You are on page 1of 28

BAGIAN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF,

DAN MANAJEMEN NYERI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFARAT 2

OBAT ANTIINFLAMASI NON STEROID (OAINS)


PADA PEDIATRI

Oleh:
dr. Maya Permatasari Suyata
Konsulen:
dr. Abd. Wahab, Sp.An

Oleh:

Maya Permatasari Suyata

C113212201

Konsulen:

Prof. Dr. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-KMN-KAP

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1
BIDANG STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

0
2016

OBAT ANTIINFLAMASI NON STEROID (OAINS)


PADA PEDIATRI

1. PENDAHULUAN

Pada pasien pediatri, efek samping opioid menjadi perhatian besar selama
periode pascabedah. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) telah terbukti
efektif menurunkan nyeri pascabedah, namun efek opioid-sparing masih
kontroversial. Obat anti inflamasi non steroid telah terbukti untuk mengurangi
nyeri pascabedah baik pada populasi dewasa dan anak. Efek kombinasi opioid dan
OAINS dalam mengurangi nyeri pasca bedah pada anak-anak masih belum
jelas.1,2
Penanganan nyeri pada anak sebenarnya tidaklah mudah, oleh karena
kesukaran anak untuk menjelaskan sensasi nyeri yang dialaminya. Anak tidak
dapat menggambarkan nyeri yang dialaminya dengan jelas, sehingga dibutuhkan
suatu alat bantu sederhana untuk menggambarkan sensasi nyeri yang dirasakan.
Tehnik penanganan yang universal dalam mengobati nyeri pada anak masih
kurang. Penanganan nyeri yang optimal jarang dilakukan pada anak-anak, dan jika
dilakukan hanya untuk mengurangi nyeri yang dirasakan. 1,2,3
Kontrol nyeri yang tidak adekuat membawa implikasi yang negatif pada
pasien anak. Tindakan pada neonatus dengan analgetik yang tidak adekuat akan
memperlambat respon dan persepsi dari pengalaman nyeri. Kontrol nyeri yang
tidak adekuat dalam tindakan onkologi membawa peningkatan hebat pada skor
nyeri tindakan berikutnya. Gangguan stres pasca trauma dapat terjadi setelah suatu
tindakan atau pengalaman medis yang tidak disertai dengan pemberian sedasi atau
kontrol nyeri yang tepat. 1,2,6

1
Berbagai cara dapat dilakukan untuk menilai nyeri, misalnya dengan
menggunakan alat ukur verbal, perilaku dan fisiologi. Berbagai teknik penanganan
yang lebih mudah sedang dikembangkan, sehingga memungkinkan dilakukan
penelitian terhadap penanganan klinik yang lebih baik. Suatu saat akan ditemukan
cara penanganan dengan analgesia yang efektif dan aman. 1,2,7

2. MEKANISME NYERI PADA PEDIATRIK

Pada orang dewasa, impuls nosiseptif di saraf-saraf perifer dibawa


sepanjang serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A delta yang bermielin
tipis, suatu mielinisasi yang sempurna sehingga dapat mengalami sensasi nyeri
sempurna pula. Pada bayi persarafan belum termielinisasi dengan sempurna, hal
ini tidak akan mengurangi fungsinya, tapi hanya memperlambat kecepatan
konduksi yang dipengaruhi oleh pendeknya jarak antar neuron. 3
Neonatus memiliki kematangan dari transmisi nyeri aferen perifer, spinal
dan supraspinal pada minggu 26 masa kehamilan. Bereaksi terhadap kerusakan
jaringan dengan perilaku spesifik dan dengan gejala autonom, humoral dan
metabolisme dari tekanan dan ketakutan, dan kemudian menghasilkan penurunan
jalur inhibitor dibanding jalur eksitator aferen. 3
Nyeri terjadi setelah adanya stimulasi pada ujung saraf tertentu atau
nosiseptor yang terdapat pada kulit dan jaringan musculoskeletal. Terdapat dua
macam serabut nosiseptif afferent yaitu serabut A yang sifatnya cepat dan serabut
C yang bersifat lambat. Mielinisasi yang tipis pada serabut delta A yang bersifat
cepat memiliki kecepatan konduksi 10-20 m/dtk sehingga hasilnya cepat dalam
menentukan ketajaman lokasi nyeri. Serabut C yang tidak bermielin memiliki
kecepatan konduksi yang lebih lambat yaitu 1 m/dtk dan menghasilkan nyeri yang
bersifat tumpul dan nyeri yang bersifat difus. Baik serabut A delta mapun serabut
C memasuki medula spinalis melalui akar dorsalis, berakhir di tanduk dorsalis.
Serabut yang berjalan ascendens sepanjang traktus spinothalamikus membawa
impuls ke korteks serebri melalui peptida neurotransmitter, substansi P. 3,8

2
Perjalanan nyeri dapat diubah di beberapa titik. Di tingkat spina lebar
diameter serabut A delta menyampaikan impuls dengan ambang rendah terhadap
adanya sentuhan, tekanan dan guncangan, akan menghambat perjalanan
nosiseptif. Hal ini menjelaskan bahwa efek analgesia dari pemijatan, stimulasi
saraf transkutaneus, bahkan terhadap suatu ungkapan yang mengatakan “rubbing
it better” yang kurang lebih artinya adalah lebih baik jika digosok. Nyeri juga
diubah di pusat melalui penghambatan serabut descendens, yang menjelaskan
mengapa manusia ketika berada dalam kondisi emosional, seperti pada saat
berkelahi, tidak merasakan nyeri. Pengubahan perjalanan nyeri oleh
penghambatan saraf merupakan pintu gerbang untuk memasuki teori tentang
nyeri. 3,9,10
Saat ini terdapat sedikit fakta yang pasti mengenai reseptor kutaneus,
perjalanan saraf, neurotransmitter dan sensasi korteks yang dibutuhkan untuk
mempersepsikan nyeri yang terjadi pada pertengahan masa kehamilan dan yang
sempurna terjadi pada bayi. Saluran nosiseptif saraf di medulla spinalis dan sistim
saraf pusat mengalami mielinisasi selama masa kehamilan trimester kedua dan
ketiga. 3
Suatu lembaga Internasional yang khusus meneliti nyeri menyebutkan
bahwa nyeri adalah rangsang sensorik yang tidak diinginkan dan pengalaman
emosional yang berhubungan dengan terjadinya atau berpotensi untuk terjadinya
suatu kerusakan jaringan yang digambarkan sesuai dengan bentuk kerusakan yang
terjadi. Nyeri biasanya bersifat subyektif. Setiap individu berusaha mencari kata
yang layak untuk mewakili menggambarkan pengalaman yang berhubungan
dengan cedera yang pernah dialami di awal hidupnya. 3,10
Hal ini masih menjadi perdebatan di beberapa kalangan dimana anak yang
belum mampu merasakan pengalaman nyeri tidak akan mampu mengamati
stimulus nosiseptif sebagaimana yang dirasakan oleh orang dewasa, dan apabila
telah berhenti maka tidak akan meninggalkan efek psikologis yang tersisa. Teori
yang bersifat eksperimental ini terbatas hanya pada persepsi nyeri anak yang tidak
mampu mebuktikan dimana lokasi terjadinya nyeri, tetapi anak-anak memberikan
respons perilaku yang beragam terhadap nyeri. Anak menunjukkan respons

