You are on page 1of 14

Definisi KIPI

Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI
adalah semua kejadian semua kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi yang terjadi
dalam masa 1 bulan setelah imunisasi, baik berupa efek vaksin ataupun efek samping,
toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi,
reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Pada keadaan tertentu lama
pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau
bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca
vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non
imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan
teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan
teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai
telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medikine (IOM) USA
menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang
akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic
errors).1,2

2.3 Etiologi
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata
tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan KIPI diperlukan
keterangan mengenai:
1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. derajat sakit resipien
4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi,
atau kesalahan prosedur.

Komnas PP KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi :2


1. klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999)
2. klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI

1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999)


Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai criteria
WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam 5 kelompok penyebab, yaitu kesalahan
program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi
lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI.

a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)


Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan
imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana
pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi, misalnya:
 Dosis antigen (terlalu banyak)
 Lokasi dan cara menyuntik
 Sterilisasi semprit dan jarum suntik
 Jarum bekas pakai
 Tindakan aseptik dan antiseptik
 Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
 Penyimpanan vaksin
 Pemakaian sisa vaksin
 Jenis dan jumlah pelarut vaksin
 Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, kontra indikasi
dan lain-lain)
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat
kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Mencegah program error (VSQ 1996)


 Alat suntik steril untuk setiap suntikan
 Pelarut vaksin yang sudah disediakan oleh produsen vaksin
 Vaksin yang sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam
 Lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin
 Pelatihan vaksinasi dan supervisi yang baik
 Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama

b. Reaksi suntikan1,2
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung
misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi
suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope. Reaksi ini tidak
berhubungan dengan kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi
masal :
 Syncope/fainting
- Sering kali pada anak > 5 tahun
- Terjadi beberapa menit post imunisasi
- Tidak perlu penangan khusus
- Hindari stress saat anak menunggu
- Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk

 Hiperventilasi akibat ketakutan


- Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan
- Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien tersebut perlu
diperiksa)
 Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan hysteria
 Penting penjelasan dan penenangan

Pencegahan reaksi KIPI reaksi suntikan dengan :


 Teknik penyuntikan yang benar
 Suasana tempat penyuntikan yang tenang
 Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar
c. Induksi Vaksin
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih
dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan.
Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik
dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan
tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai kontra indikasi,
indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya
termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan
ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

 Reaksi lokal
- Rasa nyeri si tempat suntikan
- Bengkak kemerahan di tempat suntikan sekitar 10%
- Bengakk pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
- BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi dan sembuh setelah
beberapa bulan.

 Reaksi sistemik
- Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hamper 50%, juga reaksi lain seperti iritabel,
malaise, gejala sistemik.
- MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi demam
dan atau ruam dan konjungtivitis pada 5-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi
campak tetapi berat pada kasus imunodefisiensi.
- Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkakan kelenjar parotis, rubella terjadi
rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe.
- OPV kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot.
 Reaksi vaksin berat
- Kejang
- Trombositopenia
- Hypotonic hyporesponsive episode / HHE
- Persistent inconsolable screaming bersifat self limiting dan tidak merupakan
masalah jangka panjang
- Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhkan tanpa dampak jangka
panjang
- Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP

Pencegahan terhadap reaksi vaksin :


 Perhatikan kontra indikasi
 Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas
 Orang tua diajarkan menangani reaksi vaksin yang ringan dan dianjurkan sefera
kembali apabila reaksi vaksin yang ringan dan dianjurkan segera kembali apabila ada
reaksi yang mencemaskan
 Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala ruam dan rasa nyeri
 Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis
 Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus dirujuk ke
rumah sakit dengan fasilitas lengkap.

d. Faktor kebetulan (koinsiden)


Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan
saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya
kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan
karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

e. Penyebab tidak diketahui


Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah
satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.
WHO pada tahun 1992 melalui expanded programme on immunization (EPI) telah
menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap Negara. Untuk Negara berkembang
yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi programmatic
errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali pakai atau alat
suntik reusable, dan cara penyuntikkan yang benar sehingga transmisi pathogen melalui
darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil terjadinya KIPI harus
selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi
dilaksanakan.

