You are on page 1of 56

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang penelitian

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (PDPI, 2011).

Tuberkulosis (Tb) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di

dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah

mencanangkan tuberkulosis sebagai kedaruratan global (Global Emergency)

(Dias, H. M. et al, 2012). Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman

tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah kasus TB terjadi di Asia

tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari

jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir

2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk,

diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta

setiap tahun (WHO, 2012). Di tingkat global, Stop TB Partnership sebagai

bentuk kemitraan global, mendukung negara-negara untuk meningkatkan upaya

pemberantasan TB, mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan

akibat TB serta penyebaran TB di seluruh dunia. Stop TB Partnership telah


2

mengembangkan rencana global pengendalian TB Tahun 2011-2014 dan

dilanjutkan dengan program TOSS TB 2015-2018 (Temukan Obati Sampai

Sembuh paien TB) menetapkan target dalam pencapaian Tujuan Pembangunan

Milenium untuk TB ( Kemenkes, 2011).

Pernah dilaporkan oleh WHO bahwa Indonesia pada tahun 2014

merupakan penyumbang kasus TB nomor tiga di dunia setelah India, Cina dan

Afrika Selatan dan hal ini diperkirakan masih akan bertahan sampai akhir tahun

2015 (Dias, H. M., et al, 2012). Namun dalam laporan Kementrian Kesehatan

tahun 2011 menyatakan bahwa Indonesia sekarang berada pada peringkat ke-

lima setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria dengan beban TB tertinggi di

dunia dengan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000.

Indonesia diperkirakan ada 430 ribu kasus TB baru dan 169 orang diantaranya

meninggal setiap harinya. Pada tahun 2012 tercatat angka insidensi TB adalah

189/100.000 penduduk, angka prevalensi TB adalah 289/100.000 penduduk.

Sementara angka mortalitas TB adalah 27/100.000 penduduk dari jumlah

keseluruhan penduduk sekitar 249,9 juta jiwa (Kemenkes, 2012).

Salah satu provinsi dengan penderita TB yang masih ditemukan adalah

Daerah Maluku. Hal ini dibuktikan dengan penemuan kasus TB BTA positif,

secara statistik pada diagram batang dibawah ini menunjukkan bahwa Provinsi

dengan angka catatan kasus TB BTA positif di Indonesia tertinggi yaitu

Sulawesi Utara, kedua Gorontalo dan Maluku diurutan ketiga sedangkan yang

terendah DI Yogyakarta dan disusul Provinsi Bali. Meskipun demikian tetap

ada kerja sama untuk terus menurunkan angka tersebut.


3

Gambar 1: Catatan angka kasus TB paru BTA positif per 100.000 penduduk

menurut provinsi di Indonesia tahun 2012 ( Kemenkes RI, 2013).

Penderita TB dengan sikap patuh berobat tidak mudah dicapai. Oleh

karena itu ketidak patuhan minum obat anti tuberkulosis merupakan

masalah yang serius karena dapat mengakibatkan kuman menjadi resisten,

relaps, dan juga meningkatkan mordibitas serta mortalitas. Saat ini, kasus

TB kebal obat di Indonesia prevalensinya mencapai 1 sampai 2 persen dari

prevalensi TB biasa. Ketika sudah mulai kebal obat, TB butuh waktu

pengobatan lebih lama yaitu sampai 2 tahun sementara obatnya juga lebih

keras dan mahal (Wirawan, 2012). Ketidak patuhan dalam pengobatan juga

memberikan risiko penularan terhadap komunitas dan berdampak pada

gagalnya pemberantasan TB secara global (Volmink J et.al, 2012). Salah

satu faktor yang menyebabkan ketidak patuhan dalam pengobatan adalah


4

faktor sosial seperti tidak adanya dukungan sosial baik dari keluarga

maupun dari sesama penderita (peer) (WHO 2003). Dengan meningkatkan

dukungan dari keluarga dan juga peer akan dapat meningkatkan kepatuhan

dalam pengobatan (Munro et. al, 2007).

WHO telah menerapkan strategi DOTS (Direct Observed

Treatment Short course) dalam manajemen penderita TB untuk menjamin

pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang

pengawas minum obat (PMO). Dengan strategi DOTS angka kesembuhan

pasien TB menjadi > 85%. Obat yang diberikan juga dalam bentuk

kombinasi dosis tetap (fixed dose) karena lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan. Walaupun demikian angka penderita mangkir untuk

meneruskan minum obat tetap cukup tinggi.

Penulis melihat bahwa masalah TB paru di Indonesia khususnya

Daerah Istimewah Yogyakarta masih perlu mendapat perhatian yang serius.

Walaupun secara nasional telah menunjukkan kemajuan yang baik.

Khususnya untuk keberhasilan terapi terhadap pasien TB paru sangat

diharapkan. Namun untuk mencapai keberhasilan terapi pada pasien TB

paru khususnya sangat bergantung pada kepatuhan berobat pasien itu

sendiri. Kepatuhan berobat pasien TB paru ini sendiri dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain pengetahuan, pekerjaan, pendapatan, efek

samping OAT, PMO, dan edukasi yang adekuat dari petugas medis yang

akan diteliti dan dibahas oleh penulis dalam penelitian ini.


5

1.2 Masalah penelitian

Setelah meninjau tentang perkembangan jumlah penderita TB paru di

Indonesia khususnya Daerah Maluku yang masih tinggi. Secara tidak

langsung terlihat adanya tantangan pada pencapaian keberhasilan terapi

yang berkaitan erat dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di Maluku

khususnya. Pada penelitian ini penulis tertarik mengangkat masalah

penelitian tentang “Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

berobat pada pasien TB paru di Puskesmas Bula Seram Bagian Timur,

Maluku”

1.2.1 Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan dengan

kepatuhan berobat pasien tuberkulosis paru di Puskesmas

Bula Seram Bagian Timur, Maluku?.

1.2.2 Apakah terdapat hubungan antara PMO dengan kepatuhan

berobat pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Bula Seram

Bagian Timur, Maluku?.

1.2.3 Apakah terdapat hubungan antara edukasi yang adekuat dari

petugas medis dengan kepatuhan berobat pasien

tuberkulosis paru di Puskesmas Bula Seram Bagian Timur,

Maluku?.
6

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum :

Menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

berobat pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Bula Seram

Bagian Timur,Maluku.

1.3.2 Tujuan khusus :

1.3.2.1 Untuk menganalisis hubungan antara kepatuhan berobat

dengan pengetahuan pasien TB Paru di Puskesmas Bula

Seram Bagian Timur, Maluku.

1.3.2.2 Untuk menganalisis hubungan antara PMO dengan

kepatuhan berobat pasien TB Paru di Puskesmas Bula Seram

Bagian Timur, Maluku.

1.3.2.3 Untuk menganalisis hubungan antara kepatuhan berobat

pasien TB Paru dengan edukasi yang adekuat dari petugas

kesehatan di Puskesmas Bula Seram Bagian Timur, Maluku.

