You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Infeksi Saluran


Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per
1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada usia balita.

Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan


pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Berdasarkan prevalensi ISPA
tahun 2016 di Indonesia telah mencapai 25% dengan rentang kejadian yaitu sekitar 17,5 % -
41,4 % dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional. Selain
itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei
mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2016 menempatkan ISPA atau ISPA
sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 32,10% dari seluruh
kematian balita).

Kementrian Kesehatan mencatat sebanyak 425.377 orang terserang infeksi saluran


pernafasan akut ( ISPA ) akibat dampak kebakaran hutan dan lahan ditujuh provinsi sejak
Juni 2015 sampai bulan September 2015. Menurut Menteri Kesehatan terjadi peningkatan
penderita menjadi 503.874 jiwa yang menderita infeksi saluran pernafasan akut ( ISPA) di 6
provinsi sampai tanggal 23 Oktober 2015 (KEMENKES,2015)

Propinsi Sumatera Barat menempati urutan 7 kejadian ISPA terbanyak. Pada tahun
2015 tercatat kasus ISPA pada balita sebanyak 11.326 kasus (22,94%), kemudian pada tahun
2016 kasus ISPA pada balita meningkat menjadi 13.384 (27,11%). Kabupaten Sijunjung
menduduki peringkat ke 6 sebagai daerah penderita ISPA balita terbanyak dari seluruh
Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Barat yaitu sebanyak 15.123 kasus (40,9%).
BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR (ISPA)


1. Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi yang
menyerang saluran pernapasan, mulai dari hidung, tenggorokan, sampai paru.
Sifat dari ISPA adalah akut, yang berarti infeksi berlangsung sampai 14 hari.
ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia.
Sebagian besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun
masyarakat masih awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal
akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini
disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang gangguan ini (DepKes RI.,
2000)
2. Faktor-faktor terjadinya ISPA
Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya bibit
penyakit, juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang
belum mendapat imunisasi campak dan kontak dengan asap dapur, serta
kondisi perumahan yang ditempatinya. Secara umum faktor-faktor tersebut
dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
a. Bibit Penyakit (Agent) ISPA
Bibit Penyakit (Agent) ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent
yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab
ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilococcus,
Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus
penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus termasuk
didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus,
Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Pneumonia
umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering
sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia
dan Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini
pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
b. Pejamu (Host)
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit,
terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :
1) Umur
Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak
balita dipengaruhi oleh faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang
dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena
pneumonia dibandingkan dengan anak umur 2 bulan sampai 5
tahun. Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur
merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya kematian
pada balita yang sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia
balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko
meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia
muda (Djaja S, 1999). Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada
bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan
bertambahnya umur (Kartasamita, 2000). Hasil penelitian Sukardi
didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5 kali
terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.
2) Jenis Kelamin
Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA
untuk penanggulangan pneumonia pada balita, anak jenis kelamin
laki-laki mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA
dibandingkan dengan anak perempuan. Penelitian yang dilakukan
oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa proporsi kasus
ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki
59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda.
3) Status Gizi
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
untuk ISPA menurut Martin yang dikutip oleh Djaja, membuktikan
adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga
anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.
Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa malnutrisi
merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita
malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan
anak dengan berat badan normal. Anak balita yang mengkonsumsi
makanan yang tidak cukup baik dapat mengakibatkan daya tahan
tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi.
4) Berat Badan Lahir
Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari
2500 gram. Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan
meningkatkan resiko kesakitan dan kematian karena bayi rentan
terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah.
Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang
cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat
hamil dapat menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya
rendah. Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah
hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan
rendah atau bayi lahir prematur.
Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat
mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung.
Menurut Pudjiadi (2000) membuktikan bahwa berat badan lahir
bayi naik dan insiden BBLR menurun bila kandungan energi diet
ibu bertambah. Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko
morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi,
kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur lebih besar
(Pudjiadi, 2000). Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka
kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari 2500
gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. ISPA adalah
penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru
lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang
beratnya diatas 2500 gram.
5) Status ASI dan Makanan
Tambahan ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi
tanpa tambahan cairan lain (seperti susu formula, jeruk, madu, air
teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang,
pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Pemberian ASI
secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan.
Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan
pendamping secara bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk
bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan
lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.
Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada
dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang
tidak memungkinkan untuk menyusukan, jika memungkinkan ASI
diberi sampai 2 tahun (Roesli, 2001)
6) Status Imunisasi
Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit
tertentu. Setiap anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7
penyakit utama sebelum usia 1 tahun yaitu imunisasi BCG, DPT,
polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001). Imunisasi adalah
cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit.
Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko
terhadap terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada
balita yang sedang menderita pneumonia (Djaja, S., 1999)
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang
diimunisasi sangat menentukan dalam tingginya angka insidens
ISPA
7) Vitamin A
Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan
berbagai macam infeksi, namun asosiasi langsung antara
kekurangan vitamin A dan infeksi tidak begitu jelas (Pudjiadi,
2000). Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah
beberapa laporan penelitian oleh Somar dkk mengenai pentingnya
vitamin A.
c. Lingkungan (environment)
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam
menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur
penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya
lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. Keadaan fisik
sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung
maupun tidak terhadap lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan
sosial manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara,
kelembaban, air, dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA, adalah
tergolong air borne diasease karena salah satu penularannya melalui udara
yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan,
maka udara secara epidemiologi mempunyai peranan yang besar pada
transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan. Salah satu gangguan yang
mungkin disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan (indoor)
adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat meliputi bagian atas
saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis, tracheobronchitis,
bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993). Secara garis besarnya,
kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang
bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang / minyak
tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh
ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.

