You are on page 1of 33

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR PELVIS

A. ANATOMI FISIOLOGI.
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum
dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan
pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada
dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada
simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban
berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil
oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat
oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca
posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya
serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke
spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum
sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan
dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah
sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal
spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama
dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada
pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan
coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica.
Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat
dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang
dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).

1
Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas
pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan
sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri
iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea
superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak
secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri
obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior,
arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara
anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau
perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang
menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2).
Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi
untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan
langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan
retroperitoneal signifikan.

2
Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor
yang terletak pada dinding dalam pelvis

B. PENGERTIAN
Patah tulang panggul adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis
atau tulang rawan sendi dan gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang tua
penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang
signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian.
Fraktur pelvis termasuk fraktur tulang proksimal femur dan acetabulum.
Fraktur pelvis dapat mengenai orang muda dan tua. Biasanya, pasien yang lebih
muda dapatmengalami fraktur pelvis sebagai akibat dari trauma yang signifikan,
sedangkan pasien lansiadapat mengalami fraktur pelvis akibat trauma ringan.
- High-Energy Fractures
Fraktur pelvis dengan taruma berat jarang terjadi,2/3 pasien juga memiliki
cederamuskuloskeletal lain,dan lebih dari 1/2 pasien memiliki cedera pada
multisistem.(19) pada 75% kasus disertai dengan perdarahan,12% cedera
urogenital,dan 8% cedera pleksus lumbosakral.Dalam sebuah penelitian
didapatkan 55% merupakan kasus fraktur cincin pelvis stabil, 25% fraktur pelvis
tidak stabil di rotasi, 21% tidak stabil pada tranlasi,16% merupakan fraktur pelvis
yang disertai fraktur acetabulum.
- Low-Energy Fractures
Fraktur pelvis dan acetabulum dengan trauma ringan lebih sering terjadi
daripadadengan trauma berat.Wanita lebih sering terkena,dan kebanyakan pasien
tidak mengalami cedera lainnya.Dalam sebuah penelitian pada pasien usia 60
tahun dan lebih,didapatkan cedera cincin pelvis stabil pada 45 dari 48 pasien; 87%
pasien adalah wanita.Dalam 3/4 kasus disebabkan oleh jatuh dengan kekuatan
ringan. Fraktur pelvis disertaidengan fraktur acetabulum terjadi pada 25% kasus.

3
C. KLASIFIKASI DAN TIPE
KLASIFIKASI
1. Menurut Tile (1988)
a. Tipe A ; stabil :
i. A1 ; fraktur panggul tidak mengenai cincin
ii. A2 ; stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin panggul
tetapi tanpa atau sedikit sekali pergeseran cincin.
b. Tipe B ; tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal :
i. B1 ; open book
ii. B2 ; kompresi lateral : ipsilateral
iii. B3 ; kompresi lateral : kontralateral (bucket handle)
Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open
book) atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan
fraktur pada ramus isio-pubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma
pada bagian posterior tetapi simfisis tidak terbuka (closed book).
iv. Tipe C ; tidak stabil secara rotasi dan vertikal :
i. C1 ; unilateral
ii. C2 ; bilateral
iii. C3 ; disertai fraktur asetabulum
Terdapat disrupsi ligamen posterior pada satu atau kedua sisi disertai
pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertikal, mungkin juga
disertai fraktur asetabulum.

