You are on page 1of 23

BAB VIII

GANGGUAN NAPAS PADA BAYI BARU LAHIR


M. Sholeh Kosim

Pendahuluan
Distres respirasi atau gangguan napas merupakan masalah yang sering dijumpai
pada hari-hari pertama kehidupan BBL, ditandai dengan takipnea, napas cuping
hidung, retraksi interkostal, sianosis dan apnu. Gangguan napas yang paling
sering ialah TTN (Transient Tachypnes of the Newton), RDS (Respiratory
Distress Syndrome) atau PMH (Penyakit Membran Hialin) dan Displasia
bronkopulmonar.1
Respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindrom Gangguan Napas
(SGN) dikenal juga sebagai Penyakit Membran Hialin, hampir terjadi sebagian
besar pada BKB. Insidens dan derajat penyakit ini berhubungan erat dengan umur
kehamilan. Keluaran SGN ini beberapa tahun terakhir membaik dengan
penggunaan steroid antenatal untuk meningkatkan kematangan paru, terapi pasca
natal dengan pemberian surfaktan secara dini untuk kasus defisiensi surfaktan dan
teknik penggunaan ventilator mekanik yang baik yang dapat mengurangi
kerusakan paru yang masih imatur. Terapi ini juga meningkatkan tingkat survival
BKB. Meskipun sudah menurun, insidens dan derajar beratnya komplikasi masih
menunjukkan morbiditas yang signifikan.2
Gangguan napas dapat mengakibatkan gagal napas akut yang
mengakibatkan ketidak mampuan untuk memelihara pertukaran gas agar dapat
memenuhi kebutuhan tubuh dan akan mengakibatkan hipoksemia dan/atau
hiperkarbia. Mekanisme terjadinya kedua hal ini mungkin berbeda. Hipoksemia
sering terjadi akibat gangguan ventilasi perfusi, pirau intrapulmonal, gangguan
difusi atau hipoventilasi. Gangguan napas hiperkapnik karena penyebab
multifaktor, tapi sering disebabkan depresi pernapasan sentral atau pemompaan
otot pernapasan yang tidak adekuat. Hiperkapnea dapat terjadi akibar obstruksi
saluran napas atas atau bawah, kelemahan otot pemapasan atau biasanya akibat
produksi CO2 yang berlebihan, luka bakar dan pemberian gula yang berlebihan.3

Pengertian
Definisi Gangguan Napas adalah: suatu keadaan meningkatnya kerja pemapasan
yang dirandai dengan:
1. Takipnea: frekuensi napas > 60-80 kali/menit
2. Retraksi: cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di
bawah sternum (sub stemal) selama inspirasi
3. Napas cuping hidung kembang kempis lubang hidung selama inspirasi
4. Merintih atau grunting: terdengar merintih atau menangis saat inspirasi
5. Sianosis: sianosis sentral yaitu warna kebiruan pada bibir (berbeda dengan
biru lebam atau warna membran mukosa. Sianosis sentral tidak pernah
normal, selalu memerlukan perhatian dan tindakan segera. Mungkin
mencerminkan abnormalitas jantung, hematologik atau pemapasan yang
harus dilakukan tindakan segera
6. Apnu atau henti napas (harus selalu di nilai dan dilakukan tindakan segera)
7. Dalam jam jam pertama sesudah lahir, empat gejala distres respirasi
(takipnea, retraksi, napas cuping dan grunting) kadang juga dijumpai pada
BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini disebabkan karena
perubahan fisiologik akibat reabsorbsi cairan dalam paru bayi dan masa
transisi dari sirkulasi fetal ke sirkulasi neonatal.
8. Bila takipnea, retraksi, cuping hidung dan grunting menetap pada beberapa
jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas atau
distress respirasi yang harus dilakukan tindakan segera.4

Masalah
1. Bayi dengan Gangguan napas mempunyai risiko atau komplikasi
terjadinya:
a. Hipoksia, bila berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan pada
organ vital seperti otak, paru, jantung dan ginjal
b. Asidosis metabolik (hipoglikemia, hipotermia)
c. Problem hematologik misalnya: anemia, polisitemia.2,4

2. Keadaan yang sering memberi gambaran klinis yang mirip atau sama:
a. Pneumonia sering terjadi sekunder akibar infeksi Streptokoki Grup B beta
hemolitikus (GBBS)
b. TTN - Transient Tachynta of the newborn, biasanya terjadi pada BCB atau
mendekati cukup bulan
c. Sindroma Aspirasi mekonium yang dapat terjadi akibat aspirasi air
ketuban atau meconium
d. Kebocoran udara pada paru (pneumotoraks, emfisema interstitial,
pneumomediastinum, pneumoperikardium). Pada BKB hal ini dapat
terjadi akibat pemberian ventilasi tekanan positip yang berlebihan atau
dapat terjadi spontan
e. Kelainan paru kongenital (misalnya hernia diafragmatika, silototoraks,
pembentukan kista adenomatoid paru kongenital, emfisema lobaris, kista
bronco-genik, sekuestras paru)
f. Kelainan jantung kongenitaL
g. Gejala sisa atau sekuel SGN, termasuk perdarahan intrakranial dan/atau
lekomalasia periventrikular sering dihubingkan dengan Keterlambatan
Perkembangan Neuro logis, septicemia, Displasia bronkhopulmoner, Paten
Ductus Arteriosus (PDA) dan perdarahan paru.2

Patofisiologi
Perkembangan paru normal
Paru berasal dari pengembangan “embryonic foregut” dimulai dengan
perkembangan bronkhi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru
kearah kaudal ke mesenkhim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang
rawan dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara endodermal
epitelium mulai membentuk alveoli dan saluran pemapasan. Di luar periode
embrionik ini, ada 4 stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh
stadium ini, perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan proses
diferensiasi berlangsung secara bersamaan.5
1. Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkhuis dan tubulus asiner
2. Kanalikuler (16-26 minggu)
• Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim
• Diferensiasi pneumosit alveolar tipe Il sekitar 20 minggu
3. Sakuler (24-38 minggu)
• Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara
• Awal pembentukan septum alveolar
4. Alveolar (36 minggu - lebih 2 tahun setelah lahir)
• Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru

