You are on page 1of 8

STIMULASI

PERKEMBANGAN BAHASA ANAK

Dadan Suryana (2016) menyatakan bahwa tujuan dilakukannya pendidikan


kesehatan kepada orangtua mengenai stimulasi perkembangan bahasa anak ini
adalah karena orangtua berperan sangat penting sebagai komunikator dalam
membangun kemampuan komunikasi dan berbahasa seorang anak, orang tua
secara tidak sadar mengajarkan bahasa baik verbal maupun nonverbal sejak dini.
Dapat dikatakan bahwa bahasa bukan lah sesuatu yang diturunkan, melainkan
sesuatu yang dapat dikuasi melalui proses pemerolehan yang harus dipelajari dan
ada yang mengajari serta merupakan hasil dari pengaruh lingkungan. Oleh sebab
itu peran orangtua, keluarga, lingkungan, bahkan pengasuh anak sangat
diperlukan dalam proses stimulasi pengembangan bahasa anak secara optimal.

A. Pengertian Stimulasi dan Stimulasi Perkembangan Bahasa Anak


Soetjiningsih (1998) menyatakan bahwa stimulasi adalah perangsangan yang
datangnya dari lingkungan di luar individu anak. Anak yang banyak mendapatkan
stimulasi akan lebih cepat berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan
tidak mendapatkan stimulasi. Stimulasi dapat juga berfungsi sebagai penguat.
Stimulasi kegiatan membina kemampuan dasar anak merupakan upaya untuk
mencegah kelambatan dan meningkatkan perkembangan anak. Stimulasi
pembinaan kemampuan dasar anak dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan
sesuai dengan umur anak. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh orang tua dan
anggota keluarga lainnya di lingkungan rumah tangga masing-masing dalam
kehidupan sehari-hari (Depkes RI, 2006).
Kegiatan-kegiatan stimulasi tumbuh kembang anak tersebut dikelompokkan
dalam 4 jenis, yaitu (Nia Kania, 2006):
1. Kegiatan stimulasi kemampuan gerak halus
2. Kegiatan stimulasi kemampuan gerak kasar
3. Kegiatan stimulasi kemampuan berbicara, bahasa, dan kecerdasan
4. Kegiatan stimulasi kemampuan bergaul dan mandiri

Maka dapat disimpulkan bahwa stimulasi perkembangan bahasa anak adalah


perangsangan untuk mengembangkan kemampuan bahasa pada anak yang
datangnya dari lingkungan di luar individu anak.
B. Stimulasi Perkembangan Bahasa Anak Secara Umum oleh Orang Tua
T.E. Setiati, dkk. (1997) menyatakan bahwa dengan kemampuan bahasa yang
memadai anak dapat mengembangkan kepercayaan diri dalam interaksi sosialnya.
Selain itu, kegunaan kemampuan bahasa yang sesuai usianya adalah dalam
perkembangan emosinya. Anak akan lebih mudah menguasai pemahaman akan
emosi dan situasi sekitarnya dengan kemampuan berbahasa, sehingga ia akan
mampu mengendalikan emosi dan menyesuaikannya sesuai situasi.
Semua kemampuan di atas tentunya akan bergantung pada bagaimana
orangtua menstimulasi perkembangan bahasa anak, karena anak tidak akan pernah
belajar cara menggunakan kata-kata kecuali mereka mendengarnya dari
orangtuanya. Anak-anak yang kaya dengan stimulasi bahasa (misalnya bercakap-
cakap dengan orang dewasa di sekitarnya, dibacakan buku, dan diminta
mengekspresikan pendapat dan perasaannya) akan lebih cepat menguasai
kemampuan berbahasa (S. Tanuwijaya, 2003).
Bagaimana orang tua dapat mengarahkan penguasaan kemampuan ini?
Berikut langkah-langkah untuk mengembangkan penguasaan bahasa anak (D.
Widyastuti & R. Widyani, 2001):
1) Berbicara Pada Anak Anda
Anak atau bahkan bayi kecil anda yang tampak tak berdaya itu ternyata lebih
cerdas dari tampilannya. Gunakan kalimat lengkap kepada bayi seakan ia sudah
besar. Hal ini akan memberikan penguasaan bahasa yang lebih awal dan
mempermudah anak memahami aturan bahasa.
2) Memberikan Contoh untuk Kata-Kata Baru yang Ingin Diajarkan
Bayi bagaikan manusia gua yang baru datang ke peradaban. Ia belum pernah
melihat, merasa atau berinteraksi dengan semua simbol baru bernama bahasa,
sehingga wajar bagi mereka untuk mendapatkan sebanyak mungkin contoh bagi
simbol-simbol baru tersebut. Cara sederhananya adalah dengan menyebutkan
nama dari tindakan orang tua pada bayi, misalnya “Kakak sekarang digendong
sama Nenek” atau “Sayang ibu” sambil membelaikan tangan anak ke pipi atau
kepala ibu.
3) Memberikan Detail untuk Kata yang Dikenalkan
Anak belajar nama-nama benda dari hal-hal yang umum dan semakin hari
semakin detail. Orang tua dapat membantu anak dengan memberikan nama
spesifik dan sifat spesifik kata yang sedang dipelajari. Misalnya saat melihat
ambulan, anak dikenalkan namanya, suaranya, dan fungsinya. Hal ini dapat
dilakukan saat membaca buku atau saat melihat bendanya secara langsung.
4) Menurunkan Tubuh Anda Setinggi Anak
Duduk atau berlutut sehingga anak dapat menatap mata orang tua. Hal ini akan
memastikan anak sudah fokus dan siap menerima informasi baru.
5) Memberikan Bantuan Kata-Kata Ketika Anak Sulit Mengungkapkan Ide
Atau Perasannya
Bantuan kata-kata tersebut, seperti “Adek lagi memperbaiki truk sampahnya
ya?”, “Kakak kesal tutupnya susah di buka? Ayo, Ayah bantu.” Hal ini akan
memberikan contoh untuk berpikir dan mengungkapkan bagi anak.
6) Ulangi yang Dikatakan oleh Anak
Hal ini akan menunjukkan pada anak bahwa orang tua mendengarkan sekaligus
mengajarkan sikap yang baik untuk berusaha saling mengerti.
Selain memastikan anak-anak mendapat gizi yang lengkap, orang tua dapat
memastikan anak mendapatkan stimulasi yang optimal lewat interaksi dan
responsivitas sesuai situasi dan perkembangan anak.

