You are on page 1of 16

MAKALAH RHEUMATOID ARTHRITIS

Makalah disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah: Kasus Akupunktur Internal

Nama Kelompok 4 :

1. Nurlina Annisa P27240016037


2. Profit Monika P27240016038
3. Rhisnantya Mentari Putri P27240016039
4. Ridha Ade Saputra P27240016040
5. Rizka Desyaningtyas P27240016041
6. Rizka Meilani P27240016042
7. Rizki Akinia Nur V P27240016043
8. Siti Mutmainah P27240016045
9. Uswatun Nur Khasanah P27240016046
10. Yulfa Ardianti P27240016047
11. Yulia Mandasari P27240016048

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN AKUPUNKTUR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di


sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik
adalah Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah
penyakit autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem
muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara
keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi
jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian
prematur (Mclnnes,2011).

Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan
dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli
Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%.
Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%
(Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah
dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%,
Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar
1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita
yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan
12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16
juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan
dkk, 2015).

Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data


terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah
kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203
dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)
memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.

Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor
genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).

Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga


apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan
kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut
Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari
berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan
sendi (Sumariyono,2010).

Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih


merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik,
biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status
kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak
usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia
di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah
RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum muncul
gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun tidak
menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan
adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.

Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan


memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah
satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak
alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya
adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi
tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi
tahun 2010.

B. Rumusan Masalah
1. Menurut kedokteran reumathoid athritis Barat ?
2. Menurut kedokteran reumathoid athritis Timur ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui reumathoid athritis menurut kedokteran Barat.
2. Untuk mengetahui reumathoid athritis menurut kedokteran Timur.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Menurut Kedokteran Barat


1. Definisi Reumathoid Athritis

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum


diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa
kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3
macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014).

Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada
sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam
sendi (Febriana,2015).Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi,
kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga
memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering
menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran
karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering
sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2. Epidemiologi dan patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan
penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam
(usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan
bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah
dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek
dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal,
mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi
terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling
terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular,
humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu
sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin
merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan
dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh
monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel
fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim
penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA


Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP
dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat
pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen
luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat
pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).

Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi
RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan
IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah
peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi
sendi. Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat
patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi
inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial.
Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai
jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang
dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping
proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik
yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit
kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-
pituitary-adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di


bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah
jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang
sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi
sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh
darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah
trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan
menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat
dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur
dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra
dkk,2013).

3. Manifestasi Klinis Reumathoid Athritis

Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau


bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan
tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar
sendi (Putra dkk,2013).

 Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun,
peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.

 Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan,
lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi
siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang
belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi.
 Kelainan diluar sendi

K
u
l
a i
. t : nodul subukutan (nodul rematoid)
J
a
n
t
u
b n : kelainan jantung yang simtomatis
. g jarang
didapatkan, namun 40% pada autopsi RA
didapatkan kelainan
p
e
r
i
k
a
r
d
P
a
c r : kelainan yang sering ditemukan
. u berupa paru
obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul
subpleura)
S
a
r
d a : berupa sindrom multiple neuritis akibat
. f vaskulitis
yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa
sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
M
a
e t : terjadi sindrom sjogren
. a (keratokonjungtivitis sika)
berupa kekeringan mata, skleritis atau
eriskleritis dan
skleromalase perforans

4. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
 Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat
 Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
 Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan
sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten

b. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi.

5. Penatalaksanaan Appendicitis
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut
(Kapita Selekta,2014).

a. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)

Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID
yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang
rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.

b. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)

Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).

c. Kortikosteroid

Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai


“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.