Surfaktan paru
Surfaktan dibentuk pada pneumosit alveolar tipe II dan disekresi kedalam rongga
udara kecil sekitar usia kehamilan 22 minggu. Komponen utama surfaktan ini
adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipalmitylphosphatidylcholine
(DPPC). Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit
alveolar tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan mielin tubuler tergantung pada
ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan lapisan tunggal
berasal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC. Fungsinya
adalah untuk mengurangi tegangan permukaan dan menstabilkan saluran napas
kecil selama ekspirasi yang memungkinkan stabilisasi dan pemeliharaan sisa
volume paru. Terjadi proses "re-uptake and recycling” secara akrip dari fosfolipid
surfaktan (baik endogenus maupun dari pemberian surfaktan) oleh pneumosit tipe
II.5.6

Protein surfaktan yang lain


Ada 3 jenis protein utama lain yang dibentuk di dalam pneumosit tipe II dan
disekresi bersamaan dengan komponen fosfolipid surfaktan SP-A mempunyai
fungsi imuno regulator, bersama dengan SPB diperlukan untuk pembentukan
myelin tubuler. SP-A, bersama dengan SP-B dan SPC mempertahankan mielin
tubuler dan surfaktan lapis tunggal terhadau pengikisan akibat kontaminasi
dengan protein plasma. 5.6

Klasifikasi gangguan napas


Gangguan napas dapat diklasifikasi berdasarkan pada mekanisme patofisiologi
yang mengakibatkan hipoksemia dan/atau hiperkarbia. Gangguan napas akut
dapat terjadi akibat salah satu dari keadaan abnormal berikut ini:3
• Rasio ventilasi alveolar dan perfusi pulmoner menjadi terbalik
• Pirau intrapulmonal
• Hipoventilasi
• Difusi gas abnormal pada pertemuan alveolar dan kapiler
• Berkurang nya konsentrasi O2 yang dihirup (FiO2)
• Meningkatnya desaturasi vena dengan gangguan fungsi jantung ditambah
satu atau lebih faktor tersebut di atas.

Buku Pedomen Manajemen masalah BBL untuk, Dokter, Perawat dan Bidan di
Rumah Sakit, membagi Klasifikasi gangguan napas, menjadi:
• Gangguan napas ringan
• Gangguan napas sedang
• Gangguan napas berat
Secara rinci dapat dilihat pada table Tabel 8.1. Klasifikasi lain dapat
menggunakan skor Downes seperti pada Tabel 8.2 di bawah ini:
(TABEL 8.1)
(TABEL 8.2)

Penyebab gangguan napas pada BBL


1. Obstruksi jalan napas:
a. Nasal atau nasofaringeal: obstruksi koanae, edema nasalis, ensefalokel.
BBL bernapas dengan hidung dan dapat menunjukkan gejala distres
respirasi apabila ada sesuatu yang menyumbar lubang hidung (mukus atau
masker yang menutupi saat dilakukan terapi sinar)
b. Rongga mulut: makroglosi atau mikrognaci
c. Leher: struma congenital dan higroma kistik
d. Laring: laryngeal web, stenosis subglorik, hemangioma, parallisis
medulla spinalis dan laringomalasia
2. Trakhea: trakheomalasia, fistula trakheoesofagsus, stenosis trakhea dan
stenosis bronkhial.4,10,11
3. Penyebab pulmonal:
a. Aspirasi mekonium, darah atau susu formula
b. Respiarory distress syndrome: RDS = Penyakit membrana hialin
c. Atelektasis
d. Kebocoran udara: Pnemotoraks, pnemomediastinum, emfisema
pulmonal interstitialis
3. TTN (Transient tachypnea of the newborn)
f. Premonia, Pnemonia hemoragik
g, Kelainan kongenital: hernia diafragmatika, Kista atau tumor
intratorakal, Agenesia atau hipoplasia paru, emfisema lobaris congenital h.
Efusi, silotoraks.4,10,11
4. Penyebab non pulmonal setiap keadaan yang menyebabkan aliran darah ke
paru meningkat atau menurun, menyebabkan kenaikan kebutuhan oksigen
meningkat dan penurunan jumlah sel darah merah yang menyebabkan
distres respirasi
a. Gagal jantung kongestif (congestive heart failure)
b. Penyebab metabolik asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia
c. Hipertensi pulmonal menetap: persistence pulmonary hypertension
d. Depresi neonatal
e. Syok
f. Polisitemia: jumlah sel darah merah yang berlebihan yang menyebabkan
meningkatnya viskositas darah dan mencegah sel darah merah dengan
mudah masuk ke dalam kapiler paru
g. Hipotermia
h. Bayi dari ibu dengan DM
i. Perdarahan susunan saraf pusat.4,10,11

Diagnosis
Diagnosis gangguan napas dapat dicegakkan secara klinis maupun dengan analisa
gas darah (blood gass analysis). Perhitungan indeks oksigenasi akan
menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi bayi dengan gangguan
napas harus hati-hati atau waspada karena dapat terjadi bayi dengan gejala
pernapasan yang menonjol, tetapi tidak menderita gangguan napas (misalnya
asidosis metabolik, DKA = diabetik ketoasidosis) dan sebaliknya gangguan napas
berat dapat juga terjadi pada bayi tanpa gejala distres respirasi (hipoventilasi
sentral akibat intoksikasi obat atau infeksi). Penilaian yang hari hati berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat
menjelaskan tentang diagnosis. Penilaian secara serial tentang kesadaran, gejala
respirasi, Analisis Gas Darah dan respons terhadap terapi dapat merupakan kunci
yang berarti untuk menentukan perlunya intervensi selanjutnya.3,11

