You are on page 1of 10

Bab 11

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN

A. AKIBAT TALAK

1. Akibat Talak Raj’i


Talak Raj’i tidak melarang mantan suami berkumpul dengan mantan istrinya
sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan)
serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).
Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak menimbulkan akibat-
akibat hukum selanjutnya selama masih dalam masa iddah istrinya. Segala akibat
hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika tidak ada ruju’.
Apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh ruju’ dan berarti perempuan itu
telah tertalak ba’in. Jika masih ada dalam masas iddah maka talak raj’i yang berarti
tidak melarang suami berkumpul dengan istrinya kecuali bersenggama. Jika ia
menggauli istrinya berarti ia telah rujuk.
Istri yang menjalani iddah raj’iyah, jika ia taat atau baik terhadap suaminya,
maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan uang belanja dari mantan
suaminya. Tetapi jika ia durhaka maka tidak berhak mendapat apa-apa. Rasulullah
SAW bersabda:

Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah) dari
mantan suaminya dalah mantan suaminya itu berhak itu berhak merujuk
kepadanya. (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).

Sabdanya pula:

Nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang memiliki (kesempatan untuk)
diruju’.

Bila salah seorang meninggal dalam masa iddah, yang lain menjadi ahli
warisnya, dan mantan suami tetap wajib memberi nafkah kepadanya selama masa
iddah.
Ruju’ adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa iddah. Oleh karena itu ia
tidak berhak membatalkannya sekalipun suami misalnya berkata: “tidak ada ruju
bagiku.” Namun sebenarnya ia tetap mempunyai hak rujuk. Sebab dalam firman
Allah disebutkan:
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu...
Karena ruju’ merupakan hak suami maka untuk merujuknya suami tidak perlu
saksi, dan kerelaan mantan istri serta wali. Namun menghadirkan saksi dalam ruju’
hukumnya sunnat, karena dikhawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal
rujuknya suami.
Ruju ‘ boleh dengan ucapan, seperti: “Saya ruju’ kamu”, dan dengan perbuatan,
misalnya: menyetubuhinya, merangsangnya, seperti mencium dan sentuhan-
sentuhan birahi. Imam Syafi’i berpendapat bahwa ruju’ hanya diperbolehkan
dengan ucapan terang dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan
persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam
Syafi’i bahwa talak itu memutuskan hubungan perkawinan.
Ibu Hazm berkata: “dengan menyetubuhinya tidak berarti merujuknya sebelum
kata ruju’ itu diucapkan dan menghadirkan saksi serta mantan istri diberi tahu
terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis”. Menurut Ibu Hazm, jika ia merujuk
tanpa saksi bukan disebut rujuk sebab Allah SWT berfirman:

Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil di antara kamu....

Disini Allah SWT tidak membedakan antara ruju’ talak dengan menghadirkan
saksi. Karena itu, tidak boleh memisahkan satu dari lainnya, seperti menalak tanpa
dua orang saksi laki-laki yang adil atau ruju’ tanpa adanya orang yang adil sebagai
saksi perbuatan seperti ini melanggar hukum Allah. Nabi Muhammad SAW
bersabda:

Dari Imran bi Hussain, sesungguhnya ia pernah ditanya tentang orang yang


menalak istrinya kemudian disenggamainya, padahal tidak ada saksi ketika
manalaknya dan ketika meurujuknya. Maka jawabannya, “Engkau menalak
tidak menurut Sunnah Rasulullah, dan merujuk tidak menurut Sunnah.
Hadirkanlah saksi untuk menalak dan merujuknya dan jangan engkau ulangi
perbuatan itu.

2. Akibat Talak Ba’in Sugra


Talak Ba’in Sugra ialah memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan
istri setelah kata talak diucapkan. Karena ikatan perkawinan telah putus, maka
istrinya kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh karena itu, ia tidak boleh
bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi sampai menyetubuhinya.
Apabila ia baru menalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa dua kali
talak setelah rujuk dan jika sudah dua kali talak, maka ia hanya berhak atas satu kali
lagi talak setelah rujuk.

3. Akibat Talak Ba’in Kubra


Hukum talak ba’in kubra sama dengan talak ba’in sugra, yaitu memutuskan
hubungan tali perkawinan antara suami dan istri. Tetapi talak ba’in kubro tidak
menghalalkan bekas suami merujuknya kembali bekas istri, kecuali sesudah ia
menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya (telah
bersenggama), tanpa ada niat nikah tahlil. Allah SWT. Berfirman:

Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka


perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain.