1.4. Manfaat penelitian

Beberapa manfaat penelitian ini ditujukan kepada :

1.4.1 Puskesmas Bula Seram Bagian Timur, Maluku

1.4.1.1 Tenaga medis dalam hal ini para dokter dan perawat dapat menjadi

bahan masukan guna mengoptimalkan layanan kesehatan terhadap

pasien tuberkulosis paru yang berobat di Puskesmas Bula Seram

Bagian Timur, Maluku.


7

1.4.1.2 Pasien tuberkulosis paru Puskesmas Bula Seram Bagian Timur,

Malukus secara tidak langsung dapat menyampaikan tantangan -

tantangan yang ada terkait kepatuhan berobat dengan OAT.

1.4.2 Peneliti

Untuk menambah pengetahuan & pengalaman peneliti terkait

penelitian yang dilakukan ; dan Untuk melatih peneliti dalam

melakukan sebuah penelitian ilmiah dalam program pengabdian dokter

internship.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan pustaka


2.1.1 Definisi, Etiologi dan Penularan Penyakit Tuberkulosis

2.1.1.1 Definisi, Etiologi.

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Micobacterium tuberculosis (dan kadang-kadang oleh M.

bovis dan africanum). Organisme ini disebut pula sebagai basil

tahan asam (Hasan, 2010). Pada orang dewasa merupakan

tuberkulosis paru pasca primer yang berarti infeksi tuberkulosis

pada penderita yang telah mempunyai imunitas spesifik terhadap

tuberkulosis (Palilingan dkk, 2005).

Gambar 2 : Sebelah kiri tanda dan gejala infeksi TBC,


sebelah kanan kuman TBC.
Sumber: tuberkulosis.org
9

2.1.1.2 Penularan Penyakit Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis terjadi melalui udara (airborne

spreading) dari “droplet” infeksi. Sumber infeksi adalah

penderita Tuberkulosis (TB) yang membatukkan dahaknya,

dimana pada pemeriksaan hapusan dahak umumnya ditemukan

BTA positif. Batuk akan menghasilkan droplet infeksi (droplet

nuclei). Pada sekali batuk dikeluarkan 3000 droplet. Penularan

umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Sinar

matahari dapat membunuh kuman dengan cepat, sedang pada

ruangan gelap kuman dapat hidup. Risiko penularan infeksi akan

lebih tinggi pada BTA (+) dibanding BTA (-). Penyakit

tuberkulosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur

hidup. Setelah seorang terinfeksi kuman tuberkulosis, hampir

90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan tes

tuberkulin positif, 10% akan sakit. Penderita yang sakit, bila

tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan

meninggal, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yamg baik dan

25% menjadi kronik dan infeksius (Hasan, 2010).


10

Gambar 3 : Penularan kuman M. Tuberculosis pada manusia.

Sumber: Kumar dkk, EGC, 2007 : 189-1. 2.

2.1.2 Patogenensis Penyakit Tuberkulosis

Patogenesis dan manifestasi patologi tuberkulosis paru

merupakan hasil respon imun seluler (cell mediated immunity) dan

reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen kuman

tuberkulosis.

Berdasarkan perjalanan dan periode perjalanan penyakitnya,

patogenesis penyakit tuberkulosis dibagi menjadi:

a) Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan

bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang

pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer

ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan

sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran

getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut


11

diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis

regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

dikenal dengan kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami

salah satu keadaan sebagai berikut:

 Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali.

 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang

Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus).

Menyebar dengan cara:

o Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh

adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan

bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus

yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada

saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasi.

o Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan

maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.

o Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini

berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi

kuman dampaknya seperti tuberkulosis milier, meningitis

tuberkulosis. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal,

genitalia dan sebagainya (PDPI, 2011).


12

b) Tuberkulosis Postprimer

Terjadi pada periode laten (beberapa bulan/tahun) setelah

infeksi primer. Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. TB post

primer umumnya menyerang paru, tetapi dapat pula di tempat lain

diseluruh tubuh umumnya pada usia dewasa. Karakteristik TB post

primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas,

hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat

limfadenopati intratoraks. Tuberkulosis post primer dimulai dari

sarang dini yang umunya pada segmen apikal lobus superior atau lobus

inferior. Awalnya terbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang ini dapat

mengalami salah satu keadaan sebagai berikut:

 Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.

 Sarang meluas, tetapi segera mengalami penyembuhan

berupa jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif

kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan

menimbulkan kavitas.

 Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju, yang

bila dibatukkan akan menimbuklan kaviti. Kavitas awalnya

berdinding tipis kemudian menjadi tebal (kavitas sklerotik)

(Hasan, 2010).
13

2.1.3 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis

Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis

dan menurut regional WHO jumlah kasus TB terjadi di Asia tenggara

yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah

penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2

kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk,

diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3

juta setiap tahun (WHO, 2012). laporan Kementrian Kesehatan tahun

2011 menyatakan bahwa Indonesia sekarang berada pada peringkat ke-

lima setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria dengan beban TB

tertinggi di dunia dengan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah

sebesar 660,000. Pada tahun 2010, angka insidensi TB adalah

189/100.000 penduduk. Angka prevalensi TB adalah 289/100.000

penduduk. Sementara angka mortalitas TB adalah 27/100.000 penduduk

(Kemenkes, 2012). Di indonesia diperkirakan setiap tahun 450.000

kasus baru TB dimana 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3

ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah, praktek swasta

dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan. Sedangkan

kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun (Kemenkes, 2012).

Estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah

kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.

Indonesia juga merupakan negara dengan percepatan peningkatan

epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. Estimasi


14

nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%. Angka MDR-

TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah

dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB

dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus

MDR TB setiap tahunnya (Kemenkes, 2011).

Gambar 4: Proporsi kasus baru BTA positif menurut kelompok


umur tahun 2012. Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013.
2.1.4 Definisi kasus dan Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

2.1.4.1 Definisi kasus

A. Suspek TB : seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala

umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu

disertai gejala pernapasan (sesak napas, nyeri dada,

hemoptisis) dan atau gejala tambahan (tidak nafsu makan,

penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah).


15

B. Kasus TB : pasien TB yang telah dibuktikan secara

mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter atau petugas TB

untuk diberikan pengobatan TB.

C. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif M.

Tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan,

sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya

BTA positif.

2.1.4.2 Klasifikasi penyakit tuberkulosis

Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan :

A. Klasifikasi berdasarkan lokasi atau organ tubuh yang

sakit: paru atau ekstra paru.

a) TB paru adalah kasus TB yang menyerang jaringan

(parenkim) paru. TB Milier diklasifikasikan sebagai

TB paru lesinya terletak dalam paru.

b) TB ekstra paru adalah kasus TB yang menyerang

organ tubuh lain selain paru, seperti pleura, kelenjar

getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus),

selaput jantung (perikardium), tulang, persendihan,

kulit, abdomen, traktus genitourinarius dan selaput

otak. Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada

beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru

pada organ yang penyakitnya paling berat. Pasien


16

dengan TB paru dan TB ekstra paru diklasifikasikan

sebagai TB paru (Hasan, 2010).