Prioritas dalam evaluasi atau pemeriksaan awal pada bayi dengan gangguan
napas
1. Langkah awal untuk mencari penyebab:
a. Anamesis yang teliti
b. Pemeriksaan fisik yang tepat
c. Menilai tingkat maturitas bayi dengan Ballard atau Dubowitz (bila
keadaan bayi masih labil pemeriksaan ini ditunda dulu)

Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan radiologik dada
b. Analisa gas darah
c. Septic work up dan mencari kemungkinan penyebab karena
pneumonia: Minimal darah kultur dan jumlah sel
d. Status metabolik dilakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah, skrining
kadar glukosa darah

Anamesis
Anamesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum sangat
diperlukan, antara lain tentang hal hal di bawah ini:
 Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia, displasia pulmoner, trauma persalinan sungsang,
kongesti nasal, depresi susunan saraf pusar, perdarahan susunan saraf
pusat, paralisis nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin,
depresi neonatal, tali pusat menumbung, Bayi lebih bulan, demam atau
suhu yang tidak stabil (pada pneumonia)
 Gangpuan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, stonia, trauma,
miastenia
 Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:
anomaly kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika,
paralisis erb (paralisis nervus frenikus, atresia khoanae, kongesti nasal
obstruktip, meningkatnya diameter anterior posterior paru, hippoplasi
paru, trakheoesofageal fistula)
 Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
parrus lama, kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat
yang berlebihan.4

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas, berupa
beberapa tanda di bawah ini:
 Merintih atau grunting tetapi wama kulit masih kemerahan, merupakan
gejala yang menonjol
 Sianosis
 Retraksi
 Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung atresis koanae, ditandai
dengan kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung
 Air keruban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat
 Abdomen mengempis (scaphoid abdomen)

Faktor predisposisi terjadinya distres respirasi


1. BKB: Paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan
yang melapisi rongga alveoli
2. Depresi neonatal (Kegawatan neonatal):
a. Kehilangan darah dalam periode perinatal
b. Aspirasi meconium
c. Premotoraks akibat tindakan resusitasi
d. Hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah
keluar dari paru
3. Bayi dari Ibu DM: terjadi respirasi distress akibat kelambatan pematangan
paru
4. Bayi lahir dengan operasi sesar: Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapa
pun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru
(TTN)
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini atau air
ketuban yang berbau busuk dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis
6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi
mekonium.4
Buku Pedomen Manajemen masalah BBL untuk, Dokter Perawat dan Beden di
Rumah Sakit memberi panduan sebagai berikut.8

(KOTAK HITAM TIDAK TERBACA)

Diagnosis banding
Sebagai pemikiran diagnosis banding yang lain dapat dipikirkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Kelainan sistem respirasi
a. Obstruksi saluran napas atas: atresia koanae, web laringeal, higroma,
gondok, laringo/trakheomalasia, Sindroma Piere Robin
b. Respiratory distress syndrome = Penyakit membarana hialin
c. Transient tachynea of the newborn
d. Pneumonia
e. Sindroma aspirasi meconium
f. PPHN = Persistent pulmonary hypertension in newborn
g. Pneumotoraks, atelektasis, perdarahan paru, efusi pleura, pasi nervus
frenikus
h. Malformasi kongenital (misalnya: fistula trakheoesofageal, hernia
diafragmatika, emfisema lobaris, malformasi kistik adenomatoid)
i. Proses lambat: displasia bronkhopulmoner
2. Sepsis
3. Sistema kardiovaskular: penyakit jantung bawaan, gagal jantung
kongestip, PDA (Patent ductus arteriosus), syok
4. Metabolik: keadaan yang dapat menyebabkan asidos, hipo/hipertermia,
gangguan keseimbangan elektrolit, hipoglikemia
5. Sistema hemopoetik: Anemia (termasuk anemia akibat kehilangan darah
secara akut, yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik atau kehilangan
darah kronik yang dapat menyebabkan gagal jantung kongestip dan
polisitemia)
6. SSP = Sistem Susunan Syaraf Pusat: perdarahan, depresi farmakologik,
“drug
withdrawal” malformasi, asfiksia saat lahir/depresi pernapasan

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium:
a. Analisis gas darah (AGD):
 Dilakukan untuk menentukan adanya Gagal napas akut yang ditandai
dengan PaCO2> 50 mm Hg, PO2< 60 mm Hg, atau Saturasi oksigen
arterial<90%
 Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih
dari 20 menit. Darah arterial lebih dipilih dianjurkan.7
 Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah
dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri.
 Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosis
respiratorik dan keadaan hipoksia
 Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah
 Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme
anaerobic
 Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh
darah pulmonal, PDA dan/atau persisten Foramen ovale
 Pulse oxymeter digunakan sebagai cara non invasip untuk memantau
saturasi oksigen yang diperhankan pada 90-95%.
b. Elektrolit:
 Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi
metabolic untuk hiperkapnea kronik
 Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia
 Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi
kelemahan tubuh: hipokalemia, hipokalsemia dan hipofosfatemia dapat
mengakibatkan gangguan kontraksi otot
c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisitemia mungkin karena hipoksemia
kronik

