You are on page 1of 38

Laporan Kasus

GANGGUAN SKIZOFRENIA PARANOID

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa FK Unsyiah/Rumah Sakit Jiwa Aceh
Banda Aceh

Oleh :

Andra Hijratul Syafa Nim : 130611007


Ade Setiwati Nim : 130611044
Eka Sri Wahyuni Nim : 100611007

Pebimbing :

dr. Zulfa Zahra, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RUMAH
SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas presentasi laporan kasus berjudul "Gangguan Skizofrenia
Paranoid" ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepaniteraan
klinik senior pada bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Aceh, Banda
Aceh. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya
kepada dr. Zulfa Zahra, Sp.KJ yang telah meluangkan waktunya untuk memberi
arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, 17 Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3
2.1 Definisi .......................................................................................... 3
2.2 Sejarah ........................................................................................... 3
2.3 Epidemiologi ................................................................................. 5
2.4 Etiologi .......................................................................................... 5
2.5 Manifestasi Klinis ......................................................................... 8
2.6 Patofisiologi ................................................................................... 9
2.7 Kriteria Diagnosis .......................................................................... 14
2.8 Diagnosis Banding ......................................................................... 15
2.9 Penatalaksanaan ............................................................................. 15
2.10 Prognosis ........................................................................................ 20
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................ 22
3.1 Identitas Pasien ............................................................................. 22
3.2 Riwayat Psikiatri .......................................................................... 22
3.3 Anamnesis..................................................................................... 22
3.4 Pemeriksaan fisik .......................................................................... 25
3.5 Status Mental ............................................................................... 26
3.6 Resume.......................................................................................... 29
3.7 Diagnosis Banding ........................................................................ 29
3.8 Diagnosis Kerja............................................................................. 29
3.9 Diagnosis Multiaksial ................................................................... 30
3.10 Tatalaksana ................................................................................... 30
3.11 Prognosis....................................................................................... 30
3.12 Follow Up ..................................................................................... 31
BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................................... 33
BAB 5 KESIMPULAN ..................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 35

i
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai suatu gangguan


psikotik, banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Pada awalnya,
Benedict Morel (1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis,
menggunakan istilah dẻmence prẻcoce untuk pasien dengan penyakit yang
dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan. Kemudian, Emil
Kreaplin (1856-1926) yang menerjemahkan istilah dẻmence prẻcoce
menjadi demensia prekoks yaitu suatu istilah yang menekankan proses
kognitif (demensia) dan awitan dini (prekoks) yang nyata. Istilah skizofrenia
itu sendiri mulai dicetuskan oleh Eugen Bleuler (1857-1939) sebagai
pengganti demensia prekoks. Bleuler mengidentifikasi symptom dasar dari
skizofrenia yang dikenal dengan 4A, antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme
dan Ambivalensi.1,2
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan psikotik yang paling
sering terjadi. Gangguan ini dapat terjadi baik pada wanita (usia awitan 25 -
35 tahun) maupun pria (usia awitan 15 - 25 tahun). Skizofrenia sendiri
adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran dan
persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan
mencakup waham dan halusinasi. Seorang pasien dapat dikatakan pasien
skizofrenia bila manifestasi klinis yang terjadi sudah selama 1 (satu) bulan
(berdasarkan PPDJI-III).
Gejala yang ditimbulkan pada pasien skizofrenia mencangkup
beberapa fungsi, seperti pada gangguan persepsi (halusinasi), keyakinan
yang salah (waham), penurunan dari proses berpikir dan berbicara (alogia),
gangguan aktivitas motorik (katatonik atau hyperactive behavior), gangguan
dari pengungkapan emosi (afek tumpul), tidak mampu merasakan
kesenangan (anhedonia sehingga menyebabkan afek datar). Akan tetapi,

1
kesadaran dan kemampuan intelektual pada pasien masih dapat
dipertahankan, meskipun terjadi defisit kognitif.
Terdapat beberapa klasifikasi atau subtipe skizofrenia yang
diklasifikasikan oleh Emil Kraepelin (1856-1926), salah satunya adalah
skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid merupakan subtipe pada
skizofrenia yang paling umum, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas
terlihat. Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama
untuk menghilangkan gejala. Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama,
sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam
lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri.2

2
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah”
atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya
atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan
suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi,
afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang
buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran
dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan
mencakup waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam
beberapa jenis, menurut gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya
adalah skizofrenia paranoid.9 Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling
umum (sering ditemui) dan paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik
jelas terlihat.1,2,7 Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak
sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala paranoid.6