C. Stimulasi Perkembangan Bahasa Anak Berdasarkan Tahap


Perkembangan Bahasa Anak oleh Orang Tua
Piaget & Vygotsky (dalam Henry Guntur Tarigan, 1981) menyatakan bahwa
perkembangan bahasa pada anak memiliki beberapa tahap, yaitu tahap meraban
(pralinguistik) pertama, tahap meraban (pralinguistik) kedua: kata nonsense, tahap
linguistik I: holofrastik; kalimat satu kata, tahap linguistik II: kalimat dua kata,
tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, tahap linguistik IV: tata bahasa
pradewasa, tahap linguistik V: kompetensi penuh.
Tahap yang akan dijabarkan secara penuh pada saat ini adalah 3 tahap
pertama karena target peserta adalah orang tua dengan anak berusia 3 – 5 bulan
saja, sehingga tahap yang paling dekat dengan usia anak target peserta adalah 3
tahap pertama.
1) Tahap Meraban (Pralinguistik) Pertama
Pada tahap meraban pertama, selama bulan-bulan awal kehidupan, bayi-bayi
menangis, mendenguk, menjerit, dan tertawa. Bunyi-bunyian seperti ini dapat
ditemui dalam segala bahasa di dunia. Tahap ini dialami oleh anak berusia 0 - 5
bulan. Berikut adalah perinciannya (Henry Guntur Tarigan, 1981):
a. Usia 0 - 2 Minggu
1. Anak sudah dapat menghadapkan muka ke arah suara
2. Anak dapat membedakan suara manusia dengan suara lainnya, seperti bel,
bunyi gemerutuk, dan pluit
3. Anak akan berhenti menangis jika mendengar orang berbicara
b. Usia 1 - 2 Bulan
1. Anak dapat membedakan suku kata, seperti bu dan pa
2. Anak dapat merespons secara berbeda terhadap kualitas emosional suara
manusia, misalnya suara marah membuat anak menangis sedangkan suara
yang ramah membuat anak tersenyum dan mendekat, seperti suara merpati
c. Usia 3 - 4 Bulan
1. Anak sudah dapat membedakan suara laki-laki dan perempuan
d. Usia 5 - 6 Bulan
1. Anak mulai memperhatikan intonasi dan ritme dalam ucapan
2. Anak mulai meraban (mengoceh) dengan suara melodis

