Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga makalah yang kami buat ini dapat terselesaikan. Dengan berbagai
sumber referensi yang di dapat akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul Farmakokinetik dan Farmakodinamik. Makalah ini di buat agar dapat memperluas
wawasan pembaca terutama di kalangan keperawatan.
Tak lupa pula kami mengucapkan terimakasih pada teman-teman yang telah
bekerjasama dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini terdapat masih banyak kesalahan dan kekurangan karena faktor batasan
pengetahuan kami, maka kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
membangun demi menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami
absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek.
Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses
ini di sebut farmakokinetik. Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) sel di
berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan
dengan melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting
dalam proses farmakokinetik ialah transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi
membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi
membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini
membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air.
Cara-cara transport obat lintas membran yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif;
yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan membutuhkan energi. Sifat
fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan
dalam air, derajat
Umumnya absorbsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-mula obat harus
berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi
membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini obat bergerak dari sisi yang
kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (steady state) di capai, kadar obat bentu
non-ion di kedua sisi membran akan sama. Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam
lemah atu basa lemah. Dalam larutan, elektrolit lemah ini akan terionisasi, derajat ionisasi ini
tergantung dari pka obat dan PH larutan. Untuk obat asam, pka rendah berarti relatif kuat,
sedangkan untuk obat basa, pka tinggi yang relatif kuat. Bentuk non-ion umumnya larut baik
dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran. Sedangkan bentuk ion, sukar
melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap, kadar obat bentuk non-
ion saja yang sama di kedua sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari
perbedaan ph di kedua sisi membran.
Membran sel merupakan membran semipermeabel,artinya hanya dapat dirembesi air dan
molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat
perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zat-zat
terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200 misalnya urea, etanol, dan
antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat
air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal
selektif untuk ion-ion natrium, kalium, kalsium.
Transport obal melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antar sel, kecuali di
susunan saraf pusat (SSP). Celah antar sel endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat
meloloskan semua molekul yang berat molekul nya kurang dari 69000 (BM albumen), yaitu
semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sekalipun. Proses ini
berperan dalam absrofsi obat seltelah pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran
glomerulus di ginjal. Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikal, misalnya untuk
makro molekul seperti protein. Jumlah obat yang di angkut dengan cara ini sangat sedikit.
Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli ginjal. Proses
ini membutuhkan energi yang di peroleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat
bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara
konpetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat
mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen,
dan transport aktif suatu obat dapat pula di pengaruhi obat lain.
Difusi terfasilitasi (facilitated diffucion) iyalah suatu proses transport yang terjadi dengan
bantuan suatu faktor pembawa ( carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa
menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik.
Proses ini, yang juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transport nya secara difusi
biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa kedalam sel perifel.
Kecepatan absorpsi obat bentuk padat di tentukan oleh kecepatan disintegrasi dan
disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula
bioavailabilitasnya. Adakalanya sengaja di buat sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk
memperpanjang masa absorpsi sehingga obat dapat diberikan dengan interval lebih lama.
Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (sustainet-release). Obat yang dirusal oleh asam
lambung atau yang menyebabkan iritas lambung sengaja di buat tidak terdisintegrasi di lambung
yaitu sebagai sediaan salut enterik (enteric coated).
Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum walaupun permukaan absorpsinya
tidak terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat yang sanga poten dan larut baik dalam lemak maka
pemberian sublingual atau perkutan sudah cukup menimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar
dari metabolisme lintas pertama di hati karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati
melainkan langsung ke v.kava superior. Pemberian per rektal sering di perlukan pada penderita
muntah-muntah, tidak sadar, dan pasca bedah. Metabolisme lintas pertama di hati lebih sedikit di
bandingkan pemberian per oral karena hanya sekitar 50% obat yang di absorpsi dari rektum akan
melalui sirkulasi portal namun banyak obat mengiritasi mukosa rektum dan absorpsi di sana
sering tidak lengkap dan tidak teratur.
