You are on page 1of 4

Rheumatoid Arthritis

- Pendahuluan
- Patofisiologi
- Etiologi
- Epidemiologi
- Diagnosis
- Penatalaksanaan
- Prognosis
- Edukasi dan Promosi Kesehatan
Pendahuluan Rheumatoid Arthritis
Oleh dr. Aghnia Jolanda Putri
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi kronis destruktif autoimun yang ditandai
oleh poliartritis perifer yang simetris serta dapat diikuti dengan beberapa manifestasi ekstra-
artikular dan sistemik[1,2]. Beberapa manifestasi ekstraartikular yang ditimbulkan dapat berupa
nodul subkutan, gangguan pada paru-paru, perikarditis, neuropati perifer, vaskulitis, kelelahan dan
kelainan hematologis [1].

Penetapan diagnosis dan klasifikasi RA terbaru mengacu pada kriteria diagnosis American College
of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) tahun 2010 dengan
empat kriteria penilaian, yaitu jumlah keterlibatan sendi, hasil uji serologi, reaktan fase akut, dan
durasi sakit. [2]

Pengelolaan RA bertujuan untuk mengoptimalkan kualitas hidup yang baik dengan mengatasi,
mencegah dan memperbaiki kerusakan struktural, fungsional, serta sosial penderita akibat RA.
Keadaan tersebut dicapai dengan beberapa pilar pengelolaan sebagai berikut:

Edukasi
Latihan fisik atau program rehabilitasi: terapi fisik dengan laser berkekuatan rendah,
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), termoterapi, muscular electro stimulation dan
magnetotherapy

Medikamentosa: DMARD (disease-modifying antirheumatic drugs), agen biologik, kortikosteroid,


dan obat anti infamasi non steroid

Pembedahan [1,2,3]

patofisiologi
Patofisiologi rheumatoid arthritis ditandai dengan adanya peradangan dan hiperplasia sinovial,
produksi autoantibodi (faktor rheumatoid dan antibodi protein anti-citrullinated [ACPA]), serta
kerusakan tulang dan/atau tulang rawan serta tampilan sistemik yang dapat menimbulkan
gangguan kardiovaskular, paru, psikologis, dan skeletal. Penyebab pasti dari keadaan ini masih
belum diketahui namun RA melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor
lingkungan, dan beberapa faktor predisposisi. [3]
Pada patofisiologi rheumatoid arthritis, terjadi migrasi sel inflamasi yang dipicu oleh aktivasi
endotel pada pembuluh darah mikro sinovial yang meningkatkan ekspresi molekul adhesi
(termasuk integrin, selektif, dan anggota superfamili imunoglobulin) dan kemokin serta
menimbulkan proliferasi leukosit pada kompartemen sinovial.[3] Keadaan ini sebagian besar
melibatkan sistem imun adaptif dan dimediasi oleh sel T-helper tipe 1 (Th-1). Terjadi aktivasi
makrofag oleh sitokin Th-1, seperti interferon-g (IFN-g), interleukin 12 (IL-12), dan IL-18, yang
menyebabkan aktivasi sel T oleh antigen presenting cells. Makrofag juga dapat diaktivasi melalui
kontak langsung dengan sel T, kompleks imun, atau produk bakterial di cairan sinovial. Aktivasi
makrofag ini melepaskan beberapa sitokin dan mediator inflamasi seperti interleukin, faktor
nekrosis tumor (TNF), transforming growth factor-β (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF),
platelet-derived growth factor (PDGF), dan interferon (IFN-α dan IFN-β).

Respon Jaringan Mesenkimal

Pada keadaan normal, sinovium terdiri dari sel sinovial seperti fibroblas yang berasal dari jaringan
mesenkimal (FLS; fibroblast-like synoviocytes). Pada RA, terjadi semi-otonomi regulasi FLS
dengan perluasan lapisan membran, tingginya ekspresi sitokin dan kemokin terkait, molekul
adhesi, matriks metalloproteinase (MMP), dan tissue inhibitors of metalloproteinases (TIMP).
Keadaan ini menyebabkan destruksi kartilago di area tersebut, memperpanjang inflamasi sinovial
dan menimbulkan kondisi yang kondusif dalam pertahanan sel T, sel B, dan sistem imun adaptif.
[3,4]

Perubahan lingkungan mikrosinovial diikuti dengan reorganisasi arsitektural sinovial yang


mendalam dan aktivasi fibroblas lokal menyebabkan penumpukan jaringan inflamasi sinovial pada
rheumatoid arthritis. Terjadi hiperplasia sinovium yang terasa sebagai pembengkakan di sekitar
sendi yang kemudian menyebar dari daerah sendi ke permukaan tulang rawan. Penyebaran ini
menyebabkan kerusakan pada sinovium dan tulang rawan serta menghalangi masuknya gizi ke
dalam sendi sehingga tulang rawan menjadi menipis dan nekrosis.[1,2,4]

Interaksi berkesinambungan antara sel dendritik, sel B, dan sel T utamanya terjadi di kelenjar
getah bening dan menimbulkan respon autoimum terhadap protein yang mengandung sitrulin.
Umpan balik positif yang dimediasi oleh interaksi antara leukosit, fibroblas sinovial, kondrosit,
osteoklas, dan produk destruksi serta ketidakseimbangan antara sitokin pro- dan anti-inflamasi
menimbulkan kronisitas dalam perjalanan penyakit rheumatoid arthritis.[4]

