You are on page 1of 27

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN MALARIA”

Oleh:
KELOMPOK II
Nurliana Mohi (C01416065)
Nurul Pratiwi Usman (C01416067)
Raihan Tahir (C01416074)
Regita Cahyani Monoarfa (C01416077)
Rustiyansy Rauf (C01416063)
Sachraini Amalia Tahir (C01416084)
Sagita Akaseh (C01416084)
Siti Sintiya Palowa (C01416091)
Sitti Fadilah M. Soleman (C01416092)
Sitti Nur Ainun Yahya (C01416095)
Sridelvi Fahrun (C01416100)
Sriyati Napu (C01416102)
Aanisa Miu (C01416---)
Zein Susanti Ali (C01416111)
Marlin M. Kau (C01416046)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO

2019
Kasus :

Seorang laki-laki militer berusia 30 tahun bekerja di perbatasan NKRI (daerah


papua barat) didiagnosa mengalami malaria dengan keluhan saat ini di RS hari ke
3: merasa lemas, pusing, mual/muntah (+), letargi (+), demam dengan rentang
37,5o– 39,5oC, TD 100/70 mmHg. Pasien mengeluh kesulitan bernafas pada
malam hari, rantang RR selama dirawat 22-28x/mnt. Kondisi tidak membaik
dengan hasil lab: Ht 19%, Hb 8g/dL, urin dengan black water fever. Plt
38.000/ml, RBC 3,89 juta/mm3, SGOT 57u/L, bilirubin total 20mg/dL, creatinine
6,4mg/dL, SADT: Malaria Falciparum (+). Pasien harus ditransfusi dan
menunggu darah yang sesuai dengan golongan darah pasien. Aktivitas pasien
dibantu keluarga karena pasien merasa sangat lemah.
ASUHAN KEPERWATAN PADA KLIEN MALARIA

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Pasien
1) Nama : TN. A
2) Umur : 30 th
3) Jenis kelamin : laki –laki
4) Pendidikan : tidak terkaji
5) Pekerjaan : ABRI
6) Status perkawinan : tidak terkaji
7) Agama : tidak terkaji
8) Suku : tidak terkaji
9) Alamat : tidak terkaji
10) Tanggal masuk :-
11) Tanggal pengkajian :-
12) Sumber Informasi : pasien
13) Diagnosa masuk : Malaria Falcifarum
b. Penanggung
1) Nama : -
2) Hubungan dengan pasien : -
2. Riwayat keluarga
1) Tidak terkaji
3. Status kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan utama (saat MRS dan saat ini)
Saat ini pasien mengeluh lemas , pusing , mual dan muntah , demam
dan mengeluh kesulitan bernafas pada malam hari.

2) Alasan masuk Rumah Sakit dan perjalanan Penyakit saat ini


Klien datang ke rumah sakit dengan keluhan demam ,
danmualmuntah. Setelahdirawatselama 3 haripasienmengeluhlemas
,pusing , letargidankesulitanbernafaspadamalamharidanterdapat black
water fever.
3) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Klien datang ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaanya

b. Status Kesehatan Masa Lalu


1) Penyakit yang pernah dialami : tidak terkaji
2) Pernah dirawat :tidak terkaji
3) Riwayat alergi : tidak terkaji
4) Riwayat tranfusi :tidak terkaji
5) Kebiasaan :tidak terkaji
a) Merokok : tidak terkaji
b) Minum kopi : tidakterkaji
c) Penggunaan Alkohol :tidakterkaji
d) Lain-lain : tidak terkaji
c. Riwayat Penyakit Keluarga : Kaji apakah ada anggota keluarga yang
pernah mengalami penyakit malaria sebelumnya.
4. Diagnosa Medis : Malaria Falcifarum
5. Pola Fungsi Kesehatan :
a. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Menggambarkan Persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan,
Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan kesehatan,
kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
Pada pasien dengan malaria perawat melakukan pengkajian terkait
apakah klien sering memeriksakan kondisi kesehatannya.

