You are on page 1of 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
I. IDENTITAS
Nama : An. G Nama Ayah : Tn. D
Umur : 3 tahun 7 bulan Usia : 23 th
Alamat : Jombang Pendidikan : STM
Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Kary.Pabrik
Pendidikan : Belum sekolah Nama Ibu : Ny. J
No. CM : 745XXX Usia : 22 th
Masuk RS : 11 Mei 2018
(21.30 di IGD) Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis terhadap ibu pasien)

1. Keluhan Utama:
Sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien laki-laki 3 tahun 7 bulan datang ke IGD RSUD Cilegon diantar oleh
kedua orang tuanya dengan keluhan sesak sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sebelumnya pasien memakan permen coklat lalu tidak lama
pasien mengalami sesak. Keluhan lain yang dirasakan pasien ada batuk
tidak disertai dahak dan pilek sejak kemarin, demam tidak ada, BAB dan
BAK normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:


- Ibu pasien menyangkal adanya keluhan seperti ini sebelumnya

4. Riwayat Penyakit Keluarga:


Ibu dan Adik dari pasien pernah merasakan hal yang sama.

5. Riwayat Pribadi:
 Riwayat Kehamilan: Pasien merupakan anak pertama dari dua
bersaudara dengan usia kehamilan 9 bulan. Ibu rutin melakukan
pemeriksaan kehamilan satu bulan sekali ke puskesmas (ANC).
Riwayat penyakit semasa kehamilan disangkal oleh ibu pasien.
 Riwayat Persalinan: Bayi dilahirkan secara partus spontan. Berat
badan bayi lahir 2,8 kg, pasien langsung menangis saat dilahirkan,
tidak kuning dan tidak ada riwayat biru pada ekstremitas saat lahir.
 Riwayat Pasca Lahir: Setelah bayi lahir, inisiasi ke ibu untuk
menetek, ASI keluar, ibu mengaku tidak mendapat perawatan intensif
bayi setelah kelahiran.

6. Riwayat Makanan:
- Usia 0 – 6 bulan : Pemberian ASI tanpa makanan dan minuma
tambahan.
- > 6 bulan pasien sudah bisa makan bubur bayi / cerelac
- >2 tahun pasien sudah bisa makan nasi beserta lauk pauk, sayur dan
buah, susu formula / susu sapi

7. Riwayat Perkembangan:
- Bicara: 10 bln (mengikuti perkataan)
- Berdiri : 11 bln
- Tengkurep : 5 bln
- Jalan : 11 bln
- Senyum : 3 bln
- Duduk: 8 bln
- Lari : 1 th

8. Imunisasi:
- Hep.B : sudah
- Polio : sudah
- BCG : sudah
- DTP : sudah
- Hib : sudah
- PCV : sudah
- Campak : sudah

9. Riwayat Sosial dan Lingkungan


- Sosial Ekonomi
Pasien tinggal dengan bapak, ibu dan adiknya. Ayah pasien berkerja
sebagai karyawan pabrik, sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga.
- Lingkungan
kondisi lingkungan rumah pasien air dari sumur, cahaya matahari
dapat masuk kerumah, ventilasi ada, kebersihan rumah dirawat oleh
ibu pasien.
III. PEMERIKSAAN FISIS:

A. Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda Utama :
Frekuensi nadi : 89 x/ menit
Frekuensi napas : 42 x/ menit
Suhu : 36 ºC
4. Status gizi:

o BB (cm) / TB (m2) : 14 / 9,42 : Normal (-2 SD 2)

o TB / U (bulan) : 94 / 43 : Normal ( -2 SD 2)
o BB / U (bulan) : 14 / 43 : Gizi Baik (-2 SD 2)
o IMT / U : Normal (-2 SD 2)
Status Gizi Menurut Kurva WHO
BB: 14 kg
TB: 94 cm
U: 3 tahun 7 bulan / 43 bulan

Simpulan status gizi:


