You are on page 1of 18

Adaptasi Mahasiswa

Studi Kasus Mahasiswa Rantau Etnis Batak Toba di Politeknik Negeri

Bandung

Disusun Oleh:

Gita Junita BR Sagala

170510150006

Program Studi Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran

2018
1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang

Pendidikan Tinggi Bab 1 Pasal 1 Ayat 15 mendefinisikan bahwa mahasiswa

merupakan peserta didik pada jenjang perguruan tinggi.1 Mahasiswa adalah

seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar

sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri

dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2012:

5). Maka dari itu dalam prosesnya seorang mahasiswa harus membuat cara agar

menjadi sosok yang ideal sebagai cerminan Bangsa Indonesia di masa depan,

salah satunya dengan menimba ilmu. Dalam menimba ilmu, tak jarang mahasiswa

rela meninggalkan atau merantau ke daerah lain agar mendapatkan pendidikan

yang tinggi dan layak.

Mahasiswa perantau tentunya bukan sesuatu yang asing lagi, terutama di kota-

kota b1esar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan kota-kota besar

lainnya di Indonesia. Mahasiswa perantau adalah para mahasiswa yang melakukan

studi perguruan tinggi di daerah atau kota lain atau dapat di katakan merantau dari

tempat asalnya untuk menempuh pendidikan yang lebih berkualitas yang akan dia

dapatkan di daerah atau kota lain. Hal tersebut lahir dari kenyataan sekarang ini

bahwa pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya

1
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2012/12TAHUN2012UU.HTM (diakses 27 Agustus
2018).
manusia yang guna mengadaptasi situasi dan kondisi yang selalu mengalami

perubahan secara dinamis (Adiarta, dkk 2013).

Bandung adalah salah satu kota yang terletak di Jawa Barat yang juga

merupakan salah satu kota pendidikan2 dan menjadi incaran para pelajar dari

berbagai penjuru tanah air untuk melanjutkan pendidikannya di Bandung. Hampir

setiap tahun universitas yang tersebar di Bandung dipenuhi oleh pelajar yang

berasal dari luar kota, luar provinsi, bahkan luar negeri dengan tujuan untuk
2
menuntut ilmu. Banyak perguruan tinggi yang terkenal di Bandung salah satunya

adalah Politeknik Negeri Bandung (POLBAN).

Perguruan tinggi POLBAN berada di Desa Ciwaruga, Kecamatan

Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat3 dengan corak kebudayaan

yang ada di lingkungan POLBAN adalah kebudayaan Sunda. Pemilihan lokasi

penelitian di POLBAN karena mahasiswa POLBAN adalah mahasiswa dari

berbagai latar belakang yang berbeda satu dengan yang lainnya akan tetapi

memiliki satu tujuan yang sama yaitu pendidikan yang bermutu dan layak. Hal ini

dibuktikan karena POLBAN masuk kedalam 100 perguruan tinggi terbaik yang

ada di Indonesia pada tahun 20174, sehingga banyak mahasiswa perantau dari

berbagai latar belakang budaya yang berbeda datang dan menuntut ilmu di

kampus tersebut. Salah satu mahasiswa perantau yang datang untuk menuntut

ilmu di POLBAN adalah mahasiswa etnik Batak Toba yang berasal dari Sumatera

Utara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Batak” memiliki arti yaitu petualang,