4
Classification of pelvic fracture disruption. (A) Type B represents rotationally
unstable but vertically stable fractures; type B1 injuries are external rotation
or open-book injuries. (B) Type B2.1 injuries represent internal rotation of
lateral compression injuries on the ipsilateral side. (C) Type B2.2 injuries
represent lateral compression injuries with contralateral fracturing of the
pubic rami and posterior structures. (D) Type C fractures are rotationally
and vertically unstable and are represented here as a unilateral, unstable,
vertically disrupted pelvis.(16)
2. Menurut Key dan Conwell
a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
i. Fraktut avulsi
1. Spina iliaka anterior superior
2. Spina iliaka anterior inferior
3. Tuberositas isium
ii. Fraktur pubis dan isium
iii. Fraktur sayap ilium (Duverney)
iv. Fraktur sakrum
v. Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
i. Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
ii. Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis

5
iii. Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka
c. Fraktur bilateral cincin panggul
i. Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
ii. Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)
iii. Fraktur multipel yang hebat
d. Fraktur asetabulum
i. Tanpa pergeseran
ii. Dengan pergeseran
3. Klasifikasi Young-Burgess 1990 (6)
Angka kematian : Lateral compression - 7%; Antero posterior - 20%;
Vetikal shears- 0% (cause of death is usually MOF & ARDS).

6
4. Klasifikasi lain
a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang isium dan tulang pubis tanpa
gangguan pada cincin
i. Fraktur ramus isiopubis superior
ii. Fraktur ramus isiopubis inferior
iii. Fraktur yang melewati asetabulum
iv. Fraktur sayap ilium
v. Avulsi spina iliaka antero-inferior
b. Fraktur disertai robekan cicncin
5. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi

7
a. Fraktur avulsi
b. Fraktur stabil
c. Fraktur tidak stabil
d. Fraktur dengan komplikasi
Dengan menilai klasifikasi maka yang paling penting adalah stabilitas
panggul apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam
penanggulangan serta prognosis.

TIPE CEDERA
1. Fraktur Yang Terisolasi Dengan Cincin Pelvis Yang Utuh
Fraktur avulsi
Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat; fraktur ini
biasanya ditemukan pada para olahragawan dan atlet. Sartorius dapat menarik
spina iliaka anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaka anterior inferior,
adduktor longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat lutut menarik bagian-
bagian iskium. Semua pada pokoknya merupakan cedera otot, hanya memerlukan
istirahat selama beberapa hari dan penentraman.
Nyeri dapat memerlukan waktu beberapa bulan agar hilang dan karena
sering tak ada riwayat cedera, biopsi pada kalus dapat mengakibatkan kekeliruan
diagnosis dan disangka tumor. Avulsi pada apofisis iskium oleh otot-otot lutut
jarang mengakibatkan gejala menetap, dan dalam hal ini reduksi terbuka dan
fiksasi internal diindikasikan.
Fraktur langsung
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi,
dapat menyebabkan fraktur iskium atau ala osis ilii. Biasanya diperlukan istirahat
di tempat tidur hingga nyeri mereda.
Fraktur tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan (dan sering tidak nyeri)
pada pasien osteoporosis atau osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit
didiagnosis adalah fraktur-tekanan di sekitar sendi sakro-iliaka; ini adalah
penyebab nyeri “sakro-iliaka” yang tak lazim pada orang tua yang menderita

8
osteoporosis. Fraktur tekanan yang tak jelas terbaik diperlihatkan dengan scan
radioisotop.
2. Fraktur Pada Cincin Pelvis
Telah lama diperdebatka bahwa, karena kakunya pelvis, patah di suatu
tempat pada cincin pasti disertai kerusakan pada tempat kedua; kecuali fraktur
akibat pukulan langsung (termasuk fraktur pada lantai asetabulum), atau fraktur
cincin pada anak-anak, yang simfisis dan sendi sakro-iliakanya masih elastis.
Tetapi, patahan kedua sering tidak kelihatan-baik karena patah ini tereduksi
dengan segera atau karena sendi-sendi sakro-iliaka hanya rusak sebagian; dalam
keadaan ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat
stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin
ganda yang jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada
klasifikasi ke dalam fraktur cincin tunggal dan ganda.
3. Fraktur Pada Asetabulum
4. Fraktur Sakrokoksigis

D. ETIOLOGI
Etiologi fraktur pelvis adalah:
1. Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada
tempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.
3. Proses penyakit: kanker dan riketsia.
4. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat
mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
5. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga
dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).
Mekanisme trauma
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar
ataukarena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau
osteomalasia dapatterjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas

