You are on page 1of 32

FENOMENA PAUTAN KELAMIN PADA PERSILANGAN

Drosophila melanogaster STRAIN ♀N >< ♂w BESERTA RESIPROKNYA


LAPORAN PROYEK
Untuk memenuhi tugas matakuliah Genetika 1
Diampu oleh Prof. Dr. Aloysius Duran Corebima, M.Pd.
dan Prof. Dr. Siti Zubaidah, S.Pd., M.Pd.
Disajikan pada 21 April 2019

Disusun Oleh:
Kelompok 9/Offering B
Erma Wahyu Safira Nastiti (170341615078)
Femi Mega Lestari (170341615098)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
April 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Orang dengan hemofilia tidak dapat memproduksi faktor yang
diperlukan untuk pembekuan darah; seperti luka dan memar. Luka hemofili
terus mengeluarkan darah tanpa berhenti. Hal itu dapat menyebabkan
penderita hemofilian kehilangan banyak darah dan menyebabkan kematian.
Jenis utama hemofilia pada manusia disebabkan oleh mutasi kromosom X
bersifat resesif, kromosom X membawa gen hemophilia A dan B dan
hampir yang mengidap hemofili adalah laki-laki karena hanya memiliki 1
kromosom X, sedangkan perempeuan umumnya hanya menjadi pembawa
sifat (carrier). Namun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga
dapat menderita himofilia jika pria hemoilia menikah dengan wanita
carrier. Laki-laki yang mengidap himofili tidak dapat mentransmisikan alel
mutan untuk anak-anaknya (Snustad, dkk., 2012).
Keturunan yang dihasilkan oleh induk banyak yang tidak dapat
dianalisis dengan cara Mendel sederhana, seperti dihibrid dan monohibrid.
Oleh karena itu, terjadi penyimpanagan semu pada hukum mendel.
Penyimpangan semu hukum mendel adalah penyimpangan yang tidak
keluar dari hukum Mendel walaupun terjadi perubahan pada rasio F2-nya
karena genmemiliki sifat yang berbeda-beda sehingga rasio fenotipe tidak
sama dengan yang diuraikan oleh hukum Mendel (Abdurrahman, 2008).
Penyimpangan semu hukum Mendel disebabkan oleh genetik dan
interaksi alel dimana alel-elel yang berasal dari gen yang berbada terkadang
berinteraksi dengan memunculkan perbandingan fenotipe yang tidak umum.
Hal tersebut menyebabkan dominasi suatu alel terhadap alel lain tidak selalu
terjadi. Contohnya interaksi bentuk pial pada ayam yang berbentuk rose dan
walnut (Yunus, dkk., 2006).
D. melanogaster merupakan lalat buah yang telah digunakan
sebagai subjek penelitian genetika sejak awal abad 20 (Dubnau, 2014).
Capy & Gibert (2004) menyatakan bahwa D. melanogaster merupakan
subjek penelitian yang sangat ekstensif digunakan dalam bidang genetika.
T.H. Morgan mempunyai suatu strain Drosophila melanogaster
yang bermata putih, dan ternyata strain tersebut sudah tergolong dalam
galur murni. Ketika strain bermata putih disilangkan dengan strain bermata
merah, ternyata keturunannya yang muncul tidak sesuai yang seharusnya
berdasarkan kebakaan Mendel. Berdasarkan kejadian tersebut, Corebima
(2013) menyimpulkan bahwa faktor mata pada Drosophila melanogaster
terpaut pada kromosom kelamin X.
Adanya sifat-sifat yang terpaut dengan kromosom kelamin tidak
hanyak dijumpai pada Drosophila. Pola pewarisan sifat yang terpaut
kelamin sebagaimana yang telah dikemukakan di lingkup Drosophila dan
manusia akan menjadi terbalik andaikata individu betina (jenis tertentu)
bersifat heterogenetic (Corebima, 2013).
Peneliti menggunakan persilangan pada Drosophila melanogaster
demi mengetahui fenomena pautan kelamin tersebut. Persilangan tersebut
antara Drosophila melanogaster antara strain ♀N >< ♂w beserta
resiproknya. Selain itu, peneliti juga menghubungkan antara fenomena
hukum pemisahan Mendel (Mendel I) dengan persilangan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dibuat rumusan
masalah pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana fenotip F1 danF2 pada persilangan Drosophila melanogaster
strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya?
2. Bagaimana rasio F1 dan F2 pada persilangan Drosophila melanogaster strain
♀N >< ♂w beserta resiproknya?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka
peneliti didapatkan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui fenotip F1 danF2 pada persilangan Drosophila
melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya.
2. Untuk mengetahui rasio F1 dan F2 pada persilangan Drosophila
melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Penulis
a. Dapat mengetahui fenotip serta perbandingan pada F1 dan F2 yang
muncul dari hasil persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N
>< ♂w beserta resiproknya.
b. Dapat menambah pengetahuan mengenai pautan kelamin.
2. Bagi Pembaca
a. Memberikan informasi mengenai fenomena pautan kelamin pada
persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta
resiproknya.
b. Memberikan informasi mengenai fenomena pautan kelamin.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Dalam penelitian ini digunakan batasan penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan dibatasi pada persilangan Drosophila
melanogaster strain ♀N >< ♂w beserta resiproknya.
2. Pengamatan pada keturunan fenotip F1 dan F2 dilakukan masing-
masing selama tujuh hari, dimana hari pertama pupa berubah menjadi
lalat dianggap sebagai hari pertama.
3. Fenotip yang diamati adalah warna mata dan jenis kelamin.

