You are on page 1of 21

1

LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONCHIALE

1. Konsep Dasar Penyakit


1.1 Pengertian
Asma adalah suatu penyakit paru dengan tand-tanda khas berupa manifestasi
berupa penyumbatan (obstruksi) saluran pernafasa yang dapat pulih kembali baik
secara spontan maupun dengan pengobatan, keradangan saluran pernafasan,
peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai
rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005).
Asma bronchiale adalah suatu penyakit paru dengan tand-tanda khas berupa
manifestasi berupa penyumbatan (obstruksi) saluran pernafasa yang dapat pulih
kembali baik secara spontan maupun dengan pengobatan, keradangan saluran
pernafasan, peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernafasan
terhadap berbagai rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005).
Asma bronchiale adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri
bronkospasme, periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asma merupakan
penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi,
otonomik dan psikologi (Somantri, 2008).

1.2 Kalsifikasi
Menurut Konthen, P.G, dkk dalam buku pedoman diagnosis dan terapi
Konthen, P.G, dkk (2008; 53) asma dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
1. Derajat I: intermitten
a) Gejala muncul kurang dari sekali dalam satu minggu
b) Kekambuhan berlangsung singkat
c) Serangan atau gejala asma pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
d) FEV2 (Force Expiratory Volume dalam 2 detik) > 80% prediksi atau
PEF (Peak Expiratory Flow) > 80% nilai terbaik penderita
e) Variabilitas PEEF atau FEV1 < 20%
2

2. Derajat II: persisten ringan


a) Gejala muncul > 1 kali dalam seminggu, tetapi tidak setiap hari
b) Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur
c) Serangan atau gejala asma pada malam hari > 2 kali dalam sebulan
d) FEV1 > 80% prediksi atau PEEF > 80% nilai terbaik penderita
e) Variabilitas PEF atau FEV, 20-30%
3. Derajat III: persisten sedang
a) Gejala muncul setiap hari
b) Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur
c) Serangan atau gejala asma pada malam hari > 1 x dalam seminggu
d) FEV1 60-80% prediksi atau PEF 60-80% nilai terbaik penderita
e) Variabilitas PEEF atau FEV1 >30%
4. Derajat IV persisten berat
a) Gejala muncul setiap hari
b) Kekambuhan sering terjadi
c) Serangan atau gejala asma pada malam hari sering terjadi
d) FEV1 < 60% prediksi atau PEF < 60% nilai terbaik penderita
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

1.3 Etiologi
Penyebab terjadinya asma menurut Kowalak (2011), Konthen, P.G, dkk
(2008;50), dan Danusantoso (2000)
1) Faktor ekstrinsik: reaksi antigen-antibodi; karena inhalasi alergen (debu,
serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang, spora jamur, dan tepung sari rerumputan).
polen (tepung sari bunga), debu rumah atau kapang, bantal kapuk atau bulu, zat
aditif pangan yang mengandung sulfit, zat lain yang menm,bulkan sensitifitas
2) Faktor intrinsik: infeksi: para influenza virus, pneumonia, Mycoplasma,
Kemudian dari fisik: cuaca dingin, perubahan temperature atau kelembapan,
tertawa, faktor genetik, emosional; takut, cemas, dan tegang, perubahan
endokrin.
3) Iritan: kimia, polusi udara ( CO, asap rokok, parfum ).
4) Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.
3

5) Obat-obatan: aspirin, NSAID, β-bloker.

