Professional Documents
Culture Documents
KELOMPOK 5
SASARAN KESELAMATAN PASIEN (1 DAN 2)
OLEH :
1. Natasya Dwi (1710711063)
2. Refa Refiana (1710711065)
3. Mastika CH (1710711067)
4. Dila Sari Putri (1710711071)
5. Lilis Mulyani (1710711073)
6. Widya Novira (1710711074)
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Patient Safety”.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk kepentingan proses
belajar.
Dalam penyusunan makalah ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan
saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini dan untuk pelajaran
bagi kita semua dalam pembuatan di masa mendatang.
Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan
kemajuan ilmu pengetahuan.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gerakan "Patient safety" atau Keselamatan Pasien telah menjadi spirit dalam pelayanan
rumah sakit di seluruh dunia. Tidak hanya rumah sakit di negara maju yang menerapkan
Keselamatan Pasien untuk menjamin mutu pelayanan, tetapi juga rumah sakit di negara
berkembang, seperti Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Kesehatan no 1691/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Peraturan ini menjadi tonggak
utama operasionalisasi Keselamatan Pasien di rumah sakit seluruh Indonesia. Banyak rumah sakit
di Indonesia yang telah berupaya membangun dan mengembangkan Keselamatan Pasien, namun
upaya tersebut dilaksanakan berdasarkan pemahaman manajemen terhadap Keselamatan Pasien.
Peraturan Menteri ini memberikan panduan bagi manajemen rumah sakit agar dapat menjalankan
spirit Keselamatan Pasien secara utuh.
Menurut PMK 1691/2011, Keselamatan Pasien adalah suatu sistem di rumah sakit yang
menjadikan pelayanan kepada pasien menjadi lebih aman, oleh karena dilaksanakannya: asesmen
resiko, identifikasi dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindaklanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat tindakan medis atau tidak dilakukannya tindakan medis yang
seharusnya diambil. Sistem tersebut merupakan sistem yang seharusnya dilaksanakan secara
normatif.
Melihat lengkapnya urutan mekanisme Keselamatan Pasien dalam PMK tersebut, maka,
jika diterapkan oleh manajemen rumah sakit, diharapkan kinerja pelayanan klinis rumah sakit
dapat meningkat serta hal-hal yang merugikan pasien (medical error, nursing error, dan lainnya)
dapat dikurangi semaksimal mungkin.
4
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Menganalisis penerapan patient safetyserta
2. Tujuan Khusus
Mencari faktor yang dapat mempengaruhi penerapan patient safety
Menganalisis pelaksanaan patient safety
Membuat rencana perbaikan pelaksanaan patient safety
C. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang di maksud dengan patient safety ?
b. Bagaimana penerapan patient safety dalam keperawatan ?
c. Apa saja faktor yang mempengaruhi pelaksanaan patient safety ?
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
penanggulangan KTD
7
2. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah
terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
3. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
4. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius.
8
Sasaran I.: Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan karena keliru pasien terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan
pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan
terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar; bertukar tempat tidur/kamar/lokasi
di rumah sakit, adanya kelainan sensori; atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk
melakukan dua kali pengecekan: pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan
menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan
terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki
proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat,
darah/produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; memberikan
pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara
untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir,
gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau
prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas yang berbeda pada lokasi yang berbeda di
rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau kamar operasi, termasuk
identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi
dapat diidentifikasi.
Elemen Penilaian Sasaran I
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor
kamar atau lokasi pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua
situasi dan lokasi.
9
Gelang identitas Gelang penanda:
Biru : laki laki Merah : alergi
Pink : perempuan Kuning: risiko jatuh
Ungu : do not resuscitate
Petugas harus melakukan identifikasi pasien saat:
1. Pemberian obat
2. Pemberian darah / produk darah
3. Pengambilan darah dan specimen lain untuk pemeriksaan klinis
4. Sebelum memberikan pengobatan
5. Sebelum memberikan tindakan
Identifikasi pasien : menggunakan dua identitas dari minimal tiga identitas
Catatan:
a. Dilarang identifikasi dengan nomor kamar pasien atau lokasi
b. Bila ada kekecualian, rs harus membuat spo khusus
Cara Identifikasi Pasien
1. Petemuan pertama seorang petugas dengan pasien:
Secara verbal: tanyakan nama pasien
Secara visual: lihat ke gelang pasien dua dari tiga identitas, cocokkan dengan perintah
dokter
2. Pertemuan berikutnya lihat secara visual ke gelang pasien, dua identitas dari tiga identitas
SPO saat pemasangan gelang oleh petugas
Jelaskan manfaat gelang pasien
Jelaskan bahaya untuk pasien yang menolak, melepas, menutupi gelang .dll
Minta pasien utuk mengingatkan petugas bila akan melakukan tindakan atau memberi
obat memberikan pengobatan tidak menkonfirmasi nama dan mengecek ke gelang
kebijakan
10
Identifikasi Pasien
1. Identifikasi menggunakan gelang pasien, identifikasi terdiri dari tiga yaitu identitas: nama
pasien (e ktp), nomor rekam medik, dan tanggal lahir.