3. Pemberian Secara Suntikan
Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah : (1) efeknya timbul lebih
cepat dan teratur di bandingkan dengan pemberian per oral; (2) dapat di berikan pada penderita
yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan
darurat. Kerugiannya ialah di butuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya
penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis.
1. Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan
tertentu yang iritatif hanya dapat di berikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah
relatif tidak sensitif dan bila di suntikan perlahan-lahan, obat segera di encerkan oleh darah.
Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai
darah dan jaringan.
Di samping itu, obat yang di suntikan IV tidak dapat di tarik kembali. Obat dalam larutan minyak
yang mengendapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan hemolisis tidak boleh di berikan
dengancara ini. Penyuntikan IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi respon
penderita.
2. Suntikan subkutan (SK) hanya boleh di gunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi
jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.
Obat dalam bentuk suspensi di serap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran
obat dengan vasokontriktor juga akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk
padat yang di tanamkan di bawah kulit dapat di absorpsin selama beberapa minggu atau beberapa
bulan.
3. suntikan intramuskular (IM), kelarutan obat , dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan
absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada PH pisiologik misalnya digoksin, fenitoin dan
diazepam akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak
lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air di serap cukup cepat, tergantung dari aliran
darah di tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus
maksimus. Obat-obat dalam larutan minyak atau dalam bentuk suspensi akan di absorpsi dengan
sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatif untuk di
suntikan secara SK kadang-kadang dapat di berikan secara IM.
4. Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang subaraknoid spinal atau pengobatan
infeksi SSP yang akut. Suntikan intratekal tidak dilakukan pada karena bahaya infeksi dan adesi
terlalu besar.
4. Pemberian Melalui Paru-Paru
Cara inhalasi ini hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah
menguap misalnya anestetik umum, dan untuk obat lain yang dapat di berikan dalam bentuk
aerosal. Absorpsi terjadi melalui epitel paru dan mukosa saluran nafas. Keuntungannya, absorpsi
terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di
hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat diberikan lansung pada
bronkus. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit
di kerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.
5. Pemberian Topikal
Pemberian topikal pada kulit.tidak banyak obat yang dapat menembus kulit utih. Jumlah
obat yang di serap bergantung pada luas permukaan kulit yang terpajan serta kelarutan obat
dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Demis permeabel terhadap
banyak zat sehingga absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit berkelupas atau terbakar.
Beberapa zat kimia yang sangat larut lemak, misalnya inteksida organofosfat, dapat
menimbulkan efek toksit akibat absorpsi melalui kulit ini. Inflamasi dan keadaan lain yang
meningkatkan aliran darah kulit juga akan memacu absorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat di
tinggkatkan dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan menggosokkannya ke kulit, atau
dengan menggunakan penutup di atas kulit yang terpajan. Obat yang banyak digunakan untuk
penyakit kulit sebagai salep kulit ialah antibiotik, kortikostoroid, antihistamin, dan fungisid,
tetapi beberapa obat sistemik di buat juga sebagai sediaan topikal, misalnya nitrogliserin dan
skopolamin.
Pemberian topikal pada mata. Cara ini terutama dimadsudkan untuk mendapatkan efek lokal
pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat
bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melalui saluran nasolakrikmal
sebenarnya tidak diinginkan; absorpsi disini dapat menyebabkan efek sistemik karena obat tidak
mengalami metabolisme lintas pertama di hati, maka bloker yang diberikan sebagai tetes mata
misalnya pada glaikoma dapat menimbulkan toksisitas sistemik.
2.1.2 Distribusi
Setelah di absorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
darah,distribusi obat juga di tentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2
fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jringan lemak. Distribusi ini baru mencapai
keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat
karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di
otak.