1.4 Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2001:611), patologi dari asma adalah:
Asma terjadi karena adanya penyempitan pada jalan nafas dan hipereaktif
bronkus terhadap bahan iritasi, alergen, atau stimulus lain. Dengan adanya bahan
iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh
muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan
pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan
pengeluaran histamine, bradikinin, anafilaktosin. Mediator tersebut akan
menyebabkan kontraksi otot polos yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler, oedema mukosa,sekresi mukus meningkat sehingga produksi sekret
meningkat.
Respon asma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate/ segera
yang ditandai dengan bronkokonstriksi dalam 1-2 jam (puncaknya dalam 30
menit). Dalam beberapa menit dari paparan alergen, ditemukan degranulasi sel
mast bersamaan dengan pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4. Zat ini menyebabkan kontraksi otot pada
saluran pernafasan serta peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi lendir, dan
aktivasi refleks saraf. Respon asma dini ditandai dengan bronkokonstriksi yang
umumnya responsif terhadap bronkodilator, seperti agen beta2-agonis. Tahap
delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-
5 jam lebih lama dan menghilang dalam 12-24 jam, tahap late yang ditandai
dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan.
Pelepasan mediator inflamasi bilangan molekul adhesi pada epitel saluran napas
dan endotelium kapiler, yang kemudian memungkinkan sel-sel inflamasi, seperti
eosinofil, neutrofil, dan basofil, untuk melampirkan epitel dan endotelium dan
kemudian bermigrasi ke dalam jaringan jalan napas. Eosinofil melepaskan
eosinophilic cationic protein (ECP) dan protein dasar utama (MBP). Kedua ECP
dan MBP menginduksi deskuamasi epitel saluran napas dan mengekspos ujung
saraf. Interaksi ini mempromosikan hyperresponsiveness napas pada asma lebih
lanjut. Hal ini dapat terjadi pada individu dengan eksaserbasi asma ringan. Selama
serangan asthmatik, bronkiolus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus.
4

Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak dan obstruksi sehingga
ventilasi tidak adekuat terjadi penurunan P02 (hipoxia). Selama serangan astma ,
CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan
menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea dan dapat menimbulkan
distress nafas (Constantine, 2012).

1.5 Manifestasi Klinis


Menurut Djojodibroto (2009:69) dan Muttaqin (2008:172) ada beberapa
manifestasi klinis yang dapat muncul pada pasien dengan asma:
1) Pernafasan labored (perpanjangan ekshalasi)
2) Pembesaran vena jugularis
3) Wheezing, yaitu suara yang terdengar kontinu, nadanya lebih tinggi dibanding
suara napas lainnya. Suara ini disebabkan karena adanya penyempitan saluran
napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu
peyempitan (Djojodibroto,2009:69).
4) Dispnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot-otot aksesoris pernafasan,
cuping hidung, retraksi dada dan stridor
Akibat dari bronkospasme, edema mukosa dan dinding bronkholus serta
hipereksresi mucus menyebabkan terjadinya penyempitan pada bronkiolus dan
percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, napas berbunyi dan
batuk produktif (Muttaqin, 2008:172).
5) Gelisah
Lebih sering terjadi pada anak-anak. Anak mengalami gelisah kerana sesak
napas yang dialami.
6) Tidak toleran terhadap aktivitas, makan, bermain, berjalan, bicara
7) Meningkatnya ukuran diameter anteroposterior (barrel chest ini timbul akibat
terjadinya overinflasi paru, overinflamasi paru terjadi karena adanya sumbatan
sehingga paru berusaha mengambil udara secara paksa)
8) Serangan berlangsung lebih dari 24 jam

1.6 Penilaian Derajat Serangan Asma (FK UNAIR, 2008:35)


Parameter Klinis,
Ancaman
Fungsi paru, Ringan Sedang Berat
henti nafas
Laboratorium
Sesak timbul pada Berjalan Berbicara Istirahat
saat (breathless) Bayi: Bayi : Bayi: tidak mau
5

menangis - Tangis makan/minum


keras pendek dan
lemah
- Kesulitan
makan/
minum
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Bingung
iritable iritable iritable dan
mengantuk
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata/jelas
Mengi (whezzing) Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengar tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi, ± stetoskop
inspirasi
Sesak nafas Minimal Sedang Berat
Obat bantu nafas Biasanya tidak Biasanya ya ya Gerakan
paradoktora
ko-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
retraksi ditambah ditambah nafas hilang
interkostal retraksi cuping hidung
suprasternal
Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
< 10 mmHg 10-20 mmHg > 20mmHg tanda
kelelahan
otot nafas
PEFR atau PEV1 > 60% >80% <40%
- Pra 40-60% 60-80% <60%
bronkodilator Respons <2 jam
- Pasca
bronkodilator
SaO2 >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg <60 mmHg
biasanya tidak
perlu diperiksa
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