1.6 Definisi Operasional


Untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran dari setiap istilah, maka
perlu diberikan definisi operasional yaitu sebagai berikut:
1. Genotip adalah seluruh jumlah informasi genetic yang terkandung pada
suatu makhluk hidup atau konstitusi genetic pada makhluk hidup dalam
hubunganya dengan satu atau beberapa lokus gen.
2. Fenotip adalah sifat yang dapat diamati pada suatu individu yang
merupakan hasil interaksi antara genotip dengan lingkungannya.
3. Persilangan resiprok adalah persilangan kebalikan dari persilangan yang
sebelumnya.
4. Homozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen identik,
contohnya KK, CC, dan BBKK.
5. Heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen yang berbeda,
contohnya Kk, Cc,dan BbKk.
6. Hemizigot adalah bentuk genotipe pada suatu lokus dengan keadaan
paling tidak satu kromosom tidak memiliki alel (zero allele).
7. Filial adalah keturunan (generasi) yang diperoleh sebagai hasil dari
perkawinan parental.
8. Pewarisan menyilang adalah keturunan anak betina mirip dengan induk
jantannya dan keturunan anak jantan mirip dengan induk betinanya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penjelasan Teori Masing-masing Variabel Sesuai Proyek


2.1.1. Drosophila melanogaster
2.1.1.1 Klasifikasi Drosophila melanogaster
Penelitian menggunakan Drosophilla melanogaster. Berikut klasifikasi dari
Drosophilla melanogaster menurut Strickberger (1985) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Dyptera
Sub Ordo : Cyclorrhapha
Familia : Drosophiladae
Marga : Drosophila
Jenis : Drosophilla melanogaster

Gambar 2.1 Drosophila melanogaster

D. melanogaster merupakan lalat buah yang telah digunakan sebagai subjek


penelitian genetika sejak awal abad 20 (Dubnau, 2014). Capy & Gibert (2004)
menyatakan bahwa D. melanogaster merupakan subjek penelitian yang sangat
ekstensif digunakan dalam bidang genetika. Karakteristik serangga ini yang
memiliki siklus hidup yang cepat, hanya memiliki sedikit kromosom, ukuran
genom yang kecil, dan memiliki kromosom raksasa di kelenjar ludahnya
menjadikan D. melanogaster dipilih peneliti genetika dalam penelitiannya
(Hartwell, dkk., 2011).
Drosophila melanogaster, sejenis serangga biasa yang umumnya tidak
berbahaya dan merupakan pemakan jamur yang tumbuh pada buah. Lalat buah
adalah serangga yang mudah berkembangbiak. Dari satu perkawinan saja dapat
dihasilkan ratusan keturunan, dan generasi yang baru dapat dikembangkan setiap
dua minggu. Karasteristik ini menunjukkan lalat buah organisme yang cocok
sekali untuk kajian-kajian genetik (Campbell, 2008).

2.1.1.2 Ciri Drosophila melanogaster


Ciri-ciri morfologi yang membedakan Drosophila jantan dan betina antara
lain (Suryo, 2008) pada betina memiliki ukuran tubuh lebih besar; sayap lebih
panjang daripada jantan; tidak terdapat sisir kelamin (sex comb); ujung abdomen
runcing, sedangkan pada jantan ujung abdomen tumpul dan lebih hitam.
Menurut Wahyuni (2013), sayap Drosophila normal memiliki ukuran yang
panjang dan lurus, bermula dari thorax hingga melebihi abdomen lalat dengan
warna transparan. Fenotipe normal untuk suatu karakter, seperti mata merah pada
Drosophila melanogaster disebut tipe liar (wild-type). Wild-type strain memiliki
masa hidup yang lebih panjang dari pada strain mutan (Cakir, 2000)
Karakteristik serangga ini yang memiliki siklus hidup yang cepat, hanya
memiliki sedikit kromosom, ukuran genom yang kecil, dan memiliki kromosom
raksasa di kelenjar ludahnya menjadikan D. Melanogaster dipilih peneliti genetika
dalam penelitiannya (Hartwell, 2011). Menurut Suryo (2012), inti sel tubuh lalat
buah Drosophila hanya memiliki 8 buah kromosom saja, sehingga mudah sekali
diamati dan dihitung.
Drosophila melanogaster strain white (w) merupakan strain mutan yang
memiliki mata berwarna putih. Hasil mutasi tersebut disebabkan oleh beberapa
factor, diantaranya adalah karakteristik spermatozoa, viabilitas, gen transformer
(tra), pautan dan resesif letal, suhu, segregation distorsion, dan umur jantan
(Karmana, 2010). Abdomen jantan berujung tumpul, dan segmen terakhirnya
berwarna hitam, sedangkan ujung posterior lalat betina lebih lancip (Siburian,
2008).
Mutasi yang dibawa oleh strain white tidak hanya menyebabkan kebutaan,
tetapi juga menyebabkan proses kawin oleh individu jantan menjadi tidak efisien,
serta perkembangan menjadi lambat (Wang, 2013).

Strain normal Strain white

(betina) (jantan)

2.1.1.3 Daur Hidup


Metamorfosis pada Drosophila termasuk metamorfosis sempurna, yaitu dari
telur – larva instar I – larva instar II – larva instar III – pupa – imago. Fase
perkembangan dari telur Drosophila melanogaster dapat dilihat lebih jelas pada
gambar di bawah ini.