2. Pasien laki-laki memakai gelang warna biru, pasien perempuan memakai gelang warna
pink, sedangkan gelang merah sebagai penanda alergi, dan gelang kuning penanda risiko
jatuh, gelang ungu penanda do not resuscitate
3. Pada gelang identifikasi pasien: nama pasien harus ditulis lengkap sesuai e-ktp bila tak ada
gunakan ktp/kartu identitas lainnya, bila tak ada semuanya minta pasien/keluarganya untuk
menulis pada formulir identitas yang disediakan rs dengan huruf kapital pada kotak kota
huruf yang disediakan, nama tidak boleh disingkat, tak boleh salah ketik walau satu huruf
4. Identifikasi pasien pada gelang identitas pasien harus di cetak, tulisan tangan hanya boleh
bila printer sedang rusak/tak ada fasilitas untuk itu dan harus segera diganti bila printer
berfungsi kembali.
5. Semua pasien harus di identifikasi secara benar sebelum dilakukan pemberian obat,
tranfusi/produk darah, pengobatan, prosedur /tindakan, diambil sample darah, urin atau
cairan tubuh lainnya
6. Pasien rawat jalan tak harus memakai gelang identitas pasien kecuali telah ditetapkan lain
oleh rs,misalnya ruang haemodialisa, endoskopi
7. Pasien dengan nama sama harus diberi tanda “hati hati pasien dengan nama sama” pada
rekam medik dan semua formulir permintaan penunjang
11
kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah
dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga
menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak
memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU.
Elemen Penilaian Sasaran II
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara
lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi
antar para pemberi layanan. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan terjadi pada saat:
a. Perintah diberikan secara lisan
b. Perintah diberikan melalui telpon
c. Saat pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis.
Perintah lisan/lewat telepon
1. Tulis lengkap
Isi perintah
Nama lengkap dan tanda tangan pemberi perintah
Nama lengkap dan tanda tangan penerima perintah
Tanggal dan jam
2. Baca ulang- eja untuk norum/lasa
3. Konfirmasi (Lisan dan tanda tangan)
SPO persiapan perawat sebelum memberikan laporan kepada dokter
a. Visit dan periksa pasien
b. Diskusikan keadaan pasien dengan pn
c. Review hasil pemeriksaan untuk menetapkan dokter yg tepat yang akan dilapori
4. Ketahui kapan pasien masuk dan diagnosis waktu masuk
12
5. Baca catatan perkembangan terakhir dari dokter dan perawat
13
event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan
Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam issue keselamatan pasien adalah pemberian
elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih
pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih
pekat-). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit
pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum
ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau
mengeliminasi kejadian tsb adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit.
Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit
konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi serta pemberian laboratoriumel secara benar pada
elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses untuk
mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati.
Elemen Penilaian Sasaran III
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan
secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-
hati di area tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label
yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).
14
melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk
verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang
catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim
bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting)
dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan
juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO
Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong
Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang
dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator /orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi ditandai
dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki,
lesi), atau multipel level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
1. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
2. Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan tersedia, diberi laboratoriumel dengan baik, dan dipampang;
3. Lakukan verifikasi ketersediaan setiap peralatan khusus dan/atau implant-implant
yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan
diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum
tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses
itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan ceklist.
Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi
lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
15
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi
saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen
serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum
insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakanpembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam
untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur
medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.
16
sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko
cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi
alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien.
Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran VI
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan
melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan, dan lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada
hasil asesmen dianggap berisiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat
jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
17
5. Teliti
6. Tegas
Etika kedokteran Islam terkumpul dalam kode etik kedokteran Islam yang disebut Thibbun
Nabawi, mengatur hubungan dokter dengan orang sakit dan dokter dengan rekannya. Hubungan
antara dokter dengan pasien adalah hubungan antar manusia dan manusia. Dalam hubngan ini
mungkin timbul pertentangan antara dokter dan pasien, karena masing-masing mempunyai nilai
yang berbeda. Untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak jarang dokter harus berjuang lebih
dulu melawan tradisi yang tertanam dengan kuat. Dalam hal ini, seorang dokter muslim tidak
mungkin memaksakan kebudayaan profesinya. Sifat-sifat penting lain yang harus dimiliki oleh
seorang dokter muslim dalam hal penanganan pasien gawat darurat ialah:
1. Adanya belas kasihan dan cinta kasih terhadap sesama manusia
2. Seorang dokter muslim dilarang mebeda-bedakan pasien
3. Sebagian besar waktunya harus dicurahkan ke pasien
4. Seorang dokter muslim harus lebih banyak mendengar dari pada bicara
5. Seorang dokter muslim tidak boleh berkecil hati dan harus merasa bangga akan profesinya
karena semua agama menghormati profesi dokter
6. Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu untuk
memberikanny
18
4. Pasal 53 ayat 3, menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan
keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat 1, menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non
diskriminatif.