b. Nutrisi atau metabolik


Perlu dikaji keadaan makan dan minum pasien meliputi: porsi yang
dihabiskan susunan menu, keluhan mual dan muntah, sebelum atau pada
waktu MRS, dan yang terpenting adalah perubahan pola makan setelah
sakit. Kondisi yang dialami oleh pasien dengan malaria adalah mual
muntah. Perawat perlu melakukan pengkajian terkait hal tersebut serta
melakukan pengkajian asupan nutrisi yang diperoleh klien. Pada kasus,
pasien mengalami mual dan muntah,jadi perawat perlu mengkaji status
nutrisi pasien.
c. Pola eliminasi
Mengetahui frekuensi BAB dan BAK, warna, jumlah, konsistensi, serta
apakah ada gangguan saat melakukan BAB dan BAK.Pasien mengalami
komplikasi black water fever.Perawat juga perlu mencatat frekuensi
BAB dan BAK.
d. Pola aktivitas dan latihan
Aktifitas dirumah atau dirumah sakit apakah ada kesenjangan yang
berarti misalnya pembatasan aktifitas, Pasien mengalami lemas, pusing,
dan letargi sehingga menyebabkan penurunan aktifitas dan
mengharuskan klien untuk beristirahat.

Kemampuan perawatan 0 1 2 3 4
diri

Makan/minum 

Mandi 

Toileting 

Berpakaian 

Mobilisasi di tempat tidur 

Berpindah 

Ambulasi ROM 

0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan
alat, 4: tergantung total.

e. Pola tidur dan istirahat


Perawat perlu mengkaji kebiasaan tidur siang dan malam, berapa jam
sehari dan apakan ada kesulitan waktu tidur dan bagaimana
perubahannya sebelum dan selama sakit. Pasien mengeluh sulit bernafas
saat malam hari sehingga dapat mempengaruhi kwalitas tidurnya.

f. Pola perseptual

Menjelaskan Persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi


pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran, perasaan, pembau dan
kompensasinya terhadap tubuh. Sedangkan pola kognitif didalamnya
mengandung kemampuan daya ingat klien terhadap persitiwa yang telah
lama terjadi dan atau baru terjadi dan kemampuan orientasi klien
terhadap waktu, tempat, dan nama (orang, atau benda yang lain). Perawat
perlu melakukan pengkajian terkait kronologis dari penyakit klien. Pasien
mengalami letargi.

g. Pola persepsi diri


Menggambarkan Persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan,
Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan kesehatan,
kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
Dalam hal ini perawat melakukan pengkajian terkait perasaan klien
setelah mengetahui riwayat penyakitnya sekarang.Pasien telah pergi
kerumah sakit karena penyakitnya.

h. Pola seksual dan reproduksi


Menggambarkan kepuasan/masalah dalam seksualitas-reproduksi.
Pengkajian yang dilakukan pada pasien yaitu apakah klien mendapatkan
dukungan dari keluarga maupun pasangan untuk kesembuhan
penyakitnya.Pasein telah mendapat dukungan dari keluarga, hal ini
terlihat dari keluarga pasien yang menemani pasien selama di rawat.

i. Pola peran-hubungan
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap
anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal klien. Pekerjaan, tempat
tinggal, tidak punya rumah, tingkah laku terhadap orang lain, keuangan.
Perawat perlu mengkaji apakah ada perubahan peran saat sebelum dan
sesudah sakit. Pasien bekerja sebagai militer di perbatasan NKRI, selama
sakit pasien di rawat di rumah sakit jadi mempengaruhi perannya.

j. Pola manajemen koping stress


Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan menggunakan
sistem pendukung. Perawat perlu mengkaji hal apa yang dilakukan klien
untuk mengatasi kecemasan akibat penyakitnya tersebut.

k. Sistemnilaidankeyakinan
Bagaimana persepsi klien terhadap penyakit dan hubungan dengan
agama yang dianut.Dilakukan pengkajian apakah klien sering berdoa
agar kondisinya cepat pulih.

l. Riwayat Kesehatan dan Pemeriksaan fisik


Keadaan umum : Lemas, Pusing, Mualmuntah Kesadaran: Letargi

TTV : TD: 100/70,Nadi : 22-28/menit, Suhu:37,5-39,5, RR: 25x/menit

1. Kepala dan Leher


Kepala : Simetris, tidak ada lesi

Deviasi trakea : tidak ada deviasi trakea

Pembesaran kelenjar tiroid: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Lain-lain: -