3
terhadap terjadinya stimulus nyeri dengan meningkatnya denyut jantung,
meningkatnya tekanan darah, keringat pada telapak tangan, ekspresi pada wajah
dan menangis, sebagaimana suatu perubahan perilaku yang terjadi selama siklus
tidur berlangsung. Anand dkk., menunjukkan bahwa bayi yang mendapat operasi
dengan sedikit ataupun tanpa analgesia menunjukkan respons perasaan stres yang
khas diikuti dengan pelepasan katekolamin, hormon pertumbuhan, glukagon dan
kortikosteroid, dan menekan insulin, sehingga menyebabkan hiperglikemi yang
cukup lama dan meningatkan kadar laktat dan keton dalam darah. 3,11,12
Periode postnatal sangat mempengaruhi perkembangan spinal sensory
system. Komponen kunci perkembanagan tingkat molekuler meliputi peran peran
dari receptor channels signal transduction patway yang merupakan jalur transmisi
sensasi dengan pertumbuhan yang pesat dan mudah terpengaruh. 3,13

3. HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN PADA ANESTESI


PEDIATRI
Pada penanganan nyeri pada bayi, penting untuk dipahami bahwa
walaupun sebagian besar sistem organ sudah berkembang dengan baik pada saat
lahir, fungsi organ-organ tersebut belum sepenuhnya matur. Pada bulan-bulan
pertama kehidupan bayi preterm maupun aterm, sistem-sistem ini mengalami
proses maturasi dengan cepat, dan mencapai tingkat fungsional mendekati orang
dewasa sebelum usia 3 bulan. 1,2,4
Sebagian besar analgetik (termasuk opioid dan anestesi lokal)
dikonyugasikan di hepar. Neonatus, terutama bayi prematur belum mempunyai
sistem enzim yang matur untuk mengkonyugasikan obat-obat ini, termasuk proses
sulfasi, glukuronidasi, dan oksidasi. Beberapa sistem enzim hepar ini, termasuk
subtipe sitokrom P450, dan oksidasi multifungsi, akan menjadi matur dengan
kecepatan yang bervariasi, antara usia 1 sampai 6 bulan. 2,3,5
Laju filtrasi glomerulus masih rendah pada minggu pertama kehidupan,
terutama pada bayi prematur, namun secara umum cukup matur untuk
mengeliminasi obat dan metabolit pada usia 2 minggu. Fungsi ginjal pada anak
mencapai kondisi normal pada umur 6 bulan, tetapi ada beberapa anak yang

4
tertunda bahkan sampai umur 2 tahun. Bayi prematur sering memiliki ginjal yang
tidak normal, termasuk penurunan kreatinin, retensi natrium, eksresi glukosa
berlebihan, dan reabsorpsi bikarbonat yang tidak normal. Oleh karena itu, kondisi
ini membutuhkan pemberian cairan yang sangat tepat.1,2
Neonatus kadang mengalami refluks gastroesofagus lebih sering secara
relatif. Oleh karena itu, sebaiknya menghindari obat-obat yang dikonjugasi di hati
dan molekul besar lainnya pada awal kehidupan. 1,2
Persentase berat badan neonatus sebagian besar terdiri dari air dan
persentase lemak lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang lebih tua.
Karenanya, obat-obat yang larut air mempunyai volume distribusi yang lebih
besar. 1,2
Neonatus mempunyai konsentrasi plasma albumin dan alfa-1-acid-glycoprotein
yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa. Pada
beberapa obat, hal ini dapat menyebabkan tingginya konsentrasi obat-obat yang
tidak terikat (aktif), dan karenanya menimbulkan efek obat yang lebih kuat dan
toksisitas yang lebih tinggi. 1,2

4. PENILAIAN NYERI PADA ANAK


Anak-anak mempunyai pengalaman yang terbatas dan mungkin tidak
dapat mengungkapkan ketidaknyamanan yang mereka alami dengan kata-kata,
maka terdapat kesulitan dalam menilai seberapa parah nyeri yang diderita oleh
seorang anak. Faktor-faktor kognitif, perilaku, emosional, dan psikososial
(misalnya, cara didik dalam keluarga, budaya) dan faktor-faktor lain (misalnya,
jenis kelamin) mempunyai peranan dalam nyeri yang dialami oleh anak. Anak-
anak dan remaja menanggapi pengalaman nyeri secara berbeda pada tahap
perkembangan yang berbeda. 1,14
Skala nyeri observasional telah divalidasi untuk neonatus dan bayi untuk
menilai nyeri pada mereka yang tidak dapat mengungkapkan rasa nyerinya. Skala
ini, walaupun sangat mendasar, juga menunjukkan respon terhadap gangguan
yang disebabkan oleh hal-hal lain selain nyeri, seperti rasa lapar, ketakutan atau
kecemasan (misalnya, karena perpisahan dengan orang tua). Skala sederhana yang

5
dinilai oleh penderita sendiri menggunakan ekspresi wajah atau benda-benda kecil
untuk menggambarkan besarnya nyeri (misalnya, Poker Chip Tool) dibuat untuk
membantu anak-anak usia prasekolah untuk menjelaskan intensitas nyeri yang
mereka alami. 1,15
4.1 Skala Nyeri Observasional untuk Neonatus dan Bayi
Skala penilaian nyeri telah divalidasi pada penelitian-penelitian pada
neonatus preterm dan aterm dan telah membantu pembuatan skala observasional
serupa untuk anak-anak batita dan anak-anak yang cacat mental. Sebagian besar
dari skala ini menggabungkan parameter fisiologis yang mudah didapatkan seperti
frekuensi jantung dan saturasi oksigen, dengan ekspresi wajah seperti kerutan alis,
mengatupkan mata dengan kuat, lipatan nasolabial dan gerakan tubuh untuk
menilai derajat ketidaknyamanan. Skala yang paling sering digunakan pada
neonatus adalah Premature Infant Pain Profile (PIPP) dan CRIES Postoperative
Pain Scales. FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolability) Scale adalah skala
perilaku yang telah divalidasi untuk menilai nyeri postoperatif pada anak-anak
berusia antara 2 bulan sampai 7 tahun. Setelah pengamatan pada seorang anak
selama satu sampai lima menit, skor nyeri didapatkan dengan melihat gambaran
perilaku dan memilih angka yang paling mendekati perilaku yang didapatkan pada
anak. 1,3

Gambar 1. Premature Infant Pain Profile (PIPP)

