Professional Documents
Culture Documents
ISSN: 1693-8666
available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
Intisari Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi,
peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali
spontan dengan atau tanpa pengobatan yang sesuai. Prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini
ditunjukkan untuk mengontrol gejala. Pengobatan secara efektif telah dilakukan untuk menurunkan
morbiditas karena efektivitas terapi hanya tercapai jika ketepatan obat untuk pasien telah sesuai.
Efektivitas terapi asma dapat diketahui dengan terkontrol atau tidaknya serangan asma yang dialami
pasien. Penilaian terhadap kontrol asma dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner Asthma
Control Test (ACT). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran terapi dan efektifitas terapi
dengan menggunakan kuesioner ACT di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta daerah UPKPM
Kalasan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional dan
pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan pengambilan sampel secara purposive
sampling yang memenuhi kriteria inklusi. Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu
wawancara langsung kepada pasien dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder yaitu data
rekam medis pasien asma. Hasil penelitian diperoleh gambaran terapi yang sering diberikan pada
66
67 | O.R., Mafruha, dkk/Jurnal Ilmiah Farmasi 12(2) Agustus-Desember 2016, 66-72
pasien asma adalah terapi kombinasi Salbutamol dan Aminofilin. Tingkat efektivitas asma dinilai dari
kuesioner ACT yaitu 62% (25 pasien) tidak terkontrol atau terapi tidak efektif, 38% (15 pasien)
asmanya terkontrol atau efektivitas terapi baik dan tidak ada pasien yang mendapatkan terapi
antiasma yang sepenuhnya efektif.
Departement Pulmonologi dan Ilmu ekslusinya adalah pasien yang sedang hamil,
Kedokteran Respirasi FKUI / R.S. sedang mengalami serangan asma ketika di
Persahabatan Jakarta mendapatkan hasil wawancara, memiliki penyakit lain seperti
ACT dengan sensitivitas 63,6% dan PPOK, TBC, Pneumonia, penyakit
spesifitas 70,1% dalam mengontrol asma pernapasan lain dan penyakit jantung.
dengan perbandingan kondisi normal Jumlah sampel sebanyak 40 pasien selama
FEV1<80% (Ilyas, dkk., 2010). bulan November 2014 – Januari 2015.
Berdasarkan keterangan tersebut, Pengambilan data melalui 2 cara
untuk mengetahui efektivitas terapi asma yaitu data primer meliputi wawancara, hasil
pada pasien perlu dilakukan penelitian kuesioner ACT dan data skunder diambil
dengan menggunakan kuesioner Asthma dari data rekam medik pasien. Analisis data
Control Test (ACT) untuk melihat asma menggunakan analisis dekriptif yaitu
pasien telah terkontrol atau belum setelah gambaran karateristik pasien dan gambaran
diberikan terapi. Penelitian tentang efektivitas terapi antiasma di Rumah Sakit
efektivitas terapi asma belum pernah Khusus Paru Respira Yogyakarta daerah
dilakukan di Rumah Sakit Khusus Paru UPKPM Kalasan.
Respira Yogyakarta daerah UPKPM Kalasan.
Hal ini yang menjadikan alasan penelitian 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
ini dilakukan di Rumah Sakit Khusus Paru
Respira Yogyakarta daerah UPKPM Kalasan. Penelitian ini berhasil
mengumpulkan data 40 pasien asma. Semua
2. METODOLOGI PENELITIAN pasien asma yang ikut penelitian hanya satu
kali mengisi lembar kuesioner selama
Penelitian ini merupakan penelitian pengambilan data.
dengan desain cross sectional yang bersifat
deskriptif yaitu hanya mengobservasi 3.1 Karakteristik umum pasien asma
fenomena pada satu waktu. Pengambilan Karakteristik dasar pasien asma
data secara retrospektif dengan melihat pada penelitian ini didapatkan sebagain
terapi yang didapat pasien sebelumnya besar berjenis kelamin perempuan 23 orang
Pengambilan sampel secara purposive (58%) dan laki-laki 17 orang (42%). Usia
sampling yaitu pengambilan sampel yang paling banyak yang menderita asma 36-55
ditentukan oleh peneliti dengan tujuan tahun sebanyak 33 orang (83%) dan usia
pasien dapat memberikan informasi 25-35 sebanyak 7 orang (17%).