2
https://blogs.itb.ac.id (diakses 28 Agustus 2018).
3
www.polban.ac.id (diakses 28 Agustus 2018).
4
http://ristekdikti.go.id (diakses 28 Agustus 2018).
pengembara, sedang “membatak” mempunyai arti yaitu berpetualang, pergi

mengembara5 (https://kbbi.web.id/batak). Naim (dalam Sinaga, 2012) mengatakan

bahwa orang Batak sangat suka untuk mengembara. Mobilitas yang tinggi dan

semangat serta perasaan ingin tahu yang tinggi menjadikan salah satu faktor yang

membuat suku Batak tersebar di seluruh daerah Nusantara bahkan hingga ke luar

negeri. Napitupulu (dalam Nauli dan Fransisca, 2015) mengatakan bahwa motto

orang Batak Toba “anakkokin do hamoraon di ahu” yang berati bahwa anak

adalah harta yang paling berharga. Para orangtua akan berusaha menyekolahkan

anaknya walaupun dalam keadaan terbatas. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan

anak menjadi tempat dan nilai yang lebih tinggi dari nilai yang lain. Sehingga

tidaklah asing jika banyaknya mahasiswa etnik Batak Toba datang atau merantau

untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya ke Kota Bandung, terutama ke perguruan

tinggi POLBAN.

Mahasiswa etnik Batak dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan

setempat ketika harus pergi dari daerah asalnya dalam kurun waktu yang tidak

dapat ditentukan. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya berupa lingkungan

alam, melainkan juga lingkungan sosial dan budaya (Ningrum, 2016). Adaptasi

adalah penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan, tidak hanya lingkungan

secara fisik melai3nkan lingkungan sosial karena setiap orang membutuhkan satu

dengan lainnya, maka harus menyesuaikan nilai dan norma yang berlaku dalam

lingkungan baru tersebut (Mareza dan Nugroho, 2016).

Mahasiswa etnik Batak Toba yang diterima diperguruan tinggi POLBAN

5
https://kbbi.web.id/batak (diakses 28 Agutus 2018)
harus mulai pindah dan menjalani kehidupan yang baru sebagai mahasiswa

POLBAN. Selain sebagai salah satu perguruan tinggi yang banyak diminati oleh

mahasiswa perantau, POLBAN terletak di Jawa Barat dan termasuk ke dalam

suku Sunda yang merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Dikalangan

masyarakat, tercipta stereotip tentang orang Sunda yaitu menjunjung tinggi sopan

santun, murah senyum, lemah-lembut dan sangat menghormati orang tua dalam

kehidupan sehari-hari (Intan dan Handayani, 2017) sedangkan orang Batak

memiliki ciri-ciri yang sangat bertolak belakang dengan orang Sunda yaitu

memiliki suara keras dan cenderung kasar, memiliki rasa percaya diri yang tinggi,

bersikap secara spontan dengan orang lain (Mudrikah, 2017). Dari gambaran

diatas, dapat dikatakan bahwa secara geografis dan sosio-kultural Sunda sangat

berbeda dengan Batak.

Proses adaptasi adalah salah satu cara yang digunakan oleh mahasiswa rantau

etnik Batak Toba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan POLBAN yang

memiliki latar belakang sosio-kultural Sunda. Banyak hambatan yang dihadapi

oleh mahasiswa perantau dan salah satu hambatan yang dialami oleh mahasiswa

etnik Batak Toba selama kuliah di POLBAN adalah hambatan dalam berbahasa.

Walaupun bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang utama dalam dunia

pendidikan (Azis, 2016), mayoritas masyarakat di sekitar perguruan tinggi

POLBAN dalam kesehariannya menggunakan bahasa Sunda. Hal ini menjadi

hambatan bagi mahasiswa etnik Batak Toba dalam berinteraksi pada saat

berbincang dengan teman-temannya dari Sunda, pada saat mengikuti perkuliahan

dengan dosen yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa kedua, pada saat
membeli makanan atau minuman, mengucap salam, menyapa, dan berkomunikasi

dengan masyarakat sekitar.

Deddy Mulyana dalam Puspaningtyas (2017) mengemukakan bahwa bagi

orang asing atau pendatang, pola budaya masyarakat yang dimasukinya tidak

dapat dijadikan tempat berteduh, melainkan sebagai suatu arena petualangan.

