Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid
dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik
maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan kerangka hukum dan
politik bagi tumbuhnya aktivitas usaha (World Bank dalam Mardiasmo, 2002). Dalam hal ini
1
bidang akuntansi dapat berperan menghasilkan informasi yang berguna bagi perwujudan
transparansi, akuntabilitas publik, dan value for money (efektifitas, efisiensi, dan ekonomis)
dalam manajemen keuangan negara. Namun, pada pemeriksaan Laporan Keuangan Daerah
(LKPD) hingga tahun 2010 jumlah daerah yang telah mendapat opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) baru mencapai 9% yakni 32 dari 358 LKPD yang telah diperiksa BPK..
Menurut Hadi Purnomo, hasil evaluasi BPK menunjukkan bahwa LKPD yang memperoleh
opini WTP dan WDP pada umumnya telah memiliki sistem pengendalian internal (SPI) yang
memadai. Sedangkan yang memperoleh opini TMP dan TW memerlukan perbaikan Sistem
Pengendalian Intern (SPI). Dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
tahun 2010 masih ditemukan juga berbagai kelemahan pengendalian internal
(www.bpk.go.id).
COSO (The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission)
mendefisikan SPI sebagai suatu proses, yang dipengaruhi oleh dewan komisaris, manajemen,
dan personil lainnya dari sebuah entitas, yang dirancang untuk memberikan
keyakinan/jaminan yang wajar berkaitan dengan pencapaian tujuan dalam kategori efektivitas
dan efisiensi operasi, keandaan pelaporan keuangan, serta pengaman asset entitas. SPI pada
organisasi pemerintah Indonesia didefinisikan sebagai sebuah proses integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang
efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan asset negara dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan (PP No.60 Tahun 2008, Pasal 1 Butir 1).
UU Keuangan Negara (UU No. 17 tahun 2003) serta PP 80 tahun 2005 tentang Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah, mengamanatkan setiap entitas pemerintah untuk
mengembangkan dan melaksanakan suatu sistem pengendalian internal. Dalam UU No 15
Tahun 2004 Pasal 12, BPK mendapat mandat untuk melakukan pengujian dan penilaian atas
pelaksanaan sistem pengengendalian internal pemerintah. Selanjutnya Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN) pada pernyataan nomor 3 menyebutkan bahwa Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) yang diterbitkan oleh BPK, harus memuat pelaporan tentang
pengendalian internal yang mengungkapkan kelemahan dalam pelaksanaan pengendalian
internal atas laporan keuangan yang dianggap sebagai “kondisi yang dapat dilaporkan” dan
hal tersebut harus disampaikan secara tertulis kepada entitas yang diperiksa. LHP demikian
berguna untuk mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pihak yang berwenang,
menghindari kesalahpahaman terhadap hasil pemeriksaan, menjadi masukan untuk melakukan
tindakan perbaikan oleh instansi terkait, dan memudahkan pemantauan tindak lanjut.
SPKN dengan merujuk pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)
merumuskan kondisi SPI yang dapat dilaporkan sebagai permasalahan yang ditemukan
auditor menyangkut kekurangan material dalam design atau operasi pengendalian internal
yang berakibat buruk terhadap kemampuan organisasi dalam mencatat, mengelolah,
mengikhtisarkan, dan melaporkan data keuangan yang konsisten dengan asersi manajemen
dalam laporan keuangan (SA Seksi 325). Kondisi yang dapat dilaporkan dikategorikan atas
kelemahan desain pengendalian intern, kelemahan implementasi pengendalian intern, dan
kondisi lain-lain.
Kondisi yang terkait dengan design pengendalian internal, antara lain (1) tidak
memadainya design pengendalian internal secara keseluruhan, (2) tidak adanya pemisahan
tugas yag semestinya dan konsisten dengan tujuan pengendalian yang semestinya, (3) tidak
adanya review dan persetujuan transaksi, entri akuntansi, atau keluaran sistem, (4) tidak
memadainya prosedur untuk menetapkan dan menerapkan prinsip akuntansi yang berlaku
secara umum di Indonesia secara tepat, (5) tidak memadainya ketentuan untuk perlindungan
2
keamanan aktiva perusahaan, (6) tidak adanya teknik pengendalian tertentu yang dipandang
tepat untuk jenis dan tingkat kegiatan transaksi, dan (6) terbukti bahwa sistem gagal
menyediakan keluaran yang akurat dan lengkap yang konsisten dengan tujuan dan kebutuhan
sekarang karena cacat design.