Perkembangan dimulai segera setelah terjadi fertilisasi, yang terdiri dari


dua periode. Pertama, periode embrionik di dalam telur pada saat fertilisasi
sampai pada saat larva muda menetas dari telur dan ini terjadi dalam waktu
kurang lebih 24 jam. Dan pada saat seperti ini, larva tidak berhenti-berhenti untuk
makan (Silvia, 2003)
Periode kedua adalah periode setelah menetas dari telur dan disebut
perkembangan postembrionik yang dibagi menjadi tiga tahap, yaitu larva, pupa,
dan imago (fase seksual dengan perkembangan pada sayap). Formasi lainnya pada
perkembangan secara seksual terjadi pada saat dewasa (Silvia, 2003).
Telur Drosophila berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasanya
diletakkan di permukaan makanan. Betina dewasa mulai bertelur pada hari kedua
setelah menjadi lalat dewasa dan meningkat hingga seminggu sampai betina
meletakkan 50-75 telur perhari dan mungkin maksimum 400-500 buah dalam 10
hari. (Silvia, 2003).
Telur Drosophila dilapisi oleh dua lapisan, yaitu satu selaput vitellin tipis
yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput tipis tapi kuat (Khorion) di bagian
luar dan di anteriornya terdapat dua tangkai.tipis. Korion mempunyai kulit bagian
luar yang keras dari telur (Silvia, 2003).
Larva Drosophila berwarna putih, bersegmen, berbentuk seperti cacing,
dan menggali dengan mulut berwarna hitam di dekat kepala. Untuk pernafasan
pada trakea, terdapat sepasang spirakel yang keduanya berada pada ujung anterior
dan posterior (Silvia, 2003).
Saat kutikula tidak lunak lagi, larva muda secara periodik berganti kulit
untuk mencapai ukuran dewasa. Kutikula lama dibuang dan integumen baru
diperluas dengan kecepatan makan yang tinggi. Selama periode pergantian kulit,
larva disebut instar. Instar pertama adalah larva sesudah menetas sampai
pergantian kulit pertama. Dan indikasi instar adalah ukuran larva dan jumlah gigi
pada mulut hitamnya. Sesudah pergantian kulit yang kedua, larva (instar ketiga)
makan hingga siap untuk membentuk pupa. Pada tahap terakhir, larva instar
ketiga merayap ke atas permukaan medium makanan ke tempat yang kering dan
berhenti bergerak. Dan jika dapat diringkas, pada Drosophila, destruksi sel-sel
larva terjadi pada prose pergantian kulit (molting) yang berlangsung empat kali
dengan tiga stadia instar : dari larva instar 1 ke instar II, dari larva instar II ke
instar III, dari instar III ke pupa, dan dari pupa ke imago.
Selama makan, larva membuat saluran-saluran di dalam medium, dan jika
terdapat banyak saluran maka pertumbuhan biakan dapat dikatakan berlangsung
baik. Larva yang dewasa biasanya merayap naik pada dinding botol atau pada
kertas tissue dalam botol. Dan disini larva akan melekatkan diri pada tempat
kering dengan cairan seperti lem yang dihasilkan oleh kelenjar ludah dan
kemudian membentuk pupa.
Saat larva Drosophila membentuk cangkang pupa, tubuhnya memendek,
kutikula menjadi keras dan berpigmen, tanpa kepala dan sayap disebut larva instar
4. Formasi pupa ditandai dengan pembentukan kepala, bantalan sayap, dan kaki.
Puparium (bentuk terluar pupa) menggunakan kutikula pada instar ketiga. Pada
stadium pupa ini, larva dalam keadaan tidak aktif, dan dalam keadaan ini, larva
berganti menjadi lalat dewasa. Struktur dewasa tampak jelas selama periode pupa
pada bagian kecil jaringan dorman yang sama seperti pada tahap embrio.
Pembatasan jaringan preadult (sebelum dewasa) disebut anlagen. Fungsi utama
dari pupa adalah untuk perkembangan luar dari anlagen ke bentuk dewasa (Silvia,
2003).
Dewasa pada Drosophila melanogaster dalam satu siklus hidupnya berusia
sekitar 9 hari. Setelah keluar dari pupa, lalat buah warnanya masih pucat dan
sayapnya belum terbentang. Sementara itu, lalat betina akan kawin setelah
berumur 8 jam dan akan menyimpan sperma dalam jumlah yang sangat banyak
dari lalat buah jantan.
Pada ujung anterior terdapat mikrophyle, tempat spermatozoa masuk ke
dalam telur. Walaupun banyak sperma yang masuk ke dalam mikrophyle tapi
hanya satu yang dapat berfertilisasi dengan pronuleus betina dan yang lainnya
segera berabsorpsi dalam perkembangan jaringan embrio. (Silvia, 2003).

2.1.1.4 Hukum Mendel


Hukum pewarisan Mendel merupakan hukum yan mengatur pewarisan sifat
secara genetik dari suatu individu terhadap keturunannya. Hukum ini diperoleh
dari hasil percobaan Mendel dan hasil kuantitatifnya. Perhitungan kuantiatif pada
persilangan bermanfaat untuk menentukan banyaknya gamet pada individu dan
jumlah genotipe pada hasil peersilangan serta peluang munculnya genotipe dan
memperkirakannya (Cahyono, 2010).
Hukum Mendel I dikenal juga dengan Hukum Segregasi yang menyatakan:
‘pada pembentukan gamet kedua gen yang merupakan pasangan akan dipisahkan
dalam dua sel anak’. Hukum ini berlaku untuk persilangan monohibrid
(persilangan dengan satu sifat beda). Selama proses meiosis berlangsung,
pasangan-pasangan kromosom homolog saling berpisah dan tidak berpasangan
lagi. Setiap set kromosom itu terkandung di dalam satu sel gamet. Proses
pemisahan gen secara bebas itu dikenal sebagai segregasi gen. Dengan demikian
setiap sel gamet hanya mengandung satu gen dari alelnya. Pada waktu fertilisasi,
sperma yang jumlahnya banyak bersatu secara acak dengan ovum untuk
membentuk individu baru. (Syamsuri, 2004).
Mendel juga mengemukakan bahwa pada saat pembentukan gamet (sel
kelamin) terjadi pemisahan bebas dari sifat/gen yang dikandung oleh induknya.
Artinya setiap gamet akan akan mendapatkan gen yang telah memisah secara
acak. Misalnya induk Bb akan menghasilkan gamet B dan b. prinsip tersebut
dikenal sebagai prinsip segregasi bebas. Sedangkan induk BbPp (biji bulat, batang
panjang) akan menghasilkan gamet BP, Bp, bP, bp. Prinsip ini disebut prinsip
kombinasi secara bebas. (Syamsuri, 2004).
Hukum Mendel II : ”Pengelompokan gen secara bebas”. Dalam bahasa
Inggeris : “Independent Assortment of Genes”. Hukum ini berlaku ketika
pembentukan gamet, dimana gen sealel secara bebas pergi ke masing-masing
kutub ketika meiosis. Pembuktian hukum ini dipakai pada Dihibrid atau
Polihibrid, yakni persilangan dari individu yang memiliki 2 atau lebih karakter
berbeda. Disebut juga hukum Asortasi (Yatim Wildan, 2003).