2.2 SEJARAH
Besarnya masalah klinis skizofrenia, secara terus-menerus telah menarik
perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan
ini. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu:3,4
1. Benedict Morel (1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis,
menggunakan istilah dẻmence prẻcoce untuk pasien dengan penyakit yang
dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan.
2. Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia
3. Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh atau kacau
(bizzzare) pada pasien dengan hebefrenia.
4. Emil Kraepelin (1856-1926)

3
Emil Kraepelin merupakan seorang ahli kedokteran jiwa di kota Munich
(Jerman) dan ia mengumpulkan gejala-gejala serta sindrom, menggolongkannya
ke dalam satu kesatuan dan menerjemahkan istilah dẻmence prẻcoce dari Morel
menjadi demensia prekoks, suatu istilah yang menekankan proses kognitif atau
kemunduran inteligensi (demensia) dan awitan dini atau sebelum waktunya
(prekoks) yang nyata dari gangguan ini.3,4,9 Pasien dengan demesia prekoks
digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dalam jangka waktu
lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan waham. Dimana, demensia
prekoks terkait dengan konsep saat ini tentang skizofrenia.2 Emil Kraepelin
membagi skizofrenia dalam beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah
satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya.9
5. Eugen Bleuler (1857-1939)
Pada tahun 1911, Eugen Bleuler seorang psikiatri dari swiss mengajukan
istilah “skizofrenia” dan istilah tersebut menggantikan “demensia prekoks” di
dalam literatur, karena nama ini dengan tepat sekali menonjolkan gejala utama
penyakit ini, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni
antara proses berpikir, perasaan, dan perbuatan (schizos = pecah belah atau
bercabang, phren = jiwa).9
Bleuler menggambarkan gejala fundamental (atau primer) spesifik untuk
skizofrenia, termasuk suatu gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi.
Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi.
Jadi terdapat empat A dari Bleuler yang terdiri dari asosiasi, afek, autisme dan
ambivalensi. Bleuler juga menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang
termasuk halusinasi dan waham, gejala yang telah menjadi bagian penting dari
pengertian Kraepelin tentang gangguan.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka
insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Menurut DSM-

4
IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000
dengan beberapa variasi geografik.3 Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1
persen populasi, biasanya bermula di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur
hidup, dan mengenai orang dari semua kelas sosial.3,7
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko
morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir
masa remaja atau awal dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau
di atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia yang
lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai
25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya adalah 25 sampai 35 tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung mengalami
hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita lebih cenderung
memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan
penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin skizofrenia wanita lebih baik
dibandingkan hasil akhir pasien skizofrenia pria.3

2.4 ETIOLOGI
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7
Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan
gabungan antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai
dari faktor neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor Neurobiologis
a. Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), skizofrenia
adalah gangguan bersifat keluarga.7 Penelitian tentang adanya pengaruh
genetika atau keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia
bila terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia, terutama
bila hubungan keluarga tersebut dekat (semakin dekat hubungan
kekerabatan, semakin tinggi risikonya).7

5
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi perkembangan
otak memperbesar kerentanan menderita skizofrenia.2 Pada penelitian anak
kembar, terjadi peningkatan resiko seseorang menderita skizofrenia akan
lebih tinggi pada kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6
kali lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen resesif.9 Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau
tidak. Angka presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat dari tabel
dibawah ini.

Table 2.1 Risiko presentasi terjadinya skizofrenia


Hubungan Presentasi Terjadinya Skizofrenia
Populasi umum 1%
Kembar monozigotik 40 - 50 %
Kembar dizigotik 10 - 15 %
Saudara kandung skizofrenia 10 %
Orang tua 5%
Anak dari salah satu orang tua 10 - 15 %
skizofrenia
Anak dari kedua orang tua 30 - 40 %
skizofrenia
Sumber : 2At A Glance Psikiatri. Edisi 4. Gangguan Jiwa : Skizofrenia. Hal 19.7. Buku
Ajar Psikiatri FK Universitas Indonesia. Edisi 2. Skizofrenia. Hal 180.

b. Faktor Neuroanatomi Struktural


Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis merupakan tiga
daerah yang saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah
mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya.4 Gangguan pada
sistem limbik akan mengakibatkan gangguan pengendalian emosi.
Gangguan pada ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau

6
keanehan pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan, ekspresi
wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat ditemukan gangguan
organik berupa pelebaran ventrikel tiga dan lateral, atrofi bilateral lobus
temporomedial dan girus parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.1,7
c. Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter juga
diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia. Hipotesis yang
paling banyak yaitu gejala psikotik pada pasien skizofrenia timbul
diperkirakan karena adanya gangguan neurotransmitter sentral, yaitu
terjadinya peningkatan aktivitas dopaminergik atau dopamin sentral
(hipotesis dopamin).1,4 Peningkatan ini merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, atau
hipersensitivitas reseptor dopamin.
2. Faktor Psikososial
a. Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam
menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi.7 Pasien
skizofrenia sering tidak “dibebaskan” oleh keluarganya. Beberapa peneliti
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh pada
keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak
jelas dan sedikit tak logis.7 Penderita skizofrenia pada keluarga dengan
ekspresi emosi tinggi (expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar
kasar dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang lebih besar
untuk kambuh.2,7
b. Faktor Stressor
Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-ekonomi dan
kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu sebelum onset gejala
akut.2

2.5 MANIFESTASI KLINIS

7
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa tipe
paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau
halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain yang
mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.4 Skizofrenia paranoid
secara klasik ditandai oleh adanya waham persekutorik (waham kejar) atau
waham kebesaran.

Pada pasien skizofrenia tipe paranoid, menunjukkan regresi kemampuan


mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien
skizofrenia tipe lain.(4) Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi sosial.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan
tetap intak.4
Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid (F20.0)
didominasi oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:6
a. Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain
bersekutu melawan dia
b. Waham rujukan (reference), seperti bahwa orang asing atau televisi,
radio atau koran terutama mengarah kepada pasien; bila tidak mencapai
intensitas waham, isi pikiran tersebut dikenal sebagai ideas of reference
c. Waham merasa dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau mempunyai
misi khusus; misalnya, keyakinan bahwa dirinya dilahirkan sebagai
Mesias
d. Waham perubahan tubuh
e. Waham cemburu
f. Suara-suara halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan
pasien
g. Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan
bergumam
h. Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan, pengecapan, penglihatan,
sensasi somatik seksual atau sensasi somatik lainnya

8
2.6 PATOFISIOLOGI

Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi


sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada
dopamin yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi juga
penurunan pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid
(GABA) yang pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik.
Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin pada otak dapat menjelaskan gejala-
gejala skizofrenia.

Gambar 1. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak.12

Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s


Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 26.

Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu:12


a. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke
batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini memiliki
fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek viseral automatis,

9
dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur mesolimbik akan
menyebabkan gangguan berupa gejala positif seperti waham dan halusinasi;

Gambar 2. Jalur mesolimbik dopamin pada otak yang menyebabkan


gejala positif.12

Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers :


Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 27.

b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke korteks


prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial, menahan diri,
dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal akan menyebabkan
gangguan berupa gejala negatif dan kognitif pada skizofrenia. Jalur
mesokortikal terdiri dari mediasi gejala kognitif (dorsolateral prefrontal
cortex / DLPFC ) dan gejala afektif (ventromedial prefrontal cortex /
VMPFC) skizofrenia.12

10
10
Gambar 3. Jalur mesokortical dopamin pada otak 12

Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers :


Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 29.
c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari
dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal ganglia atau
striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi sistem
motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur nigrostriatal berhubungan
dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal / EPS) yang disebabkan oleh obat-
obatan antipsikotik tipikal / APG-I (Dopamin D2 antagonis).

Gambar 4. Jalur nigrostriatal dopamin pada otak.12

11
11
Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers :
Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 32.

d. Jalur Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan


memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin disini
mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus,
fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan
ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada
fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin.

Gambar 5. Jalur tuberoinfundibular dopamin pada otak.12

12
12
Sumber : 12 Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahl’s
Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 32.

e. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk


periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus, nukleus
parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun, fungsinya masih
belum diketahui.12

Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari


skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.
Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat antipsikotik yang
digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana berhubungan dengan
kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor.

2.7 KRITERIA DIAGNOSIS

13
13
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria
DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien skizofrenia,
yaitu:7
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan
mood mayor, autisme, atau gangguan organik.

Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari


subtipe yang telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas
manifestasi perilaku yang paling menonjol.7 Berdasarkan PPDGJI-III, maka
pedoman diagnostik skizofrenia paranoid (F20.0), yaitu :5
1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
2. Sebagai tambahan :
a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas
b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

14
14
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah gangguan
psikotik lain, dapat berupa gangguan skizofreniform dan gangguan skizoafektif.
Pada gangguan skizofreniform, gejalanya sama dengan skizofrenia, namun
berlangsung sekurang-kurangnya 1 bulan, tetapi kurang dari 6 bulan.3 Pada pasien
dengan skizofreniform, akan kembali ke fungsi normal ketika gangguan hilang.
Bila suatu sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama
skizofrenia, maka hal itu adalah gangguan skizoafektif, yang mempunyai
gambaran baik skizofrenia maupun gangguan afektif (gangguan mood).3

2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,
sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran
mental).2,9 Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan
pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah.9
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia paranoid dapat
berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis.
1. NON-FARMAKOLOGIS
a. Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus
dirawat di rumah sakit.6 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress
pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka.
Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit
pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.4 Rawat inap
diindikasikan terutama untuk : 1,3
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan

15
15
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhan, maupun mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya,
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga
maupun lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa

Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan


sistem pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat
inap.3 Rawat inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga
bertujuan untuk memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya
dengan melatih keterampilan hidup sehari-hari), karena pada
pasien dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan kognitif)
mungkin tidak dapat hidup mandiri.2 Setelah keluar dari rumah
sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli
psikiatri.6

b. Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial


(Sosioterapi)
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah
psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan
yang praktis dengan maksud mengembalikan penderita ke
masyarakat.9 Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural
therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam membantu pasien
mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya
adalah untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan
tidak secara langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga
dapat membantu mereka megurangi ekspresi emosi yang
berlebihan dan terbukti efektif mencegah kekambuhan.2

16
16
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita
bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan
dokter.9 Hal ini dimaksudkan agar pasien tidak mengasingkan
diri dan terapi ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan diri
dan kualitas hidupnya.2 Penting sekali untuk menjaga
komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga.1

2. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS
a. Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia
(sindrom psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan yang
utama. Pengobatan anti-psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-
an.3 Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala
psikosis yang dominan (fase akut atau kronis) dan efek samping
obat.8,9 Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang
baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun
bersifat pengobatan simtomatik.13 Obat anti-psikosis efektif
mengobati “gejala positif” pada episode akut (misalnya
halusinasi, waham, fenomena passivity) dan mencegah
kekambuhan.2,9 Obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan
dan tidak menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan dapat
diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot
jangka panjang.2
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode
skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu
memberikan efek samping, karena pengalaman yang buruk
dengan pengobatan akan mengurangi ketaatanberobatan
(compliance) atau kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan
untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal,
tetapi dengan dosis yang rendah.9

17
17
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan
aktivitas neurotransmitter dopamine yang meningkat
(Hiperaktivitas sistem dopaminergik sentral).8 Pada umumnya,
pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun, setelah semua gejala psikosis mereda sama
sekali. Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama,
sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai
efek klinis.8 Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:3,4,7

1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis


generasi I (APG-I)
Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional
atau tipikal. Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal
mempunyai afinitas tinggi dalam mem-blokade atau
menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pasca-
sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan
sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist),
hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang kuat.13 Oleh karena kinerja obat APG-I,
maka obat ini lebih efektif untuk gejala positif, contohnya
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan
untuk terapi gejala negatif.1,8,10 Obat antipsikosis tipikal
(APG-I) memiliki dua kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen)
yang cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek
merugikan yang mengganggu dan serius. Efek

18
18
menganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala
mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat
diberikan dalam satu dosis oral harian ketika orang tersebut
berada dalam kondisi yang stabil dan telah menyesuaikan
dengan efek samping apa pun.10 Prototip kelompok obat
APG-I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat
ini sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai
antipsikosis, karena ketersediannya dan harganya murah.13

Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine


yang mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan
gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS).13 Semua
obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS
(ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom
Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas).8 EFek samping ini
dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada hari-
hari atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat,
sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah
berbulan-bulan atau bertahun-tahun menggunakan obat.7
Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka harus
disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu
sebagai obat antidotum.
2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis
generasi II (APG-II)
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal
sebagai generasi pertama antipsikotik golongan atipikal.
Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal
symptom).13 Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru
atau atipikal. Standar emas terbaru untuk pemberian obat