Status gizi baik dengan tinggi badan normal

5. Klinis: edema -, tampak kurus –

6. Antropometri:
Berat badan (BB) : 14 kg
Panjang Badan (PB) : 94 cm
Lingkar Kepala : 48 cm
Lingkar Lengan Atas : 14 cm

B. Pemeriksaan khusus:
1. Kepala : Normocephale
2. Kulit : Ruam (-)
3. Mata : Konjunctiva Anemis (-), Sklera Ikterik (-),
pupil bulat dan isokor, reflek cahaya langsung (+/+), reflek
cahaya tidak langsung (+/+)
4. Telinga : Simetris kanan dan kiri, hiperemis (-),
sekret (-)
5. Hidung : Tidak ada deviasi, lubang hidung lapang,
sekret (-)
6. Tenggorokan : Uvula deviasi (-), faring hiperemis (-),
tonsil hiperemis (-)
7. Mulut : Bibir tidak sianosis, Mukosa mulut dan
lidah dalam batas normal
8. Leher : Tidak teraba massa / pembesaran KGB,
tiroid dan paratiroid, trakea di tengah.
9. Dada:
a) Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, ada
retraksi epigastrium, ICS 1, dan ICS 5
Palpasi : tidak ada krepitasi dan massa
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, rhonki +/+ ,
wheezing +/+
b) Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : Bunyi Jantung I II reguler, murmur (-),
gallop (-)
10. Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada sikatrik, Retraksi (+)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar
dan lien (-)
Perkusi : tympani pada keempat kuadran
11. Ekremitas
Superior : Akral Hangat, sianosis -/-, oedema -/-, petechie -/-,
capillary refill < 2 detik.
Inferior : Akral Hangat, sianosis -/-, oedema -/-, petechie -/-,
capillary refill < 2 detik.

IV. DATA LABORATORIUM


Pemeriksaan Darah Rutin :
11/05/2018
- Hemoglobin: 13 g/dl
- Hematokrit: 37,9 %
- Leukosit: 21,12 x 103/ µL
- Trombosit: 402 x 103/ µL
- Glukosa darah sewaktu : 111 mg/dl

V. RINGKASAN DATA DASAR


A. ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan sesak sejak
1 hari yang lalu. Sesak sudah dirasakan satu hari yang lalu.
Keluhan lain yang dirasakan pasien ada batuk disertai pilek
dirasakan 1 hari yang lalu, demam tidak ada.
B. PEMERIKSAAN FISIS
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis
 Suhu : 36 ºC
 Nadi : 89 x/m
 Pernapasan : 42 x/m
 Kepala : Normocephale
 Kulit : Ruam (-)
 Mata : Konjunctiva Anemis -, Sklera
Ikterik -, pupil bulat dan isokor, reflek cahaya langsung
(+/+), reflek cahaya tidak langsung (+/+)
 THT : Tidak ada deviasi, lubang hidung
lapang, sekret (-)
 COR : Bunyi Jantung I II reguler, murmur
(-), gallop (-)
 Paru : suara nafas vesikuler +/+, rhonki
+/+ , wheezing +/+
Abdomen : bising usus (+), retraksi (+), supel,
pembesaran hepar dan lien (-), nyeri tekan (-)
 Ekstremitas:
Superior : Akral Hangat, sianosis -/-, oedema -/-,
petechie -/-, capillary refill < 2 detik.
Inferior : Akral Hangat, sianosis -/-, oedema -/-,
petechie -/-, capillary refill < 2 detik.