1.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Muttaqin (2008:178) ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita asma yaitu:
1) Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
6

Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator


aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20 % menunjukkan diagnosa asma
2) Tes Provokasi Bronkhus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV1 sebesar 20 % atau
lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum
dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEF 10 % atau lebih.
3) Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam
tubuh.
4) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Analisa Gas Darah
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia,
hiperkapnea, dan asidosis respiratorik
(2) Sputum
Adanya badan kreola adalah karekteristik untuk serangan asma berat, karena
reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa,
sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan
gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti
kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik.
(3) Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm 3 baik asma
intriksik maupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-
200/mm3.
(4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yag lebih dari 15.000/mm 3 terjadi karena adanya infeksi.
SGOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau
hiperkapnea.
5) Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya
normal, tetapi prosedur ini tetap harus dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis.

1.7 Penatalaksanaa
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara
7

2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan


serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai
penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan
penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan pengobatan yang
diberikan dan bekerja sama dengan dokter atau perawat yang
merawatnya.
Penatalaksanaan dapat dibagi atas penatalaksanaan umum dan
khusus. Penatalaksanaan umum meliputi tindakan pendidikan pada penderita
serta usaha-usaha menghindari faktor pencetus dan hal lain yang dapat
memperberat perjalanan penyakit; sedangkan penatalaksanaan khusus adalah
pemberian obat-obatan, terapi inhalasi dan tindakan lain.

 Penatalaksanaan umum

1. Pendidikan terhadap penderita dan keluarga penderita; keluarga perlu


mendapat penjelasan tentang penyakit serta faktor-faktor pencetus dan
yang memperburuk keadaan, sehingga mereka berperan aktif dalam
usaha pencegahan. Juga penjelasan tentang cara pemakaian obat,
sehingga pemakaiannya tepat dan benar.
2. Menghindari faktor pencetus yang bersifat iritasi, seperti debu, gas dan
zat kimia.
3. Menghindari perubahan suhu yang tiba-tiba.
4. Menghindari kelelahan fisik yang berlebihan terutama pada pendrita
exercise-induced asthma (asma yang disebabkan oleh aktivitas atau
latihan).
5. Menghindari atau mengurangi stres dan menstabilkan emosi.
6. Menghindari zat-zat alergen pada penderita asma ekstrinsik seperti bulu
binatang, tepung sari, makanan tertentu dan lainnya.
7. Menghindari infeksi, karena infeksi terutama di saluran napas bagian
atas sering menjadi pencetus asma.
8. Makanan yang cukup dan bergizi agar daya tahan meningkat; obat-
obatan sering menimbulkan mual-mual dan menyebabkan berkurangnya
nafsu makan.
8

9. Cairan yang cukup, agar dapat mengencerkan reak atau dahak sehingga
mudah dikeluarkan.
10. Imunoterapi dengan jalan desensitisasi, yaitu menyuntikkan ekstrak
antigen yang menimbulkan alergi secara berulang-ulang. Ini hanya
bermanfaat pada sebagian penderita asma dengan riwayat alergi.
 Penatalaksanaan khusus

Meliputi pemakaian obat-obatan, terapi respirasi dan usaha rehabilitasi.

Obat-obatan

a. Bronkodilator.
Obat utama yang mengatasi obstruksi saluran napas adalah
bronkodilator, tiga golongan bronkodilator adalah simpatomimetik,
antikolinergik dan golongan xanthin.