9
panggul maka keretakan pada Fraktur Pelvis Emelia Wijayanti (406107080)salah
satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada trauma
langsung.Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi
robekan sebagian atauterjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka.Mekanisme
trauma pada cincin panggul terdiri atas :
• Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan
kendaraan.Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah, dan
mengalami rotasieksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut
sebagaiopen book injury
. Bagian posterior ligamen sakro-iliaka mengalami robekan parsial atau dapat
disertai fraktur bagian belakang ilium.
•Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal
initerjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dariketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalamifraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakri-iliaka atau
fraktur ilium ataudapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
• Trauma vertical
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai
fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini
terjadi apabilaseseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
•Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan di atas

E. PATOFISIOLOGI

10
F. MANIFESTASI KLINIS
Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat mengenai
organ-organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi pada fraktur panggul
antara lain :
1. Nyeri
2. Pembengkakan
3. Deformitas
4. Perdarahan subkutan sekitar panggul
5. Hematuria
6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal
7. Syok
Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang
hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Pada cedera tipe A pasien
tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat
nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis. Sinar-X
polos dapat memperlihatkan fraktur.

11
Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tak
dapat berdiri; dia mungkin juga tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di
meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan usaha
menggerakkan satu atau kedua ala osis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki
mungkin mengalami anestetik sebagiankarena cedera saraf skiatika dan penarikan
atau pendorongan dapat mengungkapkanketidakstabilan vertikal (meskipun ini
mungkin terlalu nyeri). Cedera ini sangat hebat,sehingga membawa risiko tinggi
terjadinya kerusakan viseral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok,
sepsis, dan ARDS, angka kematiannya cukup tinggi

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk
memonitor kehilangan darah yang sedang berlangsung.
b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan atau
mikroskopik.
c. Kehamilan tes ditunjukkan pada wanita usia subur untuk mendeteksi
kehamilan serta pendarahan sumber potensial (misalnya, keguguran,
abrupsio plasenta).
2. Pemeriksaan Imaging
a. Radiografi
Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan
mampu menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien dengan
trauma berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil seringkali secara
rutin menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan pelvis, serta foto polos
pelvis yang tujuannya untuk memungkinkan diagnosis cepat fraktur pelvis
dan pemberian intervensi dini.
b. CT-Scan
CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan
derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan

12
juga dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur
acetabular.
c. MRI
MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila
dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu
penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu itu
dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI.
d. Ultrasonografi
Sebagai bagian dari the Focused Assessment with Sonography for Trauma
(FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya divisualisasikan untuk menilai
adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru menyatakan
ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih rendah untuk
mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur pelvis. Oleh
karena itu, perlu diingat bahwa, meskipun nilai prediksi positif mencatat
hemoperitoneum sebagai bagian dari pemeriksaan FAST yang baik,
keputusan terapeutik menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining
mungkin terbatas.
e. Cystography
Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan urethra
utuh.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
1. Shock Hipovolemik/traumatik
Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) → perdarahan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak → shock hipovolemi.
2. Emboli lemak
3. Tromboemboli vena
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest.
4. Infeksi

13
Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor tanda infeksi dan
terapi antibiotik.
5. Sindrom kompartemen

Komplikasi lambat
1. Delayed union
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan biasanya
lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi.
Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang.
2. Non union
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini
disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis.
3. Mal union
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan bentuk).
4. Nekrosis avaskuler di tulang
Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang.

I. PENATALAKSANAAN
PENANGANAN DINI
Terapi tidak boleh menunggu diagnosis yang lengkap dan rinci. Prioritas
perlu ditentukan dan bertindak berdasrkan setiap informasi yang sudah tersedia
sementara beralih ke pemeriksaan diagnostik berikutnya. Tata laksana dalam
konteks ini adalah kombinasi penilaian dan terapi.
6 pertanyaan harus ditanyakan dan jawabannya ditangani satu demi satu :
1. Apakah saluran nafas bersih ?
2. Apakah paru-paru cukup membuat ventilasi ?
3. Apakah pasien kehilangan darah ?
4. Apakah terdapat cedera di dalam perut ?
5. Apakah terdapat cedera kandung kemih dan uretra ?
6. Stabil atau tidakkah fraktur pelvis ini ?