2. Pemeriksaan radiologik atau pencitraan:


 Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan SGN, menunjukan
gambaran retikulo granular yang difus bilateral atau gambaran
bronkhogram udara (air bronchogram) dan paru yang tidak
berkembang
 Gambaran air bronchogram yang menonjol menunjukkan bronkiolus
yang menutup latar belakang alveoli yang kolaps
 Gambaran jantung yang samar mungkin normal atau membesar
 Kardiomegali mungkin merupakan akibat asfiksia prenatal, maternal
diabetes, PDA, berhubungan dengan kelainan jantung bawaan atau
pengembangan paru yang buruk. Gambaran ini mungkin akan berubah
dengan pemberian terapi surfaktan secara dini atau terapi indometasin
dengan ventilator mekanik
 Gambaran radiologik SGN ini kadang tidak dapat dibedakan secara
nyata dengan pneumonia2
 Pemeriksaan transiluminasi toraks merupakan dilakukan dengan cara
memberi iluminasi atau sinar yang terang menembus dinding dada
untuk mendeteksi adanya penumpukan udara abnormal misalnya
pneumotoraks. Pemeriksaan radiologik toraks ini berguna untuk
membantu konfirmasi ada tidaknya pneumotoraks dan gangguan
parenkimal seperti pneumonia atau SGN (RDS).4,11
 Di samping itu pemeriksaan radiologi toraks juga berguna untuk:
o Evaluasi adanya kelainan yang memerlukan tindakan segera
misalnya: malposisi pipa endotrakheal, adanya pneumotoraks
o Mengetahui adanya hal-hal yang berhubungan dengan
gangguan atau gagal napas seperti berikut.
 Penyakit fokal atau difus (misal: pneumonia. ARDS, hiperinflasi
bilateral, pengembangan paru yang asimetris. Efusi pleura,
kardiomegali)
 Bila terjadi hipoksemia tetapi pemeriksaan foto toraks normal, maka
harus dipikirkan kemungkinan penyakit jantung bawaan tipe sianotik,
hipertensi pulmonal atau emboli paru.
(Tabel 8.3 Gambaran pemeriksaan radiologik pada toraks)

Manajemen
Buku Pedomen Manajemen masalah BBL untuk, Dokter, Perawat dan Bidan di
Rumah Sakit memberi panduan manajemen gangguan napas sebagai berikut.8

Manajemen spesifik
Gangguan napas berat
Semakin kecil bayi, kemungkinan terjadi gangguan napas semakin sering dan
semakin berat. Pada bayi kecil (berat lahir 2500 gram atau umur kehamilan
kurang 37 minggu) gangguan napas sering memburuk dalam waktu 36 hingga 48
jam pertama, dan tidak banyak terjadi perubahan dalam satu dua hari berikutnya
dan kemudian akan membaik pada hari ke 4-7.
 Teruskan pemberian dengan O2 dengan kecepatan aliran sedang (antara
rendah dan tinggi, lihat Terapi oksigen).
 Tangani sebagai Kemungkinan besar sepsis.
 Bila bayi menunjukkan tanda perburukan atau terdapat sianosis sentral,
naikkan pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi. Jika gangguan napas bayi
semakin berat dan sianosis sentral menetap walaupun diberikan O2 100%,
bila memungkinkan segera rujuk bayi ke rumah sakit rujukan atau yang ada
fasilitas dan mampu memakai ventilator mekanik
 Jika gangguan napas masih menetap setelah 2 jam, pasang pipa lambung
untuk mengosongkan cairan lambung dan udara
 Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari apakah ada tanda perbaikan.
 Jila bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi napas menurun,
tarikan dinding dada berkurang. warna kulit membaik):
o Kurangi pemberian O2 secara bertahap
Jangan meneruskan pemberian O2 bila tidak perlu. Hentikan pemberian O2 bila
bayi diletakkan pada udara ruangan tanpa pemberian O2 tidak mengalami
gangguan napas dan tampak kemerahan.
o Mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambung
o Bila pemberian O2 tak diperlukan lagi, bayi mulai dilatih menyusu.
Jika bayi tak bisa menyusu, berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.
o Pantau dan catat setiap 3 jam mengenai:
 Frekuensi napas; Adanya tarikan dinding dada atau suara
merintihar ekspirasi;
 Episode apnu.
o Periksa kadar glukosa darah sekali sehari sampai setengah
kebutuhan minum dapat dipenuhi secara oral
o Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotika
dihentikan. Jika bayi tampak kemerahan tanpa terapi O2 selama 3
hari, minum baik dan tidak ada masalah lain yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan.8

Gangguan napas sedang


 Lanjutkan pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang
 Bayi jangan diberikan minum
 Jika ada tanda berikut, ambil sampel darah untuk kultur dan berikan
antibiotika (ampisilin dan gentamisen) untuk terapi Kemungkinan besar
sepsis:
o Suhu aksiler <34°C atau > 39°C;
o Air ketuban bercampur mekonium;
o Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau
ketuban pecah dini (>18 jam)
o Bila suhu aksiler 34-36,5°C atau 37.5-39°C tangani untuk masalah
suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
 Bila suhu masih belum stabil atau gangguan napas belum ada perbaikan,
ambil sampel darah, dan berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan
besar sepsis
 Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal,
ulang tahapan tersebut diatas
 Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam.
Apabila bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
 Bila bayi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan (frekuensi napas
menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih berkurang):
o Kurangi terapi O2 secara bertahap.
(KOTAK HITAM TIDAK TERBACA)
 Pasang pipa lambung berikan ASI peras setiap 2 jam.
 Apabila tak diperlukan lagi pemberian O2, mulailah melatih bayi menyusu.
Bila bayi tak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah
satu cara alternatif pemberian minum.
 Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila
bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minum
baik dan tak ada alasan bayi tetap tinggal di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan.8

Gangguan napas ringan


Beberapa BCB yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa
gejala-gejala lain disebut Transient Tachypnea of the Newborn (TTN), terutama
terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh
sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus, gangguan
napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
 Amati pernapasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
 Bila dalam pengamatan gangguan napas memburuk atau timbul gejala
sepsis lainnya, terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani
gangguan napas sedang atau berat seperti tersebut di atas.
 Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI peras
dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum.
 Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas.
Hentikan pemberian jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit. Amati
bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap antara 30-60
kali/menit, tidak ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada masalah lain yang
memerlukan perawatan, bayi dapat dipulangkan.8

Kelainan jantung kongenital


Bayi dengan kelainan jantung kongenital sering mengalami sianosis sentral
walaupun telah mendapat O2 100%. Bayi mungkin tidak mempunyai tanda
gangguan napas selain napas cepat. Suara bising dapar terdengar, tetapi diagnosis
biasanya ditegakkan dengan menyingkirkan diagnosis lain.
 Berikan pada kecepatan aliran maksimal.
 Berikan ASI eksklusif. Bila tidak dapat, berikan ASI peras dengan
memakai salah satu cara alternatif pemberian minum
 Bila memungkinkan, rujuk ke rumah sakit rujukan atau Pusat Pelayanan
Spesialis untuk terapi definitif.