Adapun kondisi yang terkait dengan implementasi pengendalian internal, antara lain
(1) bukti kegagalan pengendalian yang diidentifikasi dalam mencegah atau mendeteksi salah
saji dalam informasi akuntansi, (2) bukti bahwa sistem gagal dalam menyediakan keluaran
yang akurat dan lengkap, konsisten dengan tujuan pengendalian entitas karena penerapan
yang salah pengendalian entitas, (3) bukti kegagalan untuk melindungi aktiva dari kerugian,
kerusakan atau perlakuan yang tidak semestinya, (4) bukti adanya usaha melanggar
pengendalian internal oleh personel yang memiliki wewenang untuk merusak tujuan
keseluruhan sistem, (5) bukti kegagalan untuk melaksanakan tugas yang menjadi bagian
pengendalian internal, seperti rekonsiliasi yang tidka dibuat atau dibuat tidak tepat waktu, (6)
adanya kesalahan yang terbukti dilakukan dengan sengaja oleh kariawan atau manajemen, (7)
terbukti adanya manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan catatan akutansi atau bukti
pendukung, (8) terbukti adanya kesengajaan salah penerapan prinsip akuntansi yang berlaku
umum di Indonesia, (9) terbukti adanya pemberian penyajian yang salah oleh karyawan klien
kepada auditor, dan (10) terbukti adanya karyawan atau manajemen yang tidak memenuhi
persyaratan kecakapan dan pelatihan untuk melaksanakan fungsi yang ditugaskan kepada
mereka.
Kondisi lain-lain yang dapat dilaporkan antara lain (1) tidak adanya tingkat kesadaran
memadai dalam organisasi mengenai pengendalian, (2) tindak lanjut terbukti tidak dilakukan
untuk membetulkan kesalahan pengendalian internal yang telah diidentifikasi sebelumnya, (3)
terbukti adanya transaksi dalam hubungan istimewa material atau ekstensif yang tidak
diungkapkan, (4) terbukti adanya sikap memihak yang tidak sepatutnya atau
kekurangobjektifan oleh orang yang bertanggung jawab dalam keputusan akuntansi.
Kelemahan SPI pada sebuah entitas dapat meningkatkan risiko pengendalian, yakni
risiko kecurangan (fraud), penggelapan, serta tidak dipatuhinya peraturan perundang-
undangan, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara/daerah. Undang-undang
Perbendaharaan Negara Pasal 1 Ayat (22), mendefinisikan kerugian negara sebagai,
“kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Bentuk-bentuk kerugian Negara
adalah: 1) Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang)
yang seharusnya tidak dikeluarkan, 2) pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah
lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku, 3) hilangnya
sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima, 4) penerimaan sumber/kekayaan
negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang
rusak, kualitas tidak sesuai), 5) timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya
tidak ada, 6) timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari seharusnya, 7)
hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang
berlaku, dan 8) hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, berbagai bentuk kerugian tersebut
diklasifikasikan menjadi enam macam temuan yaitu: temuan kerugian negara, temuan potensi
kerugian, temuan kekurangan penerimaan, temuan administrasi, temuan ketidakefektifan, dan
temuan pemborosan.