Dapat disimpulkan bahwa anak pada tahap meraban pertama sudah bisa
berkomunikasi walau hanya dengan cara menoleh, menangis, atau tersenyum.
Dengan demikian, orangtua dan anak sudah berkomunikasi dengan baik sebelum
anak dapat berbicara dan inisiatif untuk berkomunikasi ini datangnya dari orang
tua (Herbert H. Clark & Eve V. Clark. 1977).
Pada tahap ini orangtua dapat memulai memperkenalkan dan memperlihatkan
segala sesuatu kepada anaknya, seperti ibu mengatakan, "Nani sayang, Nani
cantik", maksudnya ibu tersebut mengenalkan nama si bayi yaitu Nani. Hal ini
biasanya dilakukan berulang-ulang dengan berbagai cara, misalnya ibu
mengatakan "Lihat! Ayah datang!" kemudian ibu mengarahkan wajah anak kepada
ayahnya. Hal ini berguna untuk mengenalkan konsep ayah kepada anaknya oleh
ibu tersebut (Dadan Suryana, 2016).

2) Tahap Meraban (Pralinguistik) Kedua: Kata Nonsense


Pada tahap ini anak mulai aktif dibandingkan tahap meraban pertama. Anak
sudah dapat memegang, mengangkat benda sangat ringan, atau menunjuk.
Berkomunikasi dengan anak-anak pada tahap ini mulai mengasyikkan karena
mereka mulai aktif berbicara. Henry Guntur Tarigan (1981) mengatakan tahap ini
juga disebut tahap kata tanpa makna.
a. Usia 5 - 6 Bulan
1. Anak semakin mengerti beberapa makna kata, seperti nama (diri sendiri atau
panggilan ayah dan ibunya), larangan, perintah, dan ajakan (misalnya
permainan "ciluk baa")
2. Anak mulai dapat melakukan gerakan mengangkat benda dan secara
spontan memperlihatkannya kepada orang lain. Dengan cara ini ada
beberapa kemungkinan yang ingin mereka sampaikan, seperti "Lihat, ini
bagus!" ingin memperlihatkan sesuatu; "Apa ini?" ingin mengetahui
sesuatu; "Pegang ini!" ingin meminta orang lain ikut memegang.

3. Pada tahap mengoceh (babbling) anak mengeluarkan bunyi dengan beragam


kombinasi, seperti menggabungkan huruf vokal dan konsonan menjadi
struktur yang mirip dengan suku kata, misal ma-ma-ma, ba-ba-ba, pa-pa-pa,
da-da-da-da, yang tanpa makna.
Pada saat anak mulai aktif mengoceh, maka orangtua juga harus rajin
merespons suara dan gerak isyarat anak. Henry Guntur Tarigan (1981)
mengatakan bahwa orangtua harus mengumpan balik untuk memelihara
vokalisasi anak agar anak tetap aktif meraban. Langkah awal latihan stimulus
yang dapat dilakukan orangtua pada tahap ini ialah mengucapkan kata-kata
yang bermakna. Seorang ibu yang bijaksana akan memanfaatkan masa ini
untuk menstimulus bahasa anak melalui pengenalan terhadap benda sebanyak
mungkin dan berulang, biasanya mainan yang dapat dipegang anak dan
menarik perhatian anak dari segi bentuk dan warna namun tetap tidak
membahayakan anak. Jika ibu mengabaikan anaknya yang mengoceh maka
anak tidak akan terstimulus bahasanya.
Soetjiningsih (1984) menyatakan bahwa sebaiknya dalam memilih mainan
yang akan diberikan pada anak, orangtua memilih Alat Permainan Edukatif
(APE), yaitu alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak,
disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangannya. Dengan menggunakan
APE maka orangtua dapat menstimulus perkembangan bahasa anak. Contoh
APE yang dapat menstimulus perkembangan bahasa anak adalah buku
bergambar, buku cerita, majalah, radio, tape, TV, dll.
b. Usia 7 - 8 Bulan
1. Anak sudah dapat mengenal bunyi kata untuk objek yang sering diajarkan
dan dikenalkan oleh orangtuanya secara berulang-ulang
2. Respon anak pun semakin baik, misal melambaikan tangan ketika ayahnya
atau orang yang dikenalnya akan pergi, bertepuk tangan, dan
menggoyangkan tubuh ketika mendengarkan nyanyian
c. Usia 8 Bulan - 1 Tahun
1. Anak mulai mencoba mengucapkan suku kata menjadi kata, misal bunyi
"bu" kemudian "bubu" dan terakhir baru mengucapkan kata "ibu", kemudian
bunyi "pa", "empah", baru kemudian anak dapat memanggil ayahnya "papa"
atau "bapak"
2. Selain mengoceh, anak juga menggunakan bahasa isyarat, misalnya dengan
menunjuk atau meraih benda. Gerakan isyarat ini berfungsi untuk
mengomunikasikan sesuatu dan meminta sesuatu atau meminta penjelasan.
Misalnya ketika anak meraih benda, tujuan anak tersebut ialah meminta
sesuatu atau meminta penjelasan akan benda tersebut.