Obat golongan simpatomimetik merupakan bronkodilator utama


oleh karena obat ini bekerja merigaktifkan adenilsiklase dengan akibat
meningkatnya produksi siklik AMP dan menyebabkan relaksasi otot
polos saluran napas. Siklik AMP yang meningkat juga menghambat
pelepasan mediator seperti histamin dan SRS-A yang menimbulkan
bronkospasme. Obat ini juga meningkatkan kecepatan aliran lendir di
trakea. Obat beta stimulan yang bekerja selektif terhadap reseptor beta-2
metaproterenol yaitu beta agonis seperti terbutalin (Bricasma), fenoterol
(Berotec), orciprenalin (Alupent), salbutamol (Ventolin, Salbuvene),
procaterol (Meptin), dan hexoprenalin (Iprado)l, mempunyai efek
bronkodilatasi yang besar serta efek perangsangan kardiak yang
minimal.

Pemberian beta-2 agonis ini dapat menimbulkan tremor, dengan


meneruskan pemberian obat gejala samping ini akan berkurang.
Pemberian beta-2 agonis secara inhalasi akan mengurangi efek
samping, selain itu juga menimbulkan efek terapeutik yang lebih cepat
serta dapat memobilisasi lendir.

Golongan antikolinergik atau anti muskarinik seperti ipratropium


bromid (Atrovent), bekerja secara kompetisi antagonis dengan
asetilkolin. Asetilkolin adalah substansi penghantar pada refleks vagal,
akibat aktivitas substansi ini terjadi bronkokonstriksi.
9

Golongan xanthin merupakan bronkodilator yang paling lama


digunakan. Obat ini bekerja menghambat aksi enzim fosfodiesterase,
yakni enzim yang menginaktifkan siklik-AMP. Obat ini menyebabkan
kadar siklik AMP tinggi sehingga menimbulkan bronkodilatasi.
Pemberian obat ini dikombinasi dengan golongan lain akan memberikan
efek sinergisme. Pemberian kombinasi akan memberikan dosis yang
rendah dengan efek samping yang kurang.

Dosis toksik dapat menimbulkan gejala mual, muntah, anoreksia,


gelisah, kejang dan perubahan kesadaran. Bila dosis terapi tidak
menimbulkan efek dapat dilakukan pemantauan kadar obat dalam darah.
Kadar terapeutik ialah 10--20 ug/ml.

b. Kortikosteroid
Kortikosteroid paling sering digunakan pada asma, manfaatnya
sangat jelas terutama pada asma akut berat, walaupun mekanisme
kerjanya belum diketahui secara pasti; selain bersifat sebagai anti
radang, obat ini juga bekerja meningkatkan kerja obat-obat perangsang
adenoreseptor. Kortikosteroid topikal seperti beklomethason dipropionat
dan budesonide yang diberikan secara inhalasi memberikan manfaat
dalam mencegah EIA dan menurunkan hiperreaktivitas bronkus serta
mempunyai efek samping yang sangat kecil.

c. Disodium kromoglikat (DSCO)


Bekerja menghambat degranulasi dan penglepasan mediator oleh
sel mast terutama pada mukosa bronkus. Dengan demikian obat ini
mencegah bronkospasme, obat ini dapat digunakan sebagai pencegah
timbulnya serangan asma.

d. Antihistamin
Yang digunakan adalah ketotifen, anti histamin yang mempunyai
efek antianafilaktik dan menghambat kerja PAF (platelet aggregating
factor). Obat ini bermanfaat pada golongan asma ekstrinsik. Selain
golongan obat-obat di atas diberikan juga obat-obat penyerta atau
pembantu, atas dasar indikasi. Obat-obat penyerta itu antara lain adalah:

e. Antibiotika, diberikan bila ada tanda-tanda infeksi, yaitu adanya


perubahan warna sputum.
f. Mukolitik untuk mengencerkan sputum dapat diberikan mucohexin atau
N-acetyl cystein dan jenis lain.
10

g. Ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran sputum, yaitu gliseril


guaiakolat dan obat batuk hitam. Obat antihistamin lain umumnya tidak
diberikan karena dapat mengentalkan sekret, kecuali bila jelas terlihat
tanda-tanda alergi. Obat penenang seperti luminal juga tidak dianjurkan
karena dapat menekan pusat pernapasan.
 Terapi inhalasi

1. Terapi aerosol
Inhalasi bronkodilator sangat efektif pada serangan bronkospasme akut.
Pemberian dapat dengan nebulizer atau dengan spacer.

