You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah di

seluruh dunia termasuk Indonesia. Virus ini menyebabkan Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS) yaitu sindrom/kumpulan gejala penyakit yang

disebabkan oleh HIV. Laporan United Nations Program of HIV/AIDS (UNAIDS)

tahun 2010 menyatakan bahwa walaupun secara global infeksi HIV baru turun

19%, namun jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS tetap naik karena angka

kematian yang turun di mana tahun 2010 diperkirakan sebanyak 33,3 juta orang

hidup dengan HIV/AIDS (Maiga et al., 2014)

Angka kumulatif kasus AIDS di Indonesia yang dilaporkan hingga bulan

September 2012 adalah 39.434 dengan angka kematian mencapai 18,5%,

sedangkan jumlah kasus infeksi HIV sampai dengan tahun 2012 sebesar

92.251. Dari angka kumulatif tersebut, kelompok umur 20-29 tahun dengan

persentase mencapai 42,3% merupakan kelompok umur terbanyak pada kasus

infeksi HIV/AIDS (KPA, 2012).

Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang dapat merusak sistem

kekebalan tubuh manusia. Virus ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang

menggunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Infeksi

virus ini menurunkan sistem kekebalan tubuh yang menimbulkan gejala penyakit

infeksi oportunistik atau kanker tertentu dan bersifat sindrom yang disebut

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Duarsa, 2005).

1
2

Virus HIV terdiri dari dua tipe, HIV-1 dan HIV-2, infeksi pada

manusia terutama adalah HIV-1. Human Immunodeficiency Virus-1 adalah virus

HIV yang pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris

tahun 1983. HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat tahun 1986

(Nasronudin, 2007).

Pasien dengan HIV-1 positif sering mengalami komplikasi sistem saraf,

baik pusat maupun perifer yaitu sekitar 35-63%. Neuropati perifer merupakan

bentuk komplikasi neurologis tersering dari infeksi HIV-1 (Verma et al., 2004;

Nicholas et al., 2007). Sekitar 30-60% infeksi HIV-1 mengalami neuropati perifer

secara klinis dan bahkan pada otopsi orang yang meninggal dengan AIDS terdapat

bukti kelainan saraf perifer sampai mendekati 100% (Ferrari et al., 2006;

Kamerman et al., 2012).

Pasien infeksi HIV dapat mengalami gangguan/kerusakan susunan saraf

pusat (SSP) dan perifer pada fase awal maupun lanjut akibat infeksi HIV.

Konsekuensi neurologis infeksi HIV dapat dibedakan menjadi kelainan primer

dan sekunder. Komplikasi neurologis primer mencakup demensia pada usia

dewasa, ensefalopati pada anak, mielopati yang berhubungan HIV dan

polineuropati perifer distal (Verma et al., 2004; Gonzales-Duarte, 2006). Human

Immunodeficiency Virus Associated Sensory Neuropathy (HIV-SN), merupakan

komplikasi pada sistem saraf perifer yang sering terjadi (Keswani et al., 2002).

Neuropati perifer pada HIV dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan

dapat dibedakan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan. Bentuk neuropati

lainnya dapat berupa mononeuropati yang hanya mengenai satu ekstremitas.


3

Mononeuropati multipel mengenai saraf secara multipel dalam bentuk yang

asimetris, keterlibatan pleksus brakhialis, atau keterlibatan seluruh tubuh seperti

yang terlihat pada inflammatory demyelinating polyneuropathy yang juga dikenal

sebagai sindrom Guillain-Barre (Gonzales-Duarte, 2006).

Sejak awal ditemukannya HIV, distal symetrical polyneuropathy (DSP)

telah diakui sebagai salah satu manifestasi neurologis umum yang pada infeksi

HIV stadium lanjut. Dengan diperkenalkannya kombinasi terapi antiretroviral

(ART) pada tahun 1996, angka kelangsungan hidup individu telah meningkat

secara dramatis. Bagi banyak pasien di negara maju, HIV tidak lagi menjadi

penyakit dengan progresivitas cepat yang fatal, tetapi merupakan suatu kondisi

kronis. Sampai saat ini, DSP tetap menjadi salah satu komplikasi neurologis yang

paling umum dari HIV dengan morbiditas tinggi (Schutz & Robinson, 2013).