6
Gambar 2. FLACC Scale

4.2 Skala Pengukuran Mandiri untuk Anak-anak


Mulai kira-kira usia 18 bulan, anak-anak sudah diajarkan kata-kata yang
menggambarkan nyeri, dan pada usia 3-4 tahun anak-anak dapat mengungkapkan
nyeri, menunjukkan lokasi nyeri, dan menjelaskan sifat-sifat nyeri. Skala
pengukuran mandiri dibuat untuk anak-anak kecil, misalnya Poker Chip Scale,
Wong-Baker Faces Scale, dan Oucher Scale. Oucher Scale yang terdapat dalam
beberapa versi etnik memungkinkan anak-anak untuk mengukur intensitas nyeri
mereka dengan membandingkan rasa nyeri mereka dengan foto dari wajah anak
lain yang menggambarkan tingkatan nyeri. Pada Poker Chip Scale, anak diminta
untuk mengukur rasa nyerinya dengan menggunakan jumlah “kepingan nyeri”,
semakin banyak kepingan poker berarti semakin berat nyeri yang dirasakan.
Sketsa tubuh memungkinkan anak menunjukkan lokasi nyerinya. Karena anak
usia sekolah sudah belajar tentang angka dan warna, mereka dapat menggunakan
skala yang sama dengan orang dewasa (yaitu Visual Analog Scale, Numeric
Rating Scale) tanpa mengalami kesulitan. 3,16

7
Gambar 3. Wong Baker dan Numeric Rating Scale

Menafsirkan skala nyeri kadang-kadang sulit pada anak-anak kecil, karena


penilaian anak didasarkan pada nyeri yang pernah dialami sebelumnya. Jadi, bila
anak-anak kecil menunjuk skala tertinggi pada skala nyeri untuk mengungkapkan
nyerinya, maka mereka menunjukkan beratnya nyeri relatif terhadap nyeri yang
pernah dialaminya sebelumnya. Bagi anak-anak kecil, suatu trauma atau prosedur
dapat merupakan nyeri terhebat yang pernah mereka alami, sedangkan pada anak-
anak yang lebih besar dan orang dewasa, kadar nyeri yang sama dapat dirasakan
tidak terlalu berat, karena mereka sudah pernah merasakan nyeri yang lebih hebat
sebelumnya. 3,17

5. OBAT ANTIINFLAMASI NON STEROID (OAINS)

Klasifikasi kimiawi OAINS tidak memiliki banyak manfaat klinik, karena


ada OAINS dari subgolongan yang sama tetapi memiliki sifat yang berbeda,
sebaliknya ada OAINS yang berbeda subgolongan tetapi memiliki sifat yang
serupa. Klasifikasi yang lebih bermanfaat untuk diterapkan di klinik ialah
berdasarkan selektivitasnya terhadap siklooksigenase (COX). 3,15,16

8
5.1 Mekanisme kerja OAINS
OAINS memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat sintetase dari
prostaglandin H2, yang juga dikenal dengan cyclooxygenase (COX), enzim yang
diperlukan untuk sintesis prostaglandin dari membran sel. Efek antiinflamasi dari
OAINS berperan dalam analgesia. Kerusakan sel memicu pelepasan enzim
lisosomal dari leukosit yang melepaskan asam arakidonat (AA) dari membran sel.
AA diubah menjadi prostaglandin (PG), prostasiklin, tromboksan, leukotrin,
lipoksin, dan lainnya. Beberapa prostaglandin, khususnya PGE2 dan PGF2,
berperan penting dalam inflamasi dan sinsitisasi nosiseptor yang dipersarafi oleh
serabut saraf A-delta dan C, tetapi prostaglandin diperlukan untuk homeostasis.
OAINS menghambat COX, yang berperan dalam perubahan AA menjadi PG,
prostasiklin dan tromboksan. COX-inhibitor mengurangi inflamasi dan nyeri,
tetapi juga mengganggu sistem homeostasis lainnya seperti aliran darah ginjal dan
proteksi mukosa lambung. 3,18,19

Gambar 4. Membran sel yang menggambarkan konversi fosfolipid menjadi asam arakidonat dan
kemudian ke prostaglandin, tromboksan, prostacyclins di bawah pengaruh enzim COX. Juga
menunjukkan G-protein dan endorphin / morfin reseptor dalam matriks ekstraselular dan subunit
gamma intraseluler siap untuk mengaktifkan saluran kalium GIRK.

Walaupun OAINS memiliki efek analgetik dengan menghambat kaskade


inflamasi di sekitar cedera jaringan, tetapi juga memiliki efek dalam mengubah
kerja dari sistem saraf pusat. Contohnya, aspirin atau ibuprofen intratekal memicu

9
hiperalgesia yang disebabkan oleh N-methyl-D-Aspartate (NMDA) dan substansi
P. Sebagai tambahan, OAINS 10 sampai 100 kali lebih poten ketika diberikan
intratekal dibandingkan intravena. 3,19,20
Dua isoform dari COX (COX-1 dan COX-2) terdapat dalam beberapa
jaringan. COX-2 lebih sedikit, tetapi dipicu jika terjadi inflamasi dan berespon
terhadap inflamasi. COX-1 tidak berperan penting dalam proses inflamasi, tetapi
pada fungsi homestasis. Contohnya, PGE1 yang diproduksi oleh enzim COX-1 di
lambung memberikan efek proteksi terhadap epitel lambung yaitu sekresi dari
mukus dan bikarbonat untuk menurunkan tingkat keasaman lambung. Selain itu,
PG dapat mengurangi permeabilitas dari epitel dan juga difusi dari asam.
Walaupun COX-2 tidak terdapat pada kebanyakan sel sampai diinduksi oleh
inflamasi, enzim ini juga memiliki fungsi homeostasis pada ginjal dan sistem
kardiovaskuler, yang jika terdapat pada sel endotel akan menhasilkan PGI2 yang
merupakan vasodilator poten dan menghambat agregasi trombosit. 3,21
OAINS mengganggu kepatuhan sel neutrofil-endotel dengan mengurangi
ketersediaan L-selektin, sehingga menghapus langkah penting dalam migrasi
granulosit ke daerah inflamasi. OAINS menghambat transkripsi nuclear factor
kappa B (NF-kB) in vitro, sehingga menurunkan sintetase nitric oxide. Sekali
diinduksi oleh sitokin dan mediator proinflamasi lainnya, nitric oxide sintetase
akan memproduksi nitric oxide dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan
vasodilatasi, sitotoksik, dan meningkatan permeabilitas pembuluh darah. 3,22

