You are on page 1of 17

REFERAT

MOLA HIDATIDOSA

DISUSUN OLEH :
Ika Amalia
17360324

PEMBIMBING :
dr. Morel, Sp.OG

KEPANITERAAN ILMU KEBIDANAN


RS TK II MOH RIDWAN MEURAKSA JAKARTA
PERIODE 03 AGUSTUS – 10 OKTOBER 2015

1
Lembar
Pengesahan………………………………………………………………….......2
Kata Pengantar………………………………..………………………………..3
Daftar Isi………………………………………………………….....................4
BAB 1
I. Pendahuluan…………………………………………………….…………..…5
1.1.Latar belakang.............................................................................................5
BAB II
II. Tinjauan Pustaka…………………...............................................................7
Definisi........................................………………………………………...........7
Etiologi..............................................……………………………………......…8
Faktor resiko.................................................…………….……….....................8
Epidemiologi......................................................................................................9
Klasifikasi..........................................................................................................10
Patogenesis...................................................................................... ..................11
Gejala Klinis......................................................................................................12
Diagnosis............................................................................................................13
Komplikasi...........................................................................................................15
Tatalaksana ..........................................................................................................15
BAB III
III.Kesimpulan......................................................................................................18
Daftar Pustaka……………………………………………………..………...…...19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Pada umumnya kehamilan normal berakhir dengan lahirnya bayi yang
cukup bulan dan sempurna secara fisik. Tetapi kenyataannya tidak selalu
demikian, sebagian kehamilan mengalami kegagalan, tergantung pada tahap dan
jenis gangguan yang terjadi. Kehamilan tersebut dapat berakhir dengan abortus,
kehamilan ektopik, prematuritas, kematian janin dalam rahim atau bayi lahir
dengan cacat bawaan. Salah satu bentuk kegagalan kehamilan yang berkembang
tidak normal yaitu mola hidatidosa, kehamilan ini tidak disertai janin namun
hanya berupa gelembung-gelembung seperti buah anggur berasal dari vili korialis
dengan sel-sel trofoblasnya.1,2
Lima belas sampai dua puluh persen penderita mola hidatidosa dapat
berubah menjadi ganas dan dikenal dengan tumor trofoblas gestasional. Jadi yang
dimaksud dengan penyakit trofoblas gestasional adalah mola hidatidosa yang
jinak dan tumor trofoblas gestasional yang ganas. Penyakit trofoblas adalah suatu
istilah umum yang digunakan bagi sekumpulan penyakit yang ditandai dengan
dengan adanya proliferasi berlebihan dari sel-sel trofoblas. Penyakit ini dibagi
menjadi 2 kelompok berdasarkan asalnya, yaitu :1,2,4
1. Penyakit trofoblas gestasional yang berasal dari jaringan trofoblas
kehamilan
2. Penyakit trofoblas non gestasional yang berasal dari jaringan
embrional
Penyakit trofoblas gestasional adalah sekumpulan penyakit yang berkaitan
dengan vili korialis, terutama sel trofoblasnya dan berasal dari suatu kehamilan,
terdiri dari mola hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial yang bersifat
jinak dan mola invasif, koriokarsinoma, placental site trophoblastic tumor yang
bersifat ganas.1,2
Hingga saat ini penyakit trofoblas gestasional masih merupakan masalah
obstetri yang cukup serius, karena menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang

3
cukup tinggi. Morbiditas yang dapat timbul dari penyakit ini umumnya karena
penyulit yang menyertainya, seperti perdarahan, preeklamsi berat dan
tiroktosikosis dan bila terlambat ditangani dapat menyebabkan kematian. Selain
itu bila koriokarsinoma atau mola invasif terjadi pada pasien usia muda yang
masih memerlukan fungsi reproduksi, upaya pengobatannya dapat menyebabkan
pasien tersebut kehilangan fungsi reproduksinya karena tindakan histerektomi.
Hal ini berarti penyakit trofoblas gestasional merupakan masalah karena
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi angka mortalitas dan morbiditas
ibu, serta menjadi masalah bagi kesehatan reproduksi. Dengan demikian
diperlukan upaya yang menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan untuk
menurunkan insidensi penyakit ini, mulai dari upaya prefensi, deteksi dini dan
pengobatan yang rasional, termasuk registrasi dan pemantauan kasus yang
cermat.2,3
Frekuensi Mola banyak ditemukan di negara–negara asia, Afrika dan
Amerika latin dari pada di negara–negara barat. Mola hidatidosa merupakan
penyakit wanita dalam masa reproduksi antara umur 15 tahun sampai 45 tahun.
Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120
kehamilan) daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di
Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting dengan
insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1 per 40 persalinan),4 faktor risiko
banyak, penyebaran merata serta sebagian besar data masih berupa hospital
based.1,2,3