2.1.1.5 Pautan Kelamin


Melalui fenomena pautan kelamin, rasio F2 pada persilangan satu sifat
beda atau lebih tidak akan menunjukkan rasio Mendel yang umum dikarenaka
ketidakhadiran gen tertentu pada salah satu kromosom kelamin salah satu
parentalnya (Klug, dkk,, 2012; Snustad dan Simmons, 2012: Corebima, 2013).
Temuan tentang adanya pautan inipun pada dasarnya mempertegas lagi
konsepsi kita bahwa faktor-faktor (gen) adalah bagian dari kromosom, dan dalam
rumusan lain temuan ini memperkokoh teori pewarisan kromosom. Fenomena
pautan yang disadari oleh kenyataan bahwa faktor (gen) adalah bagian dari
kromosom, akan merupakan perangkat alat evaluasi kita terhadap hukum
pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel yang mula-mula (Corebima,
2003).
Adanya pautan kelamin pertama kali ditemukan oleh T.H Morgan dan C.B
Bridger pada tahun 1910. Temuan ini diperoleh saat mempelajari penyimpangan
dari hasil (keadan) yang diharapkan. T. H Morgan memiliki suatu strain
Drosophila melanogaster yang bermata putih dan ternyata strain tersebut sudah
tergolong galur murni. Namun demikian jika strain bermata putih disilangkan
dengan strain berwarna merah, ternyata turunan yang muncul tidak sesuai dengan
yang seharusnya berdasarkan kebakaan Mendel (Corebima, 2003). Pada penelitian
ini sifat-sifat yang merupakan pautan kelamin adalah warna mata (mata merah
(strain normal) dan mata putih (strain white).
Jika strain bermata merah betina disilangkan dengan strain bermata putih
jantan, maka F1 yang muncul bermata merah seluruhnya sesuai dengan harapan,
jika faktor mata merah dominan terhadap faktor mata putih. Selanjutnya, jika F1
disilangkan satu sama lain, maka ¾ bagian F2 bermata merah, dan ¼ bagiannya
bermata putih; suatu rasio yang sesuai harapan, andaikata faktor mata merah
dominan terhadap faktor mata putih. Namun demikian setelah diperiksa lebih
teliti, ternyata bahwa seluruh F2 betina bermata merah, sedangkan separuh jantan
bermata merah dan separuhnya lagi bermata putih; suatu gambaran yang tidak
sesuai dengan harapan berdasarkan prinsip kebakaan Mendel. Gambaran yang
menyimpang masih dijumpai pada pengkajian lebih lanjut. Seluruh F2 jantan
ternyata sudah merupakan galur murni, baik yang bermata merah maupun yang
bermata puth; disimpulkan F2 jantan bermata merah hanya memiliki faktor mata
merah, sedangkan F2 jantan bermata putih hanya memiliki faktor bermata putih.
F2 betina yang bermata merah itu ternyata terdiri dari dua macam; separuh sudah
merupakan galur murni, sedangkan separuhnya lagi akan menghasilkan turunan
jantan, yang separuhnya bermata merah dan separuh lagi bermata putih
(Corebima, 2013).
Apabila strain bermata putih betina disilangkan dengan strain bermata
merah jantan, maka gambaran hasil yang diperoleh akan berlainan. Dalam hal ini
ternyata bahwa tidak seluruh F1 bermata merah sesuai harapan atas dasar prinsip
Mendel, jika faktor merah dominan terhadap faktor putih; terlihat bahwa separuh
F1 bermata merah, sedangkan separuhnya bermata putih, dan terlihat pula bahwa
seluruh F1 betina berwarna merah, sedangkan seluruh F1 jantan bermata putih.
Andaikata F1 disilangkan sesamanya, maka separuh F2 jantan bermata putih
sedangkan separuh lagi bermata merah; ternyata pula bahwa F2 jantan bermata
merah sama jumlahnya dengan F2 betina bermata merah, dan F2 jantan bermata
putih sama jumlahnya dengan F2 betina bermata putih (Corebima, 2013).