Perempuan yang menjalani iddah talak ba’in, jika tidak hamil, ia hanya berhak
memperoleh tempat tinggal (rumah), lain tidak. Tetapi jika ia hamil maka ia juga
berhak mendapat nafkah. Dalam Al-Quran ditegaskan:

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut


kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin...

Perempuan yang mejalani iddah wafat (karena ditinggal mati oleh suaminya), ia
tidak berhak sama sekali nafkah (dan tempat tinggal) dari mantan suaminya, karena
ia dan anak (yang dikandungannya) adalah pewaris yang berhak mendapat harta
pusaka dari almarhum suaminya itu. Rasulullah saw bersabda:

Perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya tidak berhak memperoleh


nafkah.
Perempuan yang ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qabla al dukhul), ia tidak
memiliki iddah, tetapi berhak memperoleh mut’ah atau pemberian. Hal ini
ditegaskan oleh Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan-


perempuan yang beriman, kemudia kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berikanlah mereka mut’ah
(pemberian) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

Selanjutnya, baik mantan suami atau mantan istri harus memperhatikan


kesejahteraan anak. Jika anak itu masih dalam kandungan, maka ibunya harus
menjaganya baik-baik, demikian juga ketika anak menyusu kepada ibunya,
sekalipun bisa juga perempuan lain yang menyusui anak tersebut jika misalnya
ibunya enggan atau repot. Sampai anak itu bisa berdiri sendiri, maka tanggung
jawab nafkah tetap menjadi kewajiban bapaknya. Dalam Al-Quran disebutkan:

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak itu) sedang hamil maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak) untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.

Jika anak tersebut sudah mengerti maka ia dipersilahkan memilih apakah mau
mengikuti ibunya atau bapaknya.

B. AKIBAT HUKUM FASAKH


Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak.
Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami
istri dengan seketika. Sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan
seketika itu.
Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talak dapat mengurangi
bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan talak raj’i kemudian
kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan
akad baru, maka perbuatan terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada
kesempatan dua kali talak lagi.
Sedangkan pisah suami istri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi
bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian kedua
suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tertap mempunyai
kesempatan tiga kali talak.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama.
Imam Syafi’i berkata: “Harus menunggu selama tiga hari.” Sedang Imam Maliki
mengatakan: “Harus menununggu selama satu bulan.” Dan Imam Hambali
mengatakan: “Harus menunggu selama satu tahun.”
Semua itu maksudnya adalah selama masa waktu tersebut laki-laki boleh
mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila istri tidak rela
lagi.
Kalau si istri mau menunggu, dan ia rela dengan ada belanja dari suaminya maka
tidak perlu difasakhkan sebab nafkah itu adalah haknya.
Bunyi lafal fasakh itu umpamanya: Aku fasakhkan nikahmu dari suamimu yang
bernama: ...... bin......... pada hari ini.
Kalau fasakh itu dilakukan oleh istri sendiri di muka Hakim maka ia berkata:
aku fasakhkan nikahku dari suamiku yang bernama: .......... bin......... pada hari ini.
Setelah fasakh itu dilakukan maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau
suami hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dengan akad baru,
sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.

C. AKIBAT KHULU’

Dalam hal akibat dhulu’, terdapat persoalan, apakah perempuan yang


menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak,
kecuali jika pembicaranya bersambung. Sedangkan Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa dapat diikuti tanpa memiah-misahkan antara penentuan
waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa
iddah termasuk hukum talak, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk
hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan seseorang menikahi
perempuan yang saudara perempuannya masih dalam iddah dari talak ba’in.
Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum
pernikahan, mereka berpendapat bahwa khulu’ tersebut dapat diikuti dengan talak.
Sedangkan fuqaha yang tidak berpendapat demikian, mengatakan bahwa khulu’
tersebut tidak dapat diikuti dengan talak.
Persoalan lain iala, jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang
menjatuhkan khulu’ tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali
pendapat yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyad dan Ibnu Syihab, keduanya
mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil dari
istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu.
Mengenai perpisahan yang dikemukakan oleh Abu Saur adalah antara
menggunakan kata-kata talak atau tidak menggunakan kata-kata itu.
Persoalan yang lain adalah jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami dapat
menikahi mantan istrinya yang di khulu’ pada masa iddahnya dengan
persetujuannya. Segolongan fuqaha muta’akhirin berpendapat bahwa suami
maupun orang lain tidak boleh menikahinya pada masa iddahnya.
Fuqaha berselisih pendapat tentang iddah wanita yang dikhulu’ apabila
terjadi persengketaan antara suami dengan istri berkenaan dengan kadar bilangan
harta yang dipakai untuk terjadinya khulu’.
Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata
suami jika tidak ada saksi. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedua
suami istri saling bersumpah, dan atas istri dikenakan sebesar mahar misil. Beliau
mempersamakan persengketaan antara suami dengan persengketaan antara dua
orang yang jual beli. Adapun Imam Malik memandang istri sebagai pihak tergugat
dan suami sebagai pihak penggugat.