Apnu
Pada beberapa bayi dapat mengalami periode ape yang cukup lama yang bisa
menyebabkan sianosis sentral atau frekuensi jantung < 80 kali/menit. Apnu
merupakan masalah umum pada bayi sangat kecil (berat lahir <1500 gram atau
umur kehamilan 32 minggu) tetapi dapat juga merupakan salah satu gejala sepsis.
 Amati bayi secara ketat terhadap periode apnu berikutnya dan bila perlu
rangsang pernapasan bayi dengan mengusap dada atau punggung. Bila
gagal. lakukan resusitasi dengan balon dan sungkup.
 Bila bayi mengalami episode apnu lebih dari sekali, sampai membutuhkan
resusitasi tiap jam:
o Jangan memberi minum. Pasang jalur IV dan berikan cairan IV
kebutuhan rumatan per hari
o Bila bayi tidak mengalami episode apnu dan tidak memerlukan
resusitasi selama 6 jam, bayi diperbolehkan menyusu. Bila tidak
dapat menyusu berikan ASI peras dengan salah satu cara alternatif
pemberian minum
 Lakukan perawatan lekat atau kontak kulit bayi dan ibu bila
memungkinkan. Dengan cara ini serangan apnu bayi berkurang dan ibu
dapat mengamati bayinya secara ketat.
 Ambil sampel darah untuk pemeriksaan kultur dan sensitivitas dan berikan
antibiotika untuk penanganan Kemungkinan besar sepsis
 Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari.
 Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Jika
tak ada serangan apnu selama 7 hari, bayi minum dengan baik dan tak ada
masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan
 Untuk bayi sangat kecil (berat lahir < 1500 gram atau umur kehamilan 32
minggu) serangan apnu bisa menetap meskipun cara-cara tersebut diatas
telah dilakukan dan infeksi berat telah teratasi, berikan Teofilin dosis awal
5 mg/kg per oral dilanjutkan 2 mg/kg tiap 8 jam selama 7 hari.
Jika teofilin tak tersedia atau pemberian per oral belum memungkinkan,
berikan Aminofilin dosis awal 6 mg/kg IV diteruskan 2 mg/kg IV tiap 8
jam selama 7 hari.8

Prioritas manajemen dan evaluasi bayi dengan gangguan napas


Prioritas awal
1. Ventilasi
 Lakukan ventilasi dengan menegunakan balon resusitasi dan sungkup
atau melalui pipa endotrakheal bila pernapasan bayi tidak adekuat
 Beri oksigen bila ada indikasi seperti sianosis sentral atau hipoksemia.
 Lanjutkan pemberian oksigen dengan konsentrasi yang diperlukan.
 Pemantauan diperlukan dengan mengambil Analisis gas darah serial
dan pulse oxymeter untuk memantau Saturasi O2 dan TcO2
(Trancutaneous O2)4
 Pemberian terapi O2
 Terapi inisial untuk hipoksemia berguna untuk memberi suplementasi
O2
 Oksigen aliran tinggi (> 15 L/menit) termasuk alat jenis Venturi yang
diletakkan dengan menggunakan alat pemisah pada aliran O2. Oksigen
ini dicampur dengan udara ruangan dan jumlah O2 yang diperlukan
disesuaikan dengan berbagai jenis ukuran alat pemisah. Contoh lain
pemberian O2 dengan aliran tinggi adalah pemberian dengan
menggunakan head box atau Oksigen tenda
 Oksigen aliran rendah (<6L/menit), termasuk ini adalah asal kateter
dan sungkup muka (masker) yang sederhana7
 Oksigen dan tekanan positip kontinyu pertama kali dilakukan pada
tahun 1971, continuous positive airway pressure (CPAP)
diperkenalkan pertama kali sebagai terapi utama pada RDS oleh
Gregory dkk menunjukan penurunan yang nyata angka kematian RDS.
 Oksigen merupakan terapi utama RDS sebelum pengenalan CPAP
 Oksigen melalui head box masih digunakan untuk mengelola bayi
dengan RDS.
 Untuk mengurangi kebutuhan O2 dapat dilakukan:
o Jaga kehangatan suhu bayi
o Hangatkan dan lembabkan O2 yang dihirup dengan
menggunakan pencampur udara (humidifier)
o Kurangi minum per oral. Hidrasi atau pemberian cairan dan
kebutuhan kalori dapat dipenuhi dengan cairan parenteral
 Rawat bayi dengan minimal handling dengan menunda mandi dan tidak
melakukan prosedur atau tindakan serta pemeriksaan fisik yang
berlebihan.4