2.2 Kerangka Konseptual

Pautan kelamin Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂w diperoleh F1


mata merah 100% dan strain ♀w >< ♂N (resiproknya)

Salah satu faktor dominan terhadap faktor


lain

Pewarisan kromosom X dapat dihubungkan dengan pewarisan sifat pada


pautan kelamn

Kromosom X mengalami pewarisan


menyilang

- Persilangan F1 - Persilangan F1
- Rasio F2 - Rasio F2
- Persilangan F2 - Persilangan F2
- Rasio F2 - Rasio F2

2.3 Hipotesis Penelitian


1. Ho: Fenotip F1 pada persilangan ♀N >< ♂w menghasilkan anakan
100% normal. Pada Fenotip F2 pada persilangan ♀N >< ♂w
menghasilkan anakan 75% normal dan 25% white, sedangkan pada
resiproknya (♀w >< ♂N) F1 dan F2 menghasilkan anakan 50% normal
dan 50% white.
2. Ho: rasio F1 pada persilangan ♀N >< ♂w adalah 1 : 0 dengan N : w,
sedangkan F2 adalah 3 : 1. Resiproknya (♀w >< ♂N) F1 dan F2 adalah
1 : 1 dengan w : N.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan dan Jenis Penelitian


Rancangan penelitiannya dengan melakukan pengamatan hasil fenotip dan
rasio F1 dan F2 pada persilangan Drosophila melanogaster strain w♂ >< N♀
beserta resiproknya. Setiap persilangan dilakukan 16 kali ulangan. Pengambilan
data penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati jumlah, fenotip yang muncul
dan jenis kelaminnya.
Jenis penelitian berdasarkan metodenya yaitu deskriptif yang nantinya akan
dilakukan teknik analisis dengan perhitungan statistika uji Chi-Square dengan
taraf signifikansi 5% untuk menentukan hasil perbandingan jumlah anakan yang
dihasilkan dari masing-masing persilangan dan dapat digunakan untuk
menentukan rasio.

3.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Waktu penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari sampai bulan April
2019. Tempat pelaksanaan penelitian ini di Laboratorium Genetika, Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.

3.3 Populasi dan Sampel


Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Drosophilla melanogaster
strain N (Normal) dan w (white). Populasi dalam penelitian ini adalah Drosophila
melanogaster yang diperoleh dari stok yang dibiakkan di Ruang 301
Laboratorium Genetika, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.

3.4 Variabel Penelitian


1. Variabel bebas: perlakuan persilangan Drosophilla melanogaster strain
w♂ >< N♀ beserta resiproknya.
2. Variabel kontrol: medium
3. Variabel terikat: rasio
3.5 Instrumen Penelitian
3.5.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini anatara lain:
- Mikroskop stereo, untuk mengamati lalat untuk agar bisa diidentifikasi
- Botol selai, sebagai wadah lalat dan medium
- Pengaduk, untuk mengaduk medium ketika proses pembuatannya
- Kuas, untuk mengambil pupa lalt untuk diampul
- Kompor gas, sebagai sumber api
- Selang bening, untuk wadah ampulan lalat dan menyedot lalat
- Kertas pupasi, untuk tempat tinggal lalat buah (sarang)
- Spons, untuk menutp botol selai dan menutup selang ampulan
- Blender, untuk menghaluskan bahan medium, seperti tape singkong
dan pisang rajamala
- Panci, sebagai wadah dalam memasak medium
- Timbangan, untuk mengetahui berat bahan medium
- Plastik, untuk wadah lalat ketika akan dihitung anakannya
- Kertas label, untuk memberi label/tanda pada setiap benda (misalnya di
botol selai, selang ampulan, dll)
- Lap meja (serbet), untuk membersihkan alat-alat yang telah dipakai
- Pisau, untuk memotong pisang dan gula merah (bahan medium)
- Kain kasa, sebagai penutup selang ampulan
- Lemari es, untuk menyimpan sisa medium dan membuat lalat tidak
bergerak untuk sementara agar lebih mudah dihitung anakannya
- Toples, sebagai wadah peyimpan sisa medium
- Gunting, untuk memotongi selang dan kertas label
- Baskom, untuk wadah bahan –bahan ketika ingin dimasak ataupun
sudah matang
- Alat tulis, untuk menulis agenda yang dilakukan di laboratorium dan
untuk menulis data yang telah didapatkan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
- Drosophila melanogaster strain N dan w, untuk disilangkan
- Pisang rajamala, sebagai bahan utama medium
- Tape singkong, sebagai bahan medium
- Gula merah, sebagai bahan medium
- Fermipan, sebagai bahan medium
- Air, untuk mengencerkan medium, mencuci alat dan bahan.
- Alkohol, untuk membunuh mikroorganisme yang ada di botol selai dan
spons agar meminimalisir tumbuhnya jamur

3.5.2. Prosedur Kerja


1. Menyiapkan stok lalat 2 jenis strain dan masing-masing diletakkan pada
botol yang berbeda (botol asoka dan botol bear).
2. Menunggu selama 1 minggu agar lalat berkembang biak.

3.5.2.1. Pengamatan Fenotip


Mengidentifikasi strain lalat buah yang telah didapatkan (N dan w) diamati
di bawah mikroskop. Pengamatan yang dilakukan meliputi bentuk mata, warna
mata, warna tubuh, dan keadaan sayap.

3.5.2.2. Pembuatan Medium


1. Menyiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat
medium yaitu meliputi pisang rajamala, tape singkong dan gula merah.
2. Menimbang bahan dalam satu resep digunakan perbandingan 7:2:1 (700
gram pisang rajamala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram gula
merah).
3. Memotong pisang rajamala hingga kecil-kecil dan membersihkan tape
singkong kemudian diblender dengan ditambah air secukupnya hingga
halus.
4. Mencairkan gula merah dalam panci besar dengan diberi sedikit air.
5. Menuangkan bahan-bahan yang telah diblender ke dalam panci
kemudian dipanaskan diatas nyala api kecil sambil diaduk selama 45
menit.
6. Jika sudah 45 menit, memasukkan medium ke dalam botol selai
setinggi kurang lebih 2 cm dan langsung ditutup dengan spons busa
7. Jika medium sudah dingin, memasukkan fermipan 3 butir dan medium
diberi kertas pupasi.