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal yang sebagian atau seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang menyerupai
anggur. Mola hidatidosa merupakan istilah umum untuk dua bentuk yang berbeda
yaitu mola hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial. 1,4

Gambar 2.1 Gelembung Mola Hidatidosa

Gambar 2.2 Mola Hidatidosa setelah histerektomi

5
2.2. Etiologi
Walaupun mola hidatidosa sudah dikenal sejak abad keenam, sampai
sekarang masih belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya, oleh karena itu
pengetahuan tentang faktor resiko menjadi penting agar dapat menghindarkan
terjadinya mola hidatidosa, seperti tidak hamil pada usia yang ekstrim dan
memperbaiki gizi.1,4

2.3. Faktor resiko


Mola hidatidosa dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi,
pasien termuda yang pernah dilaporkan berusia 12 tahun dan tertua 57 tahun.2,3
Di samping umur, faktor gizi juga dianggap berpengaruh terhadap kejadian
mola hidatidosa, Acosta Sison, menganggap bahwa mola hidatidosa adalah suatu
kehamilan patologis, sedangkan faktor yang menyebabkan ovum patologis ini
adalah defisiensi protein kualitas tinggi (highclass protein). Acosta Sison
mengaitkan dengan kenyataan bahwa di Asia banyak sekali ditemukan mola
hidatidosa, yang penduduknya sebagian termasuk golongan sosioekonomi rendah
yang kurang mengkonsumsi protein.5,6,7
Reynold mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara hari ke-13
dan ke-21, mengalami asam folat dan histidine akan mengalami gangguan
pembentukan thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA. Akibat
kekurangan gizi ini akan menyebabkan kematian embrio dan gangguan
angiogenesis, yang pada gilirannya akan mengalami perubahan hidrofobik.5,6,7
WHO Scientific Group, 1983 berkesimpulan bahwa selain usia dan gizi,
riwayat obstetri juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian mola hidatidosa dan
kehamilan kembar tetapi multiparitas tidak merupakan faktor resiko.3,5,8
Laporan dari Amerika Serikat (1970–1977) mengatakan bahwa insidensi
mola hidatidosa pada kulit hitam hanya setengahnya dari wanita kulit lainnya.
Menurut Teoh, di Singapura, insidensi mola hidatidosa pada wanita Euroasian,
dua kali lebih tinggi dari China, Melayu dan India. Di Indonesia yang terdiri dari
berpuluh-puluh etnis, sampai sekarang belum ada yang melaporkan adanya
perbedaan insidensi antar suku bangsa.

6
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil penelitian
Kajii et al dan Lawler et al, menunjuakn bahwa pada kasus mola hidatidosa lebih
banyak ditemukan kelainan Balance translocation dibandingkan dengan populasi
normal (4,6% dan 0,6%). Ada kemungkinan pada wanita dengan kelainan
sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meosis berupa
nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau yang
intinya tidak aktif.6