Dalam ungkapan tersebut dapat dikatakan bahwa setiap individu yang memasuki

lingkungan yang baru akan menghadapi rintangan atau masalahnya sendiri

terutama dalam proses adaptasi. Mahasiswa Batak Toba yang merantau ke

POLBAN sebagai suatu lingkungan baru mungkin akan menghadapi banyak hal

yang berbeda dalam lingkungan fisik seperti cuaca dan lingkungan sosial budaya

seperti berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Apalagi, budaya tidak hanya

melihat cara berkomunikasi maupun bahasa yang digunakan, tetapi budaya juga

meliputi persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan

sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, teknologi, tatanan pengetahuan,

pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, peranan dan sebagainya. (Mulyana

dan Rakhmat, 2010:18). Dengan semua perbedaan yang ada, mereka harus dapat

beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dari lingkungan tempat tinggalnya

sebelumnya. Proses adaptasi akan dilalui seseorang hingga dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan dan merasa nyaman untuk melakukan aktivitas.

Penelitian terdahulu terkait dengan penelitian ini ialah penelitian yang di

lakukan oleh Solihin (2013) dengan judul “Mereka yang Memilih Tinggal Telaah

Strategi Adaptasi Mahasiswa Perantau Bugis-Makassar di Melbourne, Australia”.

Penelitian ini menjelaskan proses mahasiswa Bugis-Makassar merantau ke Kota


Melbourne, alasan-alasan yang melatar belakangi mereka untuk menetap, adaptasi

mereka dengan lingkungan yang baru dan perubahan-perubahan yang terjadi dan

hal-hal yang masih dipertahankan. Temuan dalam penelitian ini adalah mahasiswa

Bugis-Makassar mengambil keputusan untuk menetap di Melbourne mula-mula

didorong oleh faktor eksternal yang kemudian didukung oleh kondisi internal

kebudayaan orang Bugis-Makassar di Kota Melbourne. Faktor eksternal berupa

lingkungan hidup yang nyaman, layak, dan memberikan rasa aman telah

memantik keinginan mereka untuk menetap. Keputusan tersebut kemudian

melahirkan dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda

dengan tempat asal. Selain berhasil menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan

alam, para perantau Bugis-Makassar juga berhasil menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosial dan budaya di kota ini. Salah satu strategi budaya yang

dilakukan oleh perantau Bugis-Makassar untuk tetap menjaga identitas mereka

adalah menikah dengan sesama orang Bugis-Makassar, serta mendirikan

organisasi Komunitas Anging Mamiri (KAM) di Meulborne.

Penelitian mengenai adaptasi lainnya adalah penelitian Kumalasari dan

Ahyani (2012). Penelitian ini mengkaji mengenai hubungan antara dukungan

sosial dengan penyesuaian diri pada remaja di panti asuhan. Penelitian ini

menggunakan metode skala dalam mengumpulkan data. Hasil dalam penelitian ini

mengatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri

pada remaja di panti asuhan. Semakin besar dukungan sosial dari lingkungan

sekitar maka proses penyesuaian diri seseorang akan berefek positif, sehingga

dalam hal ini remaja merasa dirinya diterima dan diperhatikan oleh lingkungan
sekitarnya.

Kajian selanjutnya dilakukan oleh Andriani dan Jatiningsih (2015) mengenai

strategi adaptasi siswa Papua di kota Lamongan. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif. Siswa Papua yang berada di kota Lamongan merupakan siswa

yang mengikuti program pemerintah yaitu UP4B (Unit Percepatan Pembangunan

Papua dan Papua Barat). Temuan dalam penelitian ini adalah siswa Papua

menggunakan strategi adaptasi perilaku untuk menghadapi perbedaan di

lingkungan yang baru. Siasat digunakan untuk menghadapi resistensi atau

penolakan, kemudian menggunakan strategi adaptasi. Proses adaptasi digunakan

untuk mencari kesamaan di lingkungan yang baru. Strategi adaptasi perilaku lebih

dominan dilakukan oleh siswa Papua dalam melakukan adaptasi dalam

menghadapi perbedaan.