Penelitian Rimba (2009) pada delapan Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah,
menyimpulkan bahwa kondisi SPI dimasing-masing Pemda masih lemah dan tidak efektif
disebabkan oleh mutu pegawai tidak sesuai dengan tanggungjawabnya, kurangnya
3
pengawasan baik dari atasan langsung maupun badan yang bertugas mengawasi kinerja
pegawai Pemda, adanya peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat yang sulit
diterapkan pada beberapa Pemda, belum semua mekanisme yang dibutuhkan diatur dalam
Perda, serta kurangnya fasilitas pengamanan asset daerah. Demikian juga penelitian Tottong
(2011) pada sembilan LKPD periode 2007 pada Pemkab/Pemkot di Sulawesi Selatan
berkesimpulan bahwa penerapan SPI dalam pengelolaan keuangan pemda belum efektif.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan kondisi SPI pada Pemkab/Pemkot di
Propinsi Nusa Tenggara Barat serta dampaknya pada kerugian negara. Sehubungan dengan itu
dirumuskan persoalan penelitian yaitu “apa saja tipe kelemahan yang diungkap BPK dalam
LHP untuk tahun anggaran 2007 dan adakah kerugian negara yang ditimbulkannya?”.
Penelitian bertujuan untuk memberikan informasi tentang kondisi SPI Pemkab/Pemkot di
Propinsi NTB sebagaimana diungkapkan BPK pada tahun 2008 untuk menjadi bahan
introspeksi dan masukan bagi peningkatan kualitas manajemen serta pengawasan oleh pihak
terkait. Penelitian juga diharapkan menambah referensi bagi pengembangan ilmu manajemen
dan keuangan sektor publik.
Metodologi
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif mengenai pengungkapan tipe
kelemah SPI Pemda serta dampaknya pada keuangan negara. Data LKPD tahun 2007 yang
telah diperiksa BPK pada semester I dan II tahun 2008 dan telah dipublikasikan pada portal
BPK, diperoleh dari pusat data UKSW. Dari 23 Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat
terdapat sembilan Kabupaten/Kota yang diperiksa pada periode tersebut.
Data dianalisis dengan teknik analisis konten, yaitu suatu teknik analisis ilmiah tentang isi
pesan suatu komunikasi yang mencakup upaya klasifikasi tanda-tanda dengan menggunakan
kriteria sebagai dasar klasifikasi dan menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat
prediksi (Muhadjir, 2000). Langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi pengungkapan temuan kelemahan SPI dan pernyataan BPK
mengenai “penyebab” dan “akibat” dari kelemahan yang ditemukan
2) Mengklasifikasikan “penyebab” yang diungkapkan oleh BPK menurut tipe “kondisi
kelemahan SPI yang dapat diungkapkan”
3) Menjumlahkan temuan dan penyebab yang diungkapkan BPK, serta tipe kondisi
kelemahan SPI yang teridentifikasi
4) Menghitung kerugian Negara yang diakibatkan oleh setiap tipe kondisi kelemahan SPI
Kriteria untuk mengklasifikasikan “penyebab” kelemahan SPI (menurut BPK) ke dalam
berbagai tipe “kondisi kelemhan SPI yang dapat dilaporkan” (menurut SPKN dan mengacu
pada SA 325), dikembangkan sebagaimana terlampir pada lampiran 1.
4
Bima adalah daerah yang paling rendah dalam pendapatan, belanja, maupun ekuitas yang
kemungkinan menjadi sebab daerah tersebut terbesar dalam jumlah kewajiban. Rasio antara
jumlah terkecil terhadap jumlah terbesar untuk pendapatan sebesar 41%, belanja sebesar
33%, aset 30% , dan ekuitas sebesar 28%. Kecuali komponen pendapatan, semua komponen
laporan keuangan menunjukkan rasio standar deviasi terhadap rata-rata > 30%, artinya
kondisi keuangan antar daerah cukup bervariasi (Sugiyono,2002:45).