2.5. Epidemiologi
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika Latin
dibandingkan dengan negara-negara barat. Di negara barat dilaporkan 1:200 atau
2000 kehamilan.2,4
Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa insidensi kejadian mola hidatidosa di
Amerika serikat dan Eropa sekitar 1 dari 1000-1500 kehamilan dan pada tahun
2006 menjadi 1-2 kehamilan per 1000 kelahiran. Di Asia, kejadian mola
hidatidosa 15 kali lebih tinggi daripada Amerika Serikat dengan jepang yang
melaporkan bahwa terjadi 2 kejadian kehamilan mola hidatidosa dari 100
kehamilan. Korea Selatan melaporkan bahwa insiden kehamilan mola adalah
sekitar 40 kehamilan per 1000 kelahiran. Secara etnis, wanita Filipina, Asia
Tenggara, dan Meksiko lebih sering menderita mola daripada wanita kulit putih
Amerika. 2,4
Di Indonesia menurut laporan beberapa penulis dari berbagai daerah
menunjukkan angka kejadian yang berbeda-beda. Angka kejadian Mola
Hidatidosa di Indonesia berkisar antara 1 : 51 sampai 1 : 141 kehamilan. Di
Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1960 sampai 1964 diperoleh
angka kejadian 1 : 96 persalinan, antara tahun 1970 sampai 1974 angka kejadian
Mola Hidatidosa 1 : 55 kejadian persalinan (Suande Duarsa, 1978). Dari data
tersebut diatas, nampak adanya kenaikan angka kejadian Mola Hidatidosa di
Surabaya dan sekitarnya. Sedangkan data pada RSCM menunjukkan insidensi
mola hidatidosa sebesar 1:31 persalinan dan 1:49 kehamilan.2,4

7
2.6. Klasifikasi
Mola hidatidosa terbagi menjadi dua jenis sebagai berikut :8
1. Mola hidatidosa komplit (MHK)
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel–vesikel jernih
Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai
beberapa sentimeter dan sering berkelompok–kelompok
menggantung pada tangkai kecil. Secara makroskopis, MHK
mempunyai gambaran yang khas yaiu berbentuk kista atau
gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai
2-3 cm, berdinding tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan
seperti cairan asites atau edema. Kalau ukurannya kecil, tampak
seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar tampak seperti
serangkaian buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu MHK
disebut juga sebagai kehamilan anggur. Tangkai tersebut umunya
menempel di seluruh endometrium dan jika terputus akan terjadi
perdarahan. Temuan histologi ditandai oleh :
a. Degenerasi hidrofik dan pembengkakan stroma vilus
b. Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
c. Proliferasi sel epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
d. Tidak adanya janin dan amnion

2. Mola hidatidosa parsial (MHP)


Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang
berkembang, dan mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi
perkembangan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian
vili yang biasanya avaskular, sementara vili–vili berpembuluh
lainnya dengan sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak
terkena. Perkembangan janin akan tergantung kepada luasnya
plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak
dapat bertahan lama dan akan mati dalam rahim, walaupun dalam
kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus MHP yang
janinnya hidup sampai aterm.

8
2.7. Patogenesis
Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara
lain teori Hertig dan teori Park.8
Hertig et al menganggap bahwa pada Mola hidatidosa terjadi insufisiensi
peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3 – 5 (missed abortion),
sehinggga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenhin vili dan
terbentukah kista – kista yang makin lama makin besar, sampai akhirnya
terbentuklah gelembung mola, sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat
dari tekanan vili yang oedemateus tadi. Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang
primer adalah adanya jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi,
displasi, maupun neoplasi. Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi
yang abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya
menyebabkan kematian embrio.8
Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik
umumnya kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti
(kosong) atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sperma yang
mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23 X,
yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK
bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada
unsur ibu sehingga disebut Diploid Androgenetik.8,9,10
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu
yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan
untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara
seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional
(janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis
yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur. 8,9,10
Ovum kosong ini bisa terjadi karena gangguan pada proses meosis, yang
seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi peristiwa yang
disebut nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada
MHK ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain terjadi
pada kelainan struktural kromosom, berupa balance translocation. 8,9,10

9
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma
sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atu
haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan
dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil
reduplikasi dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama,
namun sesungguhnya berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma
(homozigot) sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada
yang menganggap bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih
besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak
pernah bisa terjadi (nonviable). 8,9,10
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi
secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X dan satu haploid
23Y atau dua haploid 23 Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69
XYY. Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu
haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena
disini ada unsur ibu, ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah
tidak seimbang, satu berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu
menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan
dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi hidropobik. Oleh
karena itu fungsinya pun tidak bisa penuh sehingga janin tidak bisa bertahan
sampai besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini. 8,9,10

2.8. Gejala klinis


Gejala klinis yang timbul pada penderia mola hidatidosa yaitu :1-10
1. Amenorea dan tanda-tanda kehamilan
2. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat.
Merupakan gejala utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa
intermiten selama berapa minggu sampai beberapa bulan dan 80-90%
terjadi pada usia kehamilan 6-16 minggu
3. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya dan tidak sesuai
dengan usia kehamilan
4. Tidak dirasakan adanya gerakan janin dan balotement