2. Mata dan Telinga


Pupil : tidak terkaji

Sklera/ konjungtiva : kaji apakah adanya sklera ikteris pada


sklera atau konjungtiva

Wajah: tidakterdapat edema

Gangguan pendengaran : tidak ada gangguan pendengaran


Menggunakan alat bantu dengar: tidak

Tes weber: - Tes Rinne: - Tes Swabach: -

Lain-lain:-

3. Sistem Pernafasan:
Batuk: tidak ada batuk
Sesak: pasien mengalami sesak pada malam hari
Inspeksi:
 Inspeksi pengembangan pada paru, pola respirasi pasien,
serta amati bentuk thorak apakah normal atau terdapat
kelainan bentuk.
 Palpasi:
Palpasi perubahan bentuk pada dada dan nyeri tekan.
 Auskultasi: \
Dengarkan suara nafas pasien, apakah terdapat wizzing
Lain-lain: -

4. Sistem Kardiovaskular :
Nyeri dada: tidak terdapat nyeri dada
Palpitasi: tidak terdapat palpitasi
 Inspeksi:
Inspeksi dada pasien apakah terdapat edema di sekitar jantung
 Palpasi:
Palpasi denyut nadi. Denyut nadi pasien 22-24x/menit
 Auskultasi:
Auskultasi denyut jantung pasien, apakah ada bunyi ketiga

Lain-lain: -

5. Payudara : tidak terkaji


6. Sistem Gastrointestinal:
Mulut : tidak terkaji
Mukosa : tidak terkaji

Pembesaran hepar : kaji apakah terdapat pembesaran pada hepar

Abdomen : kaji apakah terdapat ascites

Peristaltik: -

Lain-lain : -

7. Sistem Urinarius :
Penggunaan alat bantu/ kateter : tidak terkaji

Kandung kencing, nyeri tekan : tidak terkaji

Gangguan: -

m. Pemeriksaan Penunjang
Data laboratorium yang berhubungan:
 Ht : 19%
 Hb : 8 gr/dL
 Plt : 38000/µL
 RBC: 3,89juta/mm3
 SGOT: 57u/L
 Bilirubin total : 20mg/dL
 Creatinin: 6,4 mg/dL
 SADT: Malaria falciparum

6. Analisis Data

No. Data Penyebab/ interpretasi Masalah


1. DS: pasien merasa lemas, Malaria PK Anemia
pusing
Peradangan pada
eritrosit
DO: Pasien harus
Hemolisis
ditransfusi. Hb 8 g/dL
PK Anemia
2. DS: - Malaria Hipertermi

DO: suhu tubuh pasien Peradangan pada sel


darah merah
37,5-39,5 C
Kompleks antigen dan
antibodi

Pelepsan pirogen
endogen

Histamin

Merangsang
prostaglandin

Termoregulasi tidak
stabil

Peningkatan suhu tubuh


sistemik

Hipertermi
3. DS : pasien mengeluh Malaria Pola nafas tidak
efektif
kesulitan bernafas pada
Peradangan pada sel
malam hari darah merah

Hemolisis
DO : RR : 22-28x/menit
Sistem transportasi Hb
menurun

Intake O2 kejaringan
menurun

Sesak nafas

Pola nafas tidak efektif


4. DS: Pasien mengalami Malaria Nausea
mual/muntah
Produksi eritrosit
menurun
DO: -
Reaksi kompensasi

Pembentukan eritrosit
oleh hati meningkat

Hepatomegali

Menekan lambung

Mual

B. Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
1 PK: Anemia
2 Hipertermi berhubungan dengan adanya penyakit malaria ditandai
dengan peningkatan RR dan suhu tubuh.
3 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya kelelahan
ditandai dengan takipnea dan pola nafas yang tidak normal
4 Nausea berhubungan dengan adanya gangguan pada liver ditandai
dengan pasien mengalami mual
C. Perencanaan
N Rencana Keperawatan
Hari/ o
Tgl D Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
x hasil

1 Kriteria Hasil: 1. Monitor keadaan 1. Untuk


- HB tidak kurang umum pasien. mengetahui kondisi klien
dari 10 gr % 2. Monitor tanda secara umum.
- Tanda vital normal vital.
2. Untuk mengetahui
- Klien tidak anemis 3. Monitor kadar
keadaan umum pasien.
Hb.
3. Karena Hb berfungsi
4. Pantau hasil
untuk mensuplai oksigen
laboratorium
dalam darah.
(trombosit).
4. Karena trombosit sebagai
5. Kolaborasi
indicator pembekuan
dengan dokter
darah.
mengenai
5. Membantu memenuhi
masalah yang
kebutuhan darah dalam
terjadi dengan
tubuh.
perdarahan :
pemberian
transfusi,
medikasi.
2 NOC: NIC:

