Professional Documents
Culture Documents
dan pace. Daerah Nusa Tenggara mengkudu biasa disebut wangkudu, manakudu
dan bakulu. Sulawesi dikenal dengan noni dan di daerah Kalimantan dikenal
tropis sampai ke Polynesia. Mengkudu termasuk jenis tanaman yang rendah dan
umumnya memiliki banyak cabang dengan ketinggian pohon sekitar 3-8 meter
pekarangan. Mengkudu juga dapat tumbuh dari daerah dataran rendah sampai
bersilang hadapan, memiliki tangkai daun, bertepi rata dengan ukuran panjang 10-
40 cm dan lebar 15-17 cm, ujung meruncing, pangkal menyempit dan tulang daun
sampai berbentuk elips, berupa buah buni majemuk yang berkumpul menjadi satu
sebagai buah yang besar (Gambar 1). Panjang buah berdiameter 7,5-10 cm,
permukaan tidak rata berbenjol-benjol, warna hijau, jika masak berdaging dan
berair, warna kulit pucat atau kuning kotor, berbau busuk, berisi banyak biji
zat antraquinon dalam buah mengkudu berfungsi sebagai zat-zat yang bersifat
dan antibiotik, yaitu scopoletin sebagai anti jamur, antraquinon untuk melawan
6
infeksi bakteri dengan cara meningkatkan sistem imun, asam ursolik secara
internal dapat mengatasi inflamasi dan infeksi jamur pada kulit, asam kaprilik
dan karotenoid merupakan zat anti infeksi fungi dan bakteri, dan xeronine anti
infeksi jamur dan meningkatkan imunitas tubuh (Waha, 2000). Selanjutnya Karou
golongan alkaloidnya antara lain xeronin dan proxeronin (suatu bahan aktif
bersifat fungisida (pembunuh jamur) terhadap Phythium sp. dan juga bersifat anti-
yang sangat penting bagi tubuh untuk membantu sintesa organik dan pemulihan
yang juga terdapat pada lemak atau minyak esensial (essential oils), yaitu sejenis
2005). Asam askorbat yang terdapat di dalam buah mengkudu merupakan sumber
yang juga bersifat polar pada bakteri Gram positif daripada lapisan lipid yang
nonpolar. Selain itu pada dinding sel Gram positif mengandung polisakarida
(asam terikoat) yang merupakan polimer dan larut dalam air, berfungsi sebagai
transfor ion positif untuk keluar masuk. Sifat larut inilah yang menunjukkan
bahwa dinding sel Gram positif bersifat lebih polar. Aktivitas penghambatan
dinding sel sebagai pemberi bentuk sel dan melindungi sel dari lisis osmotik.
Terganggunya dinding sel akan menyebabkan lisis pada sel (Dewi, 2010).
Chan, 1988). Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus memiliki toksisitas
selektif setinggi mungkin. Zat antibakteri tersebut harus bersifat sangat toksik
untuk bakteri tetapi relatif tidak toksik terhadap ikan. Oleh sebab itu, berdasarkan
sifat toksisitas selektif, ada anti bakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan
bakteri dikenal dengan aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh
8
antibakteri dibagi menjadi lima bagian, yaitu 1). dapat mengganggu metabolisme
sel bakteri, 2). menghambat sintesis dinding sel bakteri, 3). mengganggu
permeabilitas membran sel bakteri, 4). menghambat sintesis protein sel bakteri
dan 5). menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel bakteri (Setiabudy
terendah dari tabung yang tidak tampak keruh menunjukkan bahwa penghambatan
Pengamatan aktivitas antibakteri juga bisa dilakukan dengan melihat zona hambat
(clear zone) pada media padat dengan menggunakan disk. Apabila suatu zat
hambat di sekitar disk, sedangkan di luar zona hambat bakteri akan terus tumbuh
yang menandakan pada zona tersebut tidak terdapat aktivitas antibakteri (Lennete
et al., 1985).
aktif yang berfungsi sebagai zat antibakteri. Bakteri yang telah diketahui dapat
Sigella (Waha, 2000). Selanjutnya Lee et al., (2008) juga melaporkan bahwa pada
dosis 250 mg/mL ekstrak buah mengkudu dengan menggunakan pelarut akuades
putrifaciens (8.5 mm), Vibrio harveyi dan Vibrio alginolyticus (9.5 mm), Vibrio
hambat terhadap bakteri Streptococcus sp. dan Edwardsiella tarda (7 mm), Vibrio
harveyi dan Vibrio vulnificus (8 mm), Vibrio alginolyticus (9,5 mm) dan Vibrio
seperti bentuk kokus, Gram positif, motilitas negatif, oksidatif fermentatif positif,
terdapat 10 jenis tipe serotype yang telah teridentifikasi (Kong et al. 2002;
hemolisis yang ada untuk bakteri Streptococcus adalah alpa (α-), beta (β-) dan non
mengekspresikan zona bening disekitar koloni dan non hemolitik tidak mampu
a b c
Gambar 2. Streptococcus pada media agar darah. (a) β-hemolitik, (b) α-
hemolitik dan (c) Non-hemolitik
Sumber : Dwinanti (2011)
S. agalactiae dibagi menjadi dua tipe yaitu β hemolitik dan non hemolitik.
S. agalactiae β-hemolitik tumbuh baik (cepat) pada suhu 37°C dan mampu
dikelompokkan dalam tipe berkapsul dan non kapsul (Wibawan et al. 1992).