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

mikroskopis, keadaan ini terutama ditujukan pada TB

Paru.

a) TB paru BTA positif, sekurang-kurangnya 2 dari 3

spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu

spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto

toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

Atau juga satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif dan biakan kuman TB positif; bisa juga satu

atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3

spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya

hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

b) Tuberkulosis paru BTA negatif, kasus yang tidak

memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Hasil

pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif.

Berikutnya jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua

kali negatif didaerah yang belum memiliki fasilitas

kultur M. Tuberculosis . Atau jika memenuhi kriteria

hasil toto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif

(Hasan, 2010).
17

C. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Klasifikasi ini masuk sebagai tipe pasien TB.

2.1.5 Tipe Penderita Penyakit Tuberkulosis

2.1.5.1 Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan

(4 minggu).

2.1.5.2 Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

2.1.5.3 Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah

berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA

positif.

2.1.5.4 Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil

pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2.1.5.5 Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan

dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

2.1.5.6 Kasus lain: adalah semua kasus yang tidak memenuhi

ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik,

yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

setelah selesai pengobatan ulangan (PPDI, 2011).


18

2.1.6 Pemeriksaan Tuberkulosis

Menurut KEMENKES RI (2013), diagnosis ditegakkan melalui

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga

spesimen “Sewaktu Pagi Sewaktu” (SPS) dahak secara mikroskopis

langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan

murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.

Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program

penanggulangan TB Paru adalah :

a) Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi.

b) Menilai kemajuan pengobatan.

c) Menentukan tingkat penularan.

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan

dilakukan pada :

2.1.6.1 Akhir tahap intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif

kategori 2.

2.1.6.2 Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif

dengan kategori 2.
19

2.1.6.3 Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita

BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan

ke-8 pengobatan ulang BTA positf dengan kategori 2.

2.1.7 Pengobatan Tuberkulosis

2.1.7.1 Prinsip Pengobatan TB

Menurut PERMENKES RI NO 5 TAHUN 2014 Pengobatan

tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

2.1.7.1.1 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa

jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tetap sesuai

dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT

tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis

Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan.

2.1.7.1.2 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat,

dilakukan pengawasan langsung DOTS (Directly

Observed Treatment Short - course) oleh seorang

Pengawas Menelan Obat (PMO). Praktisi harus

memastikan bahwa obat-obatan tersebut digunakan

sampai terapi selesai.

2.1.7.1.3 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap

intensif dan lanjutan.


20

Semua pasien (termasuk pasien dengan infeksi HIV) yang

tidak pernah diterapi sebelumnya harus mendapat terapi

Obat Anti TB (OAT) lini pertama (Tabel 2).

1. Fase Awal (Intensif) selama 2 bulan, terdiri dari:

Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol.

2. Fase lanjutan selama 4 bulan, terdiri dari: Isoniazid dan

Rifampisin

3. Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan Terapi

rekomendasi internasional, sangat dianjurkan untuk

penggunaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT/fixed-dose

combination/ FDC) yang terdiri dari 2 tablet (INH dan

RIF), 3 tablet (INH, RIF dan PZA) dan 4 tablet (INH, RIF,

PZA, EMB).

Tabel 2. Dosis Obat TB Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB

Dosis Obat TB Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB


Obat Harian 3x seminggu
INH* 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900 mg/dosis
RIF 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600
mg/dosis
PZA 25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400
mg/dosis
EMB 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400
mg/dosis

2.1.7.2 Tujuan pengobatan TB

Tujuan pengobatan TB menurut WHO (2010) didalam PERMENKES

RI No 5 TAHUN 2014 adalah:


21

a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup

dan produktivitas pasien.

b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.

c. Mencegah kekambuhan TB.

d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.

e. Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.

2.1.7.3 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan pengobatan pada pasien TB paru menurut PERMENKES RI

NO 5 TAHUN 2014 adalah sebagai berikut:

Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC

untuk dewasa dan FDC untuk anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa

terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet 4FDC mengandung 4 macam

obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg

Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk

pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Tablet 2

FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150 mg Isoniasid (INH) dan

150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermiten

3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun tablet

2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk

melengkapi paduan obat kategori II tersedia obat lain yaitu: tablet

etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial @750 mg).

Tablet FDC untu anak-anak terdiri dari tablet 3FDC dan 2FDC.

Kedua jenis tablet diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0 –


22

14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3 macam obat antara lain: 30 mg

INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini digunakan

untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC

mengandung 2 macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin.

Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan.

Sama halnya dengan pemberian pada pasien dewasa, pemberian jumlah

FDC pada pasien anak juga disesuaikan dengan berat badan anak.

Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan

pasien. Untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori I dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3: Pengobatan TB paru pada orang dewasa kategori I


Berat Tahap Intensif tiap Tahap Lanjutan 3 kali
Badan hari seminggu selama 16 minggu
selama 56 hari
30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC
23

Sedangkan untuk pasien TB dewasa yang masuk dalam kategori II, dosis

dan aturan pakai FDC yang harus diberikan yaitu:

Tabel 4: Pengobatan TB paru pada orang dewasa kategori II

Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali


badan Selama 56 hari Selama 28 hari seminggu selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tab 4FDC 2 tab 4FDC 2 tab 2FDC + 2 tab Etambutol
+ 500 mg Streptomisin
Inj.
38 – 54 kg 3 tab 4FDC + 750 mg 3 tab 4FDC 3 tab 2FDC + 3 tab Etambutol
Streptomisin Inj.
55 – 70 kg 4 tab 4FDC + 1000 mg 4 tab 4FDC 4 tab 2FDC + 4 tab Etambutol
Streptomisin Inj.
≥ 71 kg 5 tab 4FDC + 5 tab 4FDC 5 tab 2FDC + 5 tab Etambutol
Streptomisin Inj.
Catatan:

Setiap vial Streptomisin mengandung 750 mg dilarutkan dalam 3 ml

aquabidest. Dosis ini dapat dianggap sebagai 3 dosis @ 250 mg yang

digunakan untuk kelompok pasien dengan BB 38 – 54 kg. Untuk kelompok

pasien dengan BB lain, dosisnya disesuaikan dengan jumlah tablet yang

diminum, misalnya untuk pasien yang memerlukan hanya 2 tablet, juga

hanya memerlukan 2 ml suntikan sterptomisisn (1 ml = 250 mg. Untuk

pasien berumur lebih dari 60 tahun diberikan suntikan streptomisin

maksimum 500 mg/hari. Injeksi streptomisin diberikan setelah pasien

selesai menelan obat. Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada pasien

TB BTA positif tidak terjadi konversi maka diberikan OAT sisipan berupa

tablet 4FDC setiap hari selama 28 hari.

Dosis dan aturan pakai FDC untuk anak-anak yaitu:


24

Tabel 5: Pengobatan TB paru pada anak-anak.