Tabel 1
Iktisar Laporan Keuangan
"dalam jutaan rupiah"
Cakupan Pemeriksaan
Komponen LRA Komponen Neraca
No. Nama Entitas Opini
Total
Pendapatan Belanja Total Aset Total Ekuitas
Kewajiban
1 Kab. Bima 504.768,94 490.008,32 1.171.205,15 6.725,90 1.164.479,25 WDP
2 Kab. Lombok Barat 559.498,68 553.697,11 713.577,37 10.543,23 703.034,14 WDP
3 Kab. Lombok Tengah 575.978,54 565.516,69 1.439.010,88 1.994,32 1.437.016,55 WDP
4 Kab. Lombok Timur 680.328,16 660.626,18 1.285.112,22 5.290,80 1.279.821,42 WDP
5 Kab. Sumbawa Barat 321.926,17 301.907,56 458.900,05 - 458.900,05 WDP
6 Kota Mataram 418.425,64 420.448,87 1.093.900,61 280,01 1.093.620,59 WDP
7 Kab. Dompu 353.670,86 336.899,44 578.159,92 30,82 578.129,09 TMP
8 Kab. Sumbawa 500.339,75 455.749,16 1.228.299,90 587,16 1.227.712,74 TMP
9 Kota Bima 279.696,00 216.980,00 437.904,00 41.533,00 396.370,00 TMP
Rata-rata 466.070,30 444.648,15 934.007,79 8.373,16 926.564,87
Standar deviasi 132.194,77 141.302,52 386.296,87 13.902,23 392.387,32
% stdv terhadap rata-rata 0,28 0,32 0,41 0,60 0,42
Sumber: IHPS BPK, 2008
Pengungkapan Kondisi SPI dalam LHP BPK
Format LHP BPK atas SPI auditee mencakup resume laporan hasil pemeriksaan atas
sistem pengendalian intern dalam kerangka pemeriksaan LKPD, gambaran umum
pengendalian intern dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan, dan hasil pemeriksaan
atas SPI. Pada uraian hasil pemeriksaan atas SPI, BPK menjelaskan setiap temuan kelemahan
SPI secara detail mencakup aturan yang dilanggar, akibatnya, penyebabnya, tanggapan
auditee, dan saran BPK atas temuan tersebut. Didalam setiap pernyataan penyebab
kelemahan SPI dapat teridentifikasi satu atau lebih tipe kondisi SPI yang dapat dilaporkan..
Jumlah temuan BPK, pernyataan BPK mengenai penyebab dari berbagai temuan kelemahan,
dan hasil identifikasi tipe kondisi kelemahan SPI adalah seperti pada Tabel 2.
Tabel 2
Jumlah Temuan, Penyebab dan Tipe Kelemahan SPI
pada Pemkab/Pemkot NTB tahun anggaran 2007
Jumlah
Jumlah
Jumlah Pernyataan
Identifikasi
No. Nama Pemda Pengungkapan BPK atas
Tipe
Temuan BPK Penyebab
Kelemahan SPI
Kelemahan SPI
5
Pada gambaran umum pengendalian intern dalam sistem akuntansi dan pelaporan
keuangan pemerintah, BPK menguraikan gambaran umum atas desain pengendalian internal
auditee. Adapun uraian mengenai penyebab kelemhanan SPI diuraikan pada penjelasan untuk
masing-masing temuan kelemahan. Pada penjelasan mengenai penyebab kelemahan tidak
ditemukan informsi terkait kelemahan desain sehingga semuanya dikalsifikasikan sebagai
kelemahan implementasi (8 tipe) dan kelemahan lain-lain (1 tipe). Delapan (8) kondisi yang
teridentifikasi dengan urutan terbanyak dan frekuensinya adalah sebagaimana pada tabel 3.
Tabel 3
Jumlah Pengungkapan Kondisi SPI yang Dapat dilaporkan
Jumlah
Kab. Kab. Kab. Kab.
Pengungka Kota Kab. Kab.