Penelitian sejenis sebelumnya pernah dilakukan oleh Rachmat Indryanto di

Kelurahan Sumpang Binangae yang dilakukan pada tahun 2016. Penelitian ini

membahas mengenai adaptasi sosial etnis Jawa di Kelurahan Sumpang Binangae

di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Hasil penelitiannya menemukan bahwa

bentuk adaptasi sosial antara Etnis Jawa dengan masyarakat di Kelurahan

Sumpang Binangae diawali dengan adanya interaksi yang baik antara etnis jawa

terhadap masyarakat setempat. Kerja sama tersebut merupakan salah satu bentuk

keselarasan dalam bermasyarakat. Faktor pendukung adaptasi sosial yang terjadi

dalam masyarakat setempat dikarenakan adanya tujuan yang sama sehingga

tercapai kesejahteraan hidup yang baik. Dalam melakukan adaptasi Etnis Jawa

cenderung mengalami hambatan karena adanya perbedaan pola pikir dalam


bertindak. Hambatan lainnya yaitu faktor bahasa yang menghambat adaptasi

sosial yang dilakukan etnis jawa. Adapun faktor pendukung etnis Jawa dalam

berdaptasi yaitu dengan adanya rasa nyaman dalam bermasyarakat.

Penelitian lainnya yang serupa pernah dilakukan oleh oleh Faradita Prayusti

pada tahun 2017 dengan menggunakan metode kualitatif. Faradita menulis tesis

dengan judul “Adaptasi Mahasiswa Indonesia dalam Gegar Budaya di Fukuoka

Jepang: Studi Kasus Mahasiswa Indonesia di Universitas Kyushu”. Penelitian

Faradita membahas mengenai bagaimana para mahasiswa Indonesia beradaptasi

dalam menghadapi gegar budaya selama di Fukuoka. Hasil penelitiannya

menjelaskan bahwa adaptasi komunikasi menjadi cara bagi mahasiswa Indonesia

untuk menghadapi gegar budaya selama berada di Fukuoka, Jepang. Mahasiswa

Indonesia berkomunikasi dengan orang-orang Jepang untuk meningkatkan

kompetensi komunikasi mereka. Serta keadaan lingkungan yang terbuka dan

memiliki teloransi, membuat para mahasiswa merasa diterima dengan baik

sehingga komunikasi antara mahasiswa dengan masyarakat Jepang berjalan baik.

Perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dari penelitian-penelitian

yang sebelumnya adalah pada subjek penelitian, yakni mahasiswa etnik Batak

Toba dari Sumatera Utara di POLBAN. Adapun pemilihan lokasi penelitian di

POLBAN dilakukan karena jumlah pendaftar mahasiswa ke POLBAN setiap

tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2016 jumlah pendaftar sebanyak

12.550 orang lalu pada tahun 2017 jumlah pendaftar menjadi meningkat yaitu

22.716 orang. Hal itu menunjukan bahwa POLBAN merupakan salah satu

perguruan tinggi yang diminati oleh mahasiswa dan disana peneliti dapat
menemui pelajar dari hampir semua daerah di Indonesia yang mempunyai

latarbelakang kebudayaan yang berbeda-beda terutama mahasiswa rantau etnik

Batak Toba di POLBAN. Selain itu perbedaan yang akan dilakukan pada

penelitian ini adalah fokusnya. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut peneliti

tertarik melakukan penelitian mengenai bagaimana proses adaptasi yang

dilakukan oleh Mahasiswa rantau etnik Batak Toba di Politeknik Negeri Bandung

(POLBAN).

1.2 Rumusan Masalah

Cara penyesuaian diri etnis batak toba yang merantau untuk menimba ilmu di

tempat perantauan pasti berbeda–beda. Dimana banyak faktor yang berpengaruh

seperti faktor lingkungan dan faktor sosial. Berdasarkan deskripsi yang telah

dipaparkan pada latar belakang, dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas

dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana proses adaptasi yang dilakukan oleh

mahasiswa rantau etnik Batak Toba agar dapat bertahan di lingkungan di

POLBAN?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses

adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa rantau etnik Batak agar dapat bertahan di

lingkungan di POLBAN.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis.