Manajemen ventilator mekanik


Pemberian Continuons positive airway pressure (CPAP) akan meningkatkan
oksigenasi dan survival. CPAP mulai dipasang pada tekanan sekitar 5-7 cm H2O
melalui prong nasal, pipa nasofaringeal atau pipa endotrakheal. Pada beberapa
bayi dengan derajat sakit sedang, CPAP mungkin dapat mencegah kebutuhan
untuk pemakaian ventilator mekanik (VM)1
 Untuk bayi dengan asidosis respiratorik, hipoksemia atau apnu mungkin
diperlukan IPPV (intermittent positive pressure ventilation) sebagai
tambahan mungkin diperlukan "positive end-expiratory pressure (PEEP)”
yang akan menstabilkan alveoll dan meningkat volume serra oksigenasi
 Jalur arteri umbilikalis atau arteri umbilikalis digunakan untuk memantau
kadar gas darah dan tekanan darah pada bayi yang sakit berat1
 Jenis setting awal IMV (Intermittent Mandatory Ventilation):
o FIO2 40-60
o Peak inspiratory pressure (PIP) 18-25 cm H20
o Positive end-expiratory pressure (PEEP) 5 cm H2O
o Rate 40-60 breaths/min
o Inspiratory time 0.4 sec
o Flow rate 7 L/min
 Hasil Analisa gas darah
o PaCO2 40-60 mmHg
o pH >7.25
o PaO2 59-70 mmHg
o HCO3 20-22 mEq/L
 Hasil pemantauan dengan oksimeter
o Saturasi: 88-94%
o Continuous positive airway pressure (CPAP)
o Bila konsentrasi FiO2 tinggi diperlukan dan pasien tidak dapat
menerima pemutusan tekanan jalan napas (airway pressure)
meskipun dalam jangka pendek, maka ventilasi dengan tekanan
positip harus dilakukan.1,2
o CPAP mungkin merupakan indikasi pemakaian apabila penyakit
paru menunjukkan hasil gangguan oksigenasi yang berat misalnya
FIO2 > 0.6 (60%) diperlukan untuk memelihara PaO2> 60 mm Hg.
o CPAP mulai dengan tekanan 3-10 cm H2O dipasang untuk
meningkatkan volume paru dan mungkin untuk redistribusi cairan
edema paru dari alveoli ke interstitium
o CPAP meningkatkan ventilasi ke area dengan rasio V/Q rendah
dan memperbaiki mekanisme respirasi1
o CPAP membuat alveoli tetap terbuka pada saat akhir ekspirasi oleh
karena itu maka terjadi penurunan pirau (shunting) dari paru kanan
ke kiri
o CPAP dapat digunakan melalui pipa endotrakheal, prong nasal atau
pipa nasofaringeal (untuk bayi yang lebih besar)
o CPAP sebagai terapi tambahan pada terapi surfaktan bila bantuan
ventilator tidak diperlukan lagi
o CPAP mungkin digunakan sesudah ekstubasi pada bayi dengan
RDS untuk mencegah terjadinya atelektasis dan/atau mencegah
apnu pada BKB
o Tujuan utama terapi pada bayi dengan RDS adalah untuk
memelihara pH sekitar 7.25-7.4 arterial oxygen (PaO2): 50-70 mm
Hg, dan carbon dioxide pressure (PCO2): 40-65 mm Hg,
tergantung pada status klinis bayi.2,14
 Noninvasive positive-pressure ventilation (NPPV)
o Ventilasi mekanik noninvasip ini dilakukan untuk memberikan
bantuan ventilasi (assisted ventilation) dengan nasal prong atau
sungkup muka sebagai pengganti pemasangan pipa endotrakhcal
atau pipa trakheostomi
o Terapi ini dapat diberikan untuk menurunkan upaya napas dan
memberikan pertukaran gas yang adekuat
o NPPV dapat diberikan dengan cara menggunakan volume
ventilator, a pressurecontrolled ventilator or a device for bilevel
positive airway pressure (BIPAP or bilevel ventilator)2,14
 Ventilator mekanik (VM) konvensional
o VM akan meningkatkan minule ventelation (ventilasi semenit) dan
menurunkan dead sprace (rongga mati). Pendekatan ini merupakan
terapi utama untuk hiperkapnea akut dan hipoksemia berat
o Strategi utama untuk VM harus menghindari Tekanan Inspirasi
puncak (high peak inspiratory pressures) yang tinggi dan
optimalisasi penggunanan paru sendiri
o PEEP (Positive end expiratory pressure) sebaiknya dipasang pada
satu titik di atas tekanan inflleksi (inflection pressure) karena
distensi alveolar diopertahankan selama siklus ventilator
o VM konvensional ini meningkatkan rekruitmen paru, meningkat
MAP (mean airway pressure) dan FRC (functional residual
capacity) dan mengurangi atelektasis di antara pernapasan1
o Pertimbangkan bahwa ventilasi merupakan dukungan fisiologik
bila bayi sudah sembuh dari RDS. Beberapa peneliti menganjurkan
"permissive hypercapnia" yaitu PaCO2 pada rentang 45-55 mm Hg
(dengan volume paru yang adekuat) dapat memfasilitasi
penyapihan VM saat penyembuhan dari RDS
o Untuk mengurangi komplikasi Ventilasi konvensional dengan
IMV, beberapa teknik ventilator terbaru diperkenalkan sebagai
berikut:1
 Synchronous intermittent mandatory ventilation (SIMV)
adalah suatu teknik bila beberapa pernapasan pasien
disinkronkan dengan pernapasan yang dilakukan oleh
ventilator. Pada studi acak terkontrol yang terbaru, insidens
BPD/Displasia bronkhopulmoner) (ditentukan kebutuhan
oksigen pada usia kehamilan 36 minggu yang sudah
dikoreksi) sangat menurun secara signifikans bila dibanding
dengan dengan IMV standar (47% vs 72%; p <0.05).
 Assist-control ventilation atau ventilasi bantuan penuh VM
dianjurkan untuk memperbaiki luaran. Banyak dokter
menggunakan modus ini untuk menyapih bayi yang
berkembang menjadi penyakit paru kronik
 High-frequency ventilation (HFV) adalah suatu teknik
dengan volume tidal kecil (lebih kecil dari “anatomic dead
space”) yang biasanya diberikan dengan frekuensi tinggi
HFV sebetulnya didesain untuk mengobati pasien dengan
kebocoran udara. Banyak penelitian pada percobaan
binatang yang mengalami RDS, menunjukkan bahwa HFV
meningkatkan inflasi paru yang seragam, meningkatkan
mekanisme paru dan pertukaran gas, mengurangi eksudasi
edema alveoler, kebocoran udara dan peradangan paru.
 Meskipun studi pada binatang percobaan tidak
menunjukan hasil yang seragam. Beberapa percobaan
klinik menunjukkan bahwa HFV dapat mengurangi
kejadian penyakit paru kronis