Kondisi yang dapat dilaporkan dari Kab. Lom Lom Lom Sum Kota
No. pan Mata Dom Sum
Kelemahan SPI Bima bok bok bok bawa Bima
Penyebab ram pu bawa
Barat Tengah Timur Barat
Kelemahan
Bukti bahwa sistem gagal dalam
menyediakan keluaran yang akurat,
1 lengkap, konsisten dengan tujuan 44 5 4 7 2 4 2 10 5 5
pengendalian entitas karena
penerapan yang salah pengendalian
Tidak adanya tingkat kesadaran
2 memadai dalam organisasi mengenai 26 4 4 5 3 2 1 3 3 1
pengendalian
Bukti kegagalan untuk melaksanakan
tugas yang menjadi bagian
3 pengendalian intern seperti 15 1 5 2 1 2 3 1
rekonsiliasi yang tidak dibuat atau
dibuat tidak tepat waktu
Bukti kegagalan untuk melindungi
4 aktiva dari kerugian, kerusakan atau 14 0 8 2 1 0 0 2 0 1
perlakuan yang tidak semestinya
6
Pengungkapan temuan kelemahan implementasi SPI terbesar adalah adanya bukti
kelemahan sistem menyediakan keluaran yang akurat, lengkap, dan konsisten dengan tujuan
pengendalian (44 pengungkapan). Bagi auditor sistem akuntansi yang handal akan
memberikan keyakinan untuk menelusur transaksi, menguji kewajaran informasi keuangan,
dan menemukan penyimpangan yang material. Oleh karena itu kelemahan sistem akuntansi
pada Kabupaten Dompu, Kabupaten Sumbawa, dan Kota Bima membatasi lingkup
pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh BPK sehingga BPK “tidak memberi pendapat” pada
LKPD ketiga daerah tersebut. Akun-akun dan laporan yang tidak dapat diyakini kewajarannya
oleh BPK untuk ketiga daerah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kota Bima : total pendapatan dan belanja di LRA; total aktivitas kas masuk dan keluar,
serta saldo akhir kas pada LAK; aset (persediaan obat-obatan dan aset tetap), kewajiban,
dan ekuitas pada neraca
2. Kabupaten Dompu : SiLPA TA 2006 dan SiLPA TA 2007 di LRA; kas, persediaan obat-
obatan, dan aset tetap pada Neraca; serta realisasi pendapatan transfer pada LRA
3. Kabupaten Sumbawa : kas dan tanah di Neraca; serta SILPA di LRA
Kelemahan implementasi adalah kelemahan terkait dengan kelalaian maupun
kesengajaan personil. Jenis-jenis kelalaian tersebut adalah kegagalan melaksanakan tugas
pengendalian dan kegagalan melindungi aktiva. Teridentifikasi pula adanya kesengajaan
karyawan maupun manajemen untuk melakukan kesalahan serta menerapkan PABU secara
salah. Kelemahan yang berkaitan dengan kompetensi melaksanakan tugas terungkap hanya
pada empat Pemda yaitu kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Timur, Kab Dompu dan Kota
Bima. Pada Kota Bima teridentifikasi kegagalan pengendalian yang ada untuk mencegah
salah saji dalam laporan keuangan hal tersebut menyebabkan BPK tidak memberi pendapat
atas LKPD Kota Bima.
Tabel 4
Opini BPK, Jumlah Pengungkapan Kondisi SPI dan
Kerugian Negara sebagai dampaknya
Jumlah Kerugian
Identifikasi
Hilangnya Penerimaan
No. Nama Pemda Opini BPK Kondisi Pengeluaran tdk
sumber yg lebih
Kelemahan seharusnya Jumlah
seharusnya kecil/rendah dr
SPI dikeluarkan
diterima semestinya
1 Kab. Lombok Barat WDP 27 209.594.012 2.365.480.142 563.126.898 3.138.201.052
2 Kab. Dompu TMP 20 2.371.142.940 - - 2.371.142.940
3 Kab. Lombok Tengah WDP 16 20.119.000 - 2.330.000.000 2.350.119.000
4 Kab. Sumbawa TMP 13 - - - -
5 Kab. Bima WDP 13 - - - -
6 Kota Bima TMP 11 82.582.171 - - 82.582.171
7 Kab. Lombok Timur WDP 10 - - 67.014.281 67.014.281
8 Kab. Sumbawa Barat WDP 8 - - - -
9 Kota Mataram WDP 3 - - - -
Total 121 2.683.438.123 2.365.480.142 2.960.141.179 8.009.059.444
7
Terdapat 121 pengungkapan kondisi kelemahan SPI dan kerugian daerah/negara yang
timbul sebagai dampak dari kelemahan tersebut adalah sebesar Rp 8.009.059.444. Kabupaten
Lombok Barat adalah daerah yang memiliki jumlah pengungkapan kelemahan SPI dan jumlah
kerugian negara/daerah terbesar yang diungkapkan BPK. Meskipun demikian, BPK
memberikan opini WDP, artinya kelemahan SPI dan kerugian tersebut disimpulkan belum
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.