C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Darah Rutin
- Glukosa darah sewaktu
- Rontgen thorax

VI. DIAGNOSIS KERJA


Asma Bronkiale Derajat Sedang

VII. DIAGNOSIS BANDING


Bronkopneumonia Sedang
VIII. RENCANA TERAPI
A. Rencana Pemeriksaan
- Pemeriksaan darah rutin ulang
- Glukosa darah sewaktu lengkap
- Analisa Gas Darah

B. Rencana Pengobatan
- Rawat inap
- O2 6 L / jam dengan sungkup
- Inhalasi / 4 jam (combivent ½ + flexotide 1)
- Metilprednison 2 x 12, 5 mg
- Ranitidin 2 x 12,5 mg
- IVFD Kaen I B + KCl 10 mEq 15 tpm
- Ampicilin 4 x 350 mg
- Aminofusin 250 ml/ 24 jam
- Salbutamol 3 x 1 mg

C. Rencana Pemantauan
- Pantau keadaan umum, kesadaran, dan tanda-tanda vital
- Pantau pemeriksaan fisik ( sesak, retraksi, batuk, pilek)

IX. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad Functionam : ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
ANALISA KASUS
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai oleh mengi
dan/atau batu berulang dengan karakteristik:
1. Timbul secara episodik
2. Cenderung pada malam/ dini hari
3. Timbul setelah aktivitas fisis
4. Terdapat riwayat asma dan/atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluargamya
Eksaserbasi (serangan) asma merupakan episode perburukan gejala-gejala asma
secara progresif yang umumnya ditandai dengan distres pernapasan. Dapat timbul
gejala sesak napas, batu, mengi, dada terasa tertekan, atau berbagai kombinasi
gejala tersebut.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:

1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila


terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi
pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses
inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis
berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah,
binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, ragi serta pajanan
asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian β2 agonis; sedangkan pencetus:
Semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin,
histamin dan metakolin. Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan
sebagai berikut:
Gambar. Mekanisme terjadinya asma

Derajat asma Gejala Gejala Faal paru


malam

Intermitten Bulanan APE≥80%

- Gejala<1x/minggu. ≤ 2 kali - VEP1 ≥80% nilai


- Tanpa gejala diluar sebulan prediksi APE≥80%
serangan. nilai terbaik.
- Serangan singkat.
- Variabiliti APE<20%.
Persisten ringan Mingguan APE>80%

- Gejala>1x/minggu >2 kali sebulan - VEP1 ≥80% nilai


tetapi<1x/hari. prediksi APE≥80%
- Serangan dapat nilai terbaik.
mengganggu - Variabiliti APE 20-
aktifitas dan tidur 30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80%

- Gejala setiap hari. >2 kali sebulan - VEP1 60-80%


- Serangan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80%
aktifitas dan tidur. nilai terbaik.
- Membutuhkan - Variabiliti APE>30%.
bronkodilator setiap
hari.
Persisten berat Kontinyu APE 60≤%

- Gejala terus menerus Sering - VEP1≤60% nilai


- Sering kambuh prediksi
- Aktifiti fisik terbatas APE≤60% nilai
terbaik

- Variabiliti APE>30%
Parameter klinis, Asma Asma episodik Asma persisten
episodik sering
kebutuhan obat
jarang
dan faal paru asma

1 Frekuensi <1x/bulan >1x/bulan Sering


serangan

2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang


tahun, tidak ada
periode bebas
serangan
3 Intensitas Biasanya Biasanya sedang Biasanya berat
serangan ringan

4 Diantara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan


serangan malam

5 Tidur dan Tidak Sering Sangat tergganggu


aktifitas tergganggu tergganggu
6 Pemeriksaan fisik Normal ( tidak Mungkin Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan tergganggu(dite
kelainan) mukan kelainan)
7 Obat Tidak perlu Perlu Perlu
pengendali(anti
inflamasi)

8 Uji faal PEFatauFEV1> PEFatauFEV1<6 PEVatauFEV<60%


paru(diluar 80% 0-80%
serangan)