3.5.2.3. Peremajaan
1. Memasukkan atau memindahkan beberapa pasang lalat, minimal 3
pasang strain Drosophila melanogaster strain normal dan white ke
botol baru berisi medium.
2. Memberi label pada botol sesuai asal dan tanggal pengambilannya.

3.5.2.4. Pengampulan
1. Memotong kecil-kecil selang bening dengan panjang ±5 cm.
2. Memotong pisang rajamala ±1 cm kemudian selang bagian ujung
ditekankan ke permukaan pisang hingga seluruh lubang selang tertutup
dengan pisang.
3. Mendorong pisang menggunakan pangkal kuas hingga posisinya berada
di tengah-tengah selang.
4. Mengambil pupa yang sudah berwarna hitam dari dalam botol dengan
kuas yang telah dibasahi dengan air kemudian diletakkan di kedua sisi
selang agar mendapatkan lalat virgin.
5. Menutup ujung selang dengan menggunakan spons yang telah dipotong
kecil-kecil.

3.5.2.5. Persilangan Normal


1. Mengambil 1 pasang lalat Drosophila melanogaster untuk dikawinkan
(♀N >< ♂w), dan diletakkan dalam botol yang berisi medium dan
diberi label A.
2. Melepaskan lalat jantan setelah 2 hari penyilangan.
3. Memindahkan lalat betina (induk) ke botol B setelah larva agak besar,
seterusnya seperti itu sampai ke botol D.
4. Melakukan ulangan sebanyak 16 kali dengan perhitungan sebagai
berikut:
(t-1)(r-1) ≥ 15
(2-1)(r-1) ≥ 15
r-1≥ 15
r ≥ 15
5. Menghitung anakan ( F1) sejak hari pertama menetas sampai 7 hari.
6. Mengampul pupa lalat (F1)
7. Mengambil 1 pasang lalat untuk disilangkan (♀F1 >< ♂F1), dan
diulang sebanyak 16 kali
8. Menghitung anakan (F2) sejak hari pertama menetas sampai 7 hari.

3.5.2.6. Persilangan Resiprok


1. Mengambil 1 pasang lalat Drosophila melanogaster untuk dikawinkan
(♀w >< ♂N), dan diletakkan dalam botol yang berisi medium dan
diberi label A.
2. Melepaskan lalat jantan setelah 2 hari penyilangan.
3. Memindahkan lalat betina (induk) ke botol B setelah larva agak besar,
seterusnya seperti itu sampai ke botol D.
4. Melakukan ulangan sebanyak 16 kali dengan perhitungan sebagai
berikut:
(t-1)(r-1) ≥ 15
(2-1)(r-1) ≥ 15
r-1≥ 15
r ≥ 15
5. Menghitung anakan ( F1) sejak hari pertama menetas sampai 7 hari.
6. Mengampul pupa lalat (F1)
7. Mengambil 1 pasang lalat untuk disilangkan (♀F1 >< ♂F1), dan
diulang sebanyak 16 kali
8. Menghitung anakan (F2) sejak hari pertama menetas sampai 7 hari.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
pengamatan fenotip, jenis kelamin, dan menghitung jumlah anakan yang muncul
dari seluruh hasil persilangan F1 dan F2 persilangan w♂ >< N♀ beserta
resiproknya. Data diambil dari hari ke-1 larva menetas untuk setiap ulangan
sampai hari ke-7.
Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7

A N


B N


C N


D N

Total Jumlah

3.7 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data penelitian ini menggunakan uji Chi-Square pada
masing-masing macam persilangannya.
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA

4.1. Data
4.1.1. Data Hasil Pengamatan Fenotip
Strain Drosophila melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini
adalah strain N dan w dimana dari hasil pengamatan morfologi luar tubuh
menggunakan mikroskop stereo data yang diperoleh adalah sebagai
berikut:
Strain Gambar Ciri-ciri
 Mata merah cerah
 Tubuh kuning
kecoklatan
 Sayap menutupi tubuh
 Abdomen kuning
N
kecoklatan
 Ujung abdomen
berwarna hitam
(betina normal) (jantan)

 Mata putih
 Tubuh putih
kekuningan
 Sayap menutupi tubuh
w  Abdomen putih dengan
ujung berwarna hitam

(jantan white)
4.1.2. Tabel Pengamatan F1
4.1.2.1.Persilangan P1 N♀ >< w♂ (Ulangan 1)
Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
♂ 1 24 8 5 38
A N
♀ 6 38 7 8 59

B N


C N


D N

Total Jumlah 97

4.1.2.2 Persilangan P1 w♂ >< N♀ (Ulangan 2)


Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
♂ - 40 22 5 67
A N
♀ 6 23 17 10 56

B N


C N


D N

Total Jumlah 123
4.1.2.3 Persilangan P1 w♂ >< N♀ (Ulangan 3)
Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
♂ 9 14 6 2 31
A N
♀ 14 18 14 5 51
♂ 6 4 10
B N
♀ 6 4 10

C N


D N

Total Jumlah 102
(Ulangan ke-4 dan ke-5 mati sebelum menghitung anakan)
4.1.2.4 Persilangan P1 w♂ >< N♀ (Ulangan 6)
Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
♂ 12 12
A N
♀ 13 13
♂ 13 4 1 2 6 6 2 34
B N
♀ 15 2 3 6 6 7 2 41

C N


D N

Total Jumlah 100
(Ulangan ke-7 mati sebelum menghitung anakan)
4.1.2.5 Persilangan P1 N♂ >< w♀ (Ulangan 1)
Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
♂ w:19 19
A N&w
♀ N:14 14

