You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam
Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain
genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome
negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau
rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif
atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia
memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan,
tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping
itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai
hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan
masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan
aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan
hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai
masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa
konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai
dampak bagi masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?

2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?

3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?

4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?

1
5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi rentan ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan

2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental

3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan

4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar

5. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas

populasi rentan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. Populasi Rentan

Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan


perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat
yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir
miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.

Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke


dalam Kelompok Rentan adalah:

a. Refugees (pengungsi)

b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)

c. National Minoritie (kelompok minoritas)

d. Migrant Workers (pekerja migran )

e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)

f. Children (anak)

g. Women (wanita)

Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus

3
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.

Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang


cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan
secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental,
Penyandang cacat fisik dan mental.

2. Penyandang Cacat / Disabilitas

a. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang


yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa
Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities)
yang berarti cacat atau ketidakmampuan.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang


Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang
disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan
khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki
perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah
memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang
hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas,
mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence
Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-
fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok
konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan

4
rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari,
penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental
serta penyandang disabilitas fisik dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan


karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena
karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan
hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus
memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik,
atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan
sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.

b. Jenis-jenis Disabilitas

Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti


bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana
kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik.

Jenis-jenis penyandang disabilitas 5 :

1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:

a) Mental Tinggi.

Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki


kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan
tanggungjawab terhadap tugas.

5
b) Mental Rendah

Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence


Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban
belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara
70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70
dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.

c) Berkesulitan Belajar Spesifik

Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh

2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7:

a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan


oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau
akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.

b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.


Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan
low vision.

c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu)

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran


baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam
pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga
mereka biasa disebut tunawicara.

d. Kelainan Bicara (Tunawicara)

Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan


pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh

6
orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara
ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan
organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan
bicara.

e. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat
fisik dan mental)

3. Gangguan Mental (Mental Disorder)

a. Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder) Istilah gangguan mental (mental disorder)
atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental (mental disorder)
dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah: “Gangguan mental (mental
disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik
seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau
lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa
disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan
gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”.
(Maslim, tth:7). Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep
gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:

1) Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau
pola psikologik

2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.

3) Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan


sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup
(mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll).

7
(Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau
kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi
kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul
gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem
kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan juga dikemukakan Chaplin
(1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah
sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap
tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu.
Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup
kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder)


adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara
fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.

b. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).

Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis


merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai
berikut:

1) Gangguan mental organik dan simtomatik;Gangguan mental organik adalah


gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak
yang dapat di diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah
gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau
gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).

2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.

Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan
atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36).

8
3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.

Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh


penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh
afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).”

(Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana
jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak
betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).

4) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).

Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan


(mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang
menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).

5) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.

Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).

6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.

Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan
segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).

7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna
dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup
yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun
orang lain (Maslim, tth:102).

8) Retardasi mental

Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan
sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).

9
9) Gangguan perkembangan psikologis.

Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi yang


berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan
berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas.
Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan
bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering menetap sampai
masa dewasa) (Maslim, tth:122).

10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.

Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.


Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan
sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan
yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136). Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja
(2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki
rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang


tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering
digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-anak.

b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari


perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.

c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental,
namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan
patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.

d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan


gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang
digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai istilah yang umum untuk setiap
gangguan dan kelainan.

10
e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan
yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang
dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang
maladaptif.

f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu


secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalahmasalahnya atau melihat
konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan
mental yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau tidak.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental Disorder)

Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi


timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama kali
adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini,
penulis merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan
yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam dua faktor,
yaitu:

1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.

2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan,
kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis,
yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya.
Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara
yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban
psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.

3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan


modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi
masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri
terhadap perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit.

11
Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang
lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis.

d. Pencegahan Gangguan Mental

Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit


agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun
sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan
gangguan mental.

1) Pengertian Pencegahan Gangguan Mental


Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya
mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari lingkungan yang dapat
menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno, 1994:205).
Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa pencegahan mempunyai
pengertian sebagai metode yang digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri
dan orang lain guna meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan.
Dengan demikian pencegahan gangguan mental didasarkan pada upaya individu
terhadap diri dan orang lain untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi
gangguan mental sesuai dengan kemampuannya.

2) Upaya pencegahan

Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor
yang mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya
pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsipprinsip
yang dimaksud adalah:

a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri


Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri
sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam lingkungan,
serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri,
keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83).

12
b) Keterpaduan atau integrasi diri

Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri,


kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi
ketegangan emosi (stres) (Yahya, 1993:84).

c) Pewujudan diri (aktualisasi diri)

Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai


kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang
baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh
karena itu, agar terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin
mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik dan memuaskan
(Kartono, 1986:231). Dengan demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila
manusia dapat berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak
hanya pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti menggembangkan bakat dan
sebagainya.

d) Kemampuan menerima orang lain

Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn


tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab timbulnya
gangguan mental, juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya
gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan
dalam mengahadapi tuntutan dan persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur,
2000:13). Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak
mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai fungsi
atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan.
(Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin
menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan
lain sebagainya.