1. Secara teoritis manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Menambah pengetahuan atau wawasan untuk pembaca, khususnya

bagi kajian Antropologi mengenai adaptasi yang dilakukan oleh

mahasiswa rantau etnik Batak Toba.

b. Dapat dijadikan bahan acuan di bidang penelitian sejenis apabila akan

dilakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan adaptasi.

2. Secara praktis manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk memenuhi dalah satu syarat dalam menempuh Sidang Sarjana

Program Studi Antropologi Universitas Padjadjaran.

b. Dapat memberikan informasi kepada mahasiswa yang akan merantau

agar dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dari

lingkungan tempat asalnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Adaptasi

Masyarakat menurut Koentjaraningrat (2009:116) adalah sekumpulan

manusia yang saling berinteraksi. Sebagai mahluk sosial, manusia dapat

berkembang dan bertahan hidup melalui kerja sama dengan orang lain. Oleh

karena itu, manusia membutuhkan kemampuan untuk dapat bergaul dan diterima

oleh lingkungan tempat tinggal mereka. Demikian halnya ketika seseorang

memasuki lingkungan yang baru dan belum pernah dihadapinya.

Untuk menghadapi lingkungan yang berbeda, mereka perlu beradaptasi


dengan lingkungan yang baru untuk tetap bertahan hidup. Untuk bertahan hidup di

lingkungan barunya, organisme (individu-kelompok) harus dapat mengatasi

kesulitan-kesulitan yang dialaminya. Dalam tahapan ini individu atau kelompok

orang harus mampu untuk: bertahan hidup sebagai resisten terhadap musuh

alaminya; memperoleh sumber daya pemenuhan kebutuhan primernya yaitu air,

udara dan makanan; membentuk keluarga dan keturunan; dan siap menghadapi

segala perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.

Keseluruhan proses pertahanan diri itu, disebut sebagai proses adaptasi (Nopianti,

dkk. 2018).

Adaptasi adalah proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu maupun

kelompok terhadap perubahan yang terjadi pada norma, kondisi maupun

lingkungan. Proses dari adaptasi ini akan menghasilkan sebuah tindakan yang

dilakukan secara terus menerus hingga menjadi suatu kebiasaan bagi individu

maupun kelompok untuk bertahan hidup dalam lingkungannya (Putra, 2017).

Menurut John Bennet dalam Andriani & Jatiningsih (2015), adaptasi

dibagi menjadi tiga bagian yaitu adaptasi perilaku (adaptive behavior), adaptasi

siasat (adaptive strategy) dan adaptasi proses (adaptive processes). Adaptasi

perilaku adalah perilaku yang dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan terus

berubah seiring berjalannya waktu. Perilaku yang muncul digunakan sebagai alat

oleh individu maupun kelompok untuk mempertahankan diri terhadap lingkungan

dan kelompok yang berubah dengan mengikuti alur yang ada di lingkungan

tersebut. Jadi, adaptasi perilaku sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh

organisme (individu-kelompok) dalam upaya perubahan.


Adaptasi siasat adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang untuk

menyiasati suatu perubahan yang terdapat di sekitar lingkungannya. Hal itu

dilakukan karena melalui perubahan yang terjadi dalam lingkungan maupun

keadaan sekitar membutuhkan suatu solusi untuk mengatasi hambatan tersebut,

karena cara-cara yang digunakan individu maupun kelompok pada umumnya

tidak lepas dari masalah yang mendasari, walaupun perubahan-perubahan tersebut

tidak menimbulkan suatu hal yang negatif, tetapi organisme (individu-kelompok)

perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dengan melakukan

pemeriksaan yang sesuai agar dapat berada pada posisi yang tepat, sehingga dapat

bertahan hidup.