 Thermolegulation  Fever treatment


 Vital Signs  Fluid
management
Kriteria hasil:
 Vital signs
 Hyperthermia dapat monitoring
teratasi  Temperature
 RR dalam batas Regulation
normal (12 – 1. Kaji penyebab
1. Untuk mengidentifikasi
20x/menit) demam
penyebab demam.
 Suhu tubuh dalam 2. Monitor suhu dan
2. Mengetahui jika adanya
batas normal (36,5 tanda-tanda vital
perubahan suhu dan TTV
– 37,5) 3. Monitor adanya
3. Agar klien tidak merasa
 Tekanan darah kehilangan cairan
lemas
dalam batas normal 4. Anjurkan klien
4. Untuk mengetahui asupan
untuk istirahat
cairan yang akan
5. Anjurkan
diberikan
pemberian cairan
5. Mencegah terjadinya
sesuai kebutuhan
kehilangan cairan
6. Anjurkan asupan
6. Agar klien mendapat
nutrisi yang cukup
asupan nutrisi yang cukup
7. Gunakan kompres
7. Agar suhu tubuh klien
hangat untuk
kembali normal
menurunkan suhu
tubuh jika
diperlukan

3 NOC: NIC:
 Airway
 Respiratory
management
Status
 Oxygen therapy
 Fatigue Level
 Energy
 Energy
management
Conservation
1. Monitor 1. Untuk memantau pola
Kriteria hasil: pernafasan dan nafas klien
status oksigen, 2. Untuk memantau jika klien
 Lelah dapat teratasi
jika diperlukan. memerlukan oksigen
 Aktivitas klien
2. Monitor segera
sehari-hari dapat
kembali normal kelelahan yang 3. Agar klien mendapat
 Kesadaran Pasien berhubungan asupan nutrisi yang
kembali normal status cukup.
 RR pasien dalam oksigenasi 4. Untuk mencegah hal-hal
batas normal 12- pasien. yang menyebabkan
20x/menit 3. Monitor asupan kelelahan pada klien
nutrisi untuk 5. Agar klien tidak sesak
memastikan nafas
adanya sumber 6. Mencegah terjadinya risiko
energi yang cedera jika klien merasa
adekuat. lemas.
4. Identifikasi
penyebab
kelelahan pasien
5. Posisikan
pasien untuk
memaksimalkan
ventilasi
potensial.
6. Anjurkan pasien
untuk duduk di
tempat tidur jika
tidak mampu
berjalan.

4 NOC: NIC:

 Nausea and  Nausea


Vomiting control management
 Fluid balance  Vomiting
 Kidney function management
 Nutritional
 Liver function monitoring
 Medication
Kriteria hasil:
management
 Letargi dapat
teratasi 1. Monitor
1. Untuk memantau jika
 Tidak adanya keseimbangan
adanya kehilangan
penurunan asupan cairan dan
cairan.
cairan dan nutrisi elektrolit
2. Untuk memantau kadar
 Adanya 2. Monitor serum
bilirubin, creatinin saat
keseimbangan cairan darah, jika
mengalami penurunan.
 Mual dan muntah diperlukan.
3. Agar klien dapat
dapat teratasi 3. Sediakan
mengkonsumsi makanan
 Warna urin kembali lingkungan yang
dengan nyaman.
normal nyaman saat klien
4. Agar asupan nutrisi
 Serum creatinin mengkonsumsi
pasien terpenuhi.
urin dalam rentang makanan
5. Agar klien mengetahui
normal (0,6 – 1,1 4. Sediakan pilihan
pengobatan yang
mg/dL). makanan yang
diperlukan.
 Serum bilirubin sesuai dengan
6. Agar penyebab muntah
total dalam batas kondisi
dapat dihindari.
normal kesehatan
7. Pendekatan preventif
 Nilai SGOT dalam 5. Sediakan pasien
untuk mengurangi mual
batas normal terkait informasi
dan muntah pada klien.
pengobatan
8. Memulihkan energi
6. Minimalkan faktor
klien.
personal yang
9. Mencegah terjadinya
dapat
komplikasi pada klien.
menyebabkan
mual dan muntah
7. Anjurkan

penggunaan
teknik non-
pharmakologi
untuk
mengontrol mual
dan muntah
8. Anjurkan klien
untuk istirahat
9. Instruksikan diet
pada klien yang
mempunyai
penyakit ginjal.
2. Ringkasan Jurnal