14
Pada setiap pasien yang mengalami cedera berat, langkah yang pertama
adalah memastikan bahwa saluran nafas bersih dan ventilasi tak terhalang.
Resusitasi harus dimulai segera dan perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan
cepat diperikas untuk mencari ada tidaknya cedera ganda dan, kalau perlu, fraktur
yang nyeri dibebat. 1 foto sinar-X AP pada pelvis harus diambil.
Kemudian dilakukan pemeriksaan yang lebih cermat, dengan
memperhatikan pelvis, perut, perineum, dan rektum. Liang meatus uretra
diperiksa untuk mencari tanda-tanda perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa
untuk mencari tanda-tanda cedera saraf.
Kalau keadaan umum pasien stabil, pemeriksaan dengan sinar-X selanjutnya
dapat dilakukan. Kalau dicurigai adanya robekan uretra, dapat dilakukan
uretrogram secara pelan-pelan. Hasil penemuan sampai tahap ini dapat
menentukan perlu tidaknya urogram intravena.
Sampai saat ini dokter yang memeriksa sudah mendapat gambaran yang
baik mengenai keadaan umum pasien, tingkat cedera pelvis, ada tidaknya cedera
viseral dak kemungkinan berlanjutnya perdarahan di dalam perut atau
retroperitoneal. Idealnya, tim ahli masing-masing menangani tiap masalah atau
melakukan penyelidikan lebih jauh.
Pengobatan harus dilakukan sesegera mungkin berdasarkan prioritas
penanggulangan trauma yang terjadi (ABC), yaitu:
1. Resusitasi awal
a. Perhatikan saluran nafas dan perbaiki hipoksia
b. Kontrol perdarahan dengan pemberian cairan Ringer dan transfusi darah
2. Anamnesis
a. Keadaan dan waktu trauma
b. Miksi terakhir
c. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir
d. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi
e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala
3. Pemeriksaan klinik
a. Keadaan umum

15
i. Catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah dan respirasi
ii. Secara cepat lakukan survey tentang kemungkinan trauma lainnya
b. Lokal
i. Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan,
pembengkakan dan deformitas
ii. Tentukan derajat ketidak-stabilan cincin panggul dengan palpasi pada
ramus dan simfisis pubis
iii. Adakan pemeriksaan colok dubur
4. Pemeriksaan tambahan
a. Foto polos panggul, toraks serta daerah lain yang dicurigai mengalami
trauma
b. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna serta
pemeriksaan foto panggul lainnya
c. Pemeriksaan urologis dan lainnya :
i. Kateterisasi
ii. Ureterogram
iii. Sistogram retrograd dan postvoiding
iv. Pielogram intravena
v. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal
5. Pengobatan
a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat-alat dalam rongga
panggul
b. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya traksi skeletal, pelvic sling, spika
panggul

Penanganan Perdarahan Yang Hebat


Upaya lain yang dapat diperlukan untuk menangani perdarahan masif
mencakup penggunaan pakaian antisyok pneumatik dan pemasangan segera
fiksator luar.
Diagnosis perdarahan yang terus berlanjut sering sukar dilakukan, dan
sekalipun tampak jelas bahwa berlanjutnya syok adalah akibat perdarahan,

16
tidaklah mudah untuk menentukan sumber perdarahan itu. Pasien dengan tanda-
tanda abdomen yang mencurigakan harus diselidiki lebih jauh dengan aspirasi
peritoneum atau pembilasan. Kalau terdapat aspirasi diagnostik positif, perut
harus dieksplorai untuk menemukan dan mengangani sumber perdarahan. Tetapi,
kalau terdapat hematoma retroperitoneal yang besar, ini tidak boleh dievakuasi
karena hal ini dapat melepaskan efek tamponade dan mengakibatkan perdarahan
yang tak terkendali.