10
5. Hiperemesis
6. Dapat terjadi preeklampsia dan eklampsia pada usia kehamilan < 24
minggu
7. Keluar jaringan mola yang seperti buah anggur yang merupakan
diagnosa pasti
8. Tirotoksikosis akibat perubahan kadar hormon tiroid yang
menyebabkan peningkatan kadar T4 dalam serum melebihi 12 ng/100
ml tetapi kadar Thyroxin Binding Globulin (TBG) rendah

2.9. Diagnosis
Diagnosis mola hidatidosa ditegakkan berdasarkan :1-10
1. Klinis
a. Anamnesis
i. terlambat haid
ii. perdarahan pervaginam
iii. perut membesar tetapi tidak terasa pergerakan janin
b. Pemeriksaan fisik
i. Inspeksi : muka dan terkadang badan terlihat kekuningan yang
disebut muka mola (mola face)
ii. Palpasi : uterus membesar tidak sesuai usia kehamilan, uterus
teraba lembek, tidak teraba bagian janin serta balotement
iii. Aukultasi : tidak terdengar denyut jantung janin
iv. Pemeriksaan dalam : memastikan besarnya uterus, uterus
terasa lembek, terdapat perdarahan pada kanalis servikalis
2. Laboratorium
a. Pengukuran kadar Human Chorionic Gonadotropin (B-hCG) yang
tinggi maka uji biologik (gali-Mainini dan Plano test) akan positif
setelah titrasi (pengenceran)
b. Tes Galli-Mainini 1/300 (+) maka suspek mola hidatidosa
3. Radiologik
a. USG : gambaran snowstorm atau granular

11
Gambar 2.3 foto USG pada Mola hidatidosa komplit

Gambar 2.4 foto USG pada Mola Hidatidosa Parsial


4. Histopatologi
a. Hasil histopatologik diambil dari gelembung-gelembung
yang keluar dan dikirim ke lab. PA

Gambar 2.5 histopatologi Mola hidatidosa komplit

12
Gambar 2.6 histopatologi Mola hidatidosa parsial

2.10 Komplikasi
1. Perdarahan hebat sampai terjadi syok
2. Infeksi sekunder
3. Perforasi akibat keganasan

2.11 Tatalaksana
Terdapat 4 tahap dalam tatalaksana mola hidatidosa yaitu :7,8
1. Perbaikan keadaan umum
2. Evakuasi jaringan
3. Profilaksis
4. Follow up

2.11.1 Perbaikan keadaan umum


Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum
penderita harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya,
kepada penderita harus diberikan :6,7,8
1. Transfusi darah untuk mengatasi syok hipovolemik
2. Antihipertensi atau antikonvulsi pada pasien preeklampsia atau
eklampsia
3. Obat antitiroid

13
2.11.2 Evakuasi jaringan
Karena mola hidatidosa merupakan bentuk kehamilan patologis yang
disertai penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat
mungkin. ada 2 cara yaitu : 6,7,8
1. Kuretase
Bila mola keluar spontan, dilakukan kuret isap (vakum) atau kuret
tajam. Bila kanalis servikalis belum terbuka, dipasang laminaria
selama 12 jam sebelum kuretase. Kuretase kedua dilakukan setelah
7-10 hari dari kuretase pertama.
2. Histerektomi
Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan
jumlah anak hidup tiga. Yang sering menyulitkan ialah bahwa
status eutiroid klinis tidak selalu tercapai secara sempurna setelah
pemberian OAT (obat anti tiroid) karena jaringan mola belum
dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap bertindak sebagai
stimulator.

2.11.3 Profilaksis
Kemoterapi diberikan dengan cara sebagai berikut : 6,7,8
1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3X1 dan cursil 35mg
2X1, selama 5 hari berturut-turut. Profiklaksis dengan tablet
MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam folat adalah antidote
dari MTX, cursil sebagai hepatoprotektor.
2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut.
Tidak perlu antidot ataupun hepatoprotektor.