13
e) Agama dan falsafah hidup.

Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan
terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif)
terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan
(konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan
beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun
menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental secara utuh.
Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai.
Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian
apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi
tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).

f) Pengawasan diri

Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin


melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat dengan
mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar adalah orang yang mampu
mengendalikan keinginannya dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan
kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan kelezatankelezatan dengan segera,
demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih
kekal. (Fahmi, 1982:114). Manfaat lain dari pengawasan diri adalah
menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan
kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan setiap pribadi
untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.

14
4. Tunawisma/ Gelandangan

a. Definisi

Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat


tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur.

Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak


memiliki keluarga. Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan
masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki
keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta
ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan
sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah
kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu
alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan
terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang

b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma

1) Kemiskinan

Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya


gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang
menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta
menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis
kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan
pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan
hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar
untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka
kerap kali kurang terlindung.

2) Rendah tingginya pendidikan

15
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja.
Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah
pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi
semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan
pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh
pekerjaan yang layak.

3) Keluarga

Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan


perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga
yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka
merasa kurang perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung
mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.

4) Umur

Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat
seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit
untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir
mereka untuk bertahan hidup.

5) Cacat Fisik

Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan


pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi
tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012
) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti
kesehatan.

6) Rendahnya ketrampilan

Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan


seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah

16
satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk
dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam
mengembangkan ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang
membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai
dengan tuntutan pasar kerja.

7) Masalah sosial budaya

Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi


gelandangan dan pengemis. Antara lain:

a. Rendahnya harga diri.

Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka


tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah
sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
tunawisma yang berusia produktif.

b. Sikap pasrah pada nasib.

Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai


gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk
melakuan perubahan.

c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.

8) Faktor Lingkungan

Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor


lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak
sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan
mereka mencari uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini
akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi
melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

17
9) Letak Geografis

Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat


masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat
masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain.
Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan.
Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut
semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan.
Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya
sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta

10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis

Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh


pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan
adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan
ketempat asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak menimbulkan efek
jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi
gelandangan dan pengemis. pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah
setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang
sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang
lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi
gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi.
hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni
menjadi gelandangan dan pengemis.

18
5. Asuhan keperawatan pada agregat populasi terlantar

1. Core : Jumlah populasi terlantar, riwayat perkembangan populasi terlantar,


kebiasaan, perilaku yang ditampilkan, nilai keyakinan dan agama.
2. Lingkungan fisik: kebersihan lingkungan pemukiman, aktifitas tunawisma yang
dilakukan diluar rumah, kesadaran dan bentuk kegiatan tunawisma diluar rumah,
keberadaan dan bentuk kegiatan diluar rumah, kondisi tempat tinggal, batas wilayah,
makanan, pasokan air bersih, air kotor, penyimpanan makanan, gizi buruk,
kebersihan personal hygiene.
3. Pelayanan kesehatan dan social: bagaimana jenis pelayanan kesehatan, akses layanan
kesehatan, biaya dalam pelayanan kesehatan, jumlah populasi terlantar yang
memiliki jaminan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, posyandu,
antusias masyarakat akan pelayanan kesehatan, pemanfaatan jaminan kesehatan.
4. Ekonomi: bagaimana status pekerjaan, jenis pekerjaan, jenis makanan yang dibeli,
jumlah pendapatan yang diterima, pemahaman pendapatan, pengluaran perbulan.
5. Transportasi dan kemanan: apakah alat teransportasi yang digunakan, jarak antara
permukiman dan pelayanan kesehatan, sarana transportasi yang tersedia.
6. Politik dan pemerintahan: bagaimana peran serta politik dalam bidang kesehatan,
organisasi diwilayah setempat yang peduli terhadap kesehatan.
7. Komunikasi: bagaimana jenis informasi yang tersedia, sarana komunikasi yang
disediakan, media informasi yang disebar.
8. Pendidikan: sarana pendidikan yang tersedia, pendidikan yang dimiliki masyarakat,
pendidikan terkait kesehatan.
9. Rekreasi: seberapa sering rekreasi populasi terlantar, kemana rekreasi dituju,
banyaknya rekreasi yang dilakukan.
A. pengkajian
1. kasus

Rw didalam wilayah desa x memiliki 666 jiwa, terdiri dari 44 keluarga yang terdiri 20
orang balita, 75 orang anak, 102 orang remaja, 380 orang dewasa dan 45 orang lansia.
Berdasarkan data yang didapat bahwa masyarakat wilayah desa x memiliki pendapatan
dibawah Rp. 1.000.000/ bulan, dengan mayoritas masyarakat berkerja sebagai serabutan.