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam
sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairin ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada
protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat
afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh
protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
2.1.3 Biotransformasi
Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat yang
terjadi dalam tubuh dan di katalisis oleh enzim, pada proses ini molekul obat di ubah menjadi
lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih
mudah di ekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang
metabolismenya sangat aktif, lebih aktif atau lebih toksik. Ada obat yang merupakan calon obat
(prodrug)justru di aktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan
mengalamibiotransformasi lebih lanjut dan atau di ekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Reaksi biokimia yang terjadi dapat di bedakan atas reaksi fase I dan fase II. Yang termasuk
reaksi fase I ialah oksidasi, hidrolisis dan reduksi. Rekasi fase I ini mengubah obat menjadi
metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif daripada bentuk aslinya. Reaksi fase II,
yang di sebut juga fase sintetik, merupakan konyugasi obat vatau metabolik hasil reaksi fase I
dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat atau asam amino. Hasil
konyugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi.
Metabolik hasil konyugasi biasanya tidak aktif kecuali untuk prodrug tertentu. Tidak semua obat
di metabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja
(satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi).
Tetapi kebanyakan obat di metabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan
menjadi beberapa macam metabolit.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat di bedakan berdasarkan letaknya di
dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada
isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim
metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain
misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan plasma.di lumen saluran cerna juga terdapat
enzim non mikrosom yang di hasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi
konyugasi glukuronoid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Edangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi
oksidasi, serta reaksi hidrolisis dan reduksi.
2.1.4 Ekskresi
Obat di keluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar di ekskresi lebih cepat
daripada obat larut lemak kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi
yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi dari
glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari
albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma
mengalami filtrasi disana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin,
probenesid,salisilat,konyugat glukurunoid dan asam urat) di sekresi aktif melalui sistem transport
untuk asama organik, dan basa organik (neostigmin,kolin, histamin) diekskresi aktif melalui
sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem transport tersebut relatif tidak selektif
sehingga terjadi kompetisi antar asam organik dan antar basa organik dalam sistem transportnya
nasing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat, sistem transport ini dapat
berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk ion-ion. Oleh karena itu
untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada PH lumen tubuli yang
menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak
sehingga reabsorpsinya berkurang akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urin lebih
asam, ekskresi asam lemah berkurang.
Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini di gunakan untuk
mengiobati keracunan obat yang ekskresinya dapat di percepat dengan pembasaan atau
pengasaman urin misalnya salisilat, fenobarbital. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada
gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu di turunkan atau interval pemberian di perpanjang.
Bersihan kreatinin dapat di jadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian
obat.
Ekskresi obat juga juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut tetapi
dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur
dapat di gunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun
dapat di gunakan untuk menemukan logam toksik misalnya arsen pada kedokteran forensik.
2.2 Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya (setaiwati dkk,1995) Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah
untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan
peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
2.2.1 Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada sel suatu
organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut. Reseptor obat mencakup 2 konsep
penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh fungsi baru, tetapi
hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen secara umum
konsep ini masih berlaku sampai sekarang setiap komponen makromolekul fungsional dapat
berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai
reseptor untuk ligand endrogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai
senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik
tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist bind-ing
site) disebut antagonis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami
absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek.
Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses
ini di sebut farmakokinetik.
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spectrum efek dan respon yang terjadi.
3.2 Saran
Pemahaman mahasiswa keperawat terhadap bidang ilmu farmakologi dalam hal ini aspek
farmakokinetik dan farmakodinamik harus terus di tingkatkan dengan proses pembelajaran yang
kontinyu selain untuk meningkatkan pemahaman yakni sebagai upaya meningkatkan displin ilmu
yang lebih kompeten, berjiwa pengetahuan dan selalu berfikir kritis terhadap ilmu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawati dkk. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta. Gaya
Baru:1995
Katzung G Betram. Farmokologi dasar dan klinik edisi 2. Jakarta. Salemba medika:2002
Katzung G Betram. Farmokologi dasar dan klinik edisi 3. Jakarta. Salemba medika:2002
http://farma – farmakologi. Blogspot.com/2011/11/Pengertian.html.diakses pada tanggal 17 oktober 2013
pukul 14.20 wib