9 Variabilitas faal Variabilitas>15 Variabilitas>30% Variabilitas 20-30%.


paru(bila ada %
Variabilitas >50%
serangan)
Alur diagnosis
Tatalaksana

Terapi medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda adalah obat pelega atau obat serangan.
Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika
sedang timbul, contohnya obat-obatan golongan β adrenergik kerja pendek atau
golongan methyl xantine. Kelompok obat kedua adalah controller atau pengendali,
yang sering disebut juga obat pencegah. Obat ini digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronis.
1. Bronkodilator
Beta Adrenergik Kerja Pendek (Short acting)
Beta adrenergik agonis merupakan obat pilihan pada serangan asma.
Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergik menyebabkan
perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga menimbulkan
relaksasi otot polos jalan pernapasan yang menyebabkan
bronkodilatasi. Efek lain juga dapat terjadi, seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskular, dan
berkurangnya pelepasan mediator inflamasi dari sel mast. Golongan
obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan β2-agonis selektif.
Epinefrin/ Adrenalin
Pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan
asma, kecuali jika tidak ada obat β2-agonis selektif. Epinefrin khususnya diberikan
jika ada reaksi anafilaktif atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara
subkutan atau inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan
epinefrin dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan 3 kali,
dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja adrenalin subkutan adalah 5-15 menit,
efek puncaknya 30-120 menit, durasi efek 2-3 jam. Inhalasi aerosol dapat diberikan
menggunakan nebulizer, tetapi pemberian ini kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilator hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping khususnya di
jantung dan CNS. Epinefrin dapat menstimulasi reseptor β1, β2, dan α, sehingga
akan menimbulkan efek samping berupaka sakit kepala, gelisah, palpitasi, taki-
aritmia, tremor, dan hipertensi.
β2-agonis selektif
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol.
 Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali,
diberikan setiap 6 jam;
 Dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, diberikan
setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali setiap 6 jam.
Pemberian secara oral akan menimbulkan bronkodilatasi setelah 30 menit dan lama
kerjanya selama 5 jam. Pemberian secara inhalasi memiliki onset kerja yang lebih
cepat, efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian
secara subkutan tidak memberi efek bronkodilator yang lebih baik seperti inhalasi,
sehingga cara ini tidak dianjurkan. Dosis salbutamol subkutan adalah 10-20
mcg/kgBB/kali sedangkan dosis terbutalin subkutan adalah 5-10 mcg/kgBB/kali.
Selain bentuk obat di atas, salbutamol juga dapat diberikan secara inhalasi
(nebulizer) dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB/kali (dosis maksimum 5
mg/kgBB/kali), dengan interval 20 menit, atau nebulisasi secara kontinyu dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15mg/kgBB/jam). Pasien yang tidak
responsif dengan pemberian 2 kali inhalasi, pada inhalasi ketiga dapat ditambahkan
antikolinergik (ipratropium bromida). Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan
dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulizer. Salbutamol intravena dapat diberikan
apabila tidak berespon pada obat-obat beta adrenergik lainnya dengan dosis mulai
dari 0,2 mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit dengan
dosis maksimal 4mg/kgBB/menit. Terbutalin dapat diberikan dengan dosis 10
mcg/kgBB melalui infus selama 10 menit. Dilanjutkan 0,1-4 µg/kgBB/jam. Efek
samping β2-agonis antara lain tremor, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
Selain itu dapat menimbulkan hipoksemia dan dapat terjadi hipokalemia. Oleh
karena itu, sebaiknya dilakukan pemantauan kadar kalium darah dan pemeriksaan
EKG.
Methyl Xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2-agonis, tetapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, sebaiknya obat ini hanya
diberikan pada serangan asma berat yang dengan pemberian β2-agonis dan
antikolinergik tidak memberikan respon. Dosis aminofilin IV jika pasien
sebelumnya belum mendapatkan aminofilin adalah dosis awal (dosis inisial)
sebesar 6-8mg/kgBB dilarutkan dalam 20ml dextrose 5% atau garam fisiologis,
diberikan selama 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin kurang dari
12 jam sebelumnya, dosis diberikan setengahnya. Selanjutnya aminofilin diberikan
dosis rumatan, yaitu 0,5-1 mg/kgBB/jam. Dosis maksimal aminofilin adalah 16-20
mg/kgBB/hari. Karena farmakokinetik teofilin
dipengaruhi oleh umur pasien, dosis awal aminofilin berbeda-beda sesuai dengan
usia :
 Usia 1-6 bulan : 0,5 mg/kgBB/jam
 Usia 6-11 bulan : 1,0 mg/kgBB/jam
 Usia 1-9 tahun : 1,2-1,5 mg/kgBB/jam
 Usia >10 tahun : 0,9 mg/kgBB/jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia, dan aritmia.
2. Antikolinergik
Ipratpropium bromida
Pemberian obat ini sering dikombinasikan dengan β2-agonis.
Kombinasi ini sebaiknya diberikan jika 1x nebulisasi β2-agonis tidak
memberikan respon. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa
tidak enak di mulut. Secara umum obat ini tidak memiliki efek
samping yang berarti.