D. AKIBAT SUMPAH LI’AN

1. Akibat Sumpah Li’an Bagi Suami Istri

Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan menekan perasaan, baik


bagi suami maupun bagi istri yang sedang dalam perkara li’an ini. Bahkan
dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka berada
dalam ketenangan berfikir dan perasaan kembali. Hal ini tidak lain adalah:
a. Karena bilangan sumpah li’an
b. Karena tempat paling mulia untuk berli’an. Kalau di Makkah diadakan di
anatara Hajar Aswad dan rukun Yamani. Di Madinah di dekat mimbar
Rasulullah SAW. Dan kalau di negeri lain diadakan di dalam Masjid Jami’
dekat mimbar.
c. Karena masa yang paling penting untuk berli’an, yaitu waktu Ashar sesudah
melakukan sholat.
d. Karena sumpah itu dilakukan dihadapan jamaah (manusia banyak),
sekurang-kurangnya berjumlah empat orang.

Di samping itu, pengaruh lain akibat li’an adalah terjadinya perceraian


antara suami istri. Bagi suami, maka istrinya menjadi haram untuk selamanya.
Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya
melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumkan tidak
termasuk keturunan suaminya.

Dari Ibnu Umar ra. Bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda kepada dua
orang (suami istri) yang telah tuduh menuduh, “perhitungan kalian berdua
terserah kepada Allah. Salah seorang di antara kamu berdua mesti ada yang
berdusta. Tak ada jalan lain bagi engkau untuk kembali kepadanya.

Dalam hadits lain, Nabi SAW. juga bersabda:

Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ia telah berkata, dalam hadits dua orang yang
tuduh menuduh (suami istri). Dan telah menghukum Rasulullah SAW. bahwa
tidak ada tempat kediaman yang hak baginya (istri) yang wajib atasnya
(suami), dan tidak pula makanan yang wajib diberikan suami, karena
keduanya telah bercerai, bukan karena talak, dan bukan pula karena suaminya
meninggal.
2. Akibat Li’an dari Segi Hukum

Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu
li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat
berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Gugur had atas istri sebagai had zina.
b. Wajjib had atas istr sebagai had zina.
c. Suami istri bercerai untuk selamanya.
d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri
istrinya.
e. Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya.

Sebaliknya si istri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya dengan


membela li’an suaminya dengan li’annya pula atas suaminya.
Dalam Komplikasi Hukum Islam1 Bab XVII dijelaskan tentang akibat
putusnya perkawinan sebagai berikut:
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putu karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan Mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang

1
Lihat Ibid, h. 149-152
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.
b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada
bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla
al-dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih
dalam iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima
pinangan dan tidak menikah dengan pria lain
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali
bila ia nusyuz.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla al-dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu yang
masih haid titetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian,
sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid, sedangkan pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena mnyusui, maka iddah tiga kali waktu
suci.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya
selama setahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid
kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154
Apabila istri tertalak raj’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b, ayat (5), dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh
suaminya, maka iddahnya berubah menjadi emapat bulan sepuluh hari terhitung
saat matinya bekas suami.

Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’, fasakh dan
li’an berlaku iddah talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu.
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih unruk mendapatkan hadhanah
dari ayah dan ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan
dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c)
dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak
turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal
96, 97.
Bagian Keempat
Mut’ah
Pasal 158
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul.
b. Perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal
158.

Pasal 160
Besarnya Mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

Bagian Kelima
Akibat Khulu’
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.

Bagian Keenam
Akibat Li’an
Pasal 162
Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak
yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suami terbebas dari
kewajiban memberi nafkah.

You might also like