Professional Documents
Culture Documents
A. AKIBAT TALAK
Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah) dari
mantan suaminya dalah mantan suaminya itu berhak itu berhak merujuk
kepadanya. (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Sabdanya pula:
Nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang memiliki (kesempatan untuk)
diruju’.
Bila salah seorang meninggal dalam masa iddah, yang lain menjadi ahli
warisnya, dan mantan suami tetap wajib memberi nafkah kepadanya selama masa
iddah.
Ruju’ adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa iddah. Oleh karena itu ia
tidak berhak membatalkannya sekalipun suami misalnya berkata: “tidak ada ruju
bagiku.” Namun sebenarnya ia tetap mempunyai hak rujuk. Sebab dalam firman
Allah disebutkan:
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu...
Karena ruju’ merupakan hak suami maka untuk merujuknya suami tidak perlu
saksi, dan kerelaan mantan istri serta wali. Namun menghadirkan saksi dalam ruju’
hukumnya sunnat, karena dikhawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal
rujuknya suami.
Ruju ‘ boleh dengan ucapan, seperti: “Saya ruju’ kamu”, dan dengan perbuatan,
misalnya: menyetubuhinya, merangsangnya, seperti mencium dan sentuhan-
sentuhan birahi. Imam Syafi’i berpendapat bahwa ruju’ hanya diperbolehkan
dengan ucapan terang dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan
persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam
Syafi’i bahwa talak itu memutuskan hubungan perkawinan.
Ibu Hazm berkata: “dengan menyetubuhinya tidak berarti merujuknya sebelum
kata ruju’ itu diucapkan dan menghadirkan saksi serta mantan istri diberi tahu
terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis”. Menurut Ibu Hazm, jika ia merujuk
tanpa saksi bukan disebut rujuk sebab Allah SWT berfirman:
Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi yang adil di antara kamu....
Disini Allah SWT tidak membedakan antara ruju’ talak dengan menghadirkan
saksi. Karena itu, tidak boleh memisahkan satu dari lainnya, seperti menalak tanpa
dua orang saksi laki-laki yang adil atau ruju’ tanpa adanya orang yang adil sebagai
saksi perbuatan seperti ini melanggar hukum Allah. Nabi Muhammad SAW
bersabda:
Perempuan yang menjalani iddah talak ba’in, jika tidak hamil, ia hanya berhak
memperoleh tempat tinggal (rumah), lain tidak. Tetapi jika ia hamil maka ia juga
berhak mendapat nafkah. Dalam Al-Quran ditegaskan:
Perempuan yang mejalani iddah wafat (karena ditinggal mati oleh suaminya), ia
tidak berhak sama sekali nafkah (dan tempat tinggal) dari mantan suaminya, karena
ia dan anak (yang dikandungannya) adalah pewaris yang berhak mendapat harta
pusaka dari almarhum suaminya itu. Rasulullah saw bersabda:
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak itu) sedang hamil maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak) untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
Jika anak tersebut sudah mengerti maka ia dipersilahkan memilih apakah mau
mengikuti ibunya atau bapaknya.
C. AKIBAT KHULU’
Dari Ibnu Umar ra. Bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda kepada dua
orang (suami istri) yang telah tuduh menuduh, “perhitungan kalian berdua
terserah kepada Allah. Salah seorang di antara kamu berdua mesti ada yang
berdusta. Tak ada jalan lain bagi engkau untuk kembali kepadanya.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ia telah berkata, dalam hadits dua orang yang
tuduh menuduh (suami istri). Dan telah menghukum Rasulullah SAW. bahwa
tidak ada tempat kediaman yang hak baginya (istri) yang wajib atasnya
(suami), dan tidak pula makanan yang wajib diberikan suami, karena
keduanya telah bercerai, bukan karena talak, dan bukan pula karena suaminya
meninggal.
2. Akibat Li’an dari Segi Hukum
Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu
li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat
berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Gugur had atas istri sebagai had zina.
b. Wajjib had atas istr sebagai had zina.
c. Suami istri bercerai untuk selamanya.
d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri
istrinya.
e. Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya.
1
Lihat Ibid, h. 149-152
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.
b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada
bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla
al-dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih
dalam iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima
pinangan dan tidak menikah dengan pria lain
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali
bila ia nusyuz.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla al-dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu yang
masih haid titetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian,
sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid, sedangkan pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena mnyusui, maka iddah tiga kali waktu
suci.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya
selama setahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid
kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154
Apabila istri tertalak raj’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b, ayat (5), dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh
suaminya, maka iddahnya berubah menjadi emapat bulan sepuluh hari terhitung
saat matinya bekas suami.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’, fasakh dan
li’an berlaku iddah talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu.
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih unruk mendapatkan hadhanah
dari ayah dan ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan
dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c)
dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak
turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal
96, 97.
Bagian Keempat
Mut’ah
Pasal 158
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul.
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal
158.
Pasal 160
Besarnya Mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Bagian Kelima
Akibat Khulu’
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.
Bagian Keenam
Akibat Li’an
Pasal 162
Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak
yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suami terbebas dari
kewajiban memberi nafkah.