3. Kortikosteraoid
Pemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma,
mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru, serta memperbaiki
respon bronkodilatasi yang ditimbulkan akibat β2-agonis. Preparat
oral yang dipakai adalah prednison, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5
hari. Kortikosteroid IV dapat diberikan pada kasus asma yang dirawat
di rumah sakit. Metil prednisolon merupakan pilihan utama karena
memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek
antiinflamasi yang lebih besar, serta efek mineralokortikotiroid yang
minimal. Dosis metil-prednisolon IV adalah 1mg/kgBB setiap 4-6
jam. Hidrokortison IV diberikan dosis 4mg/kgBB setiap 4-6 jam.
Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari, setiap 6-8jam.
4. Obat-obatan lain
Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada
serangan asma berat, dan dapat dipertimbangkan pada anak dengan
asma berat yang dirawat di ruang intensif. Pemberian obat ini
memberikan efek bronkodilator yang terjadi melalui perannya di
dalam siklus adenil siklase pada reseptor B2, yaitu sebagai kofaktor
yang mengatur regulasi Na dan K dalam membran sel. Obat ini juga
memiliki efek sedatif, mengurangi pelepasan asetilkolin, penghambat
kanal kalsium, dan menstabilkan sel mast. Dosisnya adalah 25-
50mg/kgBB IV, diberikan selama 1 jam. Efek samping obat ini adalah
kelemahan otot, penurunan refleks tendon, hipotensi, takikardia, mual
muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung.
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagain besar penyakit
asma bukan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu dapat diberikan
apabila ada tanda-tanda infeksi bakteri seperti ada tanda pneumonia, sputum
purulen, dan rinosinusitis yang menyertai asma.

Terapi suportif
Oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker
atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur
dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
Campuran helium dan Oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan
pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol
dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus,
meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen
dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah
mencapai alveoli.