Pemeriksaan penunjang neuropatik antara lain adalah elektromiografi

(EMG), biopsi saraf suralis, punch skin biopsies (BPS) yang dikatakan mudah,

valid dan secara diagnosis dikatakan berguna namun bersifat invasif (Cherry &

Wesselingh, 2003). Pemeriksaan neurofisiologi rutin tidak dapat menyediakan

petunjuk yang bermakna untuk diagnosis neuropatik ini. Studi konduksi saraf

sensorik biasanya dikerjakan untuk dapat mengevaluasi polineuropati serabut

saraf diameter besar yang berselubung mielin, tetapi hasilnya sering normal pada

small fiber neuropathy. Biopsi kulit untuk menentukan densitas serat saraf

intraepidermal saat ini menjadi tes diagnostik yang reliabel untuk pasien dengan

small fiber sensory neuropathy. Penurunan densitas serabut saraf intraepidermal


4

berhubungan dengan meningkatnya nyeri neuropatik, menurunnya angka CD4

dan peningkatan viral load plasma pada neuropatik HIV (Polydefkis et al., 2002).

Beberapa pain assessment yang tersedia untuk membedakan nyeri

neuropatik dari nosiseptik. Pain assessment yang baik adalah pain assessment

menggabungkan wawancara gejala yang dialami dan pemeriksaan fisik, contoh

pain assessment yang baik adalah Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms

and Signs (LANSS) dan Douleur Neuropathique en 4 Questionnare (DN4).

Douleur Neuropathique en 4 Questionnare merupakan pain assessment yang

paling mudah dilakukan dan merupakan pain assessment terbaik untuk digunakan.

Sedangkan pain assessment lain seperti Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ)

sangat tidak dianjurkan karena hanya berdasarkan wawancara tentang rasa sakit,

tetapi tidak mencakup langkah-langkah pemeriksaan fisik (Boltz, 2010). Douleur

Neuropathique en 4 Questionnare memiliki sensitivitas dan spesisitas sebesar

83% dan 90% (Bennet, 2007).

Penelitian mengenai hubungan antara jumlah CD4 dengan nyeri

neuropatik pada pasien HIV/AIDS di RSUP Sanglah selama bulan Nopember

2013 sampai Januari 2014. Nyeri neuropatik pada pasien HIV dinilai dengan skala

nyeri LANSS. Pada analisis bivariat didapatkan hubungan bermakna antara CD4

nadir ≤ 200 dengan nyeri neuropatik pada pasien HIV dengan OR = 7,88 ( 95%CI

= 2,53- 24,47; p < 0,001). Dapat disimpulkan bahwa CD4 nadir rendah ≤ 200

sel/μl sebagai faktor risiko nyeri neuropatik pada pasien HIV di RSUP Sanglah

(Astika, 2014)
5

Beberapa penelitian menunjukkan korelasi yang baik antara Angka Total

Limfosit dan jumlah limfosit T CD4+ pada pasien terinfeksi HIV (Fornier &

Sosenko, 1992; Beck et al., 1996). Penelitian longitudinal juga menunjukkan

Angka Total Limfosit (ATL) dan jumlah limfosit T CD4+ merupakan penanda

yang sama dalam memprediksi progresivitas penyakit (Post et al., 1996).

Berdasarkan pedoman Kementerian Kesehatan RI (2007) serta WHO

(2006), pada setting di mana pemeriksaan jumlah limfosit CD4+ tidak tersedia,

terapi ARV bisa diberikan pada pasien dengan WHO stadium III atau IV tanpa

memandang jumlah limfosit total atau stadium II dengan jumlah total limfosit

≤1200 sel/mm3. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang baik

antara ATL dan jumlah limfosit T CD4+ (Fornier & Sosenko, 1992; Blatt et al.,

1993; van der Ryst et al.,1998).