B N&w


C N&w


D N&w

Total Jumlah 33

4.1.2.6 Persilangan P1 N♂ >< w♀ (Ulangan 2)


Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
♂ w:23 w:3 w:3 29
A N&w
♀ N:21 N:6 N:2 29
♂ w:3 3
B N&w
♀ N:8 8

C N&w


D N&w

Total Jumlah 69

4.1.2.7 Persilangan P1 N♂ >< w♀ (Ulangan 3)


Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
N:4 N:1 N:5 N:2 N:13
A N&w ♂ N:1
W:6 w:1 w:2 w:2 w:11
♀ N:5 N:7 N:2 N:6 N:7 N:27

B N&w


C N&w


D N&w

Total Jumlah 51
(ulangan ke-4 mati)

4.1.2.8 Persilangan P1 N♂ >< w♀ (Ulangan 5)


Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
N:1 N:6 N:8
♂ W:22 w:2 N:1
w:4 w:5 w:33
A N&w
N:3 N:7 N:39
♀ N:25 N:3 N:1
w:6 w:8 w:14

B N&w


C N&w


D N&w

Total Jumlah 94
(ulangan ke-6 dan ke-7 mati)

4.1.2.9 Persilangan P1 N♂ >< w♀ (Ulangan 8)


Fenotip Hari ke-
Botol Sex Jumlah
F1 1 2 3 4 5 6 7
♂ W:8 w:8
A N&w
♀ N:17 N:17

B N&w


C N&w


D N&w

Total Jumlah 25

4.2. Analisis Data


4.2.1. Rekonstruksi Persilangan w♂ >< N♀
P1 : w♂ >< N♀
𝑤 𝑤+
Genotip : > >< 𝑤+

Gamet : w , w+ , >
𝑤+ 𝑤+
F1 : , (N heterozigot) dengan rasio 100%
> 𝑤

P2 : N♂ >< N♀
𝑤+ 𝑤+
Genotip : ><
> 𝑤

Gamet : w , > ; w+ , w
+

Tabel F2
w+ w

w+ 𝑤+ 𝑤+
(normal) (normal)
𝑤+ 𝑤
𝑤+ 𝑤
> (normal) (white)
> >

Rasio fenotip F2 N : w = 3 : 1

4.2.2. Rekonstruksi Persilangan N♂ >< w♀


P1 : N♂ >< w♀
𝑤+ 𝑤
Genotip : ><
> 𝑤
Gamet : w+ , > , w , w
𝑤+ 𝑤+ 𝑤 𝑤
F1 : , , ,
𝑤 𝑤 > >

P2 : F1♂ >< F1♀


𝑤+ 𝑤
Genotip : ><
𝑤 >

Gamet : w+ , w ; w , >
Tabel F2
w+ w

𝑤+ 𝑤
w (normal) (white)
𝑤 𝑤

𝑤+ 𝑤
> (normal) (white)
> >

Rasio fenotip F2 N : w = 1 : 1
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi-
square, namun karena data yang diperoleh belum lengkap, maka analisis
yang digunakan adalah analisis deskriptif presentase.

4.2.3. Analisis Data F1 Persilangan w♂ >< N♀


Berdasarkan data perhitungan hasil anakan F1 dari persilangan w♂
>< N♀ diperoleh jumlah anakan dari botol A sampai botol B sebanyak
422, dimana setelah diamati fenotipnya memiliki strain N dengan
422
presentase : x 100% = 100%. Dari analisis tersebut diperoleh hasil
422

bahwa anakan F1 dari persilangan w♂ >< N♀ 100% memiliki strain N.

4.2.4. Analisis Data F1 Persilangan N♂ >< w♀


Berdasarkan data perhitungan hasil anakan F1 dari persilangan N♂
>< w♀ diperoleh jumlah anakan dari botol A sampai botol B sebanyak
272, dimana setelah diamati fenotipnya memiliki strain N dengan
117 155
presentase : x 100% = 43% dan strain w dengan presentase : x
272 272

100% = 57%. Dari analisis tersebut diperoleh hasil bahwa anakan F1 dari
persilangan N♂ >< w♀ 43% strain N dan 57% strain w.
BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang diperoleh, seluruh F1 berfenotip normal. Meskipun