Penanganan Uretra Dan Kandung Kemih


Cedera urologi terjadi pada sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin pelvis.
Karena pasien sering sakit berat akibat cedera yang lain, mungkin dibutuhkan
kateter urine untuk memantau keluaran urine, sehingga ahli urologi terpaksa
membuat diagnosis kerusakan uretra dengan cepat.
Tidak boleh memasukkan kateter diagnostik karena kemungkinan besar ini
akan mengubah robekan sebagian menjadi robekan lengkap. Untuk robekan yang
tek lengkap, pemasukan kateter suprapubik sebagai prosedur resmi saja yang
dibutuhkan. Sekitar setengah dari semua robekan tak lengkap akan sembuh dan
tak banyak membutuhkan penanganan jangka panjang.
Terapi robekan uretra lengkap masih kontroversial. Penjajaran ulang
(realignment) primer pada uretra dapat dicapai dengan melakukan sistostomi
suprapubik, mengevakuasi hematoma pelvis dan kemudian memasukkan kateter
melewati cedera untuk mendrainase kandung kemih. Kalau kandung kemih
mengambang tinggi, ini harus direposisi dan diikat dengan penjahitan melalui
bagian anterior bawah kapsul prostat, melalui perineum pada kedua sisi uretra
bulbar dan difiksasi pada paha dengan plester elastis. Suatu pendekatan alternatif
– yang jauh lebih sederhana – adalah melakukan sistostomi secepat mungkin,
tidak berusaha mendrainase pelvis atau membedah uretra, dan mengangani
striktur yang diakibatkan 4-6 bulan kemudian. Metode yang belakangan ini
dikontraindikasikan kalau terdapat dislokasi prostat yang hebat atau robekan hebat
pada rektum atau leher kandung kemih. Pada kedua metode itu terdapat cukup

17
banyak insidensi pembentukan striktur, inkontinensia dan impotensi di belakang
hari.

Terapi Fraktur
Untuk pasien dengan cedera yang sangat hebat, fiksasi luar dini adalah salah
satu cara yang paling efektif untuk mengurangi perdarahan dan melawan syok.
Kalau tidak ada komplikasi yang membahayakan jiwa, terapi pastinya adalah
sebagai berikut.
Fraktur tipe A, Fraktur yang sedikit sekali bergeser dan fraktur pelvis yang
terisolasi hanya membutuhkan istirahat di tempat tidur, barangkali dikombinasi
dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien biasanya nyaman
sehingga dapat diperbolehkan menggunakan penopang.
Fraktur tipe B, Asalkan dapat dipastikan bahwa pergeseran posterior tidak
terjadi, cedera buku terbuka dengan celah kurang dari 2,5 cm biasanya dapat
diterapi secara memuaskan dengan beristirahat di tempat tidur; kain gendongan
posterior atau korset elastis yang bermanfaat untuk “menutup buku”. Celah yang
lebih dari 2,5 cm sering dapat ditutup dengan membaringkan pasien secara miring
dan menekan ala osis ilii. Cara yang paling efisien untuk mempertahankan reduksi
adalah fiksasi luar dengan pen pada kedua ala osis ilii yang dihubungkan oleh
batang anterior; “penutupan buku” juga dapat mengurangi jumlah perdarahan.
Penempatan pen lebih mudah dilakukan kalau 2 pen sementara mula-mula
dimasukkan sehingga merengkuh permukaan medial dan lateral tiap ala osis ilii
dan kemudian mengarahkan pen-pen pengikat itu diantara keduanya. Fiksasi
internal dengan pemasangan plat pada simfisis harus dilakukan : (1) selama
beberapa hari pertama setelah cedera, hanya jika pasien memerlukan laparotomi
dan (2) di belakang hari jika celah itu tidak dapat ditutup dengan metode yang
tidak begitu radikal.
Pada cedera buku tertutup penggunaan kain gendongan atau korset tidak
tepat. Beristirahat di tempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun
biasanya memadai, tetapi, kalau perbedaan panjang kaki melebihi 1,5 cm atau
terdapat deformitas pelvis yang nyata, reduksi dengan pen pada satu krista iliaka