Sampai saat ini belum didapatkan penelitian tentang hubungan antara

Angka Total Limfosit (ATL) dengan Douleur Neuropathique en 4 Questionnare

(DN4) pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

B. Perumusan Masalah

1) Jumlah pasien HIV/AIDS semakin meningkat jumlahnya.

2) Nyeri neuropatik sering didapatkan pada kasus HIV/AIDS.

3) Angka Total Limfosit dan jumlah limfosit T CD4+ merupakan penanda

yang sama dalam memprediksi progresivitas penyakit HIV.

4) Belum ditemukan penelitian mengenai hubungan Angka Total Limfosit

(ATL) dengan skala nyeri neuropatik Douleur Neuropathique en 4

Questionnare (DN4) pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito.


6

C.Pertanyaan Penelitian

1) Apakah terdapat hubungan antara ATL dengan nilai DN4 pada pasien

HIV/AIDS di RSUP Dr Sardjito?

2) Apakah semakin rendah ATL maka akan semakin tinggi nilai DN4?

D.Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara ATL dengan nilai

Douleur Neuropathique en 4 Questionnare (DN4) pada pasien HIV/AIDS di

RSUP Dr Sardjito.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan bagi tenaga kesehatan

baik perorangan maupun tim penanggulangan HIV/AIDS mengenai hubungan

antara ATL dengan DN4. Pemeriksaan Angka Total Limfosit merupakan

pemeriksaan yang dapat dilakukan pada setiap pusat pelayanan laboratorium

sehingga diharapkan dapat berguna untuk menilai lebih dini munculnya nyeri

neuropatik yang diketahui melalui pemeriksaan DN4.


7

F. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran, diperoleh beberapa penelitian mengenai hubungan

antara Angka Total limfosit dengan DN4 seperti tertera pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Keaslian Penelitian

No Nama Judul Penelitian Metode Alat Hasil Penelitian


ukur
1. Hitchcock, Neuropathic pain Cross- DN4 Terdapat hubungan
Meyer, in AIDS patients sectional NRS Signifikan antara CD4
Gwyther, prior to descriptv rendah dengan Pain of
2008 antiretroviral analytic predominantly POPNO
therapy pada pasien HIV
2. Dunn, 2005 Use of TLC for Meta- CD4 Angka Total Limfosit
Informing when to analisis ATL merupakan prediktor
start Antiretroviral kuat progresivitas HIV
Therapy in
HIV-infected
3. Rosyadi et Angka CD4 rendah Case- LANSS Angka CD4 rendah
al., 2011 faktor risiko control merupakan faktor
neuropati sensorik risiko neuropatik
HIV sensorik pada HIV
4. Barus & Perubahan ATL Cohort ATL ATL dapat
Hariman, sebagai Alternatif digunakan sebagai
2011 Pemeriksaan CD4 pemeriksaan
Pasien HIVAIDS alternatif pada pasien
yang Diberi ARV HIV/AIDS
5. Sompa et al., Hubungan jumlah Cross- BPNS Makin rendah jumlah
2013 CD4 dengan derajat sectional CD4 (<200) makin berat
DSP pada pasien derajat klinis DSP yang
HIV- AIDS dialami
pasien HIV-AIDS.
6. Astika et al., Angka CD4 nadir Cross- LANSS CD4 nadir rendah
2014 rendah ≤ 200 sectional <200mg/dl sebagai
sebagai faktor faktor risiko nyeri
risiko nyeri neuropatik pada
neuropatik pada pasien HIV.
pasien HIV di
RSUP Sanglah
7. Penelitian ini Hubungan Angka Cross- DN4
Total Limfosit sectional
(ATL) dengan
DN4 pada pasien
HIV/AIDS

You might also like