Penulis Jurnal : K I Barnes, J Mwenechanya, M Tembo, H McIlleron, P I Folb, I


Ribeiro, F Little, M Gomes, M E Molyneux

Judul Jurnal : Efficacy of rectal artesunate compared with parenteral quinine


in initial treatment of moderately severe malaria in African
children and adults: a randomised study

Banyak penderita malaria yang mengalami tingkat keparahan yang


meningkat yang tidak dapat mengkonsumsi obat-obatan seacra oral, dan juga
keterlambatan dalam pengobatan suntik, hal ini dapat berakibat fatal. Pemberian
obat secara rektal merupakan salah satu pilihan yang tepat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian awal artesunate rektal akan
memberikan perlindungan pertama antimalaria yang menguntungkan, yang
ditandai dengan penurunan kepadatan parasitemia dan perbaikan klinis yang cepat
tanpa reaksi merugikan yang serius. 109 anak-anak dan 35 orang dewasa secara
acak diberikan artesunate rektal (dosis tunggal sekitar 10 mg / kg) atau
pengobatan quinine parenteral (10 mg / kg pada 0, 4, dan 12 jam).

Supositoria artesunate diberikan dalam dosis tunggal sedekat mungkin


dengan 10 mg / kg, tanpa pelumas, dalam kombinasi supositoria 50 mg dan 200
mg (Plasmotrim Rectocaps, Mepha AB, Basel, Switzerland). Anak-anak
menerima maksimal tiga, dan orang dewasa maksimal lima, supositoria. Setiap
pasien dipantau secara ketat selama 5 jam untuk mendeteksi pengeluaran paksa
supositoria. Setiap supositoria yang dikeluarkan utuh dimasukkan kembali. Jika
supositoria terganggu dikeluarkan, yang baru dengan dosis yang sama
dimasukkan. Untuk membandingkan artesunate rektal dengan terapi quinine
parenteral standar, amplop tertutup digunakan untuk mengalokasikan satu dari
lima pasien untuk menerima quinine parenteral (AdcoQuinine dihydrochloride,
Adcock Ingram Generics, Afrika Selatan), dengan menggunakan tabel acak di
blok berukuran lima. Pada semua orang dewasa dan pada 17 anak ini diberikan
injeksi intramuskular, dosis pembebanan 20 mg / kg diikuti dengan 10 mg / kg
susu formula terdilusi dalam larutan salin normal sampai konsentrasi 60 mg / mL,
dengan setengah dosis yang diberikan pada masing-masing paha anterior pada 0 ,
4, dan 12 jam, maka setiap 12 jam sampai pasien dapat menjalani pengobatan
oral. Pada lima anak yang membutuhkan cairan intravena, quinine diberikan
dalam dosis dan jadwal yang sama yang diinfuskan secara intravena selama 2 jam
dalam larutan Darrow setengah panjang dengan dekstrosa 5%.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa semua pasien yang


diobati dengan artesunate memiliki bukti farmakodinamik atau farmakokinetik
tentang penyerapan obat yang memadai. 80 (92%) dari 87 anak yang mendapat
perawatan artesunate memiliki kepadatan parasit 12 h di bawah 60% dari awal,
dibandingkan dengan tiga dari 22 (14%) yang menerima quinine (risiko relatif 0%
09 [95% CI 0 · 04-0 · 19]; p <0, 0001). Pada orang dewasa, parasitaemia pada 12
jam lebih rendah dari 60% pada awal 26 (96%) dari 27 orang yang menerima
artesunate, dibandingkan dengan tiga (38%) dari delapan menerima quinine
(risiko relatif 0 · 06 [0 · 01-0 · 44 ]; P = 0 · 0009). Perbedaan ini lebih besar pada
24 jam. Respon klinis setara dengan artesunate rektal dan kina parenteral.

Peran perawat dalam pemberian intervensi tersebut adalah pemberian obat.