Berat Badan Tahap Intensif tiap Tahap Lanjutan tiap hari


hari selama 4 bulan
selama 2 bulan
≤ 7 kg 1 tablet 3FDC 1 tablet 2FDC
8 – 9 kg 1,5 tablet 3FDC 1,5 tablet 2FDC
10 – 14 kg 2 tablet 3FDC 2 tablet 2FDC
15 – 19 kg 3 tablet 3FDC 3 tablet 2FDC
20 – 24 kg 4 tablet 3FDC 4 tablet 2FDC
25 – 29 kg 5 tablet 3FDC 5 tablet 2FDC

OAT-FDC tersedia dalam kemasan blister. Tiap blister terdapat 28 tablet.

Tablet 4FDC dan 2FDC dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @28

tablet. Untuk tablet etambutol 400 mg dikemas dalam dos yang berisi 24

blister @ 28 tablet. Streptomisisn injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial

@ 750 mg. Untuk penggunaan streptomisin injeksi diperlukan aquabidest

dan disposable syringe 5 m l dan jarum steril. Aquabidest tersedia dalam

kemasan vial @ 5 ml dalam dos yang berisi 100 vial.

2.1.8 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan

pendekatan gejala menurut KEMENKES RI (2013).


25

Tabel 6: efek samping Obat Anti Tuberkulosis

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

1) Efek Samping Ringan (Minor)

Tidak ada nafsu Rifampisin Semua OAT diminum


makan, mual, sakit malam sebelum tidur
perut
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6
terbakar di kaki (piridoxin) 100 mg per
hari
Warna kemerahan Rifampisin Tidak perlu diberi apa-
pada air seni (urin) apa, tapi perlu penjelasan
kepada pasien.

2) Efek Samping Berat (Mayor)

Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Berikan dulu anti-


kulit histamin, sambil
meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Jika
tidak mereda, hentikan
semua OAT.
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol.
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan,
keseimbangan ganti Etambutol.
Ikterus tanpa Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
penyebab lain sampai
ikterus menghilang.
Bingung dan Hampir semua OAT Hentikan semua OAT,
muntah-muntah segeralakukan tes fungsi
(permulaan ikterus hati
karena obat)
Gangguan Etambutol Hentikan Etambutol.
penglihatan
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan
(syok)
26

Pada UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) Rujukan penanganan

kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka

pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”

dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk

menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek

samping tersebut.

b. Efek samping hepatotoksis bisa terjadi karena reaksi

hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk

membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi

kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam

proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul

reaksi, berarti hepatotoksis karena reaksi hipersensitivitas.

c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah

diketahui, misalnya pirasinamid, etambutol atau streptomisin,

maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat

tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.

Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini

akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.

d. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas

(kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Bila pasien dengan

reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut


27

HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun,

jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif

sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat

(Kemenkes RI, 2013).

2.1.9 Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-course)

Lima kunci utama dalam strategi DOTS yaitu: (1) Komitmen; (2)

Diagnosis yang benar dan baik; (3) Ketersediaan dan lancarnya

distribusi obat; (4) Pengawasan penderita minum obat; (5)

Pencatatan dan pelaporan penderita dengan sistem kohort. Kunci

sukses penanggulangan TB adalah menemukan penderita dan

mengobati penderita sampai sembuh. WHO menetapkan target

global Case Detection Rate (CDR) atau penemuan kasus TB

menular sebesar 70%, dan Cure Rate (CR) atau angka

kesembuhan/ keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Pencapaian

untuk menurunkan angka mortalitas dan mobiditas sangat

diinginkan oleh pemerintah terhadap kasus Tuberkulosis paru.

Pengobatan yang teratur dan tuntas merupakan suatu usaha

pengendalian penularan TB Paru yang telah dilakukan oleh

pemerintah melalui strategi DOTS. Strategi DOTS yang telah

gencar dilakukan telah menunjukkan angka kesembuhan pasien

menjadi >85%. Masa pengobatan penderita TB Paru mempunyai

kebiasaan pindah berobat dengan alasan tidak ada perubahan

(tidak sembuh) dan sakitnya bertambah parah. Panduan OAT


28

jangka pendek dan peran Pengawas Menelan Obat (PMO)

merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita

(WHO, 2011).

2.1.10 Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis

Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka

menuruti, disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora

(2004), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu

tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan

hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang

dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan

kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan

terhalangnya kesembuhan. Menurut Sacket (Ester, 2000),

kepatuhan berobat penderita TB adalah sejauh mana perilaku

penderita TB sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

profesional kesehatan. Masalah Kesehatan Akibat Ketidak

patuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis

Ketidak patuhan penderita TB paru dalam menjalani

pengobatan OAT ternyata memiliki dampak. dampaknya

terhadap masalah kesehatan dalam hal ini pemberantasan

penyakit TB sendiri, terkhususnya TB paru. Hal ini dikenal

sebagai resistensi terhadap OAT. Ada beberapa jenis atau

kategori resistensi terhadap obat TB, yaitu:


29

a. Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT lini

pertama

b. Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT

lini pertama, tetapi tidak resisten terhadap INH dan

Rifampisin secara bersama-sama.

c. Multidrug-resistance (MDR): kekebalan terhadap

sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin. Secara

singkat MDR-TB adalah resistensi terhadap INH dan

rifampisin secara bersama dengan atau tanpa OAT lini

pertama yang lain.

d. Extensive drug-resistance (XDR): terjadi kekebalan

terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon sebagai

OAT lini kedua, dan sedikitnya salah satu dari OAT

injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan

amikasin).

e. Totally drug-resistance (TDR): resistensi total ini dikenal

juga dengan istilah super XDR-TB, yaitu didefinisikan

dengan kuman yang sudah resisten dengan seluruh OAT

lini pertama (INH, rifampisin, etambutol, streptomisin,

pirazinamid) dan OAT lini kedua (amikasin, kanamisin,

kapreomisin, fluorokuinolon, tionamid, PAS)

(Soedarsono, 2010).
30

2.1.11 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut

menurut PPDI (2011):

a. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang

dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

tersumbatnya jalan nafas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial

c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau

retraktif) pada paru.

d. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan:

kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.

e. Penyebaran infeksi keorgan lain seperti otak, tulang, persendian,

ginjal dan sebagainya.

f. Insufisiensi Kardio Pulmoner.

Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap

dirumah sakit. Penderita TBC paru dengan kerusakan jaringan luas

yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk

darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus sembuh.

Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan,

tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis. Bila pendarahan berat,

penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.