Pengobatan jangka panjang


Asma episodik jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan pereda berupa bronkodilator β-gonis
hirupan kerja pendek (Short Acting β2-Agonist, SABA) atau golongan santin kerja
cepat bila perlu, yaitu jika ada gejala/serangan. Penggunaan teofilin sebagai
bronkodilator semakin kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas
keamanannya sempit. Namun, mengingat tidak selalu tersedianya obat β-Agonis
oral di Indonesia, teofilin dapat digunakan dengan memperhatikan timbulnya efek
samping. PNAA tidak menganjurkan pemberian obat pengendali untuk asma
ringan/ asma episodik jarang.
Asma episodik sering
Penggunaan β-Agonist hirupan lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung
penggunaan pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali
dalam sebulan, merupakan indikasi penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali.
Anti inflamasi lini pertama yang digunakan adalah kortikosteroid dosis rendah.
Obat steroid hirupan yang standar dan sering digunakan adalah budenosid. Dosis
rendah hirupan adalah 100-200 µg/hari budenosid (50-100 µg/hari flutikason)
untuk anak usia <12 tahun, dan 200-400 µg/hari budenosid (100-200 µg/hari
flutikason) untuk anak berusia >12 tahun. Jika pengobatan selama 8-12 minggu
dengan steroid dosis rendah tidak timbul respon (masih terdapat gejala asma atau
gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), pengobatan dilanjutkan dengan tahap
kedua, yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 µg/hari yang
termasuk dalam tatalaksana asma persisten. Jika tatalaksana asma sudah adekuat,
tetapi responnya tetap tidak baik dalam 8-12 minggu, derajat tatalaksananya
berpindah ke yang lebih berat (step up). Sebaliknya jika asma terkendali dalam 8-
12 minggu, derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step down). Jika
memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Asma episodik persisten
Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan dapat diberikan mulai dari dosis tinggi
lalu diturunkan sampai dosis rendah selama gejala masih terkendali, atau
sebaliknya, mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi hingga gejala dapat
dikendalikan. Pada keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat,
dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi terlebih dahulu, disertai steroid oral
jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis diturunkan sampai dosis terkecil yang
masih optimal. Dosis yang aman ialah setara budenosid 400µg/hari. Efek samping
steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat spacer atau pemberi jarak
yang akan mengurangi deposisi obat di daerah orofaringeal sehingga akan
mengurangi absorbsi sistemik dan meingkatkan deposisi obat di paru.
Jika setelah pemberian steroid tidak timbul respon yang baik, diperlukan terapi
alternatif lain, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap
memberikan steroid dosis rendah ditambah LABA (Long Acting β Agonist), atau
teofilin kerja lambat, atau anti-leucotriene receptor (ALTR). Dosis medium
hirupan adalah setara dengan 200-400 µg/hari budenosid (100-200 µg/hari
flutikason) untuk anak <12 tahun, dan 400-600 µg/hari budenosid (200-300 µg/hari
flutikason) untuk anak >12 tahun. Apabila dengan pengobatan lini kedua selama 8-
12 minggu tetap terdapat gejala asma, dapat diberikan alternatif lini ketiga, yaitu
meningkatkan dosis steroid sampai dosis tinggi, atau tetap memberikan dosis
medium ditambah LABA, atau teofilin kerja lambat, atau ALTR. Dosis tinggi
steroid adalah setara >400 µg/hari budenosid ( >200 µg/hari flutikason) untuk anak
<12 tahun, dan >600 µg/hari budenosid (>300 µg/hari flutikason) untuk anak usia
>12 tahun.
Penggunaan kortikosteroid oral sebagai pengendali adalah jalan terakhir
keseluruhan terapi di atas telah dijalankan. Dosis awal steroid oral adalah 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan
selang sehari pada pagi hari. Penggunaan steroid sitemik harus dilakukan dengan
hati-hati karena dapat timbul efek samping yang cukup berat.
Terapi medikamentosa asma jangka panjang
Steroid hirupan dosis rendah
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Terapi pemeliharaan dengan
inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,
mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit,
meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan
mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Glukokortikosteroid dapat
mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan
mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis
yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Obat-obat yang termasuk
golongan ini adalah budenosid, flutikason, dan beklometason. Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada
gigi dan mulut.2
Antileukotrien (leukotriena receptor antagonist, LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin
hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang
membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA
adalah sebagai berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan
cystenil leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali
per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu
dengan meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan
menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat
mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot
polos, serta diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos
menjadi organ pro-inflamator.2
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per
oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun
adalah 4 mg qhs.
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7
tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.2
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan
asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat
mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan
fungsi hati.
1) Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari
frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS
dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone
propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol
(Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI.
Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan
kepatuhan memakai obat.
2) Teofilin lepas lambat
terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Terapi Inhalasi
Pemberian obat secara inhalasi mempunyai beberapa keuntungan yaitu obat bekerja
langsung pada saluran pernapasan, onset kerjanya cepat, dosis obat yang digunakan
kecil, serta efek samping yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah
sedikit atau rendah. Terapi inhalasi dapat diberikan dengan inhaler dosis terukur
(metered dose inhaler=MDI), MDI dengan spacer, nebulizer, intermitten positive
pressure breathing, rotahaler, atau diskhaler.11
1) Metered Dose Inhaler (MDI)
2) Dry Powder Inhaler (DPI)
3) Nebulizer

You might also like