Gambar 5. Klasifikasi dan Mekanisme Kerja OAINS

10
5.2 Asetaminofen
N-acetyl-p-aminophemol dikenal dengan asetaminofen di Amerika Serikat
dan dengan nama parasetamol di negara lainnya. Asetaminofen adalah hasil
metabolisme aktif dari fenasetin, yang berasal dari tar. Asetaminofen menghambat
enzim COX-1 dan COX-2 secara tidak sempurna, dan memiliki efek antiinflamasi
yang minimal. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa adanya enzim
COX-3 di otak dihambat oleh asetaminofen atau efek dari obat ini mengaktifkan
reseptor kanabinoid, tetapi mekanisme pasti dari obat ini belum diketahui. 16,
Asetaminofen adalah antipiretik dan efek analgetiknya sama dengan
OAINS. Aseteminofen memiliki efek samping minimal pada ulkus peptikum dan
fungsi ginjal, tetapi dapat menyebabkan gangguan fungsi hati pada dosis yang
tinggi. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati, dosis obat ini harus diturunkan
2000mg per hari. Untuk pasien tanpa gangguan hati, dosis maksimal adalah
4000mg per hari. 16
Oleh karena kurangnya efek samping, maka asetaminofen sering menjadi
obat analgetik pilihan. Obat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan
OIANS dan opioid. 16,23

Gambar 6. Dosis Asetaminofen

11
5.3 Metamizole
Metamizole (dipiron) adalah analgetik yang sangat sering digunakan dan
termasuk obat non-opioid. Pada beberapa sumber, obat ini masih kadang
dimasukkan sebagai salah satu bagian dari OAINS. Terlepas dari efek analgesik,
obat ini adalah agen antipiretik dan spasmolitik. Mekanisme yang berperan untuk
efek analgesia sangat rumit, dan kemungkinan besar bertumpu pada
penghambatan siklooksigenase-3 dan aktivasi pusat dari sistem opioidergik dan
sistem cannabinoid. 24
Metamizol dapat memblokir jalur PG-dependent dan PG-independen
demam yang disebabkan oleh lipopolisakarida (LPS), yang menunjukkan bahwa
obat ini memiliki profil tindakan antipiretik jelas berbeda dari NSAID.
Mekanisme yang bertanggung jawab untuk efek spasmolitik dari metamizol
berkaitan dengan penghambatan intraseluler Ca2+ sebagai akibat dari
berkurangnya sintesis dari inositol fosfat. 24
Metamizol ini sebagian besar diterapkan dalam terapi nyeri etiologi yang
berbeda, kondisi kejang, terutama yang mempengaruhi saluran pencernaan, dan
demam refrakter pengobatan lain. Jika diberikan sebagai obat adjuvant pada
pemberian morfin, metamizol menghasilkan superaditif, efek antinosiseptif.
Metamizol adalah sediaan farmasi yang relatif aman meskipun tidak benar-benar
bebas dari efek yang tidak diinginkan. Di antara efek samping ini, yang paling
serius yang menimbulkan paling kontroversi adalah efek mielotoksik. Tampaknya
di masa lalu risiko agranulositosis yang diinduksi oleh metamizol adalah
berlebihan. Meskipun bukti yang menunjukkan tidak ada risiko efek teratogenik
dan embriotoksik, obat ini tidak boleh diberikan kepada wanita hamil, meskipun
itu diperbolehkan untuk diberikan kepada hewan hamil dan menyusui. 24

5.4 Aspirin
Ekstrak willow bark sudah digunakan ribuan tahun oleh Cina, Yunani,
Amerika, dan negara lainnya untuk menurunkan demam dan menghilangkan gatal.
Nama latinnya adalah salix alba, atau salisilat. Aspirin memiliki ekstrak yang
serupa dengan willow bark. 25,26

12
Berbeda dengan OAINS, aspirin berikatan kuat dengan COX. Aspirin akan
terus menghambat COX sampai COX yang baru disintesis dalam tubuh. Pada sel,
hal ini hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk membersihkan aspirin
dalam aliran darah dan produksi COX akan menyebabkan berlanjutnya inflamasi
atau proses homestasis yang terganggu oleh karena adanya aspirin. Trombosit
yang tidak ternukleasi tidak dapat mensistesis COX yang baru melainkan
trombosit yang baru harus diproduksi untuk melawan kerja aspirin dalam
menghambat agregasi trombosit. Hal ini menjelaskan mengapa aspirin dapat
memberikan efek pada fungsi trombosit sampai satu minggu walaupun aspirin
sudah bersih dalam aliran darah dalam hitungan beberapa jam saja. 25,26
Untuk efek analgetik, aspirin menurunkan risiko strok dan infark miokard
pada pasien degan risiko kardiovaskuler. Dosis 75 – 160 mg sudah cukup.
Penggunaan aspirin jangka panjang dapat menurunkan kejadian kanker usus
sampai 50%. Aspirin berhubungan dengan sindrom Reyes dan sebaiknya tidak
diberikan kepada anak kurang dari 18 tahun terutama jika sering menderita
demam. 26

5.5 Golongan Obat OAINS


1. Turunan Para Aminofenol (Paracetamol)
2. Turunan Salisilat (Aspirin)
3. Turunan Pirazolon (fenilbutazon)
4. Turunan asam fenil propionat (Ibuprofen)
5. Turunan indol (Indometasin )
6. Turunan asam antralinat (asam mefenamat, diklofenak)
7. Turunan oksikam (Piroksikam)
8. Di samping itu juga terdapat obat – obat OAINS untuk penyakit pirai
(gout) seperti, kolkisin, allopurinol, dan lain – lain.

Golongan Para Aminofenol


Turunan para aminofenol terdiri dari asetaminofen, fenasetin, dan
asetamilid. Turunan para aminofenol ini mempnyai efek analgesik dan anti piretik
sama kuat dengan asetosal khususnnya asetaminofen dan fenasetin. Tapi efek anti

13
inflamasinya sangat lemah. Obat ini dianggap paling aman karena tidak
menyebabkan iritasi lambung yang hebat jika di konsumsi. 25,26
Di Indonesia pemakaian paracetamol semakin banyak digunakan sebagai
obat analgesik dan antipiretik. Penggunaannya menggantikan salisilat.
Parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan
nerfopati analgesik. Akibat dosis toksik dari parasetamol dapat mengakibatkan
nekrosis hati, nekrosis tubuli renalis serta koma hipoglikemik. 25,26

Golongan Salisilat
Asam asetil salisilat atau asetosal adalah golongan yang banyak digunakan
oleh masyarakat. Salisilat dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang,
seperti sakit kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi. Obat ini dapat menghilangkan rasa
nyeri secara perifer melaluI penghambatan pembentukan prostaglandin di tempat
inflamasi. 25,26
Obat golongan salisilat ini juga mampu menurunkan suhu tubuh dengan
cepat dan efektif. Efek penurunan suhu tubuh yang dilakukan obat ini terjadi
karena adanya penghambatan pembentukan prostaglandin di hipotalamus.
Penurunan panas ini juga didukung dengan mengalirnya aliran darah ke perifer
dan pembentukan keringat. Salilsilat bermanfaat untuk mengobati nyeri yang
tidak spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, mialgia,dan neuralgia.
25,26