18
dapat dicoba dan, kalau berhasil, dipertahankan dengan menghubungkan pen-pen
itu dengan pen pada sisi yang lain sehingga membentuk fiksator luar. Kerangka
fiksasi biasanya diperlukan selama 6-8 minggu tetapi pada stadium yang
belakangan, kalau telah nyaman pasien diperbolehkan bangun dan berjalan.
Fraktur tipe C, Cedera ini adalah yang paling berbahaya dan paling sulit
diterapi. Kemungkinan beberapa atau semua pergeseran vertikal dapat direduksi
dengan traksi kerangka yang dikombinasi dengan fiksator luar; meskipun
demikian, pasien perlu tinggal di tempat tidur sekurang-kurangnya 10 minggu.
Kalau reduksi belum dicapai, fraktur dislokasi dapat direduksi secara terbuka dan
mengikatnya dengan satu plat kompresi dinamis atau lebih. Operasi berbahaya
bila dilakukan (bahayanya mencakup perdarahan masif dan infeksi) dan harus
dilakukan hanya oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang ini.
Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi luar mungkin lebih aman, meskipun
malposisi mungkin akan meninggalkan nyeri di bagian posterior. Perlu ditekankan
bahwa > 60% fraktur pelvis tidak memerlukan fiksasi.

19
20
Fraktur pelvis terbuka ditangani dengan fiksasi luar. Kolostomi diversi
mungkin diperlukan.

METODE PENATALAKSANAAN
Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan
MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun

21
masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas
telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.

Pengikat dan Sheet Pelvis


Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit
dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan
resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis
efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis
komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya
memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis
mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas
pada pasien dengan cedera APC (gambar 4).

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar


pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk
mengontrol tekanan
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan
fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin
berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah
dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat
memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.

Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan

22
fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur
pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran
pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan
disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis
mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah
menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada
peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan
vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk
mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang
melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis
ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah
dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya
tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar
harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur
umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp
pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal
anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.

Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan
kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi
fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan
fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri
terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur
pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih
tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien
yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan
pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun

23
hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien
dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk
cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif
(58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas
hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan
perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal
tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-
Menachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan
bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri
tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang
dapat terjadi bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan
embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi
perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh
vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi
dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih
besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang
dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup.
Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi
iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan
dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan
sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-
tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif
tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.

Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan
fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah
menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik

24
ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan
bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani
menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal
juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal
– telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol
perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga
intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk
membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk
dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk
pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat
mengurangi angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak
adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak
stabil secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4
dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan embolisasi selanjutnya
(16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat mengontrol
perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.

Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal.


A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi,
dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir
pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior,
berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari
spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons
ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih.
Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut diulangi. B,
Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang

25
mengikuti balutan pelvis.

Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan
untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge)
kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang
penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau
lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan
darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah
tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di
crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit;
namun, darah seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor
lainnya. Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa
resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak
untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus kristaloid hanya
sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan
kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non
crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya
respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang
sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan
pembedahan mungkin dibutuhkan.

Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa


Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan
sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis.
Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan
trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8
unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek
inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan
relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai

26
tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk
kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa
pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP
yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit
dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini.
Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai
intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap
disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label.
Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang
menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan
rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara
signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat
kecenderungan ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.

EVALUASI STATUS RESUSITASI


Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium
dan tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat
selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan
termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang
cukup (≥ 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan
setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak
memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan
laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan
basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa
diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai
nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin
diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap
menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.

