Professional Documents
Culture Documents
MANAJEMEN KONFLIK
DI SUSUN OLEH :
2. YUYUN NOVITASARI
PALEMBANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas karunia, taufik dan
Konflik”.
Kami mengetahui makalah kami ini jauh dari sempurna, karena di dunia ini
tidak ada yang sempurna, maka dari itu, kritik dan saran dari para dosen dan teman-
teman sangat kami harapkan, agar terciptanya makalah yang lebih baik.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam penyelesaian makalah ini. Harapan kami agar makalah ini dapat membantu
para mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang etika keperawatan dan dapat
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
organisasi. Dan dalam organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat
disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan
teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan system nilai, serta
berbaggai macam kepribadian individu, seperti karakteristik-karakteristik
kepribadian tetentu, yaitu otoriter atau dogmatis juga dapat menimbulkan
konflik
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengrtian manajemen konflik
2. Untuk mengetahui cara mengatasi konflik
3. Untuk mengatasi cara pengelolaan konflik
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
organisasi-ketidakselarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta,
ketidaksepahaman yang disebabkan oleh ekspektasi perilaku, dan sebagainya.
Selain itu, definisi lain cukup fleksibel untuk mencakup beragam tingkatan
konflik-dari tindakan terang-terangan dank eras sampai ke bentuk-bentuk
ketidaksepakatan yang tidak terlihat.
4
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya konflik sebagai berikut:
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa
dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum
mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat
dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan
berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik,
yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah
ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka
dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak.
Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah
pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja. (Wijono, 1993, 38-41)
5
2.3 Sumber-Sumber Konflik
Sumber-sumber konflik yaitu;
1. Sumber daya yang terbatas
Sumber Daya dapat meliputi uang, persediaan, orang, atau informasi.
Seringkali, unit organisasi berada dalam persaingan untuk sumber daya
yang terbatas atau menurun. Hal ini menciptakan situasi dimana konflik
tidak bisa dihindari.
2. Yurisdiksi Ambiguitas
Individu mungkin tidak setuju tentang siapa yang memiliki tanggung jawab
untuk tugas-tugas dan sumber daya.
3. Bentrokan Kepribadian
Konflik kepribadian muncul ketika dua orang tidak akur atau tidak melihat
hal-hal yang sama. Ketegangan Kepribadian disebabkan oleh perbedaan
dalam kepribadian, sikap, nilai, dan keyakinan.
4. Perbedaan Status dan kekuasaan
Orang-orang mungkin terlibat dalam konflik untuk meningkatkan
kekuasaan mereka atau status dalam suatu organisasi
5. Perbedaan Tujuan
Konflik dapat terjadi karena orang mencapai tujuan yang berbeda. Konflik
tujuan di unit kerja masing-masing adalah bagian alami dari setiap
organisasi.
6. Masalah Komunikasi
Masalah Komunikasi biasanya berasal dari perbedaan gaya berbicara, gaya
penulisan, dan gaya komunikasi nonverbal. Perbedaan gaya ini sering
mendistorsi proses komunikasi. Komunikasi rusak menyebabkan salah
persepsi dan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan terjadinya konflik.
Hambatan tambahan untuk komunikasi dapat muncul dari perbedaan lintas
jender dan lintas budaya peserta. Perbedaan mendasar tersebut dapat
mempengaruhi baik cara-cara di mana para pihak mengekspresikan diri
6
mereka dan bagaimana mereka akan menafsirkan komunikasi yang mereka
terima. Distorsi, pada gilirannya, sering mengakibatkan salah membaca
dengan pihak yang terlibat.
7
2.5 Penyebab Konflik
Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
1. Faktor Manusia
a. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
b. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
c. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap
egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
2. Faktor Organisasi
a. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya.
Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya
terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam
penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar
unit/departemen dalam suatu organisasi.
b. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi,
tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik
minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga
yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen,
sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan
untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas.
Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena
menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi.
Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa
mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda
memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat,
8
rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior men¬dapat tugas yang
ringan dan sederhana.
5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak
jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen
mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan
unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam
posisinya dalam status hirarki organisasi.
7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan,
pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik
antar unit/ departemen.
2.6 Konflik Struktural
Dalam organisasi klasik ada empat daerah structural dimana konflik
sering timbul :
1. Konflik hirarki, yaitu konflik antara berbagai tingkatan organisasi.
2. Konflik fungsional, yaitu konflik antara berbagai departemen fungsional
organisasi.
3. Konflik lini-staf, yaitu konflik antara lini dan staf. Ini merupakan hasil
adanya perbedaan-perbedaan yang melekat pada personalia lini dan staf.
4. Konflik formal-informal, yaitu konflik antar organisasi formal dan
organisasi informal.
Perancangan organisasi modern juga mengandung situasi-situasi konflik
potensial. Secara khusus, organisasi proyek dan matriks secara structural
menciptakan konflik. Manajer proyek dengan tanggungjawab tetapi tanpa
wewenang dan manajer pada suatu struktur matriks dengan seorang atasan
fungsional serta pimpinan proyek menyajikan situasi-situasi konflik.
Keberadaan konflik dalam perancangan organisasi modern juga dapat
menunjukkan manfaat. Dalam banyak kasus perancangan organisasi, konflik
ternyata dapat sangat membantu manajemen.
9
2.7 Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah
sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan
konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif
akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai
sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
a. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu
bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa
alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada
waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif,
hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
b. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari
cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis
pekerjaan masing-masing.
c. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat
antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat
dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi,
loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
d. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat
membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini
karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan
diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa
mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
e. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai
dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan
(training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan
10
produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan
terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya
disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada
kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari
terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan
mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol
berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-
mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat,
pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak
jelas.
b. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman
kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung
jawab.
c. Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing
kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi
pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
d. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam
pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak
oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya,
timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan
darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
e. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila
memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase
terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau
peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat
intrik-intrik yang merugikan orang lain.