19
19
anti-psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat
APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit
dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamin dan efektif
terhadap kisaran gejala psikotik yang lebih luas.10
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah
berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors” (sama seperti
APG-I) dan juga berafinitas terhadap “Serotonin 5 HT2
Receptors” (Serotonin-dopamine antagonist), sehingga
efektif terhadap gejala positif (waham, halusinasi,
inkoherensi) maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir
lambat, apatis, menarik diri).1,8
Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul,
penarikan diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif
(waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis
atipikal perlu dipertimbangkan.8

2.10 PROGNOSIS
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa
sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa
kepribadiannya selalu akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi mental).9
Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita itu datang berobat
dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari
mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang
lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit
yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social
recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat
dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun,
dan 10% meninggal karena bunuh diri.2 Kira-kira 50 persen dari semua pasien
dengan skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan

20
20
10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama
periode follow-up 20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama
mungkin untuk melakukan bunuh diri.
Tabel 2. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.
Prognosis Baik Prognosis Buruk

Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus

Onset akut Onset tidak jelas

Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan
pramorbid yang baik pramorbid yang buruk

Gejala gangguan mood (terutama gangguan Perilaku menarik diri, autistik


depresif)
Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda

Riwayat keluarga gangguan mood (tidak Riwayat keluarga skizofrenia


ada keluarga yang menderita skizofrenia)
Sistem pendukung yang baik (terutama dari Sistem pendukung yang buruk untuk
keluarga) untuk kesembuhan pasien kesembuhan pasien

Gejala positif Gejala negative

Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis

Riwayat trauma perinatal

Tidak ada remisi dalam tiga tahun

Sering timbul relaps

Riwayat penyerangan

Sumber : 3Skizofrenia. Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Hal 156.

21
21
BAB III LAPORAN
KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. Armia
Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 1 juli 1975
Umur : 37 Tahun
Alamat : Mutiara Timur, Pidie
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 27/2/2019
Tanggal Pemeriksaan : 8/4/2019

3.2 RIWAYAT PSIKIATRI


Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 18-12-01615
2. Autoanamnesis : Pasien
3. Alloanamnesis : Ibu kandung pasien

3.3 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien dibawa karena mengamuk

22
22
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Alloanamnesis:

Pasien mengaku dirinya dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya karena

mengamuk. Pasien mengamuk dengan menghancurkan barang-barang di rumah,

bicara sendiri, sulit tidur dimalam hari dan keluyuran. Pasien mengaku sering

mendengar bisikan-bisikan. Riwayat trauma(-), penggunaan napza(-), merokok

(+), pasien sudah putus obat selama satu minggu terakhir.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


Pasien pernah dirawat di rumah sakit jiwa Aceh

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat gangguan jiwa pada adik Ibu pasien (Tante)

E. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mengkonsumsi obat-obatan

23
23
F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pria dewasa, belum pernah menikah. Pasien
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dan saat ini tinggal berdua dengan
ibunya di rumah. Ayah dan Ibu pasien sudah bercerai + 4 tahun yang lalu, dan
Ayah pasien sudah menikah lagi 2 tahun kemudian. Pekerjaan pasien saat ini
sebagai mahasiswa non aktif di STAIN takengon dengan jurusan Perbankan
Syariah.

G. Riwayat Pendidikan
Pasien mengaku pendidikan terakhir semester 2 di STAIN Takengon
dengan jurusan Perbankan Syariah

H. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat perinatal : Normal
2. Riwayat masa bayi : Normal
3. Riwayat masa anak : Normal
4. Riwayat masa remaja : Kecelakaan bermotor pada usia +15 tahun
(SMP kelas 1), orang tua bercerai usia + 17
tahun (SMP kelas 3)
5. Riwayat masa dewasa : Mahasiswa STAIN semester 2, sempat
menjalani pesantren di Riau untuk
dirukiyah + 29 hari pada tahun 2018

3.4 PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tekanan Darah : 120/70 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 89 x/ menit
4. Frekuensi Napas : 20 x/ menit
5. Temperatur : Afebris

24
24
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+) jaringan parut di kepala bagian
kanan samar-samar (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-),
jaringan parut di leher bagian kiri, + 10 cm
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICSV Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa

C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
3. Peningatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan

3.5 STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Kurang rapi, sesuai usia
2. Kebersihan : Pasien kurang bersih
3. Kesadaran : Compos mentis