ALGORITMA PENGOBATAN DAN ANGKA KETAHANAN HIDUP

27
Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan
secara dramatis mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol
tersebut dicari untuk dihindari. Pada satu seri, kematian 43 pasien, mewakili 60%
kematian pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan atau sebagai bagian dari
fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya dipertimbangkan sebagai
penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok atau memiliki bukti klinis
hipovolemia pada waktu masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat fraktur
pelvis mereka segera setelah masuk rumah sakit.
Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan
fraktur pelvis secara hebat meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan
hidup yang cepat. Bosch dkk melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar
pada pusat trauma mengarah pada menurunnya mortalitas sehubungan dengan
fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dari 66,7% menjadi 18,7%. Biffl dkk
melaporkan bahwa jalur klinis mereka, termasuk segera munculnya kehadiran ahli
bedah ortopedi di departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan
C-clamp agresif berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas secara
signifikan, dari 31% mejadi 15% (P < 0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman
institusional evidence-based terdiri atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen
dalam 15 menit, angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif
minimal dalam 24 jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi
PRC 24-jam dari 16 ± 2 U menjadi 11 ± 1 U (P < 0,05) dan mengurangi mortalitas
dari 35% menjadi 7% (P < 0,05).
Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin
untuk diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi
sebagai penyebab syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan
fraktur pelvis. Juga, pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang
tinggi. Alasan lain adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan
berdasarkan kapabilitas institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip
mendasar protokol-protokol tersebut berguna, mungkin juga penting untuk
memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber daya dan
staf ahli pada masing-masing institusi.

28
Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi yang dibawa ke institusi
kami dengan instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan
kristaloid (gambar 6). Radiografi dada portable, bersama dengan gambaran
radiografi pelvis dan tulang belakang cervical lateral, diperiksa untuk
menyingkirkan sumber kehilangan darah yang berasal dari toraks. Saluran tekanan
vena sentral dipasang, dan defisit basa diukur. Pemeriksaan sonografi abdomen
terfokus untuk trauma (focused abdominal sonography for trauma/FAST)
dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien dibawa langsung ke ruang operasi untuk
laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis dipasang, dan dilakukan balutan
pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi
pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien
dipindahkan langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan
dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi.
Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi,
jika sebelumnya tidak dilakukan, maka harus dilakukan. rFVIIa harus
dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.
Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat
darurat. Jika pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC
unit kedua, pasien dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan
balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat
angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih,
pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini.
Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian
angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan.

29
Gambar 6. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang
muncul dengan instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan
laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU,
pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha
dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan
jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal
sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells

J. PENCEGAHAN
Pencegahan fraktur pelvis yaitu:
1. dengan membuat lingkungan lebih aman
2. mengajarkan kepada masyarakat secara berkesinambungan mengenai pada
saat bekerja berat.

K. ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan adalah bantuan, bimbingan, penyuluhan,
perlindungan yang diberikan oleh seorang perawat untuk memenuhi kebutuhan

30
pasien atau klien dengan menggunakan metode proses keperawatan. (Nasrul
Efendy, 1995)
1. Pengkajian pada Pasien Fraktur
Menurut Doengoes, ME (2000) pengkajian fraktur meliputi :
1. Aktivitas/istirahat
Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri, atau trjadi secara sekunder, dari pembengkakan
jaringan, nyeri)
2. Sirkulasi
Gejala : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri/ansietas), atau hipotensi (kehingan darah)
3. Neurosensori
Gejala : Hilang gerak/sensasi,spasme otot Kebas/kesemutan (parestesis)
Tanda : Demormitas local; angulasi abnormal, pemendakan,ratotasi,krepitasi
(bunyi berderit, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi).
4. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera ( mungkin terlokalisasi pada arah
jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi) tak ada nyeri
akibat kerusakan saraf.
5. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Lingkungan cidera
Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : femur 7-8 hari,
panggul/pelvis 6-7 hari, lain-lainya 4 hari bila memerlukan perawatan dirumah
sakit.
Diagnosa
NO DX KEP Tujuan Intervensi Rasional
.
1 nyeri Tujuan : a : Pertahankan a. Mengurangi rasa
berhubungan Kebutuhan imobilisasi pada nyeri dan mencegah
dengan rasa nyaman bagian yang patah dis lokasi tulang dan
fraktur/traum nyeri dengan cara bed perluasan luka pada
a. terpenuhi. rest, gips, jaringan.
spalek, traksi b. Meningkatkan