Perawat harus terampil dan tepat saat memberikan obat, tidak sekedar
memberikan pil untuk diminum (oral) atau injeksi obat melalui pembuluh darah
(parenteral), namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian obat
tersebut. Pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting
dimiliki oleh perawat. Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan
dan mempertahankan kesehatan klien dengan mendorong klien untuk lebih
proaktif jika membutuhkan pengobatan. Perawat berusaha membantu klien dalam
membangun pengertian yang benar dan jelas tentang pengobatan,
mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan dan turut serta
bertanggungjawab dalam pengambilan keputusa tentang pengobatan bersama
dengan tenaga kesehatan lain. Perawat dalam memberikan obat juga harus
memperhatikan resep obat yang diberikan harus tepat.
Supositoria adalah sediaan padat yang biasa digunakan melalui dubur,
umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu
tubuh. Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dengan mudah da
pat dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diingankan tanpa menimbulkan
kejanggalan dalam penggelembungan begitu masuk dan harus bertahan untuk
suatu waktu dan suhu tertentu. Supositoria untuk rectum umumnya dimasukkan
dengan jari tangan, tetapi untuk vagina khususnya tablet vagina yang dibuat
dengan cara kompresi dapat dimasukkan lebih jauh ke dalam saluran vagina
dengan bantuan alat khusus.

Supositoria dengan bentuk torpedo mempunyai beberapa keuntungan yaitu


bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur, maka bagian
supositoria akan masuk dengan sendirinya.

Berat suppositoria rektal untuk orang dewasa kira-kira 3 gram dan


biasanya lonjong seperti torpedo, sedangkan suppositoria untuk anak-anak
beratnya kira-kira 1 gram dan ukurannya lebih kecil.Umumnya pemberian obat
secara rektal adalah setengah sampai dua kali atau lebih dari dosis oral yang
diberikan untuk semua obat, kecuali untuk obat yang sangat kuat.

Mekanisme kerja supositoria dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Suppositoria berefek mekanik

Bahan dasar suppositoria berefek mekanik tidak peka pada penyerapan.


Suppositoria mulai berefek bila terjadi kontak yang menimbulkan refleks
defekasi, namun pada keadaan konstipasi refleks tersebut lemah.

Pada efek kontak tersebut terutama pada supositoria gliserin terjadi


fenomena osmose yang disebabkan oleh afinitas gliserin terhadap air. Hal
tersebut menimbulkan gerakan peristaltik.

2. Suppositoria berefek setempat


Termasuk dalam kelopok ini adalah suppositoria anti wasir, yaitu senyawa
yang efeknya disebabkan oleh adanya sifat astringen atau peringkas pori.
Ke dalam basis supositoria yang sangat beragam kadang-kadang
ditambahkan senyawa peringkas pori baik dengan cara penyempitan
maupun hemostatik. Dalam formula supositoria sering terdapat senyawa
penenang.Obat tersebut bekerja secara rangkap baik terhadap perifer
maupun sentral yang terakhir ini sepenuhnya berefek sistemik.

3. Supositoria berefek sistemik

Adalah suppositoria yang mengandung senyawa yang diserap dan berefek


pada organ tubuh selain rektum.Pada kelompok ini termasuk supositoria
nutritif, supositoria obat.

a. Suppositoria Nutritif, digunakan pada penyakit tertentu dimana


saluran cerna tidak dapat menyerap makanan. Jumlah senyawa
yang diserap tentu saja sedikit, namun sudah cukup untuk
mempertahankan hidup.
b. Suppositoria Obat, mengandung zat aktif yang harus diserap,
mempunyai efek sistemik dan bukan efek setempat. Bila
suppositoria obat dimasukan ke dalamrektum pertama-tama akan
timbul efek refleks, selanjutnya suppositoria melebur atau melarut
dalam cairan rektum hingga zat aktif tersebar dipermukaan
mukosa, lalu berefek setempat dan selanjutnya memasuki sistem
getah bening. Obat yang masuk ke peredaran darah akan berefek
spesifik pada organ tubuh tertentu sesuai dengan efek terapetiknya.

Rektum merupakan bagian akhir dari saluran cerna yang terdiri atas dua
bagian yaitu dua bagian yaitu bagian superior yang cembung dan bagian inferior
yang cekung. Panjang total rektum pada manusia dewasa rata-rata adalah 15 – 19
cm, 12 - 14 cm bagian pelvinal dan 5 – 6 cm bagian perineal.Dalam keadaan
istirahat, rektum tidak mengalami motilitas secara aktif.
Secara normal, rectum tidak berisi apa-apa dan hanya mengandung 2-3
mL cairan mucus inert (pH 7 – 8), yang disekresikan oleh sel goblet yang
membentuk kelenjar simple tubuler pada lapisan mukosa. Mucus tidak memiliki
aktivitas enzimatic atau kapasitas buffer. Tidak memiliki villi atau microvilli pada
mucosa rektal dan luas permukaan absorpsinya sangat terbatas (200 – 400 cm2)
tetapi cukup untuk mengabsorpsi obat.