31

2.1.1 Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat

2.1.1.1 Pengetahuan

Pengetahuan penderita tuberkulosis adalah semua informasi

yang diperoleh penderita tuberkulosis mengenai program

pengobatan. Meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan

perubahan persepsi dan kebiasaan seseorang karena dari

pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak didasari

oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Faktor pengetahuan

mempengaruhi kepatuhan dalam pengobatan. Pengetahuan

penderita yang sangat rendah dapat menentukan terjadinya ketidak

patuhan penderita minum obat karena kurang informasi yang

diberikan oleh petugas kesehatan tentang penyakit TB paru, cara

pengobatan, bahaya akibat tidak teratur minum obat dan

pencegahannya (Erawatyningsih, 2009). Tingkat pengetahuan

penderita yang rendah akan berisiko lebih dari dua kali terjadi

kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita yang

memiliki pengetahuan tinggi. Ketidak patuhan tatalaksana

pengobatan ini meliputi keteraturan pengobatan, pemeriksaan dahak

ulang pada akhir pengobatan fase awal dan satu bulan sebelum akhir

pengobatan fase lanjut (Fahruda, 1999). Begitu pula dijelaskan oleh

penelitian lainnya, bahwa ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan penderita dengan kepatuhan pengobatan, menyatakan


32

bahwa rendahnya pengetahuan penderita menyebabkan ketidak

patuhan penderita dalam pengobatan karena penderita kurang

mendapatkan penyuluhan dan informasi (KIE) yang adekuat baik

dari petugas kesehatan aupun media komunikasi lainnya (Ridwan,

1992).

2.1.1.2 PMO

Menurut PDPI (2011), tugas PMO antara lain:

a. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik.

b. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum

obat.

c. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai

jadwal yang telah ditentukan yaitu akhir bulan kedua, 1 bulan

sebelum akhir pengobatan dan atau akhir bulan pengobatan.

d. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara

teratur hingga selesai.

e. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien

agar tetap mau menelan obat serta merujuk pasien bila efek

samping memberat.

f. Melakukan kunjungan rumah (jika PMO bukan anggota

keluarga).

Penelitian Sumarman dan Krisnawati (2012) yang menemukan

bahwa peran PMO yang kurang baik berisiko sebesar tiga kali

untuk menyebabkan pasien tidak patuh periksa ulang dahak


33

pada fase akhir pengobatan dibandingkan dengan pasien yang

memiliki peran PMO yang baik. Sama halnya yang ditemukan

oleh Sumange (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara

peran PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru.

Dukungan sosial oleh PMO berupa dukungan emosional

meningkatkan motivasi kepada penderita TB Paru untuk

sembuh.

2.1.1.3 Edukasi adekuat dari petugas kesehatan

Edukasi petugas kesehatan yang baik terkait

keterangan pengobatan OAT adalah ketika pasien TB paru

dapat menerima dan memahami informasi tersebut. Sehingga

bisa digunakan untuk menjalani terapi OAT dalam waktu

pengobatan. (Rusen, 2007). Hubungan yang saling mendukung

antara pelayanan kesehatan dengan penderita TB Paru serta

keyakinan penderita terhadap pelayanan kesehatan merupakan

faktor yang penting bagi penderita TB paru untuk

menyelesaikan pengobatannya (Rahmat, 2012).


34

2.2 Landasan teori

Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang

disebabkan oleh bakteri Micobacterium tuberculosis (dan kadang-

kadang oleh M. bovis dan M. africanum). Organisme ini disebut pula

sebagai basil tahan asam (Hasan, 2010). Penanganan pada pasien Tb

paru dilakukan dengan pemberian obat anti tuberkulosis.

Pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan

tingkat penularan. Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi,

FDC (Fixed-Dose Combination) dari beberapa jenis, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman

Micobacterium tuberculosis (termasuk kuman persisten) dapat

dibunuh. Dalam pengobatan terhadap pasien TB paru ini

memerlukan kepatuhan pasien TB paru sendiri. Untuk menjamin

kepatuhan pasien menelan obat dilakukan pengawasan langsung

DOTS oleh seorang pengawas menelan obat (Kemenkes, 2014).

Diharapkan penderita TB paru dapat teratur dalam menjalani

pengobatan dengan cara ini. Namun dalam kenyataannya terdapat

beberapa hal yang mempengaruhi tingkat kepatuhan berobat pasien

TB paru, diantaranya: pengetahuan, pengawas menelan obat (PMO),

edukasi dari petugas kesehatan (Kemenkes, 2014).


35

2.3 Kerangka teori

Definisi, Etiologi, Penularan

Patogenesis

Epidemiogi

Pemeriksaan

Penyakit
tuberkulosis
Definisi &
Klasifikasi kasus

Komplikasi Tujuan

Paduan OAT
Pengobatan
Efek samping

Strategi DOTS
Prinsip

Edukasi Petugas
kesehatan
Pengetahuan

Kepatuhan

PMO
36

2.4 Kerangka konsep

Pengetahuan

Tingkat kepatuhan
PMO berobat:
Patuh dan;
Tidak patuh

Edukasi dari
petugas kesehatan

Keterangan:

Variabel yang
diteliti
37

2.5 Hipotesis

2.5.1 Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan

berobat pasien Tb paru di Puskesmas Bula Seram Bagian

Timur, Maluku.

2.5.2 Terdapat hubungan antara PMO dengan kepatuhan berobat

pasien Tb paru di Puskesmas Bula Seram Bagian Timur,

Maluku.

2.5.3 Terdapat hubungan antara edukasi dari petugas kesehatan

dengan kepatuhan berobat pasien Tb paru di Puskesmas Bula

Seram Bagian Timur, Maluku.


38

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian analitis deskriptif jenis studi cross sectional retrospektif. Pada

studi cross sectional retrospektif dilakukan identifikasi subyek yang telah

terkena penyakit (TB paru) yang pernah atau sedang berobat, menjalani

terapi OAT. Kemudian ditelusur secara retrospektif mengenai ada atau

tidaknya faktor-faktor yang diduga berperan (sudah) terhadap kepatuhan

berobat pasien.

Maret 2019 Mei 2019

Diagnosis pertama, Ketidak patuhan


Tidak patuh,
menjalani terapi

3.2 Tempat dan waktu penelitian

3.2.1 Tempat

Penelitian ini akan dilakukan bertempat di Puskesmas Bula

Seram Bagian Timur, Maluku.

3.2.2 Waktu

Waktu penelitian dari bulan Maret sampai bulan April 2019.


39

3.3 Populasi dan sampling

3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan

tuberkulosis paru yang telah didiagnosis oleh dokter umum,

pada periode waktu Maret 2019 sampai Mei 2019 yang

sedang menjalani terapi OAT.

3.3.2 Sampling

Sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan

sampel yang didapatkan dari rekam medis Puskesmas Bula

Seram Bagian Timur, Maluku pada bulan Maret 2019

sampai bulan Mei 2019.

3.3.2.1 Kriteria inklusi

3.3.2.1.1 Pasien rawat jalan telah didiagnosis TB paru

3.3.2.1.2 oleh dokter yang berusia > 14 tahun dan < 70

tahun terdaftar dan memiliki data RM tertera

identitas pasien, alamat tempat tinggal, nomor

telepon/Hp, diagnosis, riwayat pengobatan

OAT.

3.3.2.1.3 Pasien bersedia terlibat dalam penelitian (siap

diwawancara dengan kuesioner yang telah

disiapkan).
40

3.3.2.2 Kriteria eksklusi

3.3.2.2.1 Pasien dengan diagnosis TB ekstra paru atau

komplikasi dan XDR/MDR. Pasien berusia <

14 tahun dan > 70 tahun.