Adaptasi proses adalah proses adaptasi yang terbagi menjadi dua level

yaitu individu dan kelompok. Individu mengarah pada kemampuan seseorang

untuk mengatasi hambatan dalam suatu lingkungan alam. Tujuan hal ini untuk

mendapatkan sumber daya yang dianggap sebagai alat pemuas kebutuhan.

Sedangan level kelompok, adaptasi dikatakan sebagai suatu cara yang digunakan

untuk mempertahankan hidup (survival). Pada dasarnya, individu dengan yang

lainnya akan hidup bersama dalam suatu lingkungan sosial, maka dari itu antar

individu harus dapat bertahan hidup dengan melakukan pemecahan masalah

bersama-sama yang ada di dalam lingkungan sosial. Hal ini karena masalah yang

timbul tidak selamanya dapat dipecahkan sendiri, tetapi membutuhkan orang lain

untuk menyelesaikan masalahnya.

Gudykunst & Kim dalam Simatupang (2015) Proses adaptasi berlangsung

saat individu maupun kelompok memasuki budaya yang baru. Individu maupun
kelompok tersebut mulai mendeteksi persamaan dan perbedaan dalam lingkungan

baru secara bertahap. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi proses

adaptasi budaya yaitu:

1. Adanya persamaan atau kemiripan budaya baru dengan budaya asal.

Lebarnya jarak budaya akan mengakibatkan pendatang secara psikologis

cenderung memilih berada pada kelompok sukunya.

2. Dukungan sosial dari budaya asal.

Saat individu berada di luar tempat asalnya, maka individu tersebut akan

turut membawa budaya dari tempat asalnya dan berusaha untuk tetap

terus terhubung dengan tempat asalnya. Dukungan sosial dari budaya

asal akan menjembatani jarak budaya dan secara perlahan individu akan

membangun hubungan dengan budaya baru.

3. Karakteristik pribadi dan latar belakang individu.

Faktor demografis misalnya usia, pendidikan, bahasa, pengalaman

pribadi, paparan budaya lain dan karakteristik pribadi, akan

mempengaruhi proses adaptasi budaya.

4. Interaksi dengan intergroup.

Sering melakukan interaksi antara individu dengan daerah asalnya akan

berpengaruh pada proses adaptasi terhadap budaya baru.

Terkait dengan adaptasi, Soekanto dalam Winata (2014) memberikan

beberapa batasan pengertian tentang adaptasi:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.


3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.

4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan

lingkungan dan sistem.

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.

Berdasarkan batasan-batasan yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan

bahwa adaptasi adalah proses penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit

sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang

diciptakan. Mengenai proses penyesuaian tersebut, Aminuddin dalam Hadi (2017)

menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan beberapa tujuan, diantaranya:

1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Menyalurkan ketegangan sosial.

3. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial.

4. Bertahan hidup.

Inti dari proses adaptasi ini adalah akan menghasilkan sebuah tindakan

yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan bagi

individu maupun kelompok manusia yang melakukan adaptasi tersebut untuk

bertahan hidup dalam lingkungan tempat hidupnya maupun di lingkungan yang

baru saja didatangi.

1.5.2 Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa adalah

mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi1. Siswoyo dalam Papilaya dan

Huliselan (2016) mengatakan bahwa mahasiswa adalah seseorang sedang


melakukan pendidikan ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau

lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai

mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan

kerencanaan dalam bertindak. Berfikir kritis dan bertindak dengan cepat dan

tangkas merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri mahasiswa.

Hartaji dalam Murjainah (2016) mendefinisikan mahasiswa sebagai

seseorang yang sedang menempuh pendidikan atau menimba ilmu dan terdaftar

sedang menjalani pendidikan pada salah satu perguruan tinggi yang terdiri dari

akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.