Bronkodilator inhalasi mempunyai efek terapi yang cepat dan efek


samping yang rendah. Perlu petunjuk yang jelas cara pemakaian aerosol
agar tidak terjadi kesalahan teknik.

2. Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan pada penderita dalam serangan yang berat dan
ada tanda-tanda hipoksemia.

 Rehabilitasi

1. Fisioterapi
Diberikan terutama untuk memobilisasi reak, bermanfaat pada
penderita asma kronik dengan produksi sputum yang kental.

Fisioterapi juga dapat berbentuk latihan pernapasan/senam


pernapasan. Hal ini selain mengefektifkan kerja otot-otot pernapasan
juga memberikan rasa percaya diri yang besar para penderita.

2. Rehabilitasi psikis
Pendekatan psikis berguna untuk mengurangi stres dan
menstabilkan emosi penderita. Terutama pada penderita-penderita
dengan emosi labil atau bila faktor emosi sangat berperan dalam
mencetuskan serangan.

 Kesimpulan Penatalaksanaan

Penatalaksanaan asma hendaklah secara terpadu dan melaksanakan


pendekatan terapi lain selain pemakaian obat-obatan. Bronkodialtor adalah
obat yang utama pada pengobatan asma. Pemberian kortikosteroid dapat
menurunkan hiperreaktivitas bronkus. Pemberian obat-obatan secara inhalasi
akan memberikan efek yang tepat serta efek samping yang kecil.
11

Pengobatan Selama Serangan Status Asthmatikus:


a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg/KgBB diberikan pelan-pelan selama 20
menit dilanjutkan drip RL atau D5 maintenance (20 tetes/menit) dengan
dosis 20 mg/KgBB/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara subkutan.
e) Dexamethasone 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.
(Pedoman Penatalaksanaan Status Asthmatikus UPF Paru RSUD Dr.
Soetomo Surabaya).
1.8 Komplikasi
Pada tahap awal asma akut, hiperventilasi dapat menyebabkan alkalosis
pernapasan. Hal ini karena unit paru-paru yang mengalami obstruksi
(kompartement lambat) lebih banyak daripada unit paru yang tidak obstruksi
(kompartement lambat). Hiperventilasi memungkinkan penghapusan karbon
dioksida melalui kompartemen cepat. Peningkatan unit paru yang mengalami
obstruksi mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan karbon
dioksida dan akhirnya menyebabkan hypercarbia/peningkatan karbondioksida
dalam sirkulasi darah, pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis
(Constantine, 2012).

KONSEP KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas (Smeltzer, 2001)
1) Usia dan jenis kelamin
Asma dapat terjadi pada sembarang usia; sekitar setengah dari kasus terjadi
pada anak-anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
12

Asma terutama terjadi pada anak laki-laki di masa kecil, dengan rasio pria-
perempuan 2:1 sampai pubertas, jika rasio pria-perempuan menjadi 1:1. Prevalensi
asma lebih besar pada wanita setelah pubertas, dan mayoritas onset dewasa kasus
didiagnosis pada orang tua dari 40 tahun terjadi pada wanita.
2) Tempat tinggal
Terjadi pada seseorang, terutama mereka yang tinggal dipemukiman yang padat
tempat tinggalnya, lembab, polusi udara, berdebu, ada binatang peliharaan di
rumah, dan kurangnya ventilasi dari rumah. (Morris, 2012; Konthen. P. G, dkk,
2008).
3) Pekerjaan
Pegawai pabrik, dan pekerjaan yang berhubungan dengan asap dan polusi yang
dapat menyebabkan pernapasan terganggu (Muttaqin, 2008).
2.1.2 Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Serangan asma mendadak secara klinis dapat terjadi menjadi 3 stadium.
Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Stadium kedua
ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak
napas, berusaha untuk bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti dengan mengi
(wheezing). Stadium ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengarnya suara napas
karena aliran udara kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan tidak
teratur, irama napas meningkat karena afiksia (Muttaqin 2008).
2) Riwayat penyakit dahulu
Menurut Mutaqin (2008) Salah satu riwayat penyakit dahulu selain asma
yaitu pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Ada riwayat
alergi, ada riwayat sakit asma, timbul pada waktu / musim tertentu (Konthen, P.G,
2008; Smeltzer, 2001).
3) Riwayat penyakit keluarga
Menurut teori Mutaqim (2008) riwayat penyakit keluarga didapatkan adanya
anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma, pneumonia, TBC,
influenza yang berulang.
4) Riwayat alergi
13