Perkembangan perjalanan rheumatoid arthritis terbagi dalam lima fase, yaitu:

Fase I: interaksi antara faktor genetika dan lingkungan


Fase II: produksi autoantibodi, seperti RF dan anti-CCP
Fase III: gejala arthralgia dan kekakuan sendi tanpa disertai bukti klinis arthritis

Fase IV: artritis pada satu atau dua sendi, yang dapat bersifat intermiten dan disebut sebagai
palindromic rheumatism
Fase V: timbulnya tampilan klasik RA [4]
Peningkatan reaktan fase akut sebagai akibat dari proses inflamasi merupakan faktor risiko
independen kardiovaskular melalui peningkatan aktivasi endothelial dan menjadikan plak
ateromatosa tidak stabil. Sitokin juga menyebabkan resistensi insulin pada otot dan jaringan
adiposa pada sindrom ‘metabolik inflamatori’.

Perubahan Sistemik Rheumatoid Arthritis

Selain itu, perubahan sistemik lainnya yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas inflamasi pada
rheumatoid arthritis dapat terjadi pada:

Sistem serebrovaskular: penurunan fungsi kognitif


Sistem hepatika: peningkatan respon fase akut dan penyakit anemia kronis
Sistem pernapasan: radang dan penyakit fibrotik pada paru
Sistem endokrin: sindrom Sjogren sekunder
Sistem muskuloskeletal: sarkopenia dan osteoporosis pada tulang aksial dan apendikular
Sistem limfatik: limfoma [3,4]
etiologi
Beberapa analisis genomik menunjukkan bahwa etiologi rheumatoid arthritis dipengaruhi faktor
regulasi imun yang menjadi predisposisi penyakit ini, seperti seleksi sel T, presentasi antigen, atau
perubahan dalam afinitas peptida, yang secara autoreaktif memicu respon imun adaptif. Salah satu
faktor imunologi yang telah lama diketahui adalah adanya human leukocyte antigen (HLA)-DRB1
yang ditemukan pada pasien dengan temuan faktor rheumatoid atau ACPA positif. [3,4]

Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang telah diketahui berhubungan dengan etiologi rheumatoid
arthritis, seperti:

Genetik

Kerentanan terhadap rheumatoid arthritis berkaitan dengan hipervariabilitas alel DRβ1, yang
dikenal sebagai kerentanan epitope. Selain itu, 70% pasien memiliki korelasi genetika pada
HLADR4 dibandingkan kelompok kontrol dengan peningkatan risiko rheumatoid arthritis sebesar
4 hingga 5 kali lipat. Gen lain yang terlibat dalam perjalanan penyakit ini adalah protein tyrosine
phosphatase 22 (PTPN 22) lokus TRAF1/C5, 6q23, 4q27, CD40, dan CCL21 pada populasi
Kaukasia, serta peptidyl arginasedeiminase (PADI-4), FCRL3, dan SLC22A4 yang meningkatkan
risiko timbulnya rheumatoid arthritis dua kali lipat terutama pada populasi Asia.

Infeksi

Agen infeksius seperti virus Epstein-Barr, sitomegalovirus, Proteus sp., dan Escherichia coli
berkaitan dengan risiko timbulnya rheumatoid arthritis secara langsung serta melalui produknya
seperti heat-shock proteins. Salah satu mekanisme yang diduga terlibat adalah terjadinya induksi
faktor rheumatoid, yang merupakan autoantibodi berafinitas tinggi yang melawan Fc pada
imunoglobulin.

Secara khusus, rheumatoid arthritis berhubungan dengan penyakit periodontal melalui ekspresi
PADI-4 oleh Porphyromonas gingivalis yang dapat memicu sitrulinisasi protein.

Usia dan Jenis kelamin

Risiko rheumatoid arthritis lebih besar dua hingga tiga kali lipat pada wanita dibandingkan pria
serta ditemukan pada usia lanjut dengan rata-rata usia awal 43 tahun. Keadaan ini berhubungan
dengan kondisi hormonal seperti titer dehidroepoandrosteron, estradiol, dan testosteron.

Lingkungan

Merokok menimbulkan interaksi gen-lingkungan dengan HLA-DR pada rheumatoid arthritis


dengan faktor rheumatoid dan anti-sitrulinasi positif (salah satunya dengan cara meningkatkan
protein sitrulin modifikasi pada paru). Paparan terhadap rokok, dan beberapa faktor lingkungan
lainnya, dapat memicu mekanisme yang mempercepat deaminisasi arginin menjadi sitrulin pada
autoantigen yang terdapat dalam paru melalui up-regulation aktivitas peptidylarginine–deiminase
makrofag yang diaktifkan saat apoptosis.

Pada reumatoid artritis dengan ACPA negatif, obesitas meningkatkan risiko insiden melalui
pengaruh adipokin sebagai agen pro-inflamasi. Sebagai contoh, visfatin mengaktivasi leukosit dan
melindunginya dari apoptosis. Obesitas juga meningkatkan kerusakan struktural sendi pada pasien
dengan rheumatoid arthritis serta menurunkan respon terapi dengan agen anti-TNF. [1,3,5,8,9]

You might also like