31
b : Meninggikan aliran darah,
dan melapang mengurangi edema
bagian kaki yang dan mengurangi rasa
fraktur nyeri.
c : Evaluasi rasa c. Mempengaruhi
nyeri, catat penilaian intervensi,
tempat nyeri, tingkat kegelisahan
sifat, intensitas, mungkin akibat dari
dan tanda-tanda presepsi/reaksi
nyeri non verbal terhadap nyeri.
d. : Kolaborasi d. Diberikan obat
dalam pemberian analgetik untuk
analgetik mengurangi rasa
nyeri.

2 Gangguan Tujuan : a. : Kaji tingkat a. : Mengetahui


mobilitas ekstremitas mobilitas yang kemandirian pasien
fisik yang rusak bisa dilakukan dalam mobilisasi
berhubungan dapat pasien b. : Rentang gerak
dengan digerakkan. b. : Anjurkan meningkatkan tonus
kerusakan gerak aktif pada atau kekuatan otot
rangka/tulan ekstremitas yang serta memperbaiki
g sehat fungsi jantung dan
neuromuskul c. : Pertahankan pernafasan
er. penggunaan c. :
spalek dan elastis Mempertahankan
verban imobilisasi pada
tulang yang patah.

3 Resiko tinggi Tujuan a. Kaji tanda a. Mengetahui


terhadap : Tidak vital dan tanda keadaan umum
infeksi terjadi adanya infeksi. pasien dan dugaan
berhubungan infeksi b. Ganti balutan adanya infeksi.
dengan alat luka secara septik b. Meminimalkan
fiksasi aseptik setiap hari infeksi sekunder dari
invasive. c. Anjurkan alat yang digunakan.
pasien untuk c. Untuk mencegah
menjaga kontaminasi adanya
kebersihan. infeksi.

4 Cemas/ Mengatasi Klien menerima Beri kesempatan


takut/ cemas/ takut/ keadaan, pada klien untuk
berduka berduka ekspresi,wajah mengekspresikan
tampak tenang perasaannya
5 Gangguan Memperbaiki Harga diri Kaji kemampuan
perawatan cairan tubuh meningkat klien perawatan diri

32
diri berperan aktif
selama
rehabilitasi
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heather.2009.Nursing Diagnoses : Definitions and Classification 2009-


2011.USA : Wiley-Blackwell.

Johnson, M., Mass, M., Moorhead, S., 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC)
second edition. Missouri : Mosby

Dochterman, Joanne M., Bulecheck, Gloria N.2003.Nursing Intervention classification


(NIC) 4th Edition.Missouri : Mosby.

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott
company, Philadelpia.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien, EGC, Jakarta.

Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta

ENA. 2000. Emergency Nursing Core Curriculum. 5 thED. USA: WB.Saunders


Company

Campbell, Jhon Pe. 2004. Basic Trauma Life Support. New Jersy : Person Prentice
Hall.

Price, S. A. 2000. Patofisiologi : Konsep klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2007. Pengantar Asuhan Keperawatan Sistem Persyarafan.


Jakarta:Salemba

Smeltzer,C.S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan


Suddarth.Edisi 8. Jakarta: EGC

Widjaja, Ignatius Harjadi. Buku ajar anatomi pelvis. FK UNTAR. Jakarta, 2006.

Chairuddin Rasjad. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone, 2007

Graham Apley & Louis Solomon, Buku Ajar Ortopedi Dsn Fraktur Sistem Apley,Edisi
Ketujuh. Tahun 1995, Widya Medika Jakarta.

33

You might also like