2. Klasifikasi Kausalitas2
Vaccine Safety Comitttee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda dengan
laporan Committee Institute of Medikine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu
:
- Tidak terdapat bukti hubungan kasusal (unrelated)
- Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely)
- Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
- Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable)
- Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)

Berdasarkan kriteria WHO klasifikasi kausalitas dapat digambarkan sebagai


berikut
Pada tahun 2009, WHO merekomendasikan klasifikasi kausalitas baru berdasarkan 2 aspek
yaitu waktu timbulnya gejala dan penyebab lain yang dapat menerangkan terjadinya KIPI
(alternate explanation: no, maybe, yes ). Klasifikasi tersebut dibagi menjadi certain,
probable, pssile, unlikely, unrelated, dan unclassifiable.

Certain/ very likely


Kejadian secara klinis terjadi dan waktu hubungan pemberian vaksin adalah sesuai berhubungan
dan yang tidak dapat dijelaskan oleh pemberian obat lain atau penyakit lain yang bersamaan.
Probable
Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu pemberian vaksin adalah
sesuai berhubungan dan sepertinya masih bisa berhubungan dengan pemberian obat atau
penyakit lain yang bersamaan.

Possible
Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu pemberian vaksin adalah
sesuai berhubungan tetapi juga berhubungan dengan pemberian obat atau kebetulan sama
dengan penyakit yang sedang di derita atau pemberian obat.

Unlikely
Kejadian yang secara klinis terjadi dengan hubungan waktu pemberian vaksin adalah tidak
sesuai berhubungan dan kejadian tersebut juga sepertinya tidak disebabkan berhubungan
dengan pemberian obat atau penyakit lain.

Unrelated
Sebuah peristiwa klinis dengan hubungan waktu yang tidak kompatibel dan yang dapat
dijelaskan oleh penyakit yang mendasari atau obat lain atau bahan kimia.

Unclassifiable
Kejadian yang secara klinis yang terjadi tidak cukup informasi yang menjelaskan kejadian
tersebut dan tidak juga berhubungan dengan obat atau penyakit dengan pemberian obat
atau penyakit lain.

2.4 Gejala klinis


Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi
gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin
cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan
oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk
orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil
daripada obat obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman
tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi pelru diobservasi
selama 15 menit.1,2,3

Tabel 2. Gejala klinis KIPI menurut lokasinya

Reaksi KIPI Gejala KIPI

Lokal Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang berat,


misalnya selulitis, BCG-itis

SSP Kelumpuhan akut

Ensefalopati

Ensefalitis

Meningitis

Kejang

Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis,


edema

Reaksi anafilaksis

Syok anafilaksis

Artralgia
Demam tinggi >38,5°C

Episode hipotensif-hiporesponsif

Osteomielitis

Menangis menjerit yang terus


menerus (3jam)

Sindrom syok septik

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila
seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan
tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi
pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15
menit. Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI
dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.1,7,12

KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian
reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi
anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa
lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga
tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.

Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine
Information Statement, 2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa
demam ringan sampai sedang terjadi ¼ dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis (CDC
Vaccine Information Statement 2000). Kasuus KIPI campak berupa demam terjadi pada 1/6
dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi
alergi serius 1/1.000.000 dosis.1,3,7,12
2.5 Tata cara Pemantauan dan Penanggulangan KIPI1,2
Masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi selalu
disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan (koinsiden). Sebagian
yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya
adalah kesalahan program yang dapat dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian
tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.
Tujuan Utama pemantauan kasus KIPI adalah untuk mendeteksi dini, merespon
kasus KIPI dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negative imunisasi terhadap kesehatan
individu dan terhadap program imunisasi. Hal ini merupakan indicator kualitas program.