 Teknik HFV:
o High-frequency oscillatory ventilation (10-15 Hz): Berhubung
ekspirasi terjadi secara aktip, harus dipantau pada bayi: hipokarbia
dalam rangka mencegah perdarahan periventrikular, leukomalasia.
Studi kontrol penggunaan HFOV (high-frequency Oscillatory
ventilation) mengurangi kejadian BPD pada bayi dengan RDS
masih kontroversial. Mungkin hasil yang kurang menyenangkan ini
karena: (1) Insidens BPD yang mendapat steroid antenatal sangat
sedikit, sehingga sampel dirasakan masih kurang untuk dapat
melihat perbedaan, (2) tidak menggunakan strategi volume paru
pada pasien yang diterapi dengan HFOV, (3) Defini dan perbedaan
definisi dan korioamnionitis atau (4) perbedaan teknik resusitasi
saat lahir2,7
 Terapi tambahan untuk hipoksemia berat
o Posisi tengkurap: akan mengurangi komplains paru dari tabung
o Terapi inhalasi (NO): NO adalah suatu radikal bebas endogen yang
dapat merangsang otot halus seluruh tubuh untuk relaksasi.
o Bila diberikan secara inhalasi, manfaat yang sangat potensial NO
dapat memperbaiki ventilasi, memenuhi perfusi dengan
meningkatkan aliran darah paru ke daerah paru yang mendapat
ventilasi baik.
o Terapi ini cukup aman sebab hemoglobin dapat menonaktipkan ini
secara cepat dan tidak menyebabkan vasodilatasi sistemik yang
dapat mengakibatkan hipotensi
o Kadar methemoglobin dan nitrogen dioxide (NO2) harus selalu
dipantau
o NO inhalasi baru saja dipelajari untuk gagal napas tipe I pada
tahun 1999, dan US Food and Drug Administration (FDA)
menyetujui penggunaannya untuk BBL dengan gagal napas
hipoksik dan adanya hipertensi pulmonal.7
2. Sirkulasi
 Auskultasi suara jantung ukur tekanan darah, palpasi denyut nadi dan
periksa hematocrit
 Pertahankan sirkulasi dan volume darah agar tetap adekuat. Pemberian
transfuse darah atau pemberian cairan volume pengganti darah bila ada
tanda hipovolemik atau anemia
 Penting sekali untuk selalu mencatat darah yang diambil untuk berbagai
pemeriksaan, bila jumlah mendekati 10 % volume keseluruhan, maka
perlu penggantian (Total volume darah BBL, BCB = 80 cc/kg dan BKB =
100 cc/kg pada BKB)4

3. Koreksi asidosis metabolik


 Asidosis metabolik berat (pH <7.2) dengan kadar bikarbonat serum (< 15-
16 mEq/L) atau defisit basa menunjukan beratnya penyakit. Penyebab
harus segera ditentukan dan ditangani. Penyebab paling sering
o Kekurangan oksigen arteriel
o Perfusi jaringan yang buruk akibat rendahnya volume sirkulasi
darah
o Stres dingin
o Hipoksia yang lama
o Infeksi
 Bila penyebab sudah dapat ditentukan, asidosis metabolik diterapi dengan
pemberian larutan Bikarbonat natrikus dengan dosis 2mEq/kg (4 ml/kg
dari pengenceran 4.2% (0.5 mEq/ml) dengan kecepatan pemberian tidak
lebih cepat dari 1 mEq/kg/menit). Ventilasi yang adekuat harus
dipertahankan, bila tidak akan terjadi asidosis respiratorik
 Petunjuk pemberian bikarbonas natrikus:
o Harus ada ventilasi spontan atau bantuan ventilasi yang adekuat
sebelum pemberian bikarbonas natrikus
o Kadar bikarbonas serum harus <15-16 mEq/L (hampir mendekati
deficit basa = 5.0 atau lebih
o Gabungan keadaan metabolik dan respiratorik asidosis harus
segera ditangani (ventilasi sama pentingnya dengan terapi basa)1,4
4. Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36.5°C-36.8°C (suhu aksiler) untuk
mencegah vasokonstriksi perifer
5. Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distres respirasi.4
6. Terapi pemberian surfaktan
 Surfaktan saat ini sangat penting untuk tatalaksana BBL terutama yang
menderita RDS di NICU. Sejarah penggunaan surfaktan ini dimulai pada
tahun 1959, tidak lama setelah surfaktan diketahui sebagai zat yang
penting untuk memelihara inflasi paru pada keadaan tekanan
transpulmoner yang rendah. Avery and Mead (dikutip dari Jobe, 1993)
melaporkan bahwa ekstrak garam dari paru BKB dengan RDS mengalami
kekurangan zat yang karakteristik untuk cairan paru.
 Surfuktan paru, yaitu mengandung tekanan tekanan permukaan yang
rendah Setelah itu maka potensi surfaktan untuk terapi RDS
didemonstrasikan oleh Fujiwara et al pada tahun 1080 (dikutip dari Jobe,
1993) dengan menggunakan surfaktan yang diambil dari substrak cairan
paru sapi. (Surfactant TA) untuk mengobati 10 bayi dengan RDS.
Kemudian diikuti oleh para peneliti yang lain pada tahun 1985 dengan
menggunakan surfaktan yang diambil dari bilasan alveoli paru sapi atau air
ketuban manusia, yang berhasil menurunkan angka kejadian pneumotoraks
dan kematian. Pada tahun 1990, Amerika Serikat menyetujui penggunaan
surfaktan sintetis dan tahun 1991 surfaktan dari binatang. Saat ini
surfaktan digunakan sebagai obat yang dikembangkan secara khusus untuk
BKB.6,15
 Terapi surfaktan dapat mengurangi kematian sebesar 30-50%, tetapi belum
dapat mengurangi angka progesivitas dari RDS menjadi BPD. Survanta
adalah surfaktan yang berasal dari ekstrak paru sapi sedangkan Exosurf
adalah surfaktan sintetis. Keduanya merupakan surfaktan alami dan
sintesis yang mempunyai keuntungan hampir sama.1
 Terapi surfaktan harus segera dimulai segera setelah secara klinis RDS
dapat didiagnosis. Selama bayi membutuhkan dukungan ventilasi dengan
O2 > 30%, surfaktan harus segera diberikan.7,16
(Table 8.4 Dosis yang direkomendasikan untuk penggunaan surfaktan eksogen)

