You are on page 1of 3

ANALISA MENGENAI LEGALITAS DEWAN PERWAKILAN DAERAH

(Aldi Rizky Agustian – Rights and Clearances CNN Indonesia)


1. Sumber atau Dasar Hukum:
 Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib

2. Identifikasi Masalah:
 Pemaparan tentang Jalan Hukum
 Bagaimana Perlakuan Pihak Media terhadap Dewan Pemerintahan Daerah dan Para
Pimpinannya di dalam Pemberitaan Media?

3. Pembahasan

1. Pendahuluan

Berdasarkan artikel yang dibuat oleh Refly harun dalam situs Kompas, hampir satu
bulan trio Oesman Sapta, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis duduk di singgasana
tampuk pimpinan Dewan Perwakilan Daerah. banyak orang yang menilai bahwa proses
tersebut ilegal, setidaknya dalam kacamata ahli hukum tata negara yang terhimpun dalam
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN),
gonjang-ganjing tentang pemilihan itu mulai meredup. Publik mulai amnesia dengan
kesewenang-wenangan pemilihan pimpinan DPD tersebut. Pimpinan yang legal mulai
dilupakan.

Gonjang-ganjing pembatasan jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5
tahun sudah mencuat sejak 2015, tidak lama setelah trio Irman Gusman, GKR Hemas, dan
Farouk Muhammad terpilih sebagai pimpinan DPD periode 2014-2019. Pemicunya, antara
lain, ketidakpuasan terhadap kinerja Irman Gusman sebagai Ketua DPD, yang terpilih untuk
kedua kalinya setelah sebelumnya menjabat pada periode 2009-2014. Irman juga menjadi
Wakil Ketua DPD periode 2004-2009. Bisa dibilang, ia satu-satunya pimpinan lembaga
negara yang terpilih berkali-kali.

Menurut Pasal 7 Ayat (4) Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
dijelaskan bahwa:

“Masa jabatan Anggota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat Anggota
yang baru mengucapkan sumpah/janji.”’

Apabila perubahan tata tertib yang membatasi masa jabatan hendak diberlakukan,
hal tersebut seharusnya diberlakukan pada periode ke depan (setelah 2019). Atau
kalaupun ingin dipaksakan, yang menurut saya tetap saja tidak etis, aturan tersebut tidak
diberlakukan surut (nonretroaktif). Apabila tatib 2,5 tahun disepakati tahun 2016, masa
jabatan seharusnya berakhir pada 2018 meski hal ini akan membuat sisa masa jabatan
pimpinan pengganti tinggal satu tahun. Yang paling benar memang tidak membatasi
jabatan di tengah jalan.

Sebagian anggota DPD menjadi sudah tidak rasional, tidak saja tidak etis, dalam isu
pemotongan masa jabatan. Isu retroaktif inilah yang antara lain menyebabkan tatib
pemotongan masa jabatan dibatalkan Mahkamah Agung (MA), selain argumen inti bahwa
pemotongan masa jabatan bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD.

Putusan MA yang membatalkan baik Tatib No 1 Tahun 2016 maupun Tatib No 1


Tahun 2017 dikeluarkan pada tanggal 29 Maret 2017. Sebagai tindak lanjut dari putusan
MA, pada 31 Maret, pimpinan DPD mencabut kedua tatib yang telah dibatalkan sesuai
dengan amar putusan MA.

Dengan pembatalan oleh MA dan tindak lanjut pencabutan tatib oleh pimpinan
DPD, maka baik Tatib No 1 Tahun 2016 maupun Tatib No 1 Tahun 2017 sudah tidak berlaku
lagi dan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil tindakan hukum apa pun.
Bersamaan dengan itu pula berlaku kembali Tatib No 1 Tahun 2014 yang antara lain
mengatur masa jabatan pimpinan DPD sama dengan periode keanggotaan DPD (lima
tahun).

2. Pemaparan Tentang Jalan Hukum

Dari penjelasan yang telah dipaparkan oleh Refly Harun, Kendati gugatan
terhadap keberadaan pimpinan ilegal mulai menepi, pihak-pihak yang dirugikan lebih
menempuh jalan sunyi, tetapi sama sekali hal ini tidak boleh dianggap sepi. Akan
menjadi paradoks luar biasa bagi negara hukum jika ini dibiarkan. Hal ini akan menjadi
pelajaran buruk bagi bangsa ini: tak perlu patuh hukum, yang penting kekuasaan
besar.

Pihak-pihak yang merasa dirugikan, termasuk masyarakat, harus mencari jalan


hukum untuk menggugat soal ini. Beberapa alternatif jalan hukum yang bisa diambil,
misalnya, menggugat tatib DPD yang dijadikan dalih untuk menggelar pemilihan,
menggugat ke pengadilan tata usaha negara, membawa soal ini ke pengadilan negeri,
dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa harus ada perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan ini agar tata tertib yang berlaku tetap sesuai dengan norma
hukumnya.
3. Bagaimana Perlakuan Pihak Media terhadap Dewan Pemerintahan Daerah dan Para
Pimpinannya di dalam Pemberitaan Media?

Dari sisi Pihak Media terhadap dewan pemerintahan daerah dan para pimpinanya,
Pihak media sebaiknya memberitakan sesuai dengan fakta yang memang terjadi, karena
pada dasarnya Media merupakan salah satu kiblat bagi para masyarakat untuk bisa
mengetahui apa yang sedang terjadi didalam kepemrintahan yang ada di Indonesia. Pihak
Media memiliki kebebasan untuk memberitakan apa yang terjadi asalkan sesuai dengan
kaidah-kaidah yang berlaku

Sedangkan dalam Persidangan didalam DPD sendiri, Peraturan tentang wartawan


sudah diatur dalam Pasal 192 Ayat (4) Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata
Tertib yang menjelaskan bahwa:

“Peninjau dan wartawan tidak mempunyai hak bicara dan hak suara serta tidak
boleh menyatakan sesuatu, baik dengan perkataan maupun dengan cara lain.”

Pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam persidangan wartawan tidak memiliki


hak untuk berbicara serta dilarang menyatakan sesuatu baik dengan perkataan maupun
dengan cara yang lain. Pembatasan tersebut hanya diberlakukan untuk para media
ataupun wartawan selama dalam persidangan.

Jika diluar persidangan, pihak media ataupun wartawan harus tetap


memberitakan kasus yang terjadi sehingga masyarakat juga dapat mengetahui apa yang
terjadi didalam pemerintahan dan bisa juga mengeluarkan pendapat mereka terutama apa
yang sedang terjadi didalam kepemimpinann Dewan Perwakilan Daerah agar tidak ada
perubahan peraturan yang dibuat dengan semau-maunya.

You might also like