Kab. Dompu, dengan opini TMP dari BPK, menempati urutan kedua dalam
pengungkapan kelemahan SPI dan jumlah kerugian negara. Kota Bima yang juga mendapat
opini TMP meskipun berada pada urutan keenam dalam jumlah pengungkapan kelemahan
namun ada pada urutan keempat dalam jumlah kerugian daerah/negara yang diakibatkan oleh
kelemahan SPI. Kab. Sumbawa, yang juga mendapat opini TMP, menempati urutan keempat
dalam jumlah pengungkapan kelemahan kondisi SPI. Meskipun tidak ada kerugian
daerah/negara yang diungkapkan pada Kab. Sumbawa sebagai akibat dari kelemahan SPI
tetapi ada sejumlah temuan yang dinilai oleh BPK berpeluang menyebabkan penyalahgunaan
aset daerah/ negara. Hal tersebut adalah status kepemilikan atas tanah seluas 8.412.448,50 m2
senilai Rp 203.349.123.500,0018 belum bersertifikat, penerimaan yang terlambat disetor
sebesar Rp545.436.481,00 dan penerimaan yang belum disetor sebesar Rp2.509.881,00.
Dari berbagai bentuk kerugian negara yang disebutkan dalam UU Keuangan Negara,
ada tiga bentuk yang terjadi pada objek penelitian yaitu kerugian yang timbul karena adanya
pengeluaran yang tidak seharusnya dikeluarkan, hilangnya sumber kekayaan negara, dan
penerimaan lebih kecil/lebih rendah dari yang semestinya. Tabel 4 berikut ini memuat
berbagai penyebab yang diungkapkan BPK dari kerugian tersebut yang terkait dengan
kelemahan SPI beserta jumlah kerugian yang ditimbulkannya.
Tabel 4
Kasus-kasus Penyebab Kelemahan SPI dan Dampaknya Pada Kerugian Negara
Jumlah
No. Berbagai Kasus Penyebab Kelemahan SPI yang berdampak pada Kerugian Daerah/Negara Kerugian
(Rp)
Pengeluaran Yang tidak seharusnya dikeluarkan
1 Kelalaian pejabat terkait memantau pemungutan PPh 23 atas jasa giro oleh bank 122.185.625
2 Pejabat terkait kurang cermat memverifikasi LPJ yang diterimanya 209.594.012
3 Pembebanan biaya tertentu untuk menutup selisih 2.331.539.486
4 Pembayaran melebihi bukti yang ada 20.119.000
Jumlah 2.683.438.123
Hilangnya Sumber Kekayaan Negara
Pengembalian bantuan modal dan pinjaman lunak tidak diterima oleh pemda, dimana pejabat
1 2.061.530.000
yang berfungsi sebagai pemantau ikut terlibat sebagai perantara peminjam, dan peminjam dana
2 Kelalaian pejabat terkait untuk memonitor angsuran pokok pinjaman ke masyarakat 303.950.142
Jumlah 2.365.480.142
Penerimaan lebih kecil/lebih rendah dari semestinya
1 Kelalaian pejabat terkait memantau jumlah penerimaan yang sesungguhnya 403.127.184
2 Pihak terkait tidak tegas menagih bunga pinjaman lunak dan penerimaan daerah lewat pihak lain 139.014.281
Naskah Perjanjian Kerjasama yang kurang mengatur diantaranya kontribusi kepada Pemerintah,
3 2.417.999.714
sanksi, dan tanggal berkahirnya perjanjian
Jumlah 2.960.141.179
Sumber: Hasil Olah data Penulis, 2011
8
Kesimpulan & Keterbatasan Penelitian
Kondisi SPI pada masing-masing objek penelitian masih perlu ditingkatkan khususnya
dalam impelementasi desain SPI dan penciptaan kesadaran pengendalian. Kelemahan sistem
terkait pelaporan keuangan menyebabkan BPK tidak memberi pendapat pada tiga LKPD.