Golongan Pirazolon
Turunan pirazolon terdiri atas fenilbutazon, dipiron, antipirin, apazon,
aminopirin, dan oksifenbutazon. Sekarang ini yang sering dipakai adalah
fenilbutazon, yang lain jarang dipakai. Saat ini dipiron hanya digunakan sebagai
analgesic-antipiretik karena efek anti inflamasi nya lemah. Antipirin dan
aminopirin tidak digunakan lagi karena efek toksiknya melebihi dipiron.
Dikarenakan keamanan obat, sebaiknya dipiron hanya diberikan bila dibutuhkan
analgesik-antipiretik suntikan. 25,26

14
Obat Anti Rematik dan OAINS lainnya
Golongan obat ini meliputi indometasin, ibu profen, asam mefenamat,
piroksikam. 25,26
1. Indometasin
Ankilosis, gout, OA, spondylitis, rheumatoid arthritis, reumatik, poli
mialgia, gangguang muskuloskelet akut termasuk bursitis, tendinitis,
tenosinovitis, dan sinovitis. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik obat ini
dibatasi penggunaannya. Indometasi mempunyai efek anti inflamasi, analgesik-
antipiretik. Karena toksisitasnya indometasin tidak dianjurkan diberikan kepada
anak, wanita hamil, asien dengan gangguan psikiatri, dan pasien dengan penyakit
lambung. 25,26

2. Ibuprofen
Merupakan derivat asam fenil propionat, yang diperkenalkan pertama kali
dibanyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti inflamasi yang tidak
terlalu kuat. Indikasi Ibuprofen antara lain reumatik arthtritis, mengurangi rasa
nyeri, kekakuan sendi, dan pembengkakan. Efek samping terhadap saluran cerna
lebih ringan. Ibuprofen tidak dianjurkan diberikan pada ibu hamil dan menyusui.
Di Indonesia Ibuprofen dijual bebas. 25,26

3. Asam Mefenamat
Mengurangi rasa nyeri/sakit dari ringan sampai sedang pada sakit gigi,
sakit telinga, nyeri otot, dismenore, nyeri setelah melahirkan, dan nyeri trauma.
Tetapi kurang efektif dibandingkan aspirin. Pada orang usia lanjut efek samping
diare hebat lebih sering dilaporkan. Pada wanita hamil asam mefenamat tidak
dianjurkan digunakan selama 7 hari. 25,26

4. Piroksikam
Indikasi dari piroksikam yaitu rheumatoid arthritis dan osteoarthritis
sebagai anti inflamasi dan analgetik. Piroksikam berfungsi hanya untuk penyakit
inflamasi sendi. Pikroksikam tidak dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak

15
lambung, dan pasien yang sedang minum antikoagulan. Sejak Juni 2007 karena
efek samping serius di saluran cerna lambung dan reaksi kulit yang hebat, oleh
EMEA (badan POM se Eropa) dan pabrik penemunya, piroksikam hanya
dianjurkan penggunaannya oleh para spesialis rematologis, inipun digunakan
sebagai pengobatan lini kedua. 25,26

5.5 Efek Samping


Pada tahun 1997 di Amerika Serikat, data menunjukkan banyak kematian
yang diakibatkan oleh komplikasi penggunaan OAINS yang tidak selektif pada
sistem gastrointestinal. Oleh karena adanya COX-2 yang induksi oleh inflamasi,
banyak penelitian tentang COX-2 inhibitor yang selektif dan dipercaya kerjanya
hampir sama dengan yang non-selektif tanpa efek samping pada sistem
gastrointerstinal yang banyak disebabkan oleh COX-1 inhibitor. Obat ini
walaupun tidak memiliki efek samping pada GI dan agregasi trombosit tetapi
tetap efektif sebagai analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi. 11,12,20
Gislason dkk mengidentifikasi adanya 107.092 pasien yang mengalami
gagal jantung setelah penggunaan COX-2 inhibitor pada tahun 1995-2004. COX-2
berfungsi untuk menghasilkan PGI2 pada endotel. Oleh karena itu, risiko
terjadinya gagal jantung menjadi lebih besar karena adanya vasodilatasi dan
terhambatnya agregasi trombosit. COX-1 dan COX-2 sangat penting dalam
regulasi aliran darah ginjal, natriuretik, dan tekanan darah sistemik. COX-2
inhibitor sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko penyakit jantung koroner,
gagal jantung kongestif, atau pasien dengan hiperkoagulopati seperti defisiensi
protein C atau S. COX-inhibitor yang tidak selektif sebaiknya dihindari pada
pasien dengan risiko ulkus peptikum. 25,26
Efek samping lain dari OAINS adanya kemerahan, alergi, pruritus,
gangguan fungsi hati, neutropenia, tinnitus, hipertensi, dispepsia, retensi cairan,
dan anemia aplastik. 12

5. PENGGUNAAN OAINS PADA PEDIATRI

16
Berdasarkan panduan penatalaksanaan nyeri pada pediatri yang
dikeluarkan oleh WHO, yang paling aman digunakan pada pasien pediatri adalah
paracetamol dan ibuprofen. Keduanya adalah golongan OAINS tetapi hati-hati
pada kontraindikasi kedua obat tersebut.
Semua jenis OAINS memberikan efek analgetik yang hampir sama, oleh
karena itu pemilihannya harus disesuaikan dengan efek samping, cara pemberian
dan harga. Aspilet menghambat trombosit dalam waktu yang lama sehingga
meningkatkan risiko perdarahan, terutama pada pasien yang menggunakan
antikoagulan atau dengan trombositopenia. Ketorolac dapat dikonsumsi melalui
oral atau pemerian IM dan IV, tetapi dapat menyebabkan gagal ginjal dan ulkus
peptikum sehingga penggunaannya maksimal 5 hari. Ibuprofen juga dapat
diberikan per oral atau IV, sediaan topikal juga sudah banyak digunakan. 12,14
OAINS meningkatkan risiko erosi pada GI, ulkus, dan perdarahan. Hal ini
dapat dicegah dengan konsumsi omeprazole, golongan PPI atau misoprostol,
prostaglandin yang diperlukan untuk homeostasis mukosa lambung. Diklofenac
dan meloxicam memiliki efek yang lebih besar dalam menghambat COX-2
dibandingkan OAINS non-selektif lainnya, dan lebih jarang menyebabkan ulkus
peptikum. COX-2 inhibitor selektif seperti Celebrex, diclofenac dan meloxicam
meningkatkan risiko gagal jantung kongestif atau infark miokard, sehingga
penggunaanya sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskuler. 14,26
Obat golongan opioid terutama morfin, dianggap paling kuat untuk
menghilangkan nyeri pascabedah dari nyeri sedang sampai nyeri berat. Namun,
meta-analisis kualitatif menunjukkan kurangnya keunggulan morfin,
dibandingkan dengan obat non opioid atau analgesia regional, untuk
menghilangkan rasa nyeri pada anak-anak.1 Berdasarkan penelitian ini, nyeri
pascabedah pada anak-anak paling baik dikelola dengan menggunakan balance
analgesia. Efek opioid-sparing OAINS dan potensinya dalam mengurangi efek
samping opioid serta mengurangi nyeri pascabedah masih kontroversial. Peneliti
meninjau bukti tentang isu-isu ini secara kuantitatif. 18,19,20