Pada tahap ini peran orangtua masih sangat besar dalam menstimulasi
pemerolehan bahasa pertama anak. Orangtua dapat lebih aktif merespons
ocehan dan gerakan isyarat anak, sebab jika orangtua tidak memahami apa
yang anak maksudkan, maka anak akan kecewa dan untuk masa berikutnya
perkembangan bahasa anak dapat terganggu (Dadan Suryana, 2016).

3) Tahap Linguistik I: Holofrastik; Kalimat Satu Kata


Tahap holofrasa ini dialami oleh anak normal berusia sekitar 1 - 2 tahun. Waktu
berakhirnya tahap ini tidak sama pada setiap anak, ada yang lebih cepat namun
ada juga yang sampai berusia 3 tahun (Dadan Suryana, 2016).
1. Anak sudah mulai mengucapkan satu kata dan mengatakan satu kata
tersebut untuk menyatakan makna keseluruhan kalimat. Misalnya ketika
anak berkata, "asi" (maksudnya nasi) dapat berarti dia ingin makan nasi, dia
sudah makan nasi, nasi tidak enak, atau apakah ibunya mau makan nasi.

Jadi agar orangtua dapat memahami maksud tersebut, orangtua harus


mencermati keadaan anak dan lingkungan pada saat ucapan satu kata itu
diucapkan. Orangtua harus memahami bahwa pada tahap ini ingatan dan alat
ucap anak belum cukup matang untuk mengucapkan satu kalimat.

2. Kata pertama yang biasa dikuasai anak seperti pipis (buang air kecil),
mamam atau maem (makan), mah (mamah), pa (papah), bo (tidur)
3. Anak mengalami kesulitan mengucapkan bunyi tertentu, seperti r, s, k, j,
dan t

Sebagai tambahan informasi bahwa untuk menstimulasi perkembangan


bahasa pada anak berusia 4 tahun – 6 tahun dapat dilakukan dengan memberikan
intervensi stimulasi musik dan stimulasi retell story. Stimulasi musik merupakan
pemberian stimulasi berupa mendengarkan lagu anak-anak berbahasa Indonesia
secara berulang terus menerus. Stimulasi retell story ini maksudnya adalah
orangtua dapat menceritakan sebuah cerita anak-anak berbahasa Indonesia,
kemudian meminta anaknya untuk menceritakan ulang cerita tadi menggunakan
bahasanya anak sendiri (Rini Eko Kapti, dkk., 2015).

REFERENSI

Suryana, Dadan. 2016. Pendidikan Anak Usia Dini: Stimulasi & Aspek
Perkembangan Anak. Jakarta: Kencana.

Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Depkes RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Kania, Nia. 2006. Stimulasi Tumbuh Kembang Anak untuk Mencapai Tumbuh
Kembang yang Optimal. Bandung: Mizan Pustaka.

Setiati, T.E., dkk. 1997. Tumbuh Kembang Anak dan Masalah Kesehatan Terkini.
Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Kariadi.

Tanuwijaya, S. 2003. Konsep Umum Tumbuh dan Kembang. Jakarta: EGC.

Widyastuti, D. & Widyani, R. 2001. Panduan Perkembangan Anak 0 Sampai 1


Tahun. Jakarta: Puspa Swara.

Tarigan, Henry Guntur. 1981. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.


Bandung: Angkasa.

Clark, Herbert H. & Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language: An


Introduction to Psycholinguistics. America: Harcourt
Brace Jovanovich.

Soetjiningsih. 1984. Alat Permainan Edukatif, Kumpulan Makalah Ceramah


Berkala ke-II. Bali: Laboratorium Ilmu Kesehatan
Anak FK UNUD - ISWI.

Kapti, Rini Eko, dkk. Perbandingan antara Stimulasi Musik dengan Stimulasi
Retell Story terhadap Perkembangan Bahasa pada
Anak Usia Prasekolah di TK Puspita Malang. Jurnal
Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya 2015;
8(1).

You might also like