendak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang
berat.
d. Kadar magnesium dan kalium yang redah
e. Latihan yang berlebihan, adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang mengalami
gangguan jantung
f. Stress fisik seperti tersendak, penjeratan dapat menyebabkan vegal refleks
3. Kelainan bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan ini
diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki
peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung
mereka yang dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan
perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik.
Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau
penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur
dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin,
aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang
ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien,
memeriksa medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim
sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan
diagnosis.
6. Temponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak mampu

untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.


7. Tension pnumothoraks
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan terus
masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan
menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran
balik ke jantung.

D. Fathway

Ritme denyut jantung tidak normal aritmia

VF VT PEA asistol
(venrticular fibrilation) (ventricular tachycardia) (pulseless electrical
Activity )

Pola eksiasi quasi


periodik

hilangnya kemampuan jantung penurunan curah jantung


untuk memompa
volume sekuncup jantung
munurun

kebutuhan sistemik menurun

tubuh otak organ vital

hipoksia + hipoksemia gangguan perfusi jaringan

gangguan pertukaran gas

E. Manifestasi klinis
Mnifestasi klinis cradiac arrets :
1. Organ-organ tubuh mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, ternasuk
otak.
2. Hyfoxcia serebral atau ketidakadaan oksigen pada otak, menyebabkan kehilangan kesadaran
(collaps)
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit, selanjutnya
akan terjadi kematian dalam 10 menit.

4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).

5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada
arteri.

6. Tidak ada denyut jantung.

F. Pemeriksaan diagnostik
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang EKG,
sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya missal tangan dan
kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat
menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan
impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG
dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang
meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan enzim jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan
jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel
darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan
jantung.
b. Elektrolit jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada jantung,
di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan
cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada
elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
c. Test obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia,
termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
d. Tesr hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac
arrest.
3. Imaging test
a. Pemeriksaan foto thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga
dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran
darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke
dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir
melalui jantung dan paru-paru.
c. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh
cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi),
atau apakah ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing adn mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah sembuh dan jika
penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum ditemukan. Dengan jenis tes ini,
dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung
Anda. Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian
kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai
tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls
listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk
merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu - atau
menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa baik
jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat menentukan kapasitas pompa jantung
dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah
yang dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah
55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac
arrest. Dokter Anda dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan
ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir
scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary chaterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat
merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair
disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui
arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri,
arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan.
Selain itu, sementara kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan
melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

G. Penatalaksanaan
1. Respon awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar disebabkan oleh
henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada
pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah
terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat
menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk
diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi
benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat
mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara
kuat dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan
sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi
tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi
ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada
pasien yang dimonitor; rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons
inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di dalam mulut
dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya
benda asing yang terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti
respirasi (respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial
kedua dapat dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.
2. Tindakan dukungan kehidupan dasar (bassic life support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar yang
bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitive
dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk
menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi dada.
Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang
khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu
bag dengan masker. Teknik ventilasi konvensional selama RKP memerlukan pengembangan
paru yang dilakukan dengan menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau
terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali secara berturut, setiap 15 detik
kalau yang mengerjakan ventilasi maupun kompresi dinding dada hanya satu orang.
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung memungkinkan
jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan pengisian serta pengosongan
rongga-rongganya secara berurutan sementara katup-katup jantung yang kompeten
mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan pada sternum bagian
bawah, sementara telapak tangan yang lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang
di sebelah bawah. Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada
dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per
menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi
sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP
konvensional ini sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan pada
ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat
dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung
bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan
pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan.
Namun, tidak jelas apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan
apakah peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi
serebral.

Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner. A. Pastikan bahwa saluran nafas


korban dalam keadaan lapang/ terbuka. B. Mulailah resusitasi respirasi dengan segera. C.
Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau kartilago
tiroid. D. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan penekanan
sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali penghembusan udara untuk mengembangkan
paru setelah setiap 5 kali penekanan dada. (Isselbacher: 228).
3. Tindakan dukungan kehidupan lantuj (advanve life suppport)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan aritmia
jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung) dan
memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
a. Tindakan intibasi dengan endotracheal tube
b. Defibrilasi/ kardioversi dan atau pemasangan pacu jantung
c. Pemasangan infus
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan segera, dapat
memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera. Kecepatan melakukan
defibrilasi atau kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau
mungkin, tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna
selang infuse. Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi
muatan arusnya. Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan,
kejutan listrik sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih
tinggi hingga maksimal 360-J, dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil
menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya
setelah dilakukan reversi, atau bila 2 atau 3 kali percobaan tidak membawa hasil, maka
tindakan intubasi segera, ventilasi dan analisis gas darah arterial harus segera dilakukan.
Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang sebelumnya diberikan dalam jumlah besar kini
tidak dianggap lagi sebagai keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam
jumlah yang lebih besar. Namun, pasien yang tetap mengalami asidosis setalah defibrilasi dan
intubasi yang berhasil harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50%
dosis diulangi setiap 10-15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini berhasil atau
tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan pemberian ini diulang dalam
waktu 2 menit pada pasien-pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau
tetap menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain
dengan takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan keadaan tersebut,
pemberian intravena prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai dosis total 500-
800mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu dengan dosis 2-5mg/menit).
Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis pemeliharaan
(maintanance) 0,5-2 mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang per
sisten, preparat epinefrin (0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama
resusitasi dengan upaya defibrilasi pada saat-saat diantara setiap pemberian preparat tersebut.
Obat tersebut dapat diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena tidak dapat
dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman atau perlu untuk
pemakaian yang rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada pasien dengan hiperkalemia akut
dianggap sebagai pencetus VF resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui,
atau pada pasien yang menerima dosis toksik antagonis hemat kalsium.

Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan cara
yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki
peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus
diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau
atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan
alat pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung
yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk.
Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap
obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk
pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.
4. Perawatan pacsa resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti jantung. Fibrilasi
ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive terhadap teknik-
teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian
permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-
72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak
perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang
terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel sekunder
pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi predisposisi untuk
terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil
dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis
didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan
oleh kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa
sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang
responsive terhadap intervensi.

Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai penyakit
nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi, perjalanan
pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung
tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi
terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10
persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil
akhir henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan
metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka
mendapat resusitasi dengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis karena
perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak
menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas
hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan
penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta
bahwadata statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti
jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun,
45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun.
Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan
intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji
intervensi bersamaan yang terkendali.

Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akut dan
transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang menderita henti jantung
selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji
diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan
elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang
mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa
MI akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan
elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika terdapat
alas an untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau Intervensi
medis (seperti angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan
elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram
untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya,
informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat untuk
pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan kecocokan
untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk
menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti
jantung rekuren adalah kurang dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir
tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih
baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti jantung.
Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik
ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman defibrillator/kardioverter (ICD,
implantable cardioverter/defibrillator) dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti
bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan. Sukses
pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup prosedur dan kembali pada
keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila
pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga
dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memacu
lebih baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien terpilih.
Susunan Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan
perbaikan perbaikan yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
HENTI JANTUNG
A. Pengkajian
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawatdarurat sangat tergantung dari kecepatann
dan ketepatan dalaam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien di temukan mak
semakin cepat pula pasien tersebut mendapakan pertolongan sehiongga terhindar dari
kecacatan atau kematian. Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang
cepat. Kondisi ini dapta di sebabkan oleh akibat dari terganggunya sistem pernapasan.
Apabila pasien tidak mendapakan pertolongan sesegera mungkin, dan apabila terjadi
kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak pemanen, lebih dari 10
menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita
gawat darurat sangat penting dilakukan efektif dan efisien.
Tahap kegiatan dalam penaggulanganpenderita gawat darurat telah mengantisipasi hal
tersebut. Pertolongan kepada paseien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup
pasien, barulah selanjutnya dilkukan survei sekinder.
Tahap kegiatan meliputi :
a. Arway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol servikal.
b. Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigen adekuat.
c. Sirculation, mengecek sistem sirkulasidisertai kontrol perdarahan.
d. Disability, mengecek satus neurologis.
e. Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia.
Survei primer bertujuan untuk mengetahuidengan segera kondisi yang mengancam nyawa
pasien. Survei primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam
prateknya dilakukan secara bersama dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik).
Apabila teridentifiaksi henti nafas dan henti jantung maka resusitasi harus segera dilakukan.
Apabila menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar maka pertama kali amankan
lingkungan pasien atau bila memungkinkan pindahkan pasien ke tempat yang aman.
Selanjutnya posisikan pasien ke dalam posisi netral (terlentang) untuk memudahkan
pertolongan.
1. Arway
Jalan nafas adalah yang pertama kali harus dinilai untuk mengkaji kelancaran nafas.
Keberhasilan jalan nafas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses ventilasi
(pertukaran gas antara atmosfer dengan paru-paru. Jalan nafas seringkali mengalami
obstruksi akibat benda asing, serpihan tulang akibat fraktur pada wajah, akumulasi sekret dan
jatuhnya lidah ke belakang.
Selama memeriksa jalan nafas harus melakukan kontrol servikal, barangkali terjadi trauma
pada leher. Oleh karena itu langkah awal untuk membebaskan jalan nafas adalah dengan
melakukan manuver head tilt dan chin lift.
Data yang berhubungan dengan satus jalan nafas adalah :
- Sianosis (mencerminkan hipoksemia)
- Retraksi interkosta (menandakan peningkatan upaya nafas)
- Pernafasan cuping hidung
- Bunyi nafas abnormal (menandakan ada sumbatan jalan nafas)
- Tidak ada hembusan udara (menandakan obstruksi jalan nafas atau henti nafas)

2. Breathing
Kebersihan jalan nafas tidak menjamin bahwa pasien dapat bernafas secara adekwat. Inspirasi
dan eksprasi penting untuk terjadinya pertukaran gas, terutama masuknya oksigen yang
diperlukan untuk metabolisme tubuh. Inspirasi dan ekspirasi merupakan tahap ventilasi pada
proses respirasi. Fungsi ventilasi mencerminkan fungsi paru, dinding dada dan diafragma.