Selain itu, tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58
UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang berbunyi : “ Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya “
Tuntutan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.
Aspek hukum lain terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah sebagai
berikut:
1) Pasal 53 (3) UUNo.36/2009 tentang kesehatan Pelaksanaan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan
nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
2) Pasal 32n UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
3) Pasal 29b UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap rumah sakit mempunyai
kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah
sakit.
4) Pasal 45 (1) UU No.44/2009 tentang rumah sakit Rumah sakit tidak bertanggung jawab
secara hukum apabila pasien dan atau keluarganya menolak atau menghentikan
pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.
5) Pasal 32d UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional.
19
6) Pasal 32e UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi.
7) Pasal 32j UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak mendapat
informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis,
alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
8) Pasal 32q UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.
9) Pasal 43 UU No.44/2009 Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien
a. Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka
menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
b. Rumah sakit melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada komite
yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri.
c. Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat
secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam angka meningkatkan
keselamatan pasien.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.
10) Permenkes RI no.1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah
sakit. Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman.
20
1. Kewajiban terhadap klien dan masyarkat : Setiap bidan senantiasa menjunjung
tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya
2. Kewajiban terhadap tugasnya : Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan
paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi
yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien keluarga dan masyarakat
Di dalam kode etik kedokteran disebutkan bahwa setiap dokter harus berperilaku profesional
dalam praktik kedokteran serta mendukung kebijakan kesehatan, memahami isu-isu etik maupun
aspek medikolegal dalam praktik kedokteran serta menerapkan program keselamatan pasien.
Kode etik kedokteran yang berhubungan dengan keselamatan pasien adalah :
VII. 6. Aspek keselamatan pasien dalam praktek kedokteran
VII. 6. 1. Menerapkan standar keselamatan pasien:
a. Hak pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi yang merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
h. keselamatan pasien
VII. 6. 2.Menerapkan 7 (tujuh) langkah keselamatan pasien
a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
b. Memimpin dan mendukung staf
c. Integrasikan aktifitas pengelolaan risiko
d. Kembangkan sistem pelaporan
e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
g. Cegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
21
H. Kasus
Kasus An. Az. di Rumah Sakit S (padang) umur 3 tahun pada tanggal 14 februari 2012, pasien
di rawat di ruangan melati Rs. S padang dengan diagnosa Demam kejang . Sesuai order dokter
infus pasien harus diganti dengan didrip obat penitoin namun perawat yang tidak mengikuti
operan jaga langsung mengganti infuse pasien tanpa melihat bahwa terapi pasien tersebut infusnya
harus didrip obat penitoin. Beberapa menit kemudian pasien mengalami kejang-kejang, untung
keluarga pasien cepat melaporkan kejadian ini sehingga tidak menjadi tambah parah dan infusnya
langsung diganti dan ditambah penitoin.
I. Analisis
Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa kelalaian perawat dapat membahayakan keselamatan
pasien. Seharusnya saat pergantian jam dinas semua perawat memiliki tanggung jawab untuk
mengikuti operan yang bertujuan untuk mengetahui keadaan pasien dan tindakan yang akan
dilakukan maupun dihentikan. Supaya tidak terjadi kesalahan pemberian tindakan sesuai dengan
kondisi pasien.
Pada kasus ini perawat juga tidak menjalankan prinsip 6 benar dalam pemberian obat.
Seharusnya perawat melihat terapi yang akan diberikan kepada pasien sesuai order, namun dalam
hal ini perawat tidak menjalankan prinsip benar obat.
Disamping itu juga, terkait dengan hal ini perawat tidak mengaplikasikan konsep patient safety
dengan benar, terbukti dari kesalahan akibat tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan
yang menyebabkan ancaman keselamatan pasien.
22
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan
meningkatkan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama dalam
pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman.
Peran-peran perawat dalam mewujudkan patient safety di rumah sakit dapat dirumuskan antara
lain sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat mematuhi standar pelayanan dan SOP yang
telah ditetapkan; menerapkan prinsip-prinsip etik dalam pemberian pelayanan keperawatan;
memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang asuhan yang diberikan; menerapkan
kerjasama tim kesehatan yang handal dalam pemberian pelayanan kesehatan; menerapkan
komunikasi yang baik terhadap pasien dan keluarganya, peka, proaktif dan melakukan
penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan; serta mendokumentasikan dengan benar
semua asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarga.
B. SARAN
Adapun saran untuk para perawat yang mengaplikasikannya di lingkungan rumah sakit agar
selalu mengutamakan keselamatan pasien berdasarkan procedure yang telah di tentukan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham Gary F. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Cunningham Gary F, Gant
Norman F, dkk, editor. Williams Obstetri. Ed 21. Jakarta: EGC; 2005. hal 624-73.
Dr. Erwin Santosa, Sp.A. 2015. Kuliah Manajemen Risiko.S2 Kebidanan Stikes ‘Aisyiyah
Yogyakarta.
25