Yusuf dalam Pradipta (2018) menyebutkan bahwa seorang mahasiswa

dikategorikan pada tahap perkembangan yang berusia 18 sampai 25 tahun. Pada

tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal

dan dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini

yaitu pemantapan pendirian hidup.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah

seseorang peserta didik yang berusia 18 sampai 25 tahun yang terdaftar dan

sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi baik akademi, politeknik,

sekolah tinggi, institut dan universitas.

1.5.2.1 Mahasiswa Rantau

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merantau memiliki

arti berlayar atau mencari penghidupan di tanah rantau atau pergi ke negeri

lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya. Perantau sendiri

ialah orang yang mencari penghidupan, ilmu, dan sebaginya di negeri


lain1.

Sahur dalam Irfan (2017) mengartikan merantau yaitu seseorang

maupun kelompok yang meninggalkan kampung halaman dalam waktu

dekat atau lama dengan sukarela yang bertujuan mencari nafkah atau

menuntut ilmu serta mengusahakan kembali ke kampung halamannya pada

hari raya Islam.

Sedangkan mahasiswa menurut Hartaji dalam Murjainah (2016)

ialah sebagai seseorang yang sedang menempuh pendidikan atau menimba

ilmu dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu perguruan

tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan

universitas.

Budiman dalam Lingga dan Tuapattinaja (2012) menyebutkan

mahasiswa perantau ialah seseorang yang tinggal di daerah lain untuk

menuntut ilmu di perguruan tinggi dan mempersiapkan diri dalam

mencapaian suatu keahlian dalam jenjang perguruan tinggi diploma,

sarjana, magister atau spesialis.

Berdasarkan uraian diatas mahasiswa perantau adalah seseorang

yang meninggalkan kampung halamannya dalam waktu dekat maupun

lama bertujuan untuk menuntut ilmu pada salah satu perguruan tinggi dan

mencapai suatu keahlian dalam jenjang perguruan tinggi diploma, sarjana,

megister ataupun spesialis.

1.5.2.2 Mahasiswa Suku Batak Toba di POLBAN

Politeknik Negeri Bandung (POLBAN) merupakan salah satu


perguruan tinggi yang banyak diminati oleh mahasiswa baik dari luar

daerah maupun dalam daerah. Hal tersebut terbukti karena jumlah

pendaftaran mahasiswa ke POLBAN setiap tahunnya mengalami

peningkatan, pada tahun 2016 jumlah pendaftar sebanyak 12.550 orang

dan pada tahun 2017 mengalami peningkatan yaitu menjadi 22.716 orang.

Ditanjau dari suku, keberadaan suku Batak Toba adalah salah satu diantara

beragam suku yang ada di POLBAN. Simanjutak dalam Pinem (2013)

mahasiswa suku Batak Toba sering diidentifikasi sebagai mahasiswa yang

bekerja keras dan penuh persaudaraan, walaupun suku Batak Toba

tergolong minoritas di POLBAN namun diakui bahwa mereka adalah

mahasiswa yang giat dan spontan bermigrasi ke seluruh daerah.

Irnawati (2008) mengatakan mahasiswa suku Batak Toba pada

umumnya adalah mahasiswa yang menunjukan tingkat keberhasilan

belajar yang lebih tinggi daripada mahasiswa suku lain. Mahasiswa suku

Batak Toba tidak hanya berusaha lulus, tetapi lulus dengan nilai yang baik.

Penelitian Irnawati memperlihatkan bahwa suku Batak Toba meletakkan

pendidikan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan mereka.

Keluarga suku batak toba satu dengan lainnya saling berkompetisi dalam

menyekolahkan anak-anaknya. Hal tersebut dilandasi oleh nilai-nilai

utama orang Batak Toba yaitu hagabeon “keturunan”, hamoraon “upaya

mencari kekayaan”, dan hasangapon “kehormatan dan kemuliaan”

(Harahap dan Siahaan, 1987).

You might also like