Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
JAKARTA
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatan kepada Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan tugas Makalah ini dengan
sebaik-baiknya dan tepat waktu. Kelompok kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada
setiap dukungan yang telah mendorong kelompok untuk menyelesaikan tugas askep mental ini.
Kelompok kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan
serta pengetahuan pembaca mengenai “ penyakit mental, kecacatan, dan gelandangan atau
terlantar” kelompok kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kelompok kami berharap adanya
kritikan, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat, mengingat tidak
adanya sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun
Kelompok
ii
DAFTAR ISI
Cover...............................................................................................................................................i
Daftar isi.........................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan masalah................................................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep teori........................................................................................................................3
a. Populasi rentang......................................................................................................3
b. Gangguan mental (mental disorder)........................................................................4
c. Penyakit cacat/disabilitas.......................................................................................11
d. Tunawisma/glandangan.........................................................................................14
e. Asuhan keperawatan pada agregat populasi mental..............................................17
A. Kesimpulan........................................................................................................................20
B. Saran..................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam
Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain
genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome
negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau
rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif
atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia
memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan,
tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping
itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai
hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan
masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan
aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan
hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai
masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa
konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai
dampak bagi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1
5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat penyakit mental ?
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
a. Populasi Rentan
Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam
Kelompok Rentan adalah:
a) Refugees (pengungsi)
b) Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c) National Minoritie (kelompok minoritas)
d) Migrant Workers (pekerja migran )
e) Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)
f) Children (anak)
g) Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang
layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi
kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan
dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau
3
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari
sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal :
Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental.
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang
digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi
gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah:
“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau
psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi
yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi
dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di
dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari penjelasan di atas, kemudian
dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir
sebagai berikut:
1) Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau
pola psikologik
2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
(Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan
sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental,
disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap
stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural
dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang
4
sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental
(mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya
terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber
gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi
psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah
ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun
phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
5
4. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood)
atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau
kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).
5. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
6. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan
segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
7. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna
dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup
yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang
lain (Maslim, tth:102).
8. Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan
sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9. Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi yang berhubungan
erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus
menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas”
ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun
defisit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.
Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.
Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan
sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan
yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136). Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja
(2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki
6
rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental,
namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan
patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
7
Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya
gangguan mental (mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:
1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan,
kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis,
yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya.
Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara
yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban
psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit agar
menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan
penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental.
8
lain untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental sesuai dengan
kemampuannya.
2) Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor yang
mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah
didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsipprinsip yang dimaksud adalah:
9
Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn
tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab timbulnya
gangguan mental, juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya
gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan
dalam mengahadapi tuntutan dan persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur,
2000:13). Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak
mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai fungsi
atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan.
(Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin
menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan
lain sebagainya.
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan
terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif)
terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan
(konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan
beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun
menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental secara utuh.
Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai.
Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian
apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi
tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).
f) Pengawasan diri
10
demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih
kekal. (Fahmi, 1982:114). Manfaat lain dari pengawasan diri adalah
menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan
kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan setiap pribadi
untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan
mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik
khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda
inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang
hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup
orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta
orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami
gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan
memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental,
yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat
fisik dan mental. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
11
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan
mental.
Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik
khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda
inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang
hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup
orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta
orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami
gangguan.
b. Jenis-jenis Disabilitas
Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap
penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan
bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik.
a) Mental Tinggi.
b) Mental Rendah
12
c) Berkesulitan Belajar Spesifik
4. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik
dan mental)
13
d. Tunawisma/ Gelandangan
a. Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal
secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke
dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga. Masyarakat yang menjadi
tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang
tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan
profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau
kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah
kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol,
atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah
kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang
14
3) Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang lebih
daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan
keluarga broken home membuat mereka merasa kurang perhatian,kemyamanan dan ketenangan
sehingga mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang lebih
sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya.
Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan.
Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan
hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 ) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur
melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan.
6) Rendahnya ketrampilan
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi gelandangan dan
pengemis. Antara lain:
15
a. Rendahnya harga diri.
8) Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang
mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang
bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu suaminya
mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama,
terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat yang
tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus meninggalkan
tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota
lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat
masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi
gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya
sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta
16
10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah hanya
setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam
panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya. Pada kenyataannnnya,
penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali
lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah
setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang
berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses
ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut
apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama
yakni menjadi gelandangan dan pengemis.
seorang perempuan, usia 30 tahun,dengan dua orang anak pulang dari rumah sakit setelah
20 hari dirawat di rumah sakit, perempuan tersebut dirawat karena marah-marah, tertawa,
berbicara sendiri, merusak alat rumah tangga dan curiga dengan suaminya. Diagnosa medis
skizofrenia. Suami perempuan tersebut bekerja sebagai buruh di kota dan pulang seminggu
sekali. Perempuan tersebut sudah 2 kali dirawat di rumah sakit. Dirumah ia hanya tinggal dengan
kedua anaknya, 1 minggu setelah pulang kader melaporkan keperawat puskesmas bahwa
perempuan tersebut mulai marah-marah, bicara dan tertawa sediri lagi dan tidak mau minum obat
A. Pengkajian :
Satu minggu setelah pulang dari rumah sakit perempuan tersebut marah-marah, bicara sendiri,
tertawa sendiri, merusak alat rumah tangga, dan curiga dengan suaminya. Selama satu minggu
terakhir perempuan tersebut tidak minum obat.
B. Diagnosa keperawatan
Individu :
Dx : Halusinasi
17
Resiko perilaku kekerasan
Keluarga :
Kurang pengetahuan
Perencanaan :
Individu
Keluarga
Individu
Keluarga
18
Tindakan
Individu
Keluarga :
Evaluasi :
Individu :
Pencegahan :
Primer : pendidikan kesehatan dan melatih cara manajemen setres untuk suami dan anak-anak
pasien tersebut
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat mengaplikasikan pada
kehidupan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi. Jakarta
: Salemba Medika
Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta
: EGC
21