You are on page 1of 28

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS

“FRAKTUR”

OLEH:
NI LUH PUTU MANIK JUNI ASTRI DEWI
P07120216009
SEMESTER V / TINGKAT III.A
D-IV KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2018

A. PENGERTIAN
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Price dan Wilson, 2006).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibulayang
biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian
pergelangan kaki (Muttaqin, 2008)
Fraktur Femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang femur, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture
tendon, dan kerusakan pembuluh darah (Smeltzer et al., 2010).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Fraktur dapat dibagi
menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang
masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya
jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang
berhubungan dengan dunia luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat,
yaitu :

a) Derajat I
(1) Luka < 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Derajat II
(1) Laserasi > 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
(1) IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
(2) IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
(3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian
distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.

B. ETIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain:

1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur.
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.

3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut (Brunner and Suddarth, 2002)
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa
diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
D. POHON
Trauma MASALAH
langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang


lbh tinggi dari kapiler
Deformitas Peningkatan tek kapiler
Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dg trombosit

Laserasi kulit Edema Emboli

Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh


darah

Mengenai jaringan kutis dan sub kutis Ketidakefektifan perfusi


Kerusakan integritas
kulit jaringan perifer

Perdarahan
Resiko Infeksi
Kehilangan volume cairan

Resiko syok
(hipovolemik)
E. PATOFISIOLOGIS
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil,
atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang
patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi.
(Doenges, 2000)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-
jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2000)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
& suddarth, 2002).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi:
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain: radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk
memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.

G. MANAGEMEN PREOPERATIF PADA PASIEN FRAKTUR


Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang dilakukan oleh
perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk dilakukan tindakan
pembedahan dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pasien intraoperatif.
Persiapan fisik maupun pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental sangat
diperlukan karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari
kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan.
1. Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra-anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan
anestesi yang bertujuan untuk mengetahui status fisik pasien prabedah dan
menganalisa jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau teknik anestesi
yang sesuai, juga dapat meramalkan penyulit yang akan terjadi selama operasi
dan atau pasca bedah dan kemudian mempersiapkan obat atau alat untuk
menanggulangi penyulit tersebut.
Tatalaksana evaluasi pra-anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi
organ vital dan penentuan status fisik pasien pra-anestesi. Hal ini dilakukan
untuk menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat dilakukan
sesegera mungkin.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien,
riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya gangguan faal
hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok, anemia, dan
kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah
digunakan, riwayat operasi dan anesthesia yang pernah dialami di waktu yang
lalu, serta kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti merokok.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat,
suhu badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, nadi dan lain - lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada
pasien fraktur adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal
hemostasis), foto polos AP/ lateral pada bagian yang dicurigai fraktur, foto
polos toraks, dan EKG. Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor
koagulasi harus dikoreksi terlebih dahulu.
2. Persiapan Pra Anestesi
Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis
maupun fisik agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi
dan diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil evaluasi pra-
anestesi, persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis. Sebagai
seorang ahli anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan
peritonitis adalah memperbaiki keadaan umum pasien sebelum diambilnya
tindakan operasi. Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation.
Oksigenisasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infuse bertujuan untuk mengganti deficit cairan selama
puasa dan mengkoreksi deficit cairan prabedah, sebagai fasilitas vena terbuka
untuk memasukan obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfuse
darah, memberikan cairan pemeliharaan, serta mengoreksi deficit atau
kehilangan cairan selama operasi.Berikut adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu
mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa,
fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau
dehidrasi.

H. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan
dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna
(ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF)
meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau
fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna (ORIF)
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur yang
dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari
patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar
tulang tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan
memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya
memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat
dan kembali berfungsi (Corwin, 2001).
1. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi
adalah untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk
memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi
menggunakan beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya. Tapi
sekarang sudah jarang digunakan. Traksi longitudinal yang memadai
diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah
pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah
pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang dari
12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar.
2. Fiksasi interna
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan
atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna merupakan
pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai
komplikasi.
3. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/trauma sistem
muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita
yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras
yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

4. Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif


Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus
secara keras daerah yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan
untuk menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga
dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi
tulang yang patah tersebut.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
1) Pengumpulan Data
2) Anamnesa
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat Penyakit Keluarga
6. Riwayat Psikososial
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
b. Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien.

b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
a) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti :
1. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b) Pemeriksaan head-to-toe :
1. Kepala: Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala
2. Mata: Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
3. Hidung: Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
4. Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
5. Mulut dan Gigi: Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
6. Leher: Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
7. Thoraks: Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
8. Paru
a. Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b. Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c. Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
d. Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
9. Jantung
a. Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
b. Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c. Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
10. Abdomen
a. Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
c. Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d. Auskultasi: Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
11. Inguinal-Genetalia-Anus: Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak
ada kesulitan BAB.
12. Kulit: Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
13. Ekstermitas: Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan
ROM.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi : terdapat foto patahan tulang.
b) Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
4. Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
6. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, program pembatasan gerak.
c. Resiko infeksi.
d. Resiko syok hipovolemik.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri
ekstermitas.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nyeri akut NOC : NIC:
Pain level Pain management
berhubungan
Pain control a. Lakukan pengkajian nyeri
dengan agen Comfort level
secara komprehensif termasuk
Kriteria Hasil
cidera
a. Mampu mengontrol lokasi, karakteristik, durasi,
nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas dan faktor
nyeri, mampu presipitasi
b. Observasi reaksi nonverbal dari
menggunakan tehnik
ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk
c. Gunakan tehnik komunikasi
mengurangi nyeri,
terapeutik untuk mengetahui
mencari bantuan)
pengalaman nyeri pasien
b. Melaporkan bahwa nyeri
d. Kaji kultur yang
berkurang dengan
mempengaruhi respon nyeri
menggunakan e. Evaluasi pengalaman nyeri
managemen nyeri masa lampau
c. Mampu mengenali nyeri f. Evaluasi bersama pasien dan
(skala, intensitas, tim kesehatan lain tentang
frekuensi dan tanda ketidakefektifan kontrol nyeri
nyeri) masa lampau
d. Menyatakan rasa g. Bantu pasien dan keluarga
nyaman setelah nyeri untuk mencari dan menemukan
berkurang dukungan
h. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi faktor presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
n. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
q. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Analgesic administration
a. Tentukan lokasi, karakter,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
b. Cek intruksi dokter tentang
jenis obat, dosi, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang diperlukan
atau kombinasi dari analgesic
ketika pemberian lebih dari
satu
e. Tentukan pilihan analgesic
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
f. Tentukan analgesic pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
g. Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
h. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian anlgesik
pertama kali
i. Berikan analgesic tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
j. Evalusi efektivitas analgesic,
tanda dan gejala
2. Hambatan NOC: NIC
Joint movement : active Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik
Mobility level a. Monitoring vital sign
berhubungan Self care : ADLs
sebelum/sesudah latihan respon
Transfer perfoormance
dengan kekuatan
Kriteria hasil: pasien saat latihan
dan tahanan a. Klien meningkat dalam b. Konsultasikan dengan terapi
sekunder akibat aktivitas fisik fisik tentang rencana ambulansi
b. Mengerti tujuan dari
fraktur sesuai dengan kebutuhan
peningkatan mobilitas c. Bantu klien untuk
c. Memverbalisasikan
menggunakan tongkat saat
perasaan
berjalan dan cegah terhadap
dalammeningkatkan
cidera
kekuatan dan d. Ajarkan pasien atau tenaga
kemampuan berpindah kesehatan lain tentang teknik
d. Memperagakan
ambulansi
penggunaan alat bantu e. Kaji kemampuan pasien dalam
untuk mobilisasi mobilisasi
f. Latih pasien dalam pemenuhan
(walker)
kebutuhan ADLs secara
mandiri sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs pasien
h. Berikan alat bantu jika pasien
memerlukan
i. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
3. Resiko infeksi NOC NIC
Immune status Infection Control
Knowledge : infection a. Bersihkan lingkungan setelah
control dipakai pasien lain
Risk control b. Pertahankan teknik isolasi
Kriteria hasil c. Batasi pengunjung bila perlu
a. Klien bebas dari tanda d. Instruksikan pada pengunjung
dan gejala infeksi untuk mencuci tangan saat
b. Mendeskripsikan proses
berkunjung meninggalkan
penularann penyakit,
pasien
factor yang e. Gunakan sabun antimikroba
mempengaruhi untuk cuci tangan
f. Cuci tangan setiap sebelum dan
penularan serta
sesudah tindakan keperawatan
penatalaksanaannya
g. Gunakan baju, sarung tangan
c. Menunjukkan
sebagai alat penlindung
kemampuan untuk
h. Pertahankan lingkunan aseptic
mencegah timbulnya
selama pemasangan alat
infeksi i. Ganti letak IV perifer dan line
d. Jumlah leukosit dalam
central dan dressing sesuai
batas normal
dengan petunjuk umum
e. Menunjukkan perilaku
j. Gunakan kateter intermiten
hidup sehat
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
k. Tingkatkan intake nutrisi
l. Berikan terapi antibiotic bila
perlu