Rektum memiliki dua peran mekanik, yaitu sebagai tempat penampungan


feses dan mendorongnya saat pengeluaran.Adanya mukosa memungkinkan
terjadinya penyerapan yang tidak dapat diabaikan, hal ini menguntungkan pada
pengobatan supositoria.

Lima puluh persen aliran darah dari rektum memintas sirkulasi portal
biasanya pada rute oral, sehingga biotransformasi obat melalui hati oleh hati
dikurangi. Bagian obat yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung
mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta.

Keuntungan pemberian melalui rektal (juga sublingual) adalah mencegah


penghancuran obat oleh enzim usus atau pH dalam lambung.Suppositoria, yang
dipakai secara rektal mengandung zat aktif yang tersebarkan (terdispersi) di dalam
lemak yang berupa padatan pada suhu kamar tetapi meleleh pada suhu sekitar
35ºC, sedikit di bawah suhu badan. Jadi, setelah disisipkan ke dalam rektum
sediaan padat ini akan meleleh dan melepaskan zat aktifnya yang selanjutnya
terserap dalam aliran darah.

Secara rektal, suppositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena


dapat diserap oleh mukosa dalam rektum.Aksi kerja awal dapat diperoleh secara
cepat, karena obat diabsorpsi melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam
sirkulasi darahserta terhindar dari pengrusakan obat dari enzim didalam saluran
gastro-intestinal dan perubahan obat secara biokimia didalam hepar.Obat yang
diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu sehingga
tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan obat
terhindar dari tidak aktif.
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:

1. Lewat pembuluh darah secara langsung

2. Lewat pembuluh getah bening

3. Lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati.

Menurut Ravaud, penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara


langsung lewat inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat
aktif melalui vena iliaca ke vena cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund,
bahwa penyerapan dimulai dari vena haemorrhoidalles inferior terutama vena
haemorrhoidalles superior menuju vena porta melalui vena mesentricum
inferior.Saluran getah bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu melalui
saluran toraks yang mencapai vena subclavula sinistra, sedangkan menurut Fabre
dan Regnier pengaruh tersebut hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.

Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeable


sempurna.Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan
bukal.Selain itu penyerapan juga tergantung pada derajat pengosongan saluran
cerna jadi tidak dapat diberlakukan secara umum.Bahkan beberapa obat tertentu
tidak diserap oleh mukosa rektum.

Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap dari rektum,
sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan digunakan pada rektum
kosong, akan tetapi setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat dan lebih
kuat dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah dari rektum
tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati pada peredaran
darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan FPE (first pass effect).
Pengecualian adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena rectalis
superior disalurkan ke vena porta dan kemudian ke hati, misalnya thiazinamium.
Dengan demikian, penyebaran obat didalam rektum tergantung dari basis
suppositoria yang digunakan, dapat menentukanrutenya kesirkulasi darah.
Suppositoria dan salep juga sering kali digunakan untuk efek lokal pada gangguan
poros-urus, misalnya wasir.

Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal :

1. Faktor Fisiologis
a. Isi Kolon
Obat akan mempunyai kemungkinan untuk diabsorpsi lebih besar
ketikarektum dalam keadaan kosong. Untuk tujuan ini diberikan enema
sebelum penggunaan obat melalui rektal.
b. Rute sirkulasi
Jika obat diabsorpsi dari pembuluh darah hemorrhoidal akanlangsung
menuju vena cava inferior, sehingga absorpsi akan cepat dan efektif.
c. pHdan minimnya kapasitas buffer cairan rektal
pH cairan rektal 7-8 dan tidak memiliki kapasitas buffer yang efektif.
2. Faktor Fisika Kimia dari Obat atau Basis
a. Kelarutan dalam lipid-water
Obat lipofil jika diberikan dengan basis lemak tidak dapat dikeluarkan
dengan mudah, sehingga absorpsi obat terganggu.
b. Ukuran partikel
Semakin kecil partikel semakin besar kelarutannya.
c. Sifat basis
Jika basis berinteraksi dengan obat atau mengiritasi membran mukosa
akan menurunkan absorpsinya. Khususnya pada kasus-kasus suppositoria.