25
25
4. Perilaku & Psikomotor : Normoaktif
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif
B. Mood dan Afek
1. Mood : Hipertimik
2. Afek : Terbatas
3. Keserasian Afek : Serasi

C. Pembicaraan
Spontan
D. Pikiran
1. Arus pikir
 Koheren : (+)
 Inkoheren : (-)
 Neologisme : (-)
 Sirkumstansial : (-)
 Tangensial : (-)
 Asosiasi longgar : (-)
 Clang association : (-)
 Flight of idea : (-)
 Blocking : (-)

2. Isi pikir
 Banyak Ide
 Waham
1. Waham Bizzare : (-)
2. Waham Somatik : (-)
3. Waham Erotomania : (-)
4. Waham Paranoid
 Waham Persekutor : (+)
 Waham Kebesaran : (+)

26
26
 Waham Referensi : (-)
 Waham Dikendalikan : (-)
 Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
E. Persepsi
1. Halusinasi
 Auditorik : (+)
 Visual : (-)
 Olfaktorius : (-)
 Taktil : (-)
2. Ilusi : (+)

F. Intelektual
1. Intelektual : Baik
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
 Diri : Baik
 Tempat : Baik
 Waktu : Baik
4 Daya ingat
 Seketika : Baik
 Jangka Pendek : Baik
 Jangka Panjang : Baik
5 Pikiran Abstrak : Baik

H. Daya nilai
 Normo sosial : Baik

27
27
 Uji Daya Nilai : Baik

I. Pengendalian Impuls: Baik


J. Tilikan : T1
K. Taraf Kepercayaan : Kurang Dapat dipercaya

3.6 RESUME
Pasien merupakan seorang pria berusia 21 tahun yang belum menikah.
Pasien merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara dan saat ini tinggal berdua
dengan ibunya. Ayah pasien sudah bercerai 4 tahun yang lalu, dan menikah lagi 2
tahun setelahnya. Pasien adalah mahasiswa non aktif di STAIN Takengon dengan
jurusan Perbankan Syariah. Pasien sering marah-marah kepada Ibu sejak 6 bulan
terakhir dan mengamuk dalam 1 bulan terakhir.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan
darah 120/70 mmHg, frekuensi nadi 89 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit,
temperatur afebris. Hasil pemeriksaan umum didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, tampak seorang pria, berpenampilan
kurang rapi, sesuai usia, aktivitas psikomotor: normoaktif, sikap terhadap
pemeriksa: kooperatif, mood: hipertimik, afek: terbatas, keserasian afek: serasi,
pembicaraan: spontan, arus pikir: koheren, isi pikir: banyak ide, waham
persekutor (+), waham kebesaran (+). Pasien mengalami tilikan T1 dengan taraf
kepercayaan tidak dapat dipercaya.

3.7 DIAGNOSIS BANDING


1. F25.0 Gangguan Skizoafektif tipe manik + tinea kruris
2. F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik + tinea kruris

3.8 DIAGNOSIS KERJA


F20.0 Skizofrenia Paranoid + tinea kruris

28
28
3.9 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Axis I : Skizofrenia Paranoid
Axis II : Disangkal
Axis III : Tinea kruris
Axis IV : Masalah keluarga
Axis V : GAF 70-61

3.10 TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Inj. Zyprexa 1 vial/hari/IM
Serequel XR 400 mg 1 x 1
Trihexyphenidil 2 mg 1x1 (k/p)
Ketokonazole 200 mg 1x1
Gentamicin zalf

B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan
menjelaskan mengenai penggunaan obat yang tidak boleh putus.
2. Meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, dan komunikasi interpersonal.
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi
dukungan kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.