memadai untuk menjawab pertanyaan Berpendidikan paling banyak SMA atau
peneliti dan memilih pasien yang memenuhi sederajat 21 orang (52%), S1 atau sederajat
kriteria inklusi (Sudigdo dan Sofyan, 2011) 9 orang (23%) dan SD/SMP 10 orang (25%).
Penelitian ini dilaksanakan di Umumnya pasien bekerja dibidang non
Rumah Sakit Khusus Paru Respira formal sebanyak 22 orang (55%) dan formal
Yogyakarta daerah UPKPM Kalasan. 18 orang (45%). Karateristik pasien asma
Penelitian dilaksanakan pada bulan yang terdiri atas parameter jenis kelamin,
November 2014 hingga Januari 2015. usia, dan tingkat pendidikan, dapat dilihat
Kriteria inklusi meliputi pasien usia 18-55 dalam tabel 1. di bawah ini :
tahun, bersedia ikut dalam penelitian dan
menandatangani informed consent, sehat
akal dan pikiran, telah mendapatkan terapi
antiasma minimal 4 minggu. Kriteria
69 | O.R., Mafruha, dkk/Jurnal Ilmiah Farmasi 12(2) Agustus-Desember 2016, 66-72
Parameter N %
Jenis kelamin Laki-laki 17 42
Perempuan 23 58
Pendidikan Rendah 10 25
Menengah 21 52
Tinggi 9 23
Pekerjaan Formal 18 45
Non-formal 22 55
Usia 18-24 0 0
25-35 7 17
36-55 33 83
Gambaran efektvitas terapi pasien asma asma setelah diberikan terapi minimal 4
yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit minggu dan hasilnya sebagian besar pasien
Khusus Paru Respira Yogyakarta daerah mempunyai asma tidak terkontrol yaitu 25
UPKPM Kalasan dapat dilihat dari tingkat orang dengan nilai dibawah 19, sedangkan 15
kontrol asma pasien dengan menggunakan orang memiliki asma yang terkontrol dengan
kuesioner Asthma Control Test (ACT). nilai antara 20-24 tetapi tidak ada pasien yang
Dari penelitian ini hasil total tingkat memiliki asma terkontrol sempurna, seperti
kontrol asma dari nilai ACT digunakan untuk dalam gambar dibawah ini :
mengetahui gambaran efektivitas terapi pasien
Hasil ini serupa dengan penelitian lain di seperti kondisi cuaca yang ekstrim, kepatuhan
RSUD dr Soedarso yang mendapatkan asma berobat yang buruk dikarenakan letak rumah
tidak terkontrol sebanyak 90% dari 70 sampel sakit yang jauh, usia, jenis kelamin tingkat
(Darmila, 2013). Penelitian Bachtiar, dkk. (2011) pendidikan, dan kebiasan merokok (Kelly dan
di Klinik Paru Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Sorkness, 2008).
juga mendapatkan sebagian besar penderita Dilihat dari hasil penelitian hasil
asma memiliki asma tidak terkontrol sebanyak efektivitas terapinya masih belum baik
66,9%. Tingginya prevalensi asma tidak dikarenakan banyak faktor yang menyebabkan.
terkontrol mungkin dipengaruhi berbagai faktor Bias dalam pengambilan data bisa terjadi karena
71 | O.R., Mafruha, dkk/Jurnal Ilmiah Farmasi 12(2) Agustus-Desember 2016, 66-72
pasien dalam mengisi kuesioner ACT mengacu Paru Respira Yogyakarta daerah UPKPM Kalasan
pada keluhan yang baru dialami dan mungkin tidak sepenuhnya gagal karena beberapa faktor
melupakan terapi yang telah diberikan seperti faktor pasien yang menyebabkan nilai
sebelumnya sehingga sulit dapat mengetahui ACT kurang dari 20 sesuai dengan yang telah
efektivitas terapi. dipaparkan pada hasil serta faktor kelengkapan
Menurut dokter yang bertugas pasien penggalian informasi pasien.