Kegiatan pemantauan kasus KIPI meliputi :1


 Menemukan kasus, melacak kasus, menganalisis kejadian, menindaklanjuti kasus,
melaporkan dan mengevaluasi kasus.
 Memperkirakan angka kejadian KIPI pada suatu populasi
 Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada batch vaksin atau
merek vaksin tertentu.
 Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan koinsidens atau
bukan.
 Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program imunisasi.
 Memberi respon yang cepat dan tepat terhadap perhatian orang tua/masyarakat
tentang keamanan imunisasi, di tengah kepedulian (masyarakat dan professional)
tentang adanya resiko imunisasi.
Pelaporan KIPI
Pada pelaksanaannya jarang berhasil menentukan penyebab KIPI, karena memang
tidak mudah untuk menemukannya. Untuk menentukan penyebab kasus KIPI dan diduga kasus
KIPI diperlukan laporan dengan keterangan rinci sebagaimana yang diuraikan di bawah ini.
Data yang diperoleh dipergunakan untuk menganalisis kasus dan mengambil kesimpulan.1,2,11

KIPI yang harus dilaporkan


Semua KIPI harus dilaporkan, baik yang ringan maupun yang berat.
Termasuk KIPI yang berat yaitu:
 Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan
dengan imunisasi.
 Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat
berhubungan dengan imunisasi.
 Semua kecacatan, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan
dengan imunisasi.
 Semua kejadian medik yang menimbulkan keresahan masyarakat karena diduga
berhubungan dengan imunisasi.
Pelapor KIPI
 Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi
 Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan, rumah
sakit serta sarana pelayanan kesehatan lain.
 Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian lapangan.

Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan


 Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi, petugas kesehatan
harus dapat mengenal KIPI dan menentukan apakah perlu dilaporkan dan perlu
tindakan lebih lanjut.
 Petugas harus mengetahui factor pencetus dan harus mampu menggunakan definisi
kasus.
 Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan member nasehat pada orang
tua untuk mengobati pasien. Reaksi ringan, seperti limfadenitis BCG dan abses
kecil pada tempat suntikan, tidak perlu dilaporkan kecuali apabila tingkat
kepedulian orang tua cukup bermakna.
 Pada orang tua dan masyarakat harus mengetahui reaksi yang diharapkan terjadi
setelah imunisasi dan dianjurkan untuk melapor serta membawa dengan segera
anak yang sakit yang dikhawatirkan ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan.

Pelaporan
 Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang disediakan.
 Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat kabupaten/daerah tingkat II, dengan
tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan diprovinsi.
 Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi kejadian serta menetapkan kasus
tersebut termasuk KIPI atau tidak, serta meneruskanya ke Instansi Kesehatan Provinsi
/ Daerah Tingkat I sampai ke subdit Imunisasi Dirjen PPM & PLP Depkes dengan
tembusan kepada KOMNAS PP KIPI
 Dalam hal mendesak, pelaporan dapat disampaikan melalui telepon atau faximili,
formulir pelaporan harus diisi kemudian.
 Data demografi.

Data yang harus dilaporkan


1. Data pasien
 Riwayat perjalanan penyakit
 Riwayat penyakit sebelumnya
 Riwayat imunisasi
 Pemeriksaan penunjang yang berhubungan
2. Data pemberian vaksin
 Nomor batch vaksin
 Masa kadaluarsa
 Nama pabrik pembuat vaksin
 Kapan dan darimana vaksin dikirim
 Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau berhubungan
3. Data yang berhubungan dengan program
 Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin
 Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluarsa?
 Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin sebelum
disuntikkan
 Perlakuan setelah vaksinasi, missal pembuangan vaksin setelah
selesai pelaksanaan imunisasi?
 Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi
 Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?
 Apakah pelarut steril?
 Apakah dosis sudah benar?
 Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?
 Ketersediaan jarum dan semprit
 Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu orang?
 Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan?
4. Data sasaran lain
 Jumlah pasien yang menerima imunisasi dengan vaksin nomnor batch sama
atau pada masa yang sama atau keduanya, dan berapa jumlah pasien yang
sakit serta bagaimana gejalanya.
 Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomor batch lain (dari produsen
sama atau berlainan) atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi terkena
penyakit dengan gejala yang sama.

Tindak Lanjut :

Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda . Pelacakan
dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI , atau oleh yang melihat pola tertentu di
binaannya . Di lain pihak , dalam beberapa keadaan untuk KIPI tertentu tidak perlu dilakukan
tindak lanjut , seperti penyakit yang tidak berhubungan dengan imunisasi , seperti pneumonia
setelah penyuntikan DPT . Meskipun demikian apabila orang tua pasien menganggap kejadian
tersebut berhubungan dengan imunisasi , berikan kesempatan kepada mereka untuk
mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan .

You might also like