17
Pada penelitian terbaru ditemukan plastisitas sinaptik aktif yang
bergantung pada usia dalam kaitannya dengan hiperalgesia setelah terjadi cidera
saraf perifer pada tikus. Selain itu, pengalaman nyeri pada masa bayi menginduksi
sensitisasi jangka panjang terhadap pengalaman nyeri yang akan datang. Hal ini
menunjukkan adanya potensi yang tinggi terjadinya hiperalgesia pada anak-anak
akibat luka operasi. Selain itu, opioid telah terbukti menginduksi hiperalgesia pada
orang dewasa dan diduga kuat menginduksi fenomena yang sama pada bayi dan
anak-anak. Strategi pencegahan hiperalgesia yang digunakan pada orang dewasa
seperti pemberian priming dose opioid atau pemberian ketamin, terbukti gagal
menurunkan konsumsi opioid pada populasi anak-anak. Sehingga,
mempromosikan penggunaan OAINS untuk mengurangi konsumsi opioid
perioperatif mungkin dapat mempengaruhi perkembangan hiperalgesia
pascabedah dengan lebih baik. 18,19,20
Sebuah meta-analisis menunjukkan tidak adanya efektivitas ketamin
terhadap efek opioid-sparing selama 24 jam pascabedah pada anak-anak. Para
peneliti berhipotesis bahwa hasil ini diakibatkan dari dosis ketamin yang tidak
memadai. Demikian pula, pada sebuah penelitian farmakokinetik ketorolac
menunjukkan perbedaan bersihan dan eliminasi paruh-waktu, yang yang lebih
besar dalam populasi anak-anak dibandingkan dengan dewasa. Temuan ini
menyarankan untuk memperpendek interval pemberian obat untuk
mempertahankan efek analgesik sistemik. Penelitian yang termasuk dalam analisis
ini menggunakan pemberian obat dengan selang waktu 6 sampai 8 jam, seperti
yang divalidasi pada orang dewasa. Namun, meskipun pemberian ini tidak
memadai, OAINS tetap efisien. Selain itu, sebagian besar penelitian yang
menggunakan OAINS selama pembedahan menunjukkan peningkatan efek
opioid-sparing yang kuat. 19,20,26

18
Gambar 11 Dosis dan posologi dari OAINS

Penggunaan OAINS selektif untuk manajemen nyeri pascabedah pada


anak-anak jarang dilakukan. Selain itu, adanya kontroversi terbaru mengenai
keterlibatan obat ini dengan penyakit jantung iskemik pada populasi dewasa
membatasi penggunaan obat ini. 25,26,27
Pada gambar 11 diperlihatkan bahwa penggunaan OAINS yang paling
aman adalah ibuprofen dengan batasan umur minimal adalah 6 bulan. Menurut
Forrest dkk ketorolac tidak direkomendasikan untuk anak di bawah 1 tahun
dengan dosis yang dianjurkan 0.5mg/kgBB dan dosis maksimum 90mg, tetapi ada
juga yang mengatakan obat ini aman digunakan pada usia >12tahun. Paracetamol
aman untuk digunakan mulai dari usia preterm dengan dosis 15mg/kgBB/iv dan
dosis maksimal 60mg/kgBB/iv. Metamizol tidak diindikasikan untuk anak
dibawah 3 bulan atau dengan BB dibawah 5kg, dan untuk intravena harus diatas 1
tahun. Usia 3bulan sampai 1 tahun diijinkan per oral. 27,28,29
Dengan tidak adanya kontraindikasi, penggunaan OAINS harus
dipertimbangkan baik untuk mengelola nyeri pascabedah dan untuk mengurangi
efek samping serta konsumsi opioid pada anak-anak. Namun, hasil ini harus
ditafsirkan dengan hati-hati sehubungan dengan adanya kemungkinan publikasi
bias. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mendefinisikan penggunaan
OAINS secara lebih tepat. 25,26

19
Tabel 2. (Lanjutan)
Analgesia On- Analgesia 24 Analgesia On- Jalur
Demand di jam
Pascabedah Demand 24 jam OAINS Waktu pemberian
PACU
PCA fentanyl PCA fentanyl Ketoprofen 2 mg/kg Pemberia
IV Pascabedah, tiap 6
Meperidine Meperidine Ketorolac 0.75 mg/kg IM jam
Induksi

Pasca induksi, tiap 8


IV morphine IV morphine Ketoprofen 2 mg/kg IV
jam
Acetaminophen
Fentanyl / Rofecoxib 1 mg/kg OR Pra induksi
codeine
IV morphine IM morphine Ibuprofen 10-13 IR Induksi, tiap 6 jam
mg/kg
IV fentanyl Ketoprofen 0.3 mg/kg IV Pasca induksi
IV fentanyl Ketoprofen 1 mg/kg IV Pasca induksi
IV fentanyl Ketoprofen 3 mg/kg IV Pasca induksi
IV fentanyl Ketoprofen 1 mg/kg + IV Pasca induksi +
0.5 mg/kg/h 2 h kontinyu
Selama 2 jam
IV fentanyl Ketoprofen 25 mg IR Pasca induksi
IV fentanyl Ketoprofen 25 mg IV Pasca induksi
Oxycodone IV or Oxycodone IV or Ketoprofen 0.3 mg/kg IV Pasca induksi +
IM IM + 3 mg/kg 24 h kontinyu
Selama 24 jam
Oxycodone IV or Oxycodone IV or Ketoprofen 0.3 mg/kg IV PACU + kontinyu
IM IM + 3 mg/kg 24 h Selama 24 jam
Fentanyl IV Naproxen 10 mg/kg OR Pra induksi
Fentanyl IV Naproxen 10 mg/kg OR Pra induksi
Morphine Paracetamol Ketorolac 0.5 mg/kg IM Pra induksi
Indomethacin 0.35 Pascabedah +
IV morphine IM morphine mg/ IV kontinyu
kg + 0.07 mg/kg/h Selama 24 jam
IV morphine or Oxycodone Ibuprofen 10 mg/ IR Pasca induksi +tiap 4
oxycodo kg x 4/d jam
ne
PCA Diclofenac 1 mg/kg/8
morphin PCA morphine h IR PACU + tiap 8 jam
24 h
PCA Paracetamol PCA morphine Diclofenac 1 mg/kg/8 IR PACU + tiap 8 jam
morphin h 24 h
PCA Paracetamol PCA morphine Ketorolac 0.5 mg/kg IV Pascabedah
morphin
IV fentanyl Ketoprofen 1 mg/kg + IV Pasca induksi +
0.5 mg/kg/h 2 h kontinyu
Selama 2 jam
Diclofenac 1 mg/kg IR Pasca induksi
IV fentanyl + Acetaminophen Ketorolac 1 mg/kg IV Pasca induksi
paracetamol
IV fentanyl + Acetaminophen Ketorolac 1 mg/kg IV Pascabedah
paracetamol
Morphin Paracetamol + Ketoprofen 1 mg/kg IV Pasca bedah, saat 8
e PCA morphine jamdan 16 jam
Morphine PCA Rofecoxib 1 mg/kg OR Pra induksi
Morphin Penutupan luka, 12
Morphine PCA Indomethacin 2 mg/kg IR
e PCA dan 24 jam