3.11 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

30
30
3.12 FOLLOW UP
Tanggal Evaluasi Terapi
13 Desember S/ Mengamuk, marah-marah, Inj. Zyprexa 1 vial/hari/IM
2018 (IGD) mendengar bisikan Trihexyphenidil 2 mg 2x1
O/Penampilan: Pria, sesuai usia, Gentamicin zalf
tidak rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kurang kooperatif
Psikomotor : Normoaktif
Mood : Hipertimik
Afek: Terbatas
Pembicaraan : spontan
Isi pikir : waham persekutorik,
waham kebesaran
Persepsi :Halusinasi auditorik (+)
Halusinasi visual (-), Ilusi (+)
Tilikan : T1
A/ Skizofrenia paranoid + tinea kruris
14 Desember S/ pasien tenang, kooperatif, bicara
2018 jelas, sering bicara sendiri, teman Inj. Zyprexa 1 vial/hari/IM
(Seurune/ pasien anak presiden, paman pasien
Serequel XR 400 mg 1 x 1
Balee Melati) gubernur, tidur +
O/Penampilan: Pria, sesuai usia, Trihexyphenidil 2 mg 1x1 (k/p)
tidak rapi
Ketokonazole 200 mg 1x1
Kesadaran : compos mentis
Sikap :kooperatif Gentamicin zalf
Psikomotor :Normoakitf
Mood : hipertimik
Afek: Terbatas
Keserasian: Serasi
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : koheren
Isi pikir : Banyak Ide
Persepsi :Halusinasi auditorik (+),
Halusinasi visual (-), Ilusi (-)
Tilikan : T1
A/ Skizofrenia paranoid + tinea kruris

31
32
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan autoanamnesis dan alloanamnesis pasien didapatkan keluhan


mengamuk. Keluarga pasien juga mengatakan pasien mudah marah-marah sejak 6
bulan yang lalu dan sering mengamuk dalam 1 bulan belakang ini. Pasien juga
dikeluhkan sering keluyuran dan tidak tidur. Pasien juga dikeluhkan sering
berbicara sendiri dan berbincang-bincang dengan orang di televisi. Riwayat
kecelakaan dialami pasien saat kelas 1 SMP, kecelakaan menyebabkan pasien
koma 1 bulan akibat cidera kepala yang diderita dan saat kelas 3 SMP pasien
harus menghadapi keadaan orang tua bercerai.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan mood
hipertimik, perilaku normoaktif, pembicaraan spontan, arus pikiran koheren,
banyak ide, waham persekutor (+), waham kebesaran (+). Daya intelektual dan
konsentrasi tidak terganggu. Oleh karena itu pasien ini didiagnosis skizofrenia
paranoid karena memenuhi kriteria diagnostik berdasarkan PPDGJ III.
Pasien mendapatkan terapi Injeksi zyprexa 1 vial/hari/IM, Serequel XR
400 mg 1 x 1, Trihexyphenidyl 2 mg 1x1 (k/p), Ketokonazole 200 mg 1x1,
Gentamicin zalf. Zyprexa dan serequel merupakan anti psikotik, sedangkan
ketokonazol dan gentamicin salep digunakan untuk mengobati penyakit kulit
pasien.

33
33
BAB V

KESIMPULAN

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah”


atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya
atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan
suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi,
afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang
buruk.
Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala
utam yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid.
Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan
paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien
skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul
gejala-gejala paranoid.
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia paranoid harus dilakukan
sesegera mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang
panjang antara onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak
lebih buruk (kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh
sempurna, tetapi dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat
ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar
rumah. Terapi yang diberikan dapat dengan non-formakologi (rawat inap dan
terapi psikososial) melalui keluarga dan lingkungannya dan farmakologi dengan
pemberian obat anti-psikosis tipikal (APG-I) atau anti-psikosis atipikal (APG-II)
berdasarkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat).

34
34
DAFTAR PUSTAKA

1. Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. 2014. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. 910-3.
2. Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius Katona, Claudia Cooper,
dan Mary Robertson. 2012. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena,
Etiologi, Penangan dan Prognosis. Edisi 4. Jakarta : Erlangga. 18-21.
3. Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. 2014. Skizofrenia. Kaplan &
Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
147-68.
4. Made Wiguna S. 2010. Skizofrenia. Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri - Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa Aksara
Publisher. 699-744.
5. Rusdi Maslim. 2013. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan
Waham : Skizofrenia (F20). Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya. 46-8.
6. Husny Muttaqin dan Frans Dany. 2013. Skizofrenia dan Gangguan Waham
(Paranoid). Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
147-50.
7. Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. 2013. Skizofrenia. Buku Ajar
Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 173-98.
8. Rusdi Maslim. 2007. Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
FK-Unika Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 14-22.
9. Willy F. 2009. Skizofrenia. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 259-81.
10. Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. 2014. Terapi Biologis - Antagonis
Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal. Kaplan & Sadock - Buku Ajar
Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 498-502.

35
35
11. Antipsychotic Agents. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4th Edition.
Diunduh dari : http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
12. Stahl, Stephen M. 2008. Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and
Mood Stabilizers : Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition.
England : Cambridge University Press. 26-34.
13. Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk. 2007. Psikotropik .
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 161-9.

36
36

You might also like