Infection protection
a. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan local
b. Monitor hitung granulosit,
WBC
c. Monitor kerentanan terhadap
infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
f. Pertahankan teknik isolasi k/p
g. Berikan perawatan kulit pada
area epidema
h. Inspeksi kulit dan membrane
mukosa
i. Terhadap kemerahan, panas,
dan drainase
j. Inspeksi kondisi luka/insisi
bedah
k. Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
l. Dorong masukan cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotic sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
p. Ajarkan cara menghindari
infeksi
q. Laporkan kecurigaan infeksi
r. Laporkan kultur positif
4. Resiko syok NOC NIC
Syok prevention Syok prevention
hipovolemik
Syok management a. Monitor status sirkulasi BP,
Kriteria hasil
warna kulit, suhu kulit, denyut
a. Nadi dalam batas yang
jantung, HR, dan ritme, nadi
diharapkan
b. Irama jantung dalam perifer, dan kapiler refill
b. Monitor tanda inadekuat
batas yang diharapkan
c. Frekunsi napas dalam oksigenasi jaringan
c. Monitor suhu dan pernafasan
batas yang diharapkan
d. Monitor input dan output
d. Irama pernapasan dalam
e. Pantau nilai labor:
batas yang diharapkan HB, HT, AGD, dan elektrolit
e. Natrium serum dbn f. Monitor hemodinamik invasi
f. Kalium serum dbn
yang sesuai
g. Klorida serum dbn
g. Monitor tanda dan gejala asites
h. Kalsium serum dbn
h. Monitor tanda awal syok
i. Magnesium serum dbn i. Tempatkan pasien pada posisi
j. PH darah serum dbn
supine, kaki elevasi untuk
Hidrasi
Indicator peningkatan preload dengan
a. Mata cekung tidak
tepat
ditemukan j. Lihat dan pelihara kepatenan
b. Demam tidak ditemukan
jalan napas
c. TD dbn
k. Berikan cairan IV dan atau oral
d. Hematokrit dbn
yang tepat
l. Berikan vasodilator yang tepat
m. Ajarkan keluarga dan pasien
tentang tanda dan gejala
datangnya syok
n. Ajarkan keluarga dan pasien
tentang langkah untuk
mengatasi gejala syok
Syok management
a. Monitor fungsi neurologis
b. Monitor fungsi renal (e.g BUN
dan Cr Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan, input,
output
e. Catat gas darah arteri dan
oksigen di jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan pemantauan
jalur arteri untuk meningkatkan
akurasi pembacaan tekanan
darah
h. Menggambarkan gas darah
arteri dan memonitor jaringan
oksigenasi
i. Memantau tren dalam
parameter hemodinamik
(misalnya CPV, MAP, tekanan
kapiler pulmonal/arteri)
j. Memantau factor penentu
pengiriman jaringan oksigen
(misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2, CO) jika
ada
k. Memantau tingkat
karbondioksida sublingual
dan/atau tonometry
5. Ketidakefektifan NOC NIC
Circulation status Peripheral sensation
perfusi jaringan
Tissue perfusion : cerebral
management
perifer Kriteria hasil
a. Monitor adanya daerah tertentu
Mendemonstrasikan status
berhubungan
yang hanya peka terhadap
sirkulasi yang ditandai
dengan nyeri
panas/dingin/tajam/tumpul
dengan:
ekstermitas b. Monitor adanya paretese
a. Tekanan systole dan
c. Instruksikan keluarga untuk
diastole dalam rentang
mengobservasi kulit jika ada
yang diharapkan
lesi atau laserasi
b. Tidak ada ortostatik
d. Gunakan sarung tangan untuk
hipertensi
proteksi
c. Tidak ada tanda-tanda
e. Batasi gerakan pada kepala,
peningkatan tekanan
leher, dan punggung
intracranial (tidak lebih f. Monitor kemampuan BAB
g. Kolaborasi pemberian
dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan analgetik
h. Monitor adanya tromboplebitis
kemampuan kognitif yang
i. Diskusikan mengenai
ditandai dengan:
penyebab perubahan sensasi
a. Berkomuniakasi dengan
jelas adn sesuai dengan
kemampuan
b. Menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi
c. Memproses informasi
d. Membuat keputusan
dengan benar
Menunjukkan fungsi sensori
motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-gerakan
involunter