IV fentanyl IV fentanyl Ketorolac 1 mg/kg IM Pascabedah


IV fentanyl PCA morphine Ketorolac 1 mg/kg IV Pascabedah, tiap 6
jam
IV fentanyl Ketoprofen 1 mg/kg OR Pra induksi
IV fentanyl Ketoprofen 1 mg/kg IV Pasca induksi

IV fentanyl Ketoprofen 1 mg/kg IV Pasca induksi


IV fentanyl Ketoprofen 1 mg/kg IM Pasca induksi
Morphin
e PCA Morphine PCA Ketorolac 0.8 mg/kg IV Pascabedah
IV Ibuprofen 15 mg/kg IR Pasca induksi
meperidi
IV Ibuprofen 15 mg/kg IR Pasca induksi
meperidi
Pethidin Paracetamol dan Diclofenac 1 mg/kg IR Induksi
e dan
paracetamol pethidine

Gambar 12. Karakteristik pemberian analgetik pasca bedah dan NSAIDs perioperatif

20
Gambar 13. Nama, Dosis, Harga dan Efek Samping OAINS

6. RINGKASAN
Penanganan nyeri pada anak sebenarnya tidaklah mudah, oleh karena
kesukaran anak untuk menjelaskan sensasi nyeri yang dialaminya. Anak tidak
dapat menggambarkan nyeri yang dialaminya dengan jelas, sehingga dibutuhkan
suatu alat bantu sederhana untuk menggambarkan sensasi nyeri yang dirasakan.
Tehnik penanganan yang universal dalam mengobati nyeri pada anak masih
kurang. Penanganan nyeri yang optimal jarang dilakukan pada anak-anak, dan jika
dilakukan hanya untuk mengurangi nyeri yang dirasakan.

21
Skala yang paling sering digunakan pada neonatus adalah Premature
Infant Pain Profile (PIPP) dan CRIES Postoperative Pain Scales. FLACC (Face,
Legs, Activity, Cry, Consolability) Scale adalah skala perilaku yang telah
divalidasi untuk menilai nyeri postoperatif pada anak-anak berusia antara 2 bulan
sampai 7 tahun. Setelah pengamatan pada seorang anak selama satu sampai lima
menit, skor nyeri didapatkan dengan melihat gambaran perilaku dan memilih
angka yang paling mendekati perilaku yang didapatkan pada anak.
Mulai kira-kira usia 18 bulan, anak-anak sudah diajarkan kata-kata yang
menggambarkan nyeri, dan pada usia 3-4 tahun anak-anak dapat mengungkapkan
nyeri, menunjukkan lokasi nyeri, dan menjelaskan sifat-sifat nyeri. Skala
pengukuran mandiri dibuat untuk anak-anak kecil, misalnya Poker Chip Scale,
Wong-Baker Faces Scale, dan Oucher Scale. Oucher Scale yang terdapat dalam
beberapa versi etnik memungkinkan anak-anak untuk mengukur intensitas nyeri
mereka dengan membandingkan rasa nyeri mereka dengan foto dari wajah anak
lain yang menggambarkan tingkatan nyeri. Pada Poker Chip Scale, anak diminta
untuk mengukur rasa nyerinya dengan menggunakan jumlah “kepingan nyeri”,
semakin banyak kepingan poker berarti semakin berat nyeri yang dirasakan.
Sketsa tubuh memungkinkan anak menunjukkan lokasi nyerinya. Karena anak
usia sekolah sudah belajar tentang angka dan warna, mereka dapat menggunakan
skala yang sama dengan orang dewasa (yaitu Visual Analog Scale, Numeric
Rating Scale) tanpa mengalami kesulitan.
OAINS memberikan efek antiinflamasi dengan menghambat sintetase dari
prostaglandin H2, yang juga dikenal dengan cyclooxygenase (COX), enzim yang
diperlukan untuk sintesis prostaglandin dari membran sel. Efek antiinflamasi dari
OAINS berperan dalam analgesia. Kerusakan sel memicu pelepasan enzim
lisosomal dari leukosit yang melepaskan asam arakidonat (AA) dari membran sel.
AA diubah menjadi prostaglandin (PG), prostasiklin, tromboksan, leukotrin,
lipoksin, dan lainnya. Beberapa prostaglandin, khususnya PGE2 dan PGF2,
berperan penting dalam inflamasi dan sinsitisasi nosiseptor yang dipersarafi oleh
serabut saraf A-delta dan C, tetapi prostaglandin diperlukan untuk homeostasis.
OAINS menghambat COX, yang berperan dalam perubahan AA menjadi PG,

22
prostasiklin dan tromboksan. COX-inhibitor mengurangi inflamasi dan nyeri,
tetapi juga mengganggu sistem homeostasis lainnya seperti aliran darah ginjal dan
proteksi mukosa lambung.
Berdasarkan panduan penatalaksanaan nyeri pada pediatri yang
dikeluarkan oleh WHO, yang paling aman digunakan pada pasien pediatri adalah
paracetamol dan ibuprofen. Keduanya adalah golongan OAINS tetapi hati-hati
pada kontraindikasi kedua obat tersebut. Semua jenis OAINS memberikan efek
analgetik yang hampir sama, oleh karena itu pemilihannya harus disesuaikan
dengan efek samping, cara pemberian dan harga.
Tidak ditemukan manfaat dari pemberian OAINS terhadap intensitas nyeri
selama 24 jam pertama pascabedah, MMPB selama di PACU, retensi urin,
ataupun pruritus. Analisis subkelompok menurut waktu pemberian OAINS
(selama pembedahan dibandingkan pascabedah), jenis pembedahan, atau
pemberian kombinasi parasetamol menjelaskan bahwa faktor-faktor ini tidak
mempengaruhi hasil penelitian kecuali mengenai pengurangan intensitas nyeri dan
kejadian MMPB selama 24 jam pertama pascabedah, yang dipengaruhi oleh
pemberian kombinasi parasetamol dan jenis pembedahan.
COX-2 berfungsi untuk menghasilkan PGI2 pada endotel. Oleh karena itu,
risiko terjadinya gagal jantung menjadi lebih besar karena adanya vasodilatasi dan
terhambatnya agregasi trombosit. COX-1 dan COX-2 sangat penting dalam
regulasi aliran darah ginjal, natriuretik, dan tekanan darah sistemik. COX-2
inhibitor sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko penyakit jantung koroner,
gagal jantung kongestif, atau pasien dengan hiperkoagulopati seperti defisiensi
protein C atau S. COX-inhibitor yang tidak selektif sebaiknya dihindari pada
pasien dengan risiko ulkus peptikum. Efek samping lain dari OAINS adanya
kemerahan, alergi, pruritus, gangguan fungsi hati, neutropenia, tinnitus, hipertensi,
dispepsia, retensi cairan, dan anemia aplastik.
Obat golongan opioid terutama morfin, dianggap paling kuat untuk
menghilangkan nyeri pascabedah dari nyeri sedang sampai nyeri berat. Namun,
meta-analisis kualitatif menunjukkan kurangnya keunggulan morfin,
dibandingkan dengan obat non opioid atau analgesia regional, untuk

23
menghilangkan rasa nyeri pada anak-anak.1 Berdasarkan penelitian ini, nyeri
pascabedah pada anak-anak paling baik dikelola dengan menggunakan balance
analgesia. Efek opioid-sparing OAINS dan potensinya dalam mengurangi efek
samping opioid serta mengurangi nyeri pascabedah masih kontroversial. Peneliti
meninjau bukti tentang isu-isu ini secara kuantitatif.