19
Dengan masyarakat yang tercatat 48% orang dewasa yang mengalami sebagai
gelandangan, 15% Remaja yang mengalami mental rendah, 10% balita yang mengalami
disabilitas fisik. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi, pendidikan rendah dan juga
kurangnya pelayanan kesehatan seperti kader yang kurang aktif dalam menjalani program
puskesmas dan juga kurang aktifnya masyarakat dalam menjalanin pelayanan masyarakat
di karang taruna. Masyarakat kurang peduli terhadap agregat gelandangan, disablitas fisik
beserta keluarga tidak mengizinkan keluarganya yang mengalami mental rendah untuk
keluar rumah. Daerah tempat tinggal masyarakat wilayah desa x terkenal kumuh karena
kurangnya kesadaran masyarakat akakn kebersihan.

B. Analisa Data :
 48% orang dewasa yang mengalami gelandangan tingginya populasi terlantar pada
desa x
 15% remaja mengalami mental rendah
 10% balita yang mengalami disabilitas fisik
 Lingkungan : resiko terjadinya kekambuhan akibat lingkungan tidak peduli

Data penunjang

- Gelandangan
o Kemiskinan
o Pendidikan rendah
o Kurang pengetahuan

- Resiko Perilaku Kekerasan (RPK)


o Lingkungan
o Psikologis
o Biologis

20
- Disabilitas fisik
o Penyakit tidak menular
o Kurang pengetahuan
o Kemiskinan

- Lingkungan
o Pendidikan rendah
o Kurang pengetahuan
o Kemiskinan
C. Diagnosa keperawatan
1. Masalah kesenjangan ekonomi pada resiko populasi rentan gelandangan
2. Masalah tingkat pengetahuan yang rendah

Tujuan jangka panjang

Melakukan penanggulangan dengan cara memberikan penyuluhan dan pelatihan


kepada masyarakat dengan upaya peningkatan kreatifitas sumberdaya yang ada
meningkatkan kesejahteraan masyarakat selama 1 bulan. Seperti, pelatihan pemberdayaan
limbah lingkungan yang dapat didaur ulang.

Tujuan jangka pendek

a. Dalam minggu pertama melakukan survey, observed dan berdiskusi dengan ketua
RW beserta kader setempat untuk mendiskusikan maksud dan tujuan, membuat
perencanaan beserta pemberian penyuluhan yang tepat dengan masyarakat dan
evaluasi
b. Dalam minggu ke-2 memberikan perencanaan tentang pelatihan pendaur ulang bahan
bahan yang dapat diperbaharui dan memiliki nilai jual
c. Dalam minggu ke-3 membantu masyarakat dalam mengaplikasikan kegiatan sesuai
dengan penyuluhan dan pelatihan yang sudah diberikan
d. Dalam minggu ke-4 mengevaluasi masyarakat tentang kegiatan sesuai dengan
penyuluhan dan pelatihan yang diberikan.

21
D. Skoring diagnosa
Kriteria Prioritas Masalah
1. Kesadaran masyarakat akan masalah.
2. Motivasi masyarakat untuk menyelesaikan masalah.
3. Kemampuan perawat dalam mempengaruhi penyelesaian masalah.
4. Ketersediaan ahli atau pihak terkait terhadap solusi masalah.
5. Beratnya konsekwensi jika masalah tidak terselesaikan.
Mempercepat penyelesaian masalah dengan resolusi yang dapat dicapai.

Pembobotan :

 Nilai 1 : Rendah
 Nilai 2 : Sedang
 Nilai 3 : Cukup
 Nilai 4 : Tinggi
 Nilai 5 : Sangat Tinggi

NO Diagnosa 1 2 3 4 5 Total

Masalah kesenjangan ekonomi


1. 1 1 4 3 2 15
pada resiko populasi rentan
gelandangan

22
2. Masalah tingkat pengetahuan 1 3 3 2 4 13
yang rendah

E. Rencana Tindakan
a. Rencana Tindakan minggu pertama
- Lakukan survey dan observasi
- Meminta izin kepada ketua RW dan menjelaskan maksud, tujuan dan diskusi
mengenai fenomena gelandangan yang ada didaerah desa X
b. Rencana Tindakan minggu ke-2
- Melakukan rencana tindakan meliputi penyuluhan dan pelatihan tentang cara
pendur ulang barang barang yang dapat di daur ulang dan memiliki nilai jual
dimasyarakat.
c. Rencana Tindakan minggu ke-3
- Mendemonstrasikan teknik membuat kerajinan yang memiliki nilai ekonomis
seperti membuat dompet dari bungkus kopi, dll
- Bekerja sama dengan dinas sosial tentang penjualan barang barang yang
dihasilkan.
d. Rencana Tindakan minggu ke-4
Mengevaluasi ke masyarakat tentang tentang perkembangan usaha ini dan hasil yang
didapat.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi


kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko
kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup
dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan
penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau
psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang
memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan
kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya
mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan
kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di
negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-
kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi
secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya,
serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat mengaplikasikan pada
kehidupan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC

Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi. Jakarta
: Salemba Medika

Riyadi. Sugeng (2007), Keperawatan Kesehatan Masyarakat, retieved may 12nd.

Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta
: EGC

R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. (2010). Yogyakarta: Nuha Medika

Vaughan, 2000, General Oftamology, Jakarta.

25

You might also like