3.3.2.2.2 Pasien tidak bersedia terlibat dalam penelitian

(siap diwawancara dengan kuesioner yang telah

disiapkan).

3.3.2.2.3 Pasien tidak datang memgambil obat OAT atau

kontrol ke Puskesmas Bula.

3.4 Variabel penelitian dan definisi operasional

3.4.1 Variabel bebas

3.4.1.1 Variabel bebas adalah merupakan variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan

atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2006).

Variabel bebas yang diteliti adalah Pengetahuan,

edukasi petugas kesehatan, PMO.


41

Tabel 7: variabel-variabel bebas dalam penelitian

No. Variabel Definisi Operasional Skala Kategori


1. Pengetahuan Hasil dari tahu, dan ini Nominal 1. Mengetahui bahaya
terjadi setelah orang penyakit Tb paru dan
melakukan penginderaan pengobatan yang harus
terhadap suatu objek dilakukan.
tertentu. 2. Tidak mengetahui
bahaya penyakit Tb paru
dan pengobatan yang
harus dilakukan.
2 Edukasi Peran dokter atau petugas Nominal 1. Pasien memahami
petugas kesehatan lainnya, apakah keterangan pengobatan
kesehatan keterangan yang diberikan OAT
kepada pasien dapat 2. Pasien tidak memahami
dipahami dengan baik atau keterangan pengobatan
tidak oleh pasien OAT

3 PMO Penilaian dari penderita Nominal 1. Kurang


TB Paru terhadap hal-hal 2. Baik
yang menjadi tugas dari
seorang PMO yang
meliputi: mengawasi
menelan obat,
mengingatkan periksa
ulang dan memberi
dorongan untuk berobat.

3.4.2 Variabel terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006). Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan berobat pasien TB Paru

dengan strategi DOTS di Puskesmas Bula Seram Bagian Timur,

Maluku. Kepatuhan pasien TB paru dibagi menjadi dua kategori yaitu

patuh apabila responden selalu menelan obat sesuai ketentuan petugas


42

kesehatan yaitu setiap hari pada tahap awal, tiga kali seminggu pada

tahap lanjutan dan mengambil obat srta memeriksakan dahak sesuai

jadwal yang ditetapkan dan menaati nasihat dari petugas kesehatan;

tidak patuh jika, responden kadang-kadang menelan obat bahkan

responden tidak menelan obat dua sampai delapan minggu selama

tahap pengobatan lanjutan dan tidak memeriksakan dahak sesuai

jadwal yang telah ditetapkan dan tidak selalu menaati nasihat dari

petugas kesehatan

Tabel 8: variabel terikat dalam penelitian

No. Variabel Definisi Operasional Skala Kategori


Kepatuhan Sejauh mana perilaku Nominal 1. Pasien patuh berobat
berobat penderita TB Paru dengan OAT.
dalam melaksanakan 2. Pasien tidak patuh
pengobatan di RS berobat dengan OAT.
Bethesda Yogyakarta.

3.4.3 Variabel pengganggu

Variabel pengganggu pada penelitian ini adalah pasien rawat jalan TB

ekstra paru, pasien TB paru dengan riwayat komplikasi penyakit

penyerta lainnya.

3.5 Sampel size (perhitungan besar sampel)

Pengambilan sampel dilakukan secara exchaustive sampling yaitu

dengan mengambil semua anggota populasi sebagai sampel dari semua

pasien TB paru yang melakukan pemeriksaan dan pengobatan TB, OAT


43

selama Maret 2019 – Mei 2019 yang memenuhi kriteria inklusi pada

penelitian ini.

3.6 Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan

data primer.

3.6.1 Data sekunder dari catatan rekam medik instalasi rawat jalan

bagian penyakit paru Puskesmas Bula Seram Bagian Timur,

Maluku periode Maret 2019 – Mei 2019 yang berisikan

identitas pasien, alamat tempat tinggal, nomor telepon/Hp,

diagnosis, riwayat pengobatan OAT. Dari data sekunder juga

nanti akan diperoleh jumlah pasien Tb paru yang rawat jalan.

3.6.2 Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang

pernah dipakai dalam penelitian sebelumnya serta telah

divalidasi. Penelitian tentang analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan penderita TB paru menggunakan

OAT di kota Bukittinggi oleh Nurdin, pada tahun 2008.

Kuesioner diuji coba terhadap 30 orang pasien yang datang

berobat ke Puskesmas Sei Geringging Kabupaten Padang

Periaman. Puskesmas ini dipilih karena melaksanakan

program pengobatan TB. Adapun kriteria responden dalam

uji coba kuesioner adalah pasien yang sedang menjalani

program pengobatan dan bersedia menjadi responden dalam

uji coba kuesioner. Setelah kuesioner terkumpul selanjutnya


44

dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada program

komputer dengan teknik alpha cronbach tingkat kesalahan

5% . analisa dilakukan melaui 2 tahap. Tahap pertama

dilakukan untuk mengetahui validitas item pertanyaan. Pada

tahap kedua, item pertanyaan yang dinytaakan valid diuji

kembali untuk mengetahui reliabilitas item pertanyaan.

Dinyatakan valid bila r hitung > r tabel, r tabel ditetapkan

pada alpha (α) 0,05. Variabel pengetahuan dinyatakan valid

bila r hitung >0,4716, pekerjaan pasien dinyatakan valid bila

r hitung >0,5067, pendapatan pasien dinyatakan valid bila r

hitung >0,4428, efek samping OAT dinyatakan valid bila r

hitung >0,6064, edukasi petugas kesehatan dinyatakan valid

bila r hitung >0,4428, PMO dinyatakan valid bila r hitung

>0,5067 dan kepatuhan dinyatakan valid bila r hitung

>0,4716.

Dari item pertanyaan yang dianggap valid, selanjutnya

dilakukan uji statistik tahap kedua untuk mengetahui

reliabilitas masing-masing item pertanyaan, dinyatakan

reliabel bila r α>r tabel, yang berarti alat ukur tersebut

reliabel dan layak untuk digunakan dalam penelitian.. total

pertanyaan yang digunakan berjumlah 25 pertanyaan. Untuk

lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


45

Tabel 9: Hasil uji coba reliabilitas kuesioner

Variabel Jumlah r r Keterangan

pertanyaan alpha tabel

Pengetahuan 4 0,893 0,4716 Reliabel

Pekerjaan 2 0,800 0,5067 Reliabel

Pendapatan 1 0,890 0,4428 Reliabel

Efek samping OAT 2 1,000 0,6064 Reliabel

Edukasi petugas 6 0,890 0,4428 Reliabel

kesehatan

PMO 4 1,000 0,5067 Reliabel

Kepatuhan 5 0,800 0,4716 Reliabel

Nb: Kuesionernya dilampirkan pada halaman lampiran.