Menurut Smeltzer (2001: 611) pada pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat media masa lalu ekszem
dan rhinitis alergik . pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma.
5) Riwayat Psikososialspiritual
Pasien sering mengalami kecemasan, takut, mudah tersinggung, interaksi
sosial terbatas, kurang pengetahuan terhadap kondisi penyakitnya, hubungan
ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan dukungan dari orang
terdekat (Konthen, P.G, 2008; smeltzer, 2001; Doengoes, 2000).
2.1.3 Activity Day Living
1) Kebutuhan aktivitas/istirahat: keletihan, kelemahan, malaise,
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas,
ketidamampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea
pada saat istirahat (Doengoes, 2000).
2) Kebutuhan nutrisi: mual, muntah, nafsu makan menurun, ketidakmampuan
untuk makan karena distress pernafasan, turgor kulit buruk (Doengoes,
2000).
3) Kebutuhan higiene perseorangan: penurunan kemampuan/peningkatan
kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari (Doengoes, 2000).
4) Kebutuhan eliminasi/urine: cenderung normal (Smeltzer, 2001).
2.1.4 Pemeriksaan Fisik
a) Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan suara
bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang meningkatan, penggunaan
otot-otot pembantu pernapasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket dan posisi
istirahat klien

b) Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor
kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta
adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna
rambut, kelembaban dan kusam.

c) Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma,
adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kejang ataupun hilang
kesadaran.
14

d) Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang di
rasakan klien.

e) Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung, rinitis, alergi dan fungsi
olfaktori.

f) Mulut dan laring

Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan


mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara.

g) Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesaran tiroid serta
penggunaan otot-otot pernafasan.

h) Thorak
(1) Inspeksi
Dada diinspeksi terutama postur bentuk dan kesimetrisan, adanya
peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis,
frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.

(2) Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus.

(3) Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor.

(4) Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih
dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan Wheezing.

i) Kardiovaskuler.

Jantung di kaji ada atau tidaknya pembesaran jantung dan suara jantung
melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya pulsus
paradoksus.

j) Abdomen.
15

Perlu di kaji tentang bentuk, nyeri, serta tanda-tanda infeksi (Hudak dan
Gallo;1997)

k) Ekstrimitas.

Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada


extremitas.

2.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut Carpenito (2006:547) dan Wilkinson (2011:696) diagnosa
keperawatan yang muncul:
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sputum dan batuk tidak efektif.
2) Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan penyempitan saluran
pernafasan akibat bronkospasme
3) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran
darah sekunder akibat asma
4) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
5) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu
makan
6) Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dengan kebutuhan oksigen
7) Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan
kritis

2.3 Intervensi
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sputum dan batuk tidak efektif.
Tujuan: pasien menunjukkan bersihan jalan nafas yang paten setelah
dilakukan perawatan dengan kriteria hasil:
- Pasien menggungkapkan sesak berkurang, secret tidak sulit keluar
- Pasien dapat mengeluarkan secret saat batuk dan jumlah secret
berkurang
- Tidak terdengar suara nafas tambahan
16

