You are on page 1of 2

Asyiknya Menjadi Klien

Citra Ayu Lestari / 6C

11160700000081

Pada saat mengambil mata kuliah mikro konseling saya mengetahui bahwa di mata
kuliah ini kami akan banyak melakukan praktik. Semua teori serta dasar-dasar konseling
yang telah dipelajari di mata kuliah psikologi konseling diimplementasikan pada praktik
konseling. Dan benar saja, pada pertemuan pertama Pak Bambang memberikan kuliah
pegantar yang disertai dengan pemberian tugas role play untuk minggu depan.

Tugas role play ini dikerjakan dengan cara berkelompok. Setiap kelompok
beranggotakan 7-8 orang yang nantinya akan mendapat giliran menjadi peran sebagai
konselor, observer, dan klien. Pada awalnya, setiap orang yang menjadi anggota dalam
kelompok saya merasa enggan untuk mendapat peran konselor. Kami merasa takut dan
nervous untuk menjadi seorang konselor yang ketika praktiknya harus dinilai oleh anggota
kelompok lainnya.

Karena tidak ada satu orang pun yang mau secara suka rela untuk menjadi konselor
pada role play pertama ini, akhirnya sesuai kesepakatan bersama Aisyah mendapat giliran
pertama untuk menjadi seorang konselor. Pada role play pertama ini, kelompok kami
memilih setting konseling individu. Dan teman-teman menunjuk saya sebagai seorang klien,
sedangkan sisanya akan menjadi observer.

Pada konseling pertama ini, saya sebagai klien memiliki masalah seputar dunia
perkuliahan. Saya berkonsultasi mengenai gangguan dan perasaan tidak nyaman yang saya
alami selama masa kuliah. Saya adalah seorang mahasiswi muslim yang merasa mendapat
perlakuan kurang menyenangkan dari lingkungan kampus yang memiliki latar belakang
agama yang berbeda dengan saya. Intinya saya memberikan sebuah kasus yang mana klien
memiliki konsep diri negatif dan merasa tertekan selama kegiatan akademik.

Dari kasus yang saya berikan tersebut, Aisyah sebagai konselor sangat terbuka dan
hangat. Konselor memiliki empati yang sangat baik, tercermin dari caranya merespon setiap
keluhan klien. Baik respon verbal maupun non verbal, konselor berhasil memberikan respon
yang tepat pada momen yang tepat. Konselor juga memberikan alternatif penyelesaian
masalah yang solutif.

Namun ada juga kekurangan yang saya rasakan sebagai klien. Sebagai klien yang
memiliki konsep diri yang negatif, saya sering mengutarakan pemikiran-pemikiran negatif
dan persepsi yang keliru mengenai orang-orang yang ada di sekitar kampus saya. Ketika saya
menyatakan hal ini kepada konselor, saya berharap konselor meruntuhkan atau menolak
pandangan saya yang keliru ini. Tapi pada praktiknya, konselor tidak memberikan respon
denial. Konselor hanya merespon dengan anggukan dan diam sesekali.
Untuk tahap permulaan konseling, konselor sudah baik dalam mencoba membangun
good rapport. Namun, saya merasa topik netral yang dibicarakan oleh konselor masih kurang
mengalir, terkesan text book, dan itu-itu saja. Seperti misalnya “kesini tadi naik apa? dengan
siapa?” “apakah dalam perjalanan kesini macet?”. Hal ini mungkin terjadi karena jam terbang
konselor yang belum tinggi.

Sedangkan untuk tahap pertengahan, konselor memiliki kemampuan menggali


permasalahan yang baik. Konselor memberikan solusi atau alternatif penyelesaian masalah
yang solutif. Sempat sesekali konselor terlihat seperti bingung untuk membahas apa. Karena
itu saya sebagai klien malah terus berbicara mengenai permasalahan yang lain, padahal
masalah yang sebelumnya belum terselesaikan. Sehingga menyebabkan konselor kurang
dalam segi pembatasan masalah. Dan untuk tahap penutup, konselor berhasil merangkum sesi
konseling dengan baik. Selain itu konselor juga memberikan tugas kepada klien yang saya
rasa sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan klien.

Lalu pada minggu berikutnya dilaksanakan konseling kedua. Pada konseling kedua
ini, Dewi mendapat giliran sebagai seorang konselor. Kali ini, kelompok kami melakukan
sesi konseling dengan setting kelompok. Yakni sesi koseling dengan satu konselor, tiga orang
klien, dan yang lainnya menjadi observer. Ketiga klien memiliki topik permasalahan yang
identik, yaitu seputar keluarga. Dan untuk kedua kalinya saya dipilih untuk menjadi klien,
bersama dengan dua orang klien lainnya yaitu Zita dan Aisyah.

Secara keseluruhan, sesi konseling yang diadakan oleh Dewi sama baiknya dengan
Sesi konseling yang diberikan Aisyah. Tahap permulaan diawali dengan membicarakan topik
netral. Ditengah usaha membangun good rapport dengan pembicaraan topik netral, saya
kaget ketika konselor menanyakan hewan kesukaan pada setiap klien. Saya merasa
pertanyaan ini kurang masuk dengan topik netral yang sebelumnya dibicarakan.

Pada tahap pertengahan, saya merasa Dewi tidak memberikan durasi yang sama pada
setiap kliennya. Klien pertama mendapat jatah pengidentifikasian masalah yang lebih lama
dibanding dengan klien lainnya. Sehingga menyebabkan penyelesaian masalah pada klien
kedua dan ketiga terasa kurang mendalam. Sisi baiknya, dalam konseling kelompok ini,
dukungan sosial antar klien dirasa sangat baik. Kemudian konseling ditutup dengan ringkasan
sesi konseling dan pemberian dukungan oleh konselor.

Ada beberapa hal yang membedakan sesi konseling pertama dengan yang kedua. Pada
sesi konselig pertama, intonasi dan suara Aisyah terdengar dengan jelas. Sedangkan pada sesi
konseling kedua, suara Dewi kurang terdengar dengan jelas, sehingga sempat beberapa kali
klien meminta konselor untuk mengulangi kalimatnya. Ekspresi wajah Dewi juga terlihat
datar.

Dan seperti itulah gambaran dua konseling yang telah saya lakukan dari sudut
pandang klien. Kedua konselor pada umumnya sudah menerapkan teknik konseling yang
baik. Terdapat perbedaan kelebihan dan kekurangan pada kedua konselor. Dua pengalaman
ini nantinya akan saya jadikan pelajaran untuk membangun sesi konseling yang lebih baik
lagi ketika saya mendapat giliran menjadi konselor.

You might also like