d. Rehabilitasi

Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup


pasien.Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat melalui

B. Menurut Kedokteran Timur


1. Definisi Rheumatoid Arthritis
Menurut Traditional Chinese Medicine (TCM), rheumatoid arthritis
dikategorikan kedalam sindrom Bi atau sindrom nyeri (Shi, 2007). Sindrom Bi
adalah suatu keadaan obstruksi Qi (energi) dan Xue (darah) dalam meridian dan
kolateral-kolateralnya yang disebabkan oleh faktor eksternal, faktor internal serta
kombinasi faktor eksternal dan internal yang dalam tahap selanjutnya bisa masuk
ke organ. Faktor eksternal adalah invasi faktor-faktor patogen seperti angin,
dingin, lembab dan panas. Faktor internal adalah kelemahan atau tidak cukupnya
Qi dan darah dalam tubuh. Sementara kombinasi faktor eksternal dan internal
mengakibatkan obstruksi Qi dan darah serta ketidakmampuan tubuh dalam
memelihara otot, tendon, dan tulang. Sindrom Bi biasanya ditandai dengan rasa
sakit, nyeri, rasa baal, perasaan berat pada tungkai, otot, tendon, persendian
tulang, bengkak pada persendian dan keterbatasan gerak (Bai, 1996; Liu,
1996; Peng, 2007)

2. Etiologi dan patogenesis Rheumatoid Arthritis


Etiologi dan patogenesis sindrom Bi dalam Bai (1996), Liu (1996), Peng
(2007) diantaranya:

a. Serangan angin, dingin dan lembab pada tubuh


Paparan angin saat berkeringat setelah aktivitas fisik, berada di lingkungan
dingin atau berada di tempat yang lembab dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan invasi patogen eksogen angin, dingin dan lembab ke permukaan
tubuh. Invasi berpindah ke meredian dan kolateral, terjadi obstruksi sendi,
tulang dan tendon. Hal ini dapat mengakibatkan sirkulasi yang buruk dari Qi
dan darah yang akan berubah menjaadi sindom Bi.

b. Serangan angin, lembab dan panas pada tubuh

Terlalu lama berada di tempat yang lembab, panas dan terlalu lama
berada dalam cuaca angin dan panas menyebabkan serangan angin, lembab,
dan panas ke permukaan tubuh. Invasi berpindah ke meredian dan kolateral,
terjadi obstruksi sendi, tulang dan tendon. Hal ini dapat mengakibatkan sirkulasi
yang buruk dari Qi dan darah yang akan berubah menjadi sindrom Bi.

c. Diet yang tidak tepat


Mengkonsumsi makanan berlemak yang berlebihan kebiasaan makan
tidak teratur, berlebihan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau
minum berlebihan daoat merusak limpa dan lambung yang mempengaruhi
fungsi limpa dalam transportasi dan transformasi dan menyebabkan lembab
internal, panas dan plegma yang menghalangi aliran Qi dan darah meridian dan
menyebabkan sindrom Bi pada sendi.
d. Trauma
Trauma dapat merusak tendon dan pembuluh darah pada tungkai, sehingga
menghambat aliran Qi dan darah.
e. Overwork
Overwork, usia tua, lemahnya kongenital dan defisiensi Qi dan darah karena
penyakit yang lama atau setelah melahirkan dapat menyebabkan kelemahan
otot sehingga mudah terserang faktor patogen eksogen

3. Diferensiasi Sindrom
Diferensiasi sindrom Bi dalam Bai (1996), Liu (1996) dan Peng (2007) dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Sindrom Bi tipe Angin (Wandering Bi / Xing Bi)
Manifestasi dari sindrom ini adalah nyeri yang berpindah dan rasa sakit pada
tungkai, sendi dan otot serta keterbatasan gerak pada sendi. Selain itu,
Wandering Bi bisa disertai dengan perasaan takut dingin dan demam. Selaput
lidah putih tipis, dengan nadi superfisial.
b. Sindrom Bi tipe Dingin (Painful Bi / Tong Bi)
Manifestasi dari sindrom ini adalah nyeri yang menusuk dan menetap pada
sendi, terasa ringan jika dihangati dan diperberat oleh dingin, tetapi pada daerah
lokal tanpa disertai kemerahan dan rasa panas. Selaput lidah putih tipis dan nadi
tegang seperti senar.

c. Sindrom Bi tipe Lembab (Fixed Bi / Zhuo Bi)