3. Pencegahan dan Pemberantasan ISPA


Pencegahan dapat dilakukan dengan : Menjaga keadaan gizi agar tetap
baik, Immunisasi, Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan, Mencegah
anak berhubungan dengan penderita ISPA. Sedangkan usaha pemberantasan
antara lain dilakukan dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang terutama
di tuj ukan pada para ibu, pengelolaan kasus yang disempurnakan, serta
gerakan Immunisasi
Pada tingkat Puskesmas, pelaksana pemberantasan ISPA merupakan
tanggung jawab bersama, dengan Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi
keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya. Sebagaimana kita ketahui
sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum
penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta
aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat’membantu menemukan
kasus-kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik
(kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlusegera dirujuk ke
rumah sakit .
Beberapa Indikator Surveilans ISPA, sebagaimana indikator surveilans lainnya
antara lain :
 Kelengkapan laporan
 Jumlah dan kualitas kajian epidemiologi dan rekomendasi yang dapat
dihasilkan
 Terdistribusinya berita epidemiologi lokal dan nasional
 Pemanfaatan informasi epidemiologi dalam manajemen program
kesehatan
 Menurunnya frekuensi kejadian luar biasa penyakit;
 Meningkatnya dalam kajian SKD penyakit

B. PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN


a. Lingkungan (environment)
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam
menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab
dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besarnya lingkungan terdiri dari
lingkungan fisik, biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar manusia
berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap
lingkungan-lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia. Faktor risiko
lingkungan yang berpengaruh terhadap penyakit ISPA:
1. Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya
untuk tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan
pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk
kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk
keluarga dan individu (WHO, 2007). Anak-anak yang tinggal di
apartemen memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA
daripada anak-anak yang tinggal di rumah culster di Denmark.
Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di
dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan
mempermudah terjadinya ISPA anak.
2. Kepadatan hunian (crowded)
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota
keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk
ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa
kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna
prevalensi ISPA berat.
3. Status sosio-ekonomi Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk
dan tingkat sosio-ekonomi yang rendah mempunyai hubungan
yang erat dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan
tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA,
akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian
ISPA berat dengan rendahnya status sosio-ekonomi
(Darmawan,1995).
4. Kebiasaan merokok Pada keluarga yang merokok, secara statistik
anaknya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat
dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok.
Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA
meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Koch et al, 2003)
5. Polusi udara Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan
penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas
udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis,
fisik maupun kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh pusat penelitian kesehatan Universitas Indonesia untuk
mengetahui efek pencemaran udara terhadap gangguan saluran
pernafasan pada siswa sekolah dasar (SD) dengan membandingkan
antara mereka yang tinggal di wilayah pencemaran udara tinggi
dengan siswa yang tinggal di wilayah pencemaran udara rendah di
Jakarta. Dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan
kejadian baru atau insiden penyakit atau gangguan saluran
pernafasan pada siswa SD di kedua wilayah 14 pencemaran udara.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak
berbeda dengan wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi
sehingga tidak ada lagi tempat yang aman untuk semua orang
untuk tidak menderita gangguan saluran pemafasan. Hal ini
menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh terhadap
terjadinya penyakit ISPA.

You might also like