11
f. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini
disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat
kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi
bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk
kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan
dalam cost benefit.
2.8 Cara atau Taktik Mengatasi Konflik
Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang
sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada
kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan
campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik
yang muncul.
Diatasi oleh pihak-pihak yang bersengketa :
1. Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan
menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
2. Persuasi: Usaha mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian
yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan
bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar
keadilan yang berlaku.
3. Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak,
dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini
dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji
secara eksplisit.
4. Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan
memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta,
perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur.
Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif
12
pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua
pihak.
5. Penarikan diri : Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua
pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas
kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling
bergantung satu sama lain.
6. Pemaksaan dan penekanan : Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar
menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang
formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat
dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini
sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah
secara terpaksa.
7. Intervensi (campur tangan) pihak ketiga : Apabila fihak yang bersengketa
tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu,
maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
8. Arbitrase (arbitration) : Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak
dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini
mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap
lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan
destruktif.
9. Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk
menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta,
menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas
masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu.
Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku
mediator.
10. Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak
serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan
konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan
13
tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk
meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak
terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian
masalah yang menjadi pokok sengketa.
2.9 Metode-Metode Pengelolaan Konflik
1. Metode Stimulasi Konflik
Metode ini digunakan untuk menimbulkan rangsangan karyawan ,
karena karyawan pasif yang disebabkan oleh situasi dimana konflik terlalu
rendah. Metode stimulasi konflik meliputi :
a. Pemasukan atau penempatan orang luar ke dalam kelompok.
b. Penyusunan kembali organisasi
c. Penawaran bonus, pembayaran intensIf dan penghargaan untuk
mendorong persaingan
d. Pemilihan manajer yang tepat
e. Perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan
2. Metode Pengurangan Konflik
Metode ini mengurangi permusuhan yang ditimbulkan oleh konflik,
dengan mengelola tingkat konflik melalui “ pendinginan suasana” akan
tetapi tidak berurusan dengan masalah yang pada awalnya menimbulkan
konflik itu.
3. Metode Penyelesaian Konflik
Metode ini dipusatkan pada tindakan para manajer yang dapat secara
langsung mempengaruhi pihak-pihak yang bertentangan.
Metode penyelesaian yang sering digunakan :
a. Metode Konsensus
Dimana pihak-pihak mengadakan pertemuan untuk mencari pemecahan-
pemecahan yang terbaik, bukan mencari kemenangan bagi masing-
masing pihak.
14
b. Metode Konfrontasi
Dimana pihak-pihak yang saling berhadapan menyatakan pandanganya
secara langsung satu sama lain, dengan kepemimpinan yang trampil dan
kesediaan semua pihak untuk mendahulukan kepentingan bersama ,
kerap kali dapat ditemukan penyelesaian yang rasional.
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih
kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut
ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana
keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah
kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau
menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji
mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan
sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-
hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak
dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan
dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati,
jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah
kelompok.
15
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika
penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah
sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami
konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik,
yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada
pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila
wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula
sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat
ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang
dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang
paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri
individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
a. Menciptakan kontak dan membina hubungan
b. Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
c. Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
d. Menentukan tujuan
e. Mencari beberapa alternatif
f. Memilih alternatif
g. Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
16
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri
individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
a. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama
kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil
jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang
terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok
ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan
cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu.
Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak
yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri.
Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
1) Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan
kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai
hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik
melalui suatu perjanjian yang mengikat.
2) Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik
tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang
mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap
pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak
mengikat.
b. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy),
menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami
kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
17
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
1) Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih
pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task
independence).
2) Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan
tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari
terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-
batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
3) Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah
posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang
relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi
(communication barriers).
4) Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal
dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena
dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
5) Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima
oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan
dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for
resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
c. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan
segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi
komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat
saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana
kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi
masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini
18
menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik,
bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi
dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat
dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha
untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-
kebutuhan kedua belah pihak
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation)
Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani
oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai
kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau
menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang
bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi
diantaranya adalah:
a. Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang
terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model
ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical
structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena
pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah
konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari
peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya.
Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi
bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan
cara menggunakan hirarki struktural (structural hierarchical).
19
b. Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral
(Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri
oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik
tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya
manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah
pihak.
c. Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-
masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan
pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem
(system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah
konflik yang muncul. Pendekatan ini menekankan pada hubungan
lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan
produksi dalam suatu organisasi.
d. Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk
melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna
meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai
kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi
non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai
akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence)
dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga
fungsi organisasi menjadi kabur.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik adalah saran untuk menghasilkan perubahan radikal. Konflik
merupakan alat yang dengannya manajemen berubah secara drastic struktur
kekuasaaan yang ada, pola-pola interaksi yang sedang berjalan, dan sikap yang
sudah mengakar.
Manajemen konflik adalah serangkaian proses untuk mempertemukan
kemepentingan dua belah pihak, menetralisir konflik, dan memulihkan pasca
konflik. Manajemen konflik harus diawali dengan memetakan konflik,
mendengar ketarangan dua belah pihak, mempertemukan kedua belah pihak,
dan pengambilan keputusan untuk mengatasi konflik.
3.2 Saran
Konflik bukanlah untuk dihindari apalagi untuk di abaikan, akan tetapi
konflik hendaklah harus dihadapi atau di kompromikan kepada pihak yang
bertingkai. Konflik dapat diatasi jika komunikasi diantara para pihak yang
terjadi konflik dapat dipahami dan dicari solusinya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Wirawan, 2010. Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian.
Jakarta: Salemba Humanika
http://andyrezarohadyyani.wordpress.com/2010/12/01/makalah-tentang-manajemen-
konflik/
22