46

3.7 Pelaksanaan penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Bula Seram Bagian Timur, Maluku pada

tahun 2019 dengan melalui beberapa tahap yaitu :

Penentuan masalah penelitian

Penelusuran kepustakaan

TAHAP AWAL Penentuan metode penelitian

Penentuan populasi

Penentuan sampel

Pengumpulan data
sekunder pasien
tuberkulosis paru melalui
rekam medis Ruang
TAHAP Puskesmas Bula Seram
PENGOLAHAN Bagian Timur, Maluku

DATA Pengumpulan data primer


pasien Tb paru melalui
kuesioner

Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

Editing data

Analisis statistic

TAHAP AKHIR Hasil penelitian


47

1.8 Analisis penelitian

Analisa data dilakukan secara bertahap dan dilakukan melalui

proses analisis yang menggunakan analisis data Chi Square. Analisa

dalam penelitian ini meliputi analisa univariat yang dilakukan terlebih

dahulu dan apabila muncul dua hingga lebih faktor yang dependen maka

akan dilanjutkan dengan analisis bivariat dan atau analisis multivariat.

Analisa univariat digunakan untuk deskripsi data seperti rerata, median,

mode, proporsi dan seterusnya sedangkan analisa bivariat digunakan

untuk menyatakan analisis terhadap dua variabel yaitu satu variabel

bebas dan satu variabel tergantung. Pada uji hipotesis terhadap banyak

variabel bebas dengan satu variabel tergantung disebut analisis

multivariat.

Tabel 7: Variabel dan jenis uji hipotesis


Variabel Skala Pengukuran Uji Hipotesis

Variabel tergantung :

Kepatuhan berobat Nominal Chi-Square test

Variabel Bebas :

Pengetahuan Nominal Chi-Square test

PMO Nominal Chi-Square test

Edukasi petugas medis Nominal Chi-Square test


48

1.9 Jadwal penelitian

Tahap Kegiatan Feb Feb Feb Feb Mar Apr Mei Juni

Awal 1. Penentuan
masalah
penelitian
2. Penelusuran
kepustakaan
3. Penentuan
metode
penelitian
Olah 1. Pengumpulan
data sekunder
Data melalui rekam
medis
2. Pengumpulan
data primer
dengan
kuesioner
3. Editing data

4. Analisis data

Akhir 1. Penulisan
laporan
penelitian
2. Pemaparan
hasil
penelitian
49

DAFTAR PUSTAKA

Amelda, dkk. Hubungan antara pekerjaan, PMO, Pelayanan Kesehatan,


Dukungan Keluarga Dan Diskriminasi Dengan Perilaku Berobat Pasien TB
Paru Di Puskesmas Batua dan Tamamaung Makassar (Tesis). Makasar:
FKM Universitas Hasanuddin;2012. Available from Scholar.google.co.id
Diakses pada tanggal 10 januari 2015.
Bagiada, I Made dan Ni Luh Putri Primasari, 2010. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidak patuhan penderita Tuberculosis dalam berobat di poli
klinik dots RSUP Sanglah Denpasar. Journal of Internal Medicine Volume 11
no. 3 tahun 2010. Available from Scholar.google.co.id Diakses pada tanggal
10 januari 2015.
Dias, H. M., Falzon, D., Fitzpatrick, C., Floyd, K., Glaziou, P., Hiatt, T., T., et al.
(2012). Global Tuberculosis Report 2012. Genewa: World Health
Organization.
Dinkes Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta, 2011. Profil Kesehatan Provinsi
DIY. Yogyakarta: Dinkes DIY
Erawatyningsih, E., Purwanta, Subekti, H. (2009). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Ketidak patuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru. Berita
Kedokteran Masyarakat, 25(3):117-124.
Erawatyningsih, E., Purwanta, Subekti, H. (2005). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Ketidak patuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di
Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu NTB (Tesis).
Yogyakarta: FKM Universitas Gadjah Mada;2005
Ester, Monica. 2000. Psikologi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Fahruda. (1999) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatan TB paru dan efektif biayanya di Kotamadia Banjarmasin
Kalimantan Selatan (Tesis). Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas
Gadjah Mada;1999
Hasan. (2010). Tuberkulosis Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.
Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga-RSUD Dr. Soetomo. Hal. 9-29.
Herryanto, Musadad D A dan Komalig F M. Riwayat Pengobatan Penderita TB
Paru Meninggal Di Kabupaten Bandung tahun 2001. Bandung. Jurnal
ekologi kesehatan Vol. 3 No. 1, April 2004:1-6

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Strategi Nasional


Penanggulangan TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Hal. 12-13.
50

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Peran Aktif dan Semangat


Kemitraan Semua Pihak Adalah Kunci Menuju Indonesia Bebas TB. Jakarta,
Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Profil Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata laksana Tuberkulosis. Jakarta, Indonesia: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta, Indonesia:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7nd ed , Vol. 1. Jakarta
: Penerbit. Buku Kedokteran EGC, 2007 : 189-1. 2.
Niven, N., (2012). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional
Kesehatan lain. Penerbit Buku Kedokteran.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka cipta

Palilingan. (2005). Tuberkulosis Paru. Dalam: Buku Pedoman Diagnosis Dan


Terapi 2005. Surabaya: Bag/SMF Ilmu Penyakit Paru RSUD Dr.
Soetomo.Hal. 10-14.
Paul D.Van Helden.The Economic divide and Tuberculosis [homepage on the
internet].2003 Available From:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1326434/pdf/4-embor842
.pdf Diakses pada tanggal 10 maret 2015.
Perdana P. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat
Penderita TB Paru Di Puskesmas Kecamatan Ciracas (Skripsi). Jakarta
Timur: FIIK Universitas Pembangunan Nasional;2008

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta. 2011.

PPDI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, 2011.


TB TK, editor. Jakarta: PDPI; 2011 Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html Download 08 Januari 2015.
Rachmawati T & Turniani L. Pengaruh Dukungan Sosial dan Pengetahuan tentang
Penyakit TB terhadap Motivasi Untuk Sembuh Penderita TB Paru yang
Berobat di Puskesmas. Surabaya. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol.9,
No.3, Juli 2006:134-141.
51

Rahmat. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesembuhan Penderita TB Paru Di


Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah (Skripsi). Makassar: FKM Universitas
Hasanuddin;2012.

Ridwan H. (1992).Aspek manajemen Puskesmas dan kepatuhan pengobatan TB


paru di Kabupaten Magelang(Tesis). Yogyakarta: Program Pascasarjana,
Universitas, Gadjah Mada;1992
Rusen ID I-KN, Alarcon E, Billo N, Bissell K, Boillot F, et al. Cochrane systematic
review ofdirectly observed therapy for treating tuberculosis: good analysis of
the wrong outcome. IntJourn of Tuberc and Lung Dis. 2007;11(2):120-1.17.
Simamora, Jojor. 2004. Faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan Berobat
Penderita TB Paru di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004. Tesis. Pascasarjana
USU. Medan.
Soedarsono. (2010). Multigrugs-Resistant (MDR)-TB. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo. Hal. 27-36.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Penerbit Alfa Beta. Bandung.
Surya A, Bassri C, Kamso S, ed. Pedoman Nasional Pengendalian TB. 2nd ed.
Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.10.
Sumarman dan Krisnawati Bantas. Peran Pengawas Minum Obat dan Kepatuhan
Periksa Ulang Dahak Fase Akhir Pengobatan Tuberkulosis di Kabupaten
Bangkalan (Tesis). Jakarta. Epidemiologi FKM Universitas Indonesia; 2012.