- RR 20-30 x/menit dalam rentang normal


- Pasien dapat batuk efektif
Intervensi
(1) Jelaskan kepada pasien penyebab terjadinya sesak.
R/ Karena adanya alergi menyebabkan peyempitan jalan nafas dan
penumpukan secret pada jalan nafas sehingga mengganggu aliran
udara sehingga terjadi sesak.
(2) Beri posisi semi fowler (dilakukan dengan cara memodifikasi tempat
tidur atau memberi bantal pada kepala).
R/ Posisi semifowler akan meningkatkan ekspansi paru.
(3) Lakukan fisioterapi pernafasan
- Humidifikasi dengan nebulizer
R/ Kelembapan akan menurunkan kekentalan secret, sehingga
mempermudah pengeluaran dan membantu mencegah
pembentukkan mucus tebal pada bronkus.
- Perkusi dan vibrasi dada
R/ Perkusi dan vibrasi dada membantu merontokkan mucus
sehingga masuk ke saluran nafas yang lebih besar.
- Anjarkan dan motivasi pasien untuk nafas dalam dan batuk
efektif
R/ Nafas dalam akan meningkatkan inspirasi maksimal.inspirasi
dalam meningkatkan volume paru dan membuka jalan nafas untuk
memungkinkan udara mencapai bagian belakang mukus dan
mendorongnya ke depan. Batuk efektif: membersihkan secret dari
jalan nafas dengan menggunakan dorongan udara dan kontraksi
otot.
(4) Berikan cairan sesuai kebutuhan
R/ cairan membantu untuk mencegah terjadi kekurangan cairan dan
mencegah sekret yang kental sehingga sekret menjadi encer dan mudah
dikeluarkan
(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian.
- Nebulizer
R/ Dengan nebulizer dapat mengencerkan sekresi kental dan dalam
pemberian obat-obatan peralatan humidifikasi digunakan untuk
memberikan kelembapan. Nebulizer juga merupakan suatu alat
17

pemecah obat untuk menjadi bagian-bagian seperti uap untuk


dihirup.
- Obat-obat mukolitik
R/ Obat mukolitik membantu mengencerkan dahak sehingga secret
dapat dengan mudah dikeluarkan.
(6) Observasi keluhan anak, karakteristik secret, frekuensi RR, suara nafas
tambahan, ketidakefektifan batuk.
R/ Observasi secret untuk melihat adanya manifestasi tubuh mengatasi
kesulitan bernafas akibat penyempitan saluran nafas. Ronkhi untuk
menilai adanya penumpukkan secret pada jalan nafas. Ketidakefektifan
batuk menandakan terdapat penumpukan secret pada jalan nafas.

2) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran


darah sekunder akibat asma (Doenges, 2000:180)
Dapat dihubungkan dengan: penghentian aliran darah arteri/vena.
Kemungkinan dibuktikan oleh:
- Kardiopulmonal: ketidakcocokan ventilasi/perfusi

- Dispnea

- Sianosis sentral
Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan perfusi sesuai dengan individual
misalnya status mental biasa/normal, irama jantung/frekuensi jantung dan
nadi perifer dalam batas normal, tidak adanya sianosis sentral dan perifer,
kulit hangat/kering, haluaran urine dan berat jenis dalam batas normal
Intervensi:
(1) Auskultasi frekuensi dan irama jantung
R/ takikardia sebagai akibat hipoksemia dan kompensasi upaya
peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan.
(2) Observasi perubahan status mental
R/ gelisah, bingung, disorientasi, dan/atau perubahan sensori/motor dapat
menunjukkan gangguan aliran darah, hipoksia atau cedera vaskuler
serebral
18

(3) Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa


R/ kulit pucat atau sianosis, kuku, membrane bibir/lidah atau dingin
menunjukkan vasokonstriksi perifer (syok) dan atau aliran darah sistemik
(4) Tinggikan kaki/telapak bila di tempat tidur/kursi. Dorong pasien untuk
latihan kaki dengan fleksi/ekstensi kaki pada pergelangan kaki. Hindari
menyilangkan kaki dan duduk atau berdiri terlalu lana.
R/ tindakan ini dilakukan untuk menurunkan stasis vena di kaki dan
pengumpulan darah pada vena pelvis untuk menurunkan resiko
pembentukan thrombus.

3) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran


Tujuan: Pasien tidak mengalami cedera selama serangan asma dilakukan
tidakan keperawatan dengan criteria hasil :
← - Tidak ada luka, memar
← - Pasien tidak jatuh
Intervensi:
(1) Jelaskan kepada orangtua tentang cara menghindari cedera pada pasien
R/ pengetahuan tentang cara menghindarkan pasien dari cedera dapat
membantu menghindari aktivitas yang dapat beresiko cedera
(2) Ciptakan lingkungan aman dan nyaman
R/ lingkungan aman dapat mengurangi resiko terjadinya cedera
(3) Bantu pasien melakukan aktivitas sehari-hari secara perlahan
R/ ambulasi yang tergesa-gesa dapat menyebabkan pasien mudah jatuh
(4) Batasi aktivitas
R/ menghemat penggunaan oksigen
(5) Observasi keluhan pasien
R/ meminimalkan terjadinya cedera apabila pasien mengeluh pusing,
masih sesak dan gelisah.
4) Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dengan kebutuhan oksigen
Tujuan : Klien toleran terhadap aktivitas yang dilakukan setelah dilakukan
tindkan keperawatan dengan kriteria hasil :
- Pasien tidak sesak
19

- Nadi 80-110x/mnt
- RR 20-30x/mnt
- Tidak didapatkan tanda- tanda dispnea pada peningkatan aktivitas.
- Klien mampu melakukan aktivitas dengan bantuan minimal
Intervensi :
(1) Jelaskan pada pasien penyebab intoleransi aktivitas
R/ transport oksigen yang terganggu akibat asma menyebabkan pasien
akan cepat merasa lelah setelah melakukan suatu aktivitas yang
melebihi kemampuan saat masih terserang asma.
(2) Bantu dan motivasi klien dalam meningkatkan aktivitasnya secara
bertahap
R/ Peningkatan aktivitas secara bertahap memberikan kesempatan pada
tubuh menyeimbangkan persediaan oksigen dengan kebutuhan
(3) Rencanakan program istirahat diantara aktivitas yg dilakukan
R/ Mencegah kelelahan yg berlebihan, mencegah peningkatan beban
kerja jantung
(4) Observasi kemampuan aktivitas klien
R/ Deteksi keberhasilan tindakan dan memprogramkan aktivitas
bertahap

5) Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan


kritis.
Tujuan: pasien menyatakan peningkatan kenyamanan psikologi dan fisiologi
dengan kriteria hasil:
- Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya
- Menggunakan mekanisme koping yang efektif
Intervensi
(1) Jelaskan kepada pasien tentang penyakit
R/ pasien mampu menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan
penyakit.
(2) Jelaskan tentang tanda dan gejala yang perlu dilaporkan dan segera
mendapatkan penanganan
20

R/ keikutsertaan pasien dalam memonitor kesehatannya dan


meningkatkan tanggung jawab dalam pemeliharaan kondisi serta
mencegah penyakit berulang.
(3) Libatkan keluarga dalam membantu memberikan asuhan keperawatan
yang tepat.
R/ peran keluarga merupakan support system dalam meningkatkan
keberhasilan tindakan keperawatan
(4) Beri dukungan emosional selama masa perawatan
R/ perawatan medis menimbulkan krisis situasi. Mendengarkan
kekhawatiran serta perasaannya akan membantu pasien untuk
beradaptasi dengan krisis yang dialaminya.
21

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood dan Mukty, abdul (2005). Dasar-dasar ilmu Penyaki Paru.
Surabaya: Airlangga University Press

Carpenito, Lynda Juall, (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Alih bahasa : Yasmin Asih EGC: Jakarta.

Doenges.E Marilynn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta: EGC.

Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Alih bahasa: Brahm U.Edisi 6. Jakarta: EGC.

Konthen, P.G dkk (2008). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/ SMF Ilmu
Penyakit Dalam Edisi III. Surabaya : RSU dr. Soetomo

Kowalak, Jenifer P dkk (2001). Buku Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa: Andry
Hartono: Editor Bahasa Indonesia Renata Kumalasari dkk. Jakarta: ECG.

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8


Vol. 2. Alih Bahasa: Agung Waluyo. Jakarta: EGC.
Soemantri, Irman. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

You might also like