Streptococcus agalactiae sebagai bakteri patogen, memiliki faktor
beberapa jenis toksin protein dan enzim yang mampu membunuh atau
nutrisi inang untuk berkembangbiak. Pada beberapa kasus, toksin protein dan
enzim tersebut berperan penting dalam resistensi terhadap sistem imun inang, baik
komponen itu sendiri ataupun kombinasi dengan faktor virulen pada sel seperti
kapsul atau protein permukaan. Salah satu faktor virulensinya adalah kandungan
dari kapsular polisakarida, protein permukaan dan beberapa sekresi protein inilah
yang membantu bakteri menempel pada sel epitel inang serta menghindari
mekanisme pertahanan tubuh inang. ECP merupakan salah satu faktor virulensi S.
virulensi ekstraseluler pada bakteri ini terdiri dari kapsul polisakarida, hemolisin,
terkait dengan proses perjalanan bakteri dari awal infeksi hingga menyebabkan
dibandingkan dengan tipe β hemolitik dilihat dari jumlah kematian ikan nila yang
lebih cepat dan banyak, perubahan pola renang, pola makan dan patologi anatomi
agalactiae tipe non-hemolitik lebih tinggi daripada β-hemolitik mulai dari 12 jam
pasca injeksi dan kematian terus terjadi hingga hari ke-7 pemeliharaan. Kematian
yang terjadi secara cepat dan banyak dalam waktu 12 jam kemungkinan
gelatinase, chitinase dalam bakteri (Austin dan Austin, 2007). Selain itu
Philippina, selain itu juga ditemukan di wilayah Amerika Latin seperti Ekuador,
waktu 6 hari setelah diinfeksi. Gejala tingkah laku ikan nila sebelum mati terlihat
seperti berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respons terhadap pakan
pada warna tubuh, dan bukaan operkulum menjadi lebih cepat. Taukhid (2009),
berhasil mengisolasi S. agalactiae dari ikan nila yang berasal dari beberapa daerah
seperti Cirata, Klaten, Kalimantan, Sulawesi, dan Aceh. Gejala klinis yang tampak
pada ikan-ikan yang terinfeksi S. agalactiae ini adalah clear operculum, berenang
whirling (menggelepar), warna tubuh menjadi gelap, dan pada kasus kronis ikan
Greenwood dalam Rachdie (2005), nilai MIC adalah spesifik untuk tiap-tiap
kombinasi dari antibiotik dan mikroba. Nilai MIC digunakan untuk mengetahui
sensitivitas mikroba yang di uji. Jika sensitivitas dari bakteri semakin besar, maka
MIC terhadap seluruh strain dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies
mikroba adalah sangat berbeda dalam hal sensitivitas. Metode uji antimikrobial
13
yang sering digunakan adalah metode Difusi Lempeng Agar. Uji ini dilakukan
dan disk blank yang telah mengandung anti mikroba. Setelah diinkubasi diameter
dapat mempengaruhi ukuran zona hambat dan harus dikontrol diantaranya yaitu
zona penghambatan akan semakin kecil), kedalaman medium pada cawan petri
(semakin tebal medium pada cawan maka zona penghambatan semakin kecil),
nilai pH medium (beberapa antibiotika bekerja dengan baik pada kondisi asam
dan beberapa basa kondisi alkali atau basa), dan kondisi aerob atau anaerob
(beberapa antibakterial kerja terbaiknya pada kondisi anaerob dan yang lainnya
ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut diinkubasi
dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan
kekeruhan. Larutan senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimal
menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang
14
rentan terhadapnya (Soemirat, 2003). Uji toksisitas merupakan uji hayati yang
berguna untuk menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat. Uji toksisitas akut
akut. Parameter yang diukur biasanya berupa kematian hewan uji, yang hasilnya
(LD50) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat hari (Soemirat, 2003).
dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik pada 50% dari ikan uji. LD 50
kisaran dosis letal. Maksud dilakukan LD50 adalah uji untuk mengukur derajat
efek suatu senyawa yang diberikan pada ikan uji tertentu, dan pengamatannya
dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan dalam satu
kesempatan saja. Nilai LD50 24 jam suatu senyawa terhadap ikan uji ditentukan
dengan menggunakan metode Reed dan Muench (1938) dalam Ibrahim et al.,
(2012).