asma yang datang kerumah sakit biasanya hanya
berdasarkan perasaan atau faktor psikologis KESIMPULAN
pasien. Pasien merasa bahwa asmanya kambuh
tetapi setelah diperiksa oleh dokter tidak ada Berdasarkan hasil penelitian, gambaran
tanda-tanda gejala asma hanya batuk biasa. Hal terapi pasien asma dirumah sakit yang sering
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh diberikan adalah terapi kombinasi Salbutamol
hamdan, dkk. pada tahun 2008 yang inhaler dan Aminopilin pada 20 pasien (50%).
menyebutkan bahwa banyak faktor yang Tingkat efektivitas terapi asma pasien
mengakibatkan kontrol asma menjadi buruk, berdasarkan nilai kuesioner ACT menunjukan
yaitu faktor ekonomi pasien, penggunaan 38% pasien asma terkontrol baik atau efektivitas
kortikosteroid inhalasi, tingkat pendidikan, terapi baik.
kepahaman pasien dan kepatuhan pasien.
Penentuan efektivitas terapi asma selain DAFTAR PUSTAKA
dari faktor terapi dan faktor pasien juga faktor
dalam pengambilan datapun sangat Anonim, Kemenkes. (2008). Pedoman
mempengaruhi terutama dalam menggunakan Pengendalian Penyakit Asma. MKRI.
kuesioner dan wawancara. Penggunaan Jakarta ; 3
kuesioner dibutuhkan daya ingat pasien dan Anonim, Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan
kemauan pasien dalam mengisi kuesioner Dasar. MKRI. Jakarta; 85
tersebut sehingga didapatkan data yang bener- Atmoko, W., Faisal, HKP., Bobian, E.T.,
benar valid dan dibutuhkan ketelitian dalam Adisworo, M.W., Yunus, F.J., (2011).
melakukan wawancara atau menggali informasi Prevalens asma tidak terkontrol
yang penting kepada pasien. Jika dalam dan faktor-faktor yang
penggunaan kuesioner dan wawancara tidak berhubungan dengan tingkat
teliti dan informasinya kurang, maka hasil yang kontrol asma di polilinik asma
didapat bisa menjadi kurang valid. Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.
Sehingga dapat dikatakan efektifitas Jurnal Respirologi Indonesia. 31(2).
terapi yang diberikan di Rumah Sakit Khusus 53-60.
Ilyas, M., Yunus, F., dan Wiyono, W.H. (2010).
Bachtiar, D., Wiyono W.H., dan Yunus, F. Correlation bettween Asthma
(2011). Proporsi asma terkontrol Control Test (ACT) and Spirometry
di Klinik Asma RS. Persahabatan as tool of assessing of controlled
Jakarta 2009. Jurnal Respirologi asthma. Jurnal Respirologi
Indonesia. 31(2). 90-100. Indonesia, 30(4), 192-193.
Brasher, V. L. (2008). Aplikasi Klinis Katerine, Medison, I., dan Rustam E., (2014).
Patofisiologi. EGC. JakartaDarmila. Hubungan tingkat pengetahuan
A. R., (2012). Hubungan mengenai asma dengan tingkat
karakteristik pasien asma bronkial kontrol asma di Padang. Jurnal
dengan gejala penyakit refluks Kesehatan Andalas, 3 (1). 58-60.
gastroesofagus di RSUD dr Kelly H. W., dan Sorkness, C.A., (2008).
Soedarso. Naskah publikasi. Asthma in
Fakultas Kedokteran Universitas DiPiro :Pharmacotherapy A
Tanjungpura. Pontianak. Pathophysiologic approach, seventh
edition. The McGraw-Hill
72 | O.R., Mafruha, dkk/Jurnal Ilmiah Farmasi 12(2) Agustus-Desember 2016, 66-72