Pengkajian pernafasan dilakukan dengan mengidentifikasi :


- Pergerakan dada
- Adanya bunyu nafas
- Adanya hembusan atau aliran udara

3. Cirulation
Sirkulasi yang adekwat menjamin distribusi oksigen ke jaringan dan pembuangan
karbondioksida sebagai sisa metabolisme. Sirkulasi tergantung dari fungsi sistem
kardiovaskuler.
Status hemodinamika dapat dilihat :
- Tingkat kesadaran
- Nadi
- Warna kulit
Pemeriksaan nadi dilakukan pada arteri besar seperti pada arteri karotis dan arteri femoral.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke otak.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat.
3. Penurunan curah jantung berhubungan kemampuan pompa jantung menurun.

C. TINDAKAN INTERVENSI
1. Diagnosa I
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke otak.
Tujuan : sirkulasi darah kembali nornal sehingga transport oksigen kembali lancar
Kriteria hasil:
- Pasien dapat mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal
- Warna dan suhu kulit normar
- CRT < 2 detik
N INTERVENSI RASIONAL
o
1. Berikan vasodilaor seperti Obat diberikan untuk
nitrogliserin, nifedipin sesuai meningkatkan sirkulasi miokardia
indikasi
Mempercepat pengosongan vena
2. Posisikan kaki lebih tinggi dari superficial, mencegah distensi
jantung berlebihan dan meningkatkan
aliran balik vena

Sirkulasi yang terhenti


3. Pantau adanya pucat, sianosis dan menyebabkan transport O2 ke
kulit dingin atau lembab seluruh tubuh juga terhenti
sehingga akral sebagai bagian
yang paling jauh dengan jantung
menjadi pucat dan dingin.

4. Pantau pengisian kapiler (CRT) Suplai darah kembali normal jika


4. CRT < 2 detik dan menandakan
suplai O2 kembali normal
2. Diagnosa II
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat.
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
Kriteria hasil :
- Niali GDA normal
- Tidak ada disttess pernafasan
No. INTERVENSI RASIONAL
1. Berikan O2 sesuai indikasi Meningkatkan konsentrasi oksigen
alveolar dan dapat memperbaiki
hipoksemia jaringan

2. Pantau GDA pasien Nilai GDA yang normal


menandakan pertukaran gas
semakin membaik

3. Pantau pernafasan klien Untuk evaluasi distress pernapasan

3. Diagnosa III
Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan memompa jantung menurun
Tujuan : meningkatkan kemampuan pompa jantung
Kriteria hasil :
- Nadi perifer teraba
- Tekanan darah dalam batas normal
No. INTERVENSI RASIONAL
1. Lakukan pijat jantung untuk mengaktifkan kerja pompa
jantung

2. Berikan oksigen tambahan Meningkatkan sediaan oksigen


dengan kanula nasal/masker untuk kebutuhan miokard untuk
dan obat sesuai indikasi melawan efek hipoksia/iskemia.
(kolaborasi) Banyak obat dapat digunakan untuk
meningkatkan volume sekuncup,
memperbaiki kontraktilitas.

3. Palpsi nadi perifer Penurunan curah jantung dapat


menunjukkan menurunnya nadi
radial, dorsalis pedis dan postibial.
Nadi mungkin hilang atau tidak
teratur untuk dipalpasi.

4. Pantau tekanan darah Pada pasien Cardiac Arrest tekanan


darah menjadi rendah atau mungkin
tidak ada.

5. Kaji kulit terhadap pucat dan Pucat menunjukkkan menurunnya


sianosis perfusi sekunder terhadap tidak
adekuatnya curah jantung.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cardiac arrest atau henti jantung adalah suatu keadaan diaman jantung berhenti sehingga
tidak dapat memompakan darah keseluruh tubuh. Ini disebabkan oleh beberapa penyakit yang
diderita pasien. Henti jantung jika tidak di tangani secara cepat akan mengakibatkan suplai
oksigen yang paling utama ke otak, jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan pada tidak
terpenuhinya oksigen ke seluruh tubuh. Ketiak pasien yang terkena henti jantung tidak
ditangani dengan cepat dalam jangka waktu yang lama maka akan berakibat kematian pada
pasien.
Jadi peliharalah jantung kita dan sayangi jantung kia untuk hidup yang lebih baik.

B. Saran
Sekian makalah ini kami buat dan kami susun sesuai dengan format yang ada. Terima kasih
kepada pihak dan sumber yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,sehingga
dapat terselesaikan sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika dalam penyusunan
makalah ini terdapat kesalahan mohon kritik dan saran yang besifat membangun. Semoga
makalah ini menjadi lebih bermanfaat unuk para mahasiswa pada umumnya dan untuk teman
sejawat perawat pada khususnya.

Sekian makalah ini Saya susun dan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, arif.2009. penghantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
kardiovaskuler. Jakarta : salemba medika
Smeltzer, suzanne C. & Bare, brenga G. 2001.buku ajar keperawatan medikal bedah (Brunner
& suddarth). Jakarta : EGC
Dr. Nugroho, Taufan. 2011. Asuhan keperawatanmaternitas, anak, bedah, dan penyakit
dalam . yogyakarta : Nuhu medika

You might also like