Berdasarkan hasil dari jurnal Efficacy of rectal artesunate compared with


parenteral quinine in initial treatment of moderately severe malaria in African
children and adults: a randomised study artesunate yang diberikan oleh
supositoria efektif dan dapat ditoleransi dengan baik pada kebanyakan anak-anak
dan orang dewasa dengan malaria dengan tingkat keparahan sedang dan dapat
ditoleransi dengan baik.
Berdasarkan dari analisis jurnal tersebut menunjukan bahwa pemberian
artesunate melalui rektal pada pasien malaria berat dapat diterpkan di ranah
keperawatan di Indonesia. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Daniel Ethe Maka, Andreas Chiabi, Valentine Ndikum, Dorothy Achu, Evelyn
Mah, Séraphin Nguefack, Pamela Nana, Zakariaou Njoumemi, Wilfred Mbacham
dan Elie Mbonda berjudul A randomized trial of the efficacy of artesunate
and three quinine regimens in the treatment of severe malaria in children at the
Ebolowa Regional Hospital, Cameroon. Hasil dari penelitian ini menunjukan
bahwa artesunate memiliki efek yang lebih menguntungkan dari pada quinine, dan
peneliti menyarankan untuk menjadikan artesunate sebagai lini pertama untuk
pasien dengan malaria berat.
3. HE yang bisa diberikan pada pasien dan keluarga berdasarkan kasus

Pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga pemberian pendidikan


kesehatan untuk kondisi saat ini lebih berfokus ke keluarga. Adapun
pendidikan kesehatan yang dapat diberikan oleh perawat kepada keluarga
pasien :

1. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien saat ini.


Keluarga diberikan penjelasan mengenai kesadaran pasien yang
mengalami penurunan dan kondisi pasien yang lemah. Sehingga
diharapkan keluarga dapat membantu pasien untuk memenuhi
kebutuhannya. Dengan diberikan informasi sejelas-jelasnya mengenai
kondisi pasien diharapkan keluarga tidak merasakan khawatir yang
berlebih.
2. Keluarga diberikan penjelasan mengenai setiap tindakan yang akan
diberikan kepada pasien. Seperti tindakan transfusi darah yang akan
dilakukan , perawat wajib menjelaskan tujuan dari tindakan tersebut.
3. Kesadaran pasien yang mengalami penurunan memerlukan pengawasan
untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien. Untuk itu keluarga
diberitahukan agar tetap memasang bedrail serta pasien tetap dalam
pengawasan keluarga .
4. Memberitahukan keluarga untuk membantu pasien dalam memenuhi
kebutuhan nutrisinya, seperti membantu memberikan minuman atau
makanan.
5. Dalam kondisi penurunan kesadaran (latergi) pasien tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan eliminasinya secara mandiri. Perawat perlu
mengedukasi keluarga mengenai bagaimana menggunakan pispot atau
urinal untuk memudahkan pasien dalam BAK dan BAB.
6. Memberitahukan keluarga untuk tetap menjaga personal hygiene pasien.
7. Memberitahukan keluarga untuk membantu merubah posisi pasien untuk
mencegah terjadinya dekubitus, dikarenakan pasien sudah mengalami
penurunan kesadaran selama 3 hari.
8. Memberitahukan keluarga untuk membantu memposisikan pasien
setengah duduk jika pasien mengalami sesak nafas.
9. Perawat juga dapat memberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit
pasien saat ini untuk mencegah penyakit yang sama pada anggota keluarga
yang lain. Perawat dapat menjelaskan mengenai pengertian malaria,
penyebab, tanda gejala dan cara pencegahannya.
Daftar Pustaka

Anonim. (n.d.). Mukoadhesif Rektal. Retrieved June 4, 2017, from


http://docshare02.docshare.tips/files/31421/314217953.pdf

Barnes et al. (2013). Efficacy of rectal artesunate compared with parenteral


quinine in initial treatment of moderately severe malaria in
African children and adults: a randomised study. The Lancet
Journal 363: 1598–605

Ihsan Taufiq Rahman. (n.d.). Peran Perawat Dalam Pemberian Obat. Retrieved
June 4, 2017, from
https://www.academia.edu/8425462/Peran_Perawat_Dalam_Pe
mberian_Obat

Maka et al. (2015). A randomized trial of the efficacy of artesunate and three
quinine regimens in the treatment of severe malaria in children
at the Ebolowa Regional Hospital, Cameroon. Malaria Journal
14:429

You might also like