Daftar Pustaka

24
1. Anderson BJ, etc. Non-Opioid Analgesic Agents in Pediatric Aneshtesia
Basic Principles State of the Art. PMPH-USA 2011:406-15
2. Cote CJ, Lerman J, Anderson BJ. Acute Pain. In A Practice of Anesthesia
for Infants and Children Fifth Edition. Elseiver Saunders 2011 : 77-149
3. Santana L, Kaye AD, Fox CJ, Diaz H. Pathophysiology of Pain. In
Essential of Pediatric Anesthesiology. Cambridge University Press. 2015
4. Duedahl TH, Hansen EH. A qualitative systematic review of morphine
treatment in children with postoperative pain. Paediatri Anaesth
2007;17:756-74
5. Maund E, McDaid C, Rice S, Wright K, Jenkins B, Woolacott N.
Paracetamol and selective and non-selective non-steroidal
anti¬inflammatory drugs for the reduction in morphine-related side-effects
after major surgery: a systematic review. Br J Anaesth 2011;106:292-7
6. Standing JF, Savage I, Pritchard D, Waddington M. Diclofenac for acute
pain in children. Cochrane Database Syst Rev 2009;4:CD005538
7. Antila H, Manner T, Kuurila K, Salantera S, Kujala R, Aantaa R.
Ketoprofen and tramadol for analgesia during early recovery after
tonsillectomy in children. Paediatr Anaesth 2006;16: 548-53
8. Hiller A, Meretoja OA, Korpela R, Piiparinen S, Taivainen T. The
analgesic efficacy of acetaminophen, ketoprofen, or their combination for
pediatric surgical patients having soft tissue or orthopedic procedures.
Anesth Analg 2006;102:1365-71
9. Joshi W, Connelly NR, Reuben SS, Wolckenhaar M, Thakkar N. An
evaluation of the safety and efficacy of administering rofecoxib for
postoperative pain management. Anesth Analg 2003;97:35-8
10. Kokki H, Hendolin H, Maunuksela EL, Vainio J, Nuutinen L. Ibuprofen in
the treatment of postoperative pain in small children: a randomized
double-blind-placebo controlled paral¬lel group study. Acta Anaesthesiol
Scand 1994;38:467-72
11. Kokki H, Nikanne E, Tuovinen K. I.v. intraoperative ketoprofen in small
children during adenoidectomy: a dose-finding study. Br J Anaesth
1998;81:870-4
12. Kokki H, Homan E, Tuovinen K, Purhonen S. Peroperative treatment with
i.v. ketoprofen reduces pain and vomiting in children after strabismus
surgery. Acta Anaesthesiol Scand 1999;43:13-8

25
13. Kokki H, Tuomilehto H, Tuovinen K. Pain management after
adenoidectomy with ketoprofen: comparison of rectal and intravenous
routes. Br J Anaesth 2000;85:836-40
14. Kokki H, Salonen A. Comparison of pre- and postoperative administration
of ketoprofen for analgesia after tonsillectomy in children. Paediatr
Anaesth 2002;12:162-7
15. Korpela R, Silvola J, Laakso E, Meretoja OA. Oral naproxen but not oral
paracetamol reduces the need for rescue analgesic after adenoidectomy in
children. Acta Anaesthesiol Scand 2007;51:726-30
16. Morton NS, O'Brien K. Analgesic efficacy of paracetamol and diclofenac
in children receiving PCA morphine. Br J Anaesth 1999;82:715-7
17. Munro HM, Walton SR, Malviya S, Merkel S, Voepel-Lewis T, Loder RT,
Farley FA. Low-dose ketorolac improves analgesia and reduces morphine
requirements following posterior spinal fusion in adolescents. Can J
Anaesth 2002;49:461-6
18. Nikanne E, Kokki H, Tuovinen K. IV perioperative ketoprofen in small
children during adenoidectomy. Br J Anaesth 1997;78:24-7
19. Oztekin S, Hepaguslar H, Kar AA, Ozzeybek D, Artikaslan O, Elar Z.
Preemptive diclofenac reduces morphine use after remifentanil-based
anaesthesia for tonsillectomy. Paediatr An- aesth 2002;12:694-9
20. Romsing J, Ostergaard D, Walther-Larsen S, Valentin N. Analgesic
efficacy and safety of preoperative versus postoperative ketorolac in
paediatric tonsillectomy. Acta Anaesthesiol Scand 1998;42:770-5
21. Rugyte D, Kokki H. Intravenous ketoprofen as an adjunct to patient-
controlled analgesia morphine in adolescents with thoracic surgery: a
placebo controlled double-blinded study. Eur J Pain 2007;11:694-9
22. Sheeran PW, Rose JB, Fazi LM, Chiavacci R, McCormick L. Rofecoxib
administration to paediatric patients undergoing adenotonsillectomy.
Paediatr Anaesth 2004;14:579-83
23. Vetter TR, Heiner EJ. Intravenous ketorolac as an adjuvant to pediatric
patient-controlled analgesia with morphine. J Clin Anesth 1994;6:110-3
24. Jasiecka A, Maslanka T, Jaroszewski JJ. Pharmacological characteristics of
metamizole. Pol J Vet Sci. 2014;17(1):207-14.
25. Moodley I. Review of the cardiovascular safety of COXIBs compared to
NSAIDS. Cardiovasc J Afr 2008;19:102-7

26
26. Moore RA, Derry S, McQuay HJ. Cyclo-oxygenase-2 selective inhibitors
and nonsteroidal anti-inflammatory drugs: balanc¬ing gastrointestinal and
cardiovascular risk. BMC Musculosk- elet Disord 2007;8:73
27. Hilario MO, Terreri MT, Len CA. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs:
cyclooxygenase 2 inhibitors. Jornal de Pediatria 2006;83:206-12
28. Forrest JB, Heitilinger EL, Revell S. Ketorolac for postoperative pain
management in childern. Drug Saf. 1997;16(5):309-29
29. Cortez EH. Non-steroidal Anti-inflammatory Analgesics in Children.
Anesthesia en Mexico 2006;18(1):162-4.

27

You might also like