Beberapa kelemahan menyebabkan kerugian yang mencapai jumlah Rp8.009.059.444.
Kerugian tersebut terjadi dalam bentuk pengeluaran sumber/ kekayaan negara yang tidak
seharusnya dikeluarkan, hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima,
dan penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya
diterima.
Analisis pengungkapan kelemahan SPI dalam penelitian ini terbatas pada analisis
konten atas pernyataan “penyebab” dan “akibat” kelemahan menurut BPK. Dengan demikian
perbedaan cara auditor dalam merumuskan penyebab dan akibat kelemahan SPI akan
mempengaruhi keakuratan analisis. Untuk penelitian berikutnya dapat melakukan analisis
konten dengan cakupan uraian, penyebab, akibat, tanggapan auditee, dan saran BPK. Suatu
penelitian yang didasarkan pada data primer juga akan dapat mengurangi kelemahan tersebut.
Daftar Referensi
9
Lampiran : Indikator empirik pengungkapan kondisi yang dapat dilaporkan
Terjadinya kerugian dan atau kerusakan aset karena tidak diterapkannya pembatasan-
Bukti kegagalan untuk melindungi aktiva dari kerugian,
pembatasan yang dimaksudkan untuk mencegah kehilangan aset termasuk akses ke
kerusakan atau perlakuan yang tidak semestinya
aset dan catatan aset
Bukti adanya usaha melanggar pengendalian intern oleh
Terjadinya pelanggaran pengendalian internal oleh personal yang memiliki wewenang
personal yang memiliki wewenang untuk tujuan merusak
dengan maksud merusak tujuan sistem pengendalian internal
tujuan keseluruhan sistem
Bukti kegagalan untuk melaksanakan tugas yang menjadi
bagian pengendalian intern seperti rekonsiliasi yang tidak Keterlambatan atau tidak dilakukannya review, rekonsiliasi, dan verifikasi transaksi
dibuat atau dibuat tidak tepat waktu
Adanya kesalahan yang terbukti dilakukan dengan sengaja Terjadinya kesalahan implementasi pengendalian intern dengan sengaja oleh karyawan
oleh karyawan atau manajemen atau manajemen
Terbukti adanya manipulasi, pemalsuan atau pengubahan Terjadinya manipulasi, pemalsuan atau pengubahan catatan akuntansi
catatan akuntansi atau bukti pendukung atau bukti pendukung
Terbukti adanya kesengajaan salah penerapan PABU di
Terjadinya kesalahan penerapan PABU dengan sengaja
Indonesia
Terbukti adanya pemberian penyajian yang salah oleh Terjadinya penyampaian laporan keuangan yang salah oleh staf klien
karyawan klien kepada auditor kepada auditor
Terbukti adanya karyawan atau manajemen yang tidak
Terjadinya kegagalan implementasi pengendalian intern karena ketidak cakapan
memenuhi persyaratan kecakapan dan pelatihan untuk
karyawan atau manajemen melaksanakan tugasnya
melaksanakan fungsi yang ditugaskan kepada mereka
Lain-lain
Tidak adanya tingkat kesadaran memadai dalam organisasi Teridentifikasinya kelemahan pengawasan, tidak dilaksanakannya pertanggungjawaban
mengenai pengendalian sesuai aturan, lemahnya koordinasi
Tindak lanjut terbukti tidak dilakukan untuk membetulkan
Adanya rekomendasi perbaikan pengendalian internal dari hasil monitoring
kesalahan pengendalian intern yang telah diidentifikasi
pengendalian internal yang tidak ditindaklanjuti
sebelumnya
Terbukti adanya transaksi dalam hubungan istimewa atau
Adanya transaksi hubungan istimewa yang tidak diungkapkan
ekstensif yang tidak diungkapkan
10