peneliti masih belum mendapatkan data tentang F2, dikarenakan pada saat
pengampulan pupa tidak menetas dan ketika sudah disilangkan lalat mudah mati,
namun berdasarkan hasil rekonstruksi yang telah dilakukan peneliti akan
diperoleh hasil berupa anakan bermata normal dan anakan bermata putih dengan
rasio yang hampir mendekati 3 : 1. Suatu hasil yang sesuai dengan bakaan Mendel
seandainya mata normal bersifat lebih dominan terhadap mata putih. Tetapi
setelah diamati lebih lanjut dari keturunan F2 ini seluruh betinanya bermata merah
sedangan setengah jantannya bermata merah dan setengahnya lagi berwarna putih.
Suatu gambaran yang menyimpang dari bakaan Mendel.
Hasil yang berbeda teramati pada persilangan resiproknya. Dari
persilangan resiprok ini diperoleh data bahwa, ketika menyilangkan strain w
betina yang memiliki fenotipe mata putih dengan strain wild-type jantan yang
memiliki fenotipe bermata merah akan muncul F1 yang tidak sesuai dengan
bakaan Mendel. Jika seperti pada kebanyakan kasus dimana wild-type bersifat
lebih dominan terhadap sifat mutan, maka seluruh F1 yang muncul seharusnya
berfenotip wild-type. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa hasil F1 yang
muncul dari persilangan ini adalah betina wild-type dan jantan bermata putih.
Kemudian ketika anakan dari F1 ini disilangkan sesamnya makan F2 yang muncul
adalah betina normal, jantan normal, betina bermata putih, dan jantan bermata
putih dengan rasio yang hampir mendekati 1 : 1 : 1 : 1 secara berurutan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh T.H. Morgan peristiwa
ini dapat dijelaskan jika faktor warna mata terdapat pada kromosom kelamin X
dan kromosom kelamin Y tidak mengandung faktor warna mata (Corebima,2013).
Sebagaimana diketahui bahwa individu betina Drosophila memiliki dua
kromosom kelamin X yang identik sedangkan individu jantannya memiliki satu
kromosom X dan satu kromosom Y. Berkenaan dengan hubungan ini individu
betina Drosophila mewarisi satu kromosom X dari induk betina dan satu
kromosom X lagi dari induk jantannya; sedangkan pada individu jantan mewarisi
satu kromosom X dari iduk betinanya dan satu kromosom Y dari induk jantannya.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa suatu sifat yang dikendalikan oleh faktor
yang terletak di kromosom kelamin X akan mengalami pewarisan menyilang
(crisscross inheritance). Pola pewarisan crisscross inheritance inilah yang
menjadi karakteristik sifat pautan kelamin, artinya induk jantan akan mewariskan
suatu sifat kepada cucu turunan jantan (F2) melalui anak turunan betina (F1)
begitupula dengan sebaliknya.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
6.1.1 Fenotipe yang muncul pada keturunan pertama (F1) ♀N >< ♂w
seluruhnya adalah N. Sedangkan fenotipe yang muncul pada
keturunan pertama (F1) dari persilangan Drosophila melanogaster
strain ♂N >< ♀w adalah ♀N, ♀w, ♂N dan ♂w.
6.1.2 Rasio yang muncul dari F1 pada persilangan ♂w >< ♀N diperoleh
rasio N : w sebesar 1 : 0. Sedangkan pada persilangan ♀w : ♂N
diperoleh F1 dengan rasio 1 : 1.
6.2 Saran
6.2.1 Diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat lebih diperhatikan
tentang kesterilan alat maupun bahan karena dalam penelitian ini
rentan sekali medium berjamur.
6.2.2 Pada penelitian ini diperlukan ketelitian dalam mengamati fenotip
anakan yang muncul sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
menentukan fenotip anakan yang muncul.
6.2.3 Dalam penelitian ini diperlukan ketekunan, ketelatenan, dan
kekompakan dalam kelompok agar dapat memperoleh hasil yang
optimal sesuai dengan harapan.
DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman, Deden.et al. 2008.Biologi Kelompok Pertanian. Grafindo Media


Pratama.Bandung.

Cahyono, Fransisca, 2010, Kombinatorial dalam Hukum Pewarisan Mendel,


Makalah II Probabilitas dan Statistik sem.1 th. 2010/2011.
Cakir, Sukran dan Ali Nihat Bozcuk. 2000. Longetivity in Some Wild Type and
Hybrid Strains of Drosophila melanogaster. Turk. J. Biol.
Campbell, N. A.,J. B. Reece, and L. A. Urry. 2008. BIOLOGI Edisi kedelapan
jilid 3. Erlangga: Jakarta.
Capy P. dan Gibert P, 2004. Drosophila melanogaster, Drosophila simulans: so
Similar yet so Different. Genetica, 120: 5-16.
Corebima, A.D. 2003. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press.
Corebima A.D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press.
Corebima A.D. 2013. Genetika Mutasi dan Rekombinasi. Malang: FMIPA UM
Dubnau, J. 2014. Behavioral Genetics of the Fly (Drosophila melanogaster).
Cambridge: Cambridge University Press.
Hartwell L.H., dkk. 2011. Genetics, Fourth Edition. McGraw Hill.
Karmana, I Wayan. 2010. Pengaruh Macam Strain dan Umur Betina Terhadap
Jumlah Turunan Lalat Buah (Drosophila melanogaster). Genec
Swara. Vol. 4. No. 2.
Klug, W.S., dkk. 2012. Concepts of Genetics, Tenth Edition. San Francisco:
Pearson Education, Inc.
Snustad, D.P., Simmons, M.J. 2012. Principle of Genetics. New York: Chichester-
Brisbane-Toronto-Singapore: John Wiley and Sons Inc. Siburian, Jodion.
2008. Studi Keanekaragaman Drosophila sp. di Kota Jambi. Biospecies.
Vol. 1. No. 2.
Silvia, Triana. 2003. Pengaruh Pemberian Berbagai Konsenterasi Formaldehida
Terhadap Perkembangan Larva Drosophila. Bandung : Jurusan Biologi
Universitas Padjdjaran.
Snustad D.P. dan Simmons, M.J. 2012. Principles of Genetics. Sixth Edition. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Strickberger, M. W. 1985. Genetics. 3rd ed.Macmillan Publishing Company,
New York. P565
Suryo. 2008. Genetika. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Suryo. 2012. Genetika untuk Strata 1. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.
Syamsuri, Istamar, dkk. 2004. Biologi. Erlangga: Jakarta
Wahyuni, Sri. 2013. Pengaruh Maternal Terhadap Viabilitas Lalat Buah
(Drosophila melanogaster Meigen) Strain Vestigial (vg). Skripsi. Jember:
Universitas Jember
Wang, S., Tan, X. L., Michaud, J. P., Zhang, F., & Guo, X. 2013. Light intensity
and wavelength influence development, reproduction and locomotor
activity in the predatory flower bug Orius sauteri (Poppius) (Hemiptera:
Anthocoridae). BioControl.
Yatim, W., 2003. Genetika. Tarsito, Bandung.
Yunus, Rosman.et al. 2006.Teori Darwin dalam Pendangan Sains dan Islam.
Prestasi.Jakarta

You might also like