Sumange A. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB


Paru Di Puskesmas Wonomulyo Kab. Polewali mandar (Sripsi). Makassar:
FKM Universitas Hasanuddin;2010. Available from Scholar.google.co.id
Diakses pada tanggal 10 januari 2015.
Volmink J et.al. (2012). Patient education and councelling for promotion adherence
to treatment for tuberculosis (Review). Available from
http://www.thocochranelibrary.com. Download on 15 Januari 2015.
Williams G, Alarcon E, Jittimanee S, Walusimbi M, Sebek M, Berga E, et al. Care
during the intensive phase: promotion of adherence. IntJourn of Tuberc and
Lung Dis. 2008;12(6):601-5.15.
Wirawan, F. (2012). Kalau Semua Patuh, TBC Lebih Mudah Diberantas. Available
from http://health.detik.com/read/2012/03/08/113222/1861213/775/kalau-
semua-patuh-tbc-lebih-mudah-diberantas. Download on 27 Januari 2015.
World Health Organization. (2011). Direct Observed Treatment, Short Course.
Available from: http://www.who.org. Download on 29 Januari 2015.
52

World Health Organization. (2011). The Global Plan To Stop TB 2011-2015.


Geneva: WHO. Hal. 5-10 Available from: http://www.who.org. Download on
29 Januari 2015.
World Health Organization. (2012). Global Tuberculosis Report 2012. Geneva:
Global Tuberculosis Programme WHO, 1998: p 46
Yudoni A. Hubungnan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Penderita TB Paru
Dengan Kepatuhan Minum Obat Di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang
Kecamatan Indramayu Kabupaten Indramayu (Skripsi). Jakarta.
Epidemiologi FKM Universitas Indonesia;2007. Available from
Scholar.google.co.id Diakses pada tanggal 10 januari 2015.
53

Lampiran:
KUESIONER PENELITIAN
Daftar pertanyaan ini bertujuan untuk mengumpulkan data tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien TB paru menggunakan OAT
di Puskesmas Bula Seram Bagian Timur, Maluku.
Responden Nomor :.....................................................
Tanggal :.....................................................
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda silang (X) pada pilihan jawaban sesuai dengan apa yang Bapak/Ibu,
Saudara/i ketahui dan yang dialami.
IDENTITAS PENGISIAN
1. Nama :
2. Alamat domisili :
3. Umur :
4. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
5. Pendidikan :
a. Tidak pernah bersekolah
b. SD/Sederajat.
c. SMP/Sederajat.
d. SMA/Sederajat.
e. D1/D2/D3
f. S1/S2/S3

I. PENGETAHUAN
1. Apakah Bapak/ibu, saudara/i tahu tentang penyakit yang Bapak/ibu,
saudara/i alami sekarang?
a.Ya b.Tidak
2. Jika Ya, apa nama penyakitnya?
a.TBC Paru b.Atau lain-lain, sebutkan?....................................
3. Menurut sepengetahuan Bapak/ibu, saudara/i apakah penyakit TB Paru
dapat menular dari seseorang penderita kepada orang lain?
a.Ya b.Tidak
4. Apakah menurut sepengetahuan Bapak/ibu, saudara/i penyakit TB Paru
dapat disembuhkan melalui pengobatan yang diberikan?
a.Ya b.Tidak
54

II. PMO
1. Apakah Bapak/ibu, saudara/i sejak pertama sampai selesai pengobatan
dapat pengawasan langsung oleh seseorang /PMO agar menelan obat
secara teratur?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
2. Apakah orang yang mengawasi Bapak/ibu, saudara/i minum obat ada
memberi dorongan agar Bapak/ibu, saudara/i mau berobat secara teratur?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
3. Apakah orang yang mengawasi Bapak/ibu, saudara/i minum obat ada
mengingatkan untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah
ditentukan?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
4. Apakah orang yang mengawasi Bapak/ibu, saudara/i minum obat selalu
memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga, yang mempunyai
gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan (Puskesmas/Rumah sakit)?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak

III. Edukasi petugas kesehatan


1. Apakah Bapak/ibu, saudara/i mendapat pelayanan di Puskesmas/Rumah
sakit terkait penyakit yang diderita dengan baik?
a.Ya b.Tidak
2. Apakah Bapak/ibu, saudara/i diberi dorongan oleh petugas kesehatan agar
selalu berobat sampai sembuh?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
3. Apakah Bapak/ibu, saudara/i pernah mendapat penjelasan/penyuluhan
tentang penyakit TB Paru oleh petugas kesehatan?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
4. Apakah Bapak/ibu, saudara/i selalu mendapat penjelasan tentang tata cara
dan waktu menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) oleh petugas kesehatan?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
5. Apakah Bapak/ibu, saudara/i mengerti tentang penjelasan tersebut?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
6. Apakah ada petugas Puskesmas/Rumah sakit menjelaskan kepada
Bapak/ibu, saudara/i tentang pengaruh obat yang diminum serta efek
sampingnya yang bisa muncul?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
Kepatuhan Minum Obat
1. Apakah Bapak/ibu, saudara/i selalu mematuhi ketentuan minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) sesuai dengan waktu dan dosis/jumlah yang dianjurkan
petugas kesehatan?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
2. Apakah Bapak/ibu, saudara/i tidak pernah lupa minum obat sejak pertama
sampai selesai pengobatan/saat ini?
55

a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak


3. Apakah Bapak/ibu, saudara/i telah memeriksakan diri kembali ke
Puskesmas/Rumah sakit setelah menjalani pengobatan sesuai dengan
ketentuan/jadwal?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
4. Apakah Bapak/ibu, saudara/i selalu melakukan pengambilan obat ke
Puskesmas/Rumah Sakit sebelum obat habis diminum/sesuai jadwal?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak
5. Apakah Bapak/ibu, saudara/i selama pengobatan pernah terlambat/lupa
mengambil obat ke Puskesmas/Rumah Sakit?
a.Ya b.Kadang-kadang c.Tidak

Terima kasih atas partisiasi Bapak/Ibu, Saudara/i dalam meluangkan waktu


untuk mengisi lembaran kuesioner. Identitas Bapak/Ibu, Saudara/i yang terlibat
dalam penelitian ini akan kami rahasiakan. Data yang kami peroleh dari kuesioner
ini akan kami gunakan dengan memperhatikan peraturan-peratuan yang mengatur
dalam sebuah penelitian ilmiah.
Bula,........,.............., 2019
Hormat kami:
Peneliti Responden

dr. Reinhard Nahumury ..............................................


56

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

You might also like