6. Kerusakan NOC NIC


Tissue integrity : skin and Pressure management
integritas kulit
a. Anjurkan pasien untuk
mucous membranes
berhubungan
Hemodyalisis akses menggunakan pakaian yang
dengan imobilisasi Kriteria hasil
longgar.
a. Integritas kulit yang baik
fisik b. Hindari kerutan pada tempat
bisa dipertahankan
tidur
(sensai, elastisitas, c. Jaga kebersihan kulit agar tetap
temperature, hidrasi, bersih dan kering.
d. Mobilisasi pasien (ubah posisi
pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada pasien) setiap dua jam sekali
e. Monitor kulit akan adanya
kulit
c. Perfusi jaringan baik kemerahan.
d. Menunjukkan f. Oleskan lotion atau
pemahaman dalam minyak/baby oil pada daerah
proses perbaikan kulit yang tertekan
g. Monitor aktivitas dan
dan mencegah terjadinya
mobilisasi pasien
cedera berulang
h. Monitor status nutrisi pasien
e. Mampu melindungi kulit
i. Memandikan pasien dengan
dan mempertahankan
sabun dan air hangat
kelembaban kulit Insision site care
a. Membersihkan, memantau dan
perawatan alami
meningkatkan proses
penyembuhan pada luka yang
ditutup dengan jahitan, klip
atau straples
b. Monitor proses kesembuhan
area insisi
c. Monitor tanda dan gejala
infeksi pada area insisi
d. Bersihkan area sekitar jahitan
atau straples, menggunakan lidi
kapas steril
e. Gunakan preparat antiseptic
sesuai program
f. Ganti balutan pada interval
waktu yang sesuai atau biarkan
luka tetap terbuka (tidak
dibalut) sesuai program
Dialysis acces maintenance

D. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan
penetuan diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
E. EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan criteria
hasil yang telah ditentukan pada intervensi.
DAFTAR PUSTAKA

Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multiple. (Online).


Available : https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen-
Perioperatif-pada-Pasien-Fraktur-Multipel (diakses pada tanggal 4 Februari
2016 pukul 09.00 WIB)
Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley Edisi 7.
Jakarta: Widya Medika.
Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Brunner
dan Suddarth.Jakarta : EGC.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta; EGC
Engram, Barbara.1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3.
Jakarta : EGC.
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta: EGC.
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. Jakarta:
EGC.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

You might also like