2.11.4 Follow up
15-20% penderita pasca mola hidatidosa bisa mengalami transformasi
keganasan menjadi tumor trofoblastik gestational. Menurut hertig,
keganasan bisa dalam waktu satu minggu sampai tiga tahun pasca evakuasi.

14
Tujuan dari follow up adalah : 6,7,8
1. Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal.
Baik anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi
uterus, turunnya kadar β-hCG dan kembalinya fungsi haid.
2. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan terutama
pada tingkat yang sangat dini.
Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi, penderita diminta datang
untuk kontrol setiap 2 minggu. Kemudian, dalam tiga bulan berikutnya,
setiap satu bulan, selanjutnya enam bulan terakhir, kontrol tiap dua bulan.

2.12 Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah
jantung, atau tirotaksikosis. Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara
lengkap, sebagian besar penderita mola hidatidosa komplit akan sehat kembali,
kecuali 15 – 20% yang mungkin akan mengalami keganasan. Umumnya yang
menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko tinggi, seperti :7,8
1. Umur diatas 35 tahun
2. Besar uterus di atas 20 minggu
3. Kadar beta-hCG diatas 105 mIU/ml
4. Gambaran PA yang mencurigakan

Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu
disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%).
Walupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP
yang disertai metastase ke tempat lain. Penderita pasca-MHP harus difollow up
sama ketatnya seperti MHK.7,8,9

15
BAB III
KESIMPULAN

1. Mola hidatidosa merupakan kehamilan abnormal yang hampir seluruh vili


korialisnya mengalami perubahan hidrofik.
2. Prevalensi kejadian mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin.
3. Etiologi mola hidatidosa masih belum diketahui tetapi beberapa faktor resiko
yang menyebabkan terjadinya mola adalah ovum patologik, imunoselektif dari
trofoblas, keadaan sosioekonomi yang rendah, paritas tinggi, kekurangan
protein, infeksi virus, dan faktor kromosom yang belum jelas.
4. mola hidatidosa dibagi menjadi dua yaitu mola hidatidosa komplet dan mola
hidatidosa parsial.
5. Prinsip penatalaksanaan pada mola hidatidosa adalah perbaikan keadaan
umum, evakuasi jaringan, profilaksis, dan follow up.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah. M.N. dkk. Mola Hidatidosa. PEDOMAN DIAGNOSIS DAN


TERAPI LAB/UPF. KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD DOKTER SOETOMO SURABAYA. 1994. Hal 25-28
2. Cuninngham. F.G. dkk. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik Gestasional
Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran. EGG Jakarta.
2006. Hal 930-938.
3. Syafii, Aprianti S, Hardjoeno. Kadar b-hCG Penderita Mola Hidatidosa
Sebelum dan Sesudah Kuretase. Indonesia Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory. 2006. 13(1) : 1-3
4. Mansjoer, A. dkk. Mola Hidatidosa. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid I. Media Aesculapius.
Jakarta.2001. Hal 265-267
5. Martaadisoebrata. D, & Sumapraja, S. Penyakit Serta Kelainan Plasenta &
Selaput Janin. ILMU KEBIDANAN. Yayasan Bina pustaka SARWONO
PRAWIROHARDJO. Jakarta.2002 Hal 341-348.
6. Mochtar. R. Penyakit Trofoblas. SINOPSIS OBSTETRI. Jilid I. Edisi2.
Penerbit Buku Kedokteran. ECG. Jakarta. 1998. Hal. 238-243.
7. Prawirohadjo, S. & Wiknjosastro, H. Mola Hidatidosa. ILMU
KANDUNGAN. Yayasan Bina Pustaka SARWONO PRAWIROHADJO.
Jakarta. 1999. Hal . 262-264
8. Sastrawinata, S.R. Mola Hidatidosa. OBSTETRI PATOLOGIK. Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
ELSTAR OFFSET. Bandung. 1981. Hal. 38-42
9. Kariadi SH. Identifikasi Penduga Potensial untuk Diagnosis Tiroktosikosis
Pada Penderita Mola Hidatidosa. Disertasi UNPAD 1992.
10. Lurain, JR. Gestational Trophoblastic Disesase I: Epidemiology, Pathology,
Clinical Presentation, and Diagnosis of Gestational Trophoblastic Disease,
and Management of Hydatidiform Mole. American Journal of Obstetric &
Gynecology. 2010. Hal. 531-539

17

You might also like