7. Bila tidak tersedia fsilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit yang tersedia
NICU
Terapi suportip
 Jaga kehangatan suhu bayi agar tidak terjadi hipotermia dengan cara
melakukan tindakan yang baik dan benar selama resusitasi dan saat
merujuk, menggunakan pemancar panas dan inkubator dengan dinding
ganda
 Pemberian cairan dan elektrolit dan nutrisi yang baik. Diberikan infus D
5% atau 10%, dosis 60-80 ml/kg/hari. Pemantauan ketat Kadar glukosa
darah, elektrolit, kalsium, fosfat, fungsi ginjal dan hidrasi (ditentukan
dengan berat badan dan diuresis untuk mencegah ketidak seimbangan).
Berikan tambahan kalsium pada saat lahir pada cairan intravena. Mulai
pemberian elektrolit segera atau atas indikasi. Secara bertahap naikkan
asupan cairan sebanyak 120-140 ml./kg/hari. Bayi Berat lahir Sangat
Rendah atau sangat kurang Bulan mungkin memerlukan asupan cairan
yang lebih besar: 200-300 ml/kghari atau lebih sebab karena kehilangan
cairan yang tidak terlihat (insensible water loss) terjadi lebih besar
dibanding luas permukaan tubuhnya.
 Bila keadaan bayi sudah stabil, pemberian nutrisi intravena dengan
asam amino dapat ditambahkan. Setelah kondisi respirasinya stabil,
dapat dimulai pemberian sejumlah kecil minum peroral (diutamakan
Air Susu Ibu) melalui pipa lambung untuk merangsang pertumbuhan
usus, kemudian secara bertahap terapi nutrisi parenteral dapat
dikurangi.
 Pemberian antibiotika: Mulai pemberian antibiotika pada bayi dengan
gejala gangguan napas, sesudah pengambilan sampel darah untuk
kultur. Hentikan pemberian antibiotika.
 Setelah pemberian selama 3-5 hari dan hasil kultur darah negatip.
Pengecualian pemberian antibiotika ini (antibiotika tidak diberikan)
kepada: Bayi dari ibu dengan hasil kultur servikal negatip untuk GBBS,
bayi dari ibu dengan kulit ketuban masih utuh, tidak ada gejala klinis
maupun laboratoris yang mengarah ke korioamnionitis dan ibu yang
melakukan pemeriksaan ante natal secara teratur
 Dukungan emosional pada orangtua dan keluarga
o Berikan dukungan kepada orangtua atau keluarga karena
sering mereka mengalami stres emosional dan finansial
karena bayi mereka kritis, prematur dengan RDS, dirawat
di NICU dan khawatir terhadap komplikasi yang akan
terjadi. Orangtua mungkin merasa bersalah, tidak dapat
berhubungan dengan bayi mereka karena dirawat secara
intensip dan cemas terhadap prognosis bayinya. Oleh
karena itu berikan dukungan emosional yang kuat kepada
orangtua dan keluarga bayi untuk mencegah atau
mengurangi masalah tersebut.2,7,8
o Terutama dokter dan perawat harus selalu memberi
informasi kepada orangtua secara teratur dengan mengajak
bicara, terutama pada saat kritis atau fase akut RDS.
Besarkan hati orangtua dan bantu mereka saat mengunjungi
bayinya. Jelaskan tentang peralatan dan prosedur tindakan
yang dilakukan terhadap bayinya. Dukung mereka bila
keadaan memungkinkan untuk memegang atau mengelus,
memberikan minum dan merawat bayi secepat mungkin
bila keadaan sudah membaik,
o Sebelum pulang dari rumah sakit diberikan imunisasi,
disusun rencana perawatan tindak lanjut (Follow up care)
bersama Tim multisiplin di bawah kooordinasi dokter
spesialis anak yang berpengalaman

Prognosis
 Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas
 Prognosis baik bila gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan
keadaan hipoksemia yang lama

Konsultasi dan rujukan


Bila diperlukan dapat dilakukan konsultasi ke Bagian atau Sub Bagian lain
misalnya dengan Spesialis Neurologi, Kardiologi, Respirologi, Hidung Telinga
dan Tenggorok, Gizi medik dan Tumbuh kembang7.

Pencegahan
 Perhatian langsung harus diberikan untuk mengantisipasi dan mengurangi
komplikasi dan juga harus diupayakan strategi pencegahan persalinan
kurang bulan semaksimal mungkin
 Pemberian Terapi streroid antenatal harus diberikan kepada ibu yang
terancam persalinan kurang bulan
 Melakukan resusitasi dengan baik dan benar
 Diagnosis dini dan pengelolaan yang tepat, terutama pemberian surfaktan
bila memungkinkan
(DAFTAR PUSTAKA)

You might also like