Manifestasi dari sindrom ini adalah kekakuan dan rasa berat di tungkai, sakit
dan nyeri menetap pada sendi, terasa berat saat hari hujan atau mendung.
Selaput lidah putih lengket dengan nadi lambat.
d. Sindrom Bi tipe Panas (Heat Bi / Re Bi)
Manifestasi dari sindrom ini adalah nyeri pada tungkai atau sendi, sensasi panas
dengan kemerahan diarea lokal, serta bengkak dan nyeri yang menusuk. Demam
dengan rasa haus, selaput lidah kuning serta nadi cepat dan licin.
e. Sindrom Bi oleh karena Defisiensi Qi dan Darah
Manifestasi dari sindrom ini ditandai dengan demam ringan yang lama dan
nyeri didaerah sendi, kompleksi pucat, palpitasi, nafas pendek, kelemahan,
keringat spontan, nafsu makan buruk, loose stool, lidah pucat dan nadi tipis.
f. Sindrom Bi oleh karena Defisiensi Yang
Manifestasi dari sindrom ini ditandai dengan nyeri lama dan sensasi dingin di
sendi, diperparah saat dingin dan ringan dengan penghangatan, kompleksi pucat,
sansasi dingin di ekstremitas, lidah pucat dengan selaput lidah putih berlendir,
nadi dalam dan lemah.
g. Sindrom Bi oleh karena Defisiensi Yin
Manifestasi dari sindrom ini ditandai dengan nyeri lama pada sendi
dengan kelemahan dan kontraktur sendi, nyeri diperparah dengan panas dan
reda saat dingin, memburuk pada malam hari dan reda saat siang hari.
Manifestasi klinisnya adalah pusing, tinnitus, pipi merah, mulut kering,
kelemahan, keringat malam, sensasi panas di ekstremitas, lidah merah dengan
selaput tipis dan cepat.
h. Sindrom Bi oleh karena Flegma Mengobstruksi Aliran Qi dan Darah
Manifestasi dari sindrom ini ditandai dengan nyeri menusuk dan menetap, kulit
keunguan dan bengkak disekitar sendi, teraba keras, mati rasa dan berat pada
ekstremitas, adanya kekakuan dan deformitas pada sendi, lidah keunguan
dengan selaput lidah putih dan berminyak, nadi tegang dan seret.
i. Defisiensi Hati dan Ginjal
Manifestasi dari sindrom ini ditandai dengan nyeri yang lama, bengkak dan
kaku sendi, kelemahan an nyeri pada pinggang dan lutut, diperparah saat dingin
dan reda dengan penghangatan, lidah merah atau keunguan dengan selaput
lidah tipis dan kering, nadi dalam, lemah dan tipis atau nadi cepat dan tipis.
4. Terapi Akupunktur
a. Titik Lokal
1) Titik local untuk gejala nyeri pada sendi lutut (Shi, 2007):
EX LE 2 (Heding), EX LE 5 (Xiyan), ST 36 (Zusanli), EX LE 4 (Neixiyan),
SP 10 (Xuehai), GB 34 (Yanglinquan), Ashi points
2) Titik lokal pada untuk gejala nyeri pada sendi engkel (Shi, 2007)
ST 41 (Jiexi), GB 40 (Qiuxu), BL 60 (Kunlun), KI 3 (Taixi), Ashi points
3) Titik lokal arthritis untuk gejala nyeri pada sendi pergelangan tangan (Shi,
2007)
TE 5 (Waiguan), LI 5 (Yangxi), TE 4 (Yangchi), SI 4 (Wangu), PC 7
(Daling)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum


diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam
yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik
kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).

Reumatik dan reumatik atritis juga dikenal sebagai RA, atau radang sendi.
Atritis adalah dari sinovial baik akut ataupun kronis yang ditandai denganperadangan
sendi kronis. Sistemik adalah penyakit auto imun yang ditandai dengan infeksi
membran synovitis dan jaringan sekitarnya. Jika hal ini berlangsung dalam
jangkawaktu yang lama maka akan menyebabkan rusaknya tulang rawan dan kapsul
sendi yang ditandai dengan disfungsi sendi. Dalam TCM sendiri RA disebut dengan
“arthralgia (Bi Zheng)”.

B. Saran

Bagi mahasiswa diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang


reumatoid athritis. Bagi masyarakat, dapat meggambarkan dan menambah wawasan
serta dapat menanggulani saat terjadi penyakit appendisitis.
DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al.


(2010). Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81

Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The


Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12

Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The


Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of
the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11

Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media


Aesculapius, pp 835-839

McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N


Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19

Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di


Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594

Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan


ACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi


Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan


Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

ISBN

Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And


Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of
Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10

You might also like