Professional Documents
Culture Documents
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
I. IDENTITAS
Nama : An. G Nama Ayah : Tn. D
Umur : 3 tahun 7 bulan Usia : 23 th
Alamat : Jombang Pendidikan : STM
Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Kary.Pabrik
Pendidikan : Belum sekolah Nama Ibu : Ny. J
No. CM : 745XXX Usia : 22 th
Masuk RS : 11 Mei 2018
(21.30 di IGD) Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis terhadap ibu pasien)
1. Keluhan Utama:
Sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
5. Riwayat Pribadi:
Riwayat Kehamilan: Pasien merupakan anak pertama dari dua
bersaudara dengan usia kehamilan 9 bulan. Ibu rutin melakukan
pemeriksaan kehamilan satu bulan sekali ke puskesmas (ANC).
Riwayat penyakit semasa kehamilan disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat Persalinan: Bayi dilahirkan secara partus spontan. Berat
badan bayi lahir 2,8 kg, pasien langsung menangis saat dilahirkan,
tidak kuning dan tidak ada riwayat biru pada ekstremitas saat lahir.
Riwayat Pasca Lahir: Setelah bayi lahir, inisiasi ke ibu untuk
menetek, ASI keluar, ibu mengaku tidak mendapat perawatan intensif
bayi setelah kelahiran.
6. Riwayat Makanan:
- Usia 0 – 6 bulan : Pemberian ASI tanpa makanan dan minuma
tambahan.
- > 6 bulan pasien sudah bisa makan bubur bayi / cerelac
- >2 tahun pasien sudah bisa makan nasi beserta lauk pauk, sayur dan
buah, susu formula / susu sapi
7. Riwayat Perkembangan:
- Bicara: 10 bln (mengikuti perkataan)
- Berdiri : 11 bln
- Tengkurep : 5 bln
- Jalan : 11 bln
- Senyum : 3 bln
- Duduk: 8 bln
- Lari : 1 th
8. Imunisasi:
- Hep.B : sudah
- Polio : sudah
- BCG : sudah
- DTP : sudah
- Hib : sudah
- PCV : sudah
- Campak : sudah
A. Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda Utama :
Frekuensi nadi : 89 x/ menit
Frekuensi napas : 42 x/ menit
Suhu : 36 ºC
4. Status gizi:
o TB / U (bulan) : 94 / 43 : Normal ( -2 SD 2)
o BB / U (bulan) : 14 / 43 : Gizi Baik (-2 SD 2)
o IMT / U : Normal (-2 SD 2)
Status Gizi Menurut Kurva WHO
BB: 14 kg
TB: 94 cm
U: 3 tahun 7 bulan / 43 bulan
6. Antropometri:
Berat badan (BB) : 14 kg
Panjang Badan (PB) : 94 cm
Lingkar Kepala : 48 cm
Lingkar Lengan Atas : 14 cm
B. Pemeriksaan khusus:
1. Kepala : Normocephale
2. Kulit : Ruam (-)
3. Mata : Konjunctiva Anemis (-), Sklera Ikterik (-),
pupil bulat dan isokor, reflek cahaya langsung (+/+), reflek
cahaya tidak langsung (+/+)
4. Telinga : Simetris kanan dan kiri, hiperemis (-),
sekret (-)
5. Hidung : Tidak ada deviasi, lubang hidung lapang,
sekret (-)
6. Tenggorokan : Uvula deviasi (-), faring hiperemis (-),
tonsil hiperemis (-)
7. Mulut : Bibir tidak sianosis, Mukosa mulut dan
lidah dalam batas normal
8. Leher : Tidak teraba massa / pembesaran KGB,
tiroid dan paratiroid, trakea di tengah.
9. Dada:
a) Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, ada
retraksi epigastrium, ICS 1, dan ICS 5
Palpasi : tidak ada krepitasi dan massa
Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, rhonki +/+ ,
wheezing +/+
b) Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : Bunyi Jantung I II reguler, murmur (-),
gallop (-)
10. Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada sikatrik, Retraksi (+)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar
dan lien (-)
Perkusi : tympani pada keempat kuadran
11. Ekremitas
Superior : Akral Hangat, sianosis -/-, oedema -/-, petechie -/-,
capillary refill < 2 detik.
Inferior : Akral Hangat, sianosis -/-, oedema -/-, petechie -/-,
capillary refill < 2 detik.
C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Darah Rutin
- Glukosa darah sewaktu
- Rontgen thorax
B. Rencana Pengobatan
- Rawat inap
- O2 6 L / jam dengan sungkup
- Inhalasi / 4 jam (combivent ½ + flexotide 1)
- Metilprednison 2 x 12, 5 mg
- Ranitidin 2 x 12,5 mg
- IVFD Kaen I B + KCl 10 mEq 15 tpm
- Ampicilin 4 x 350 mg
- Aminofusin 250 ml/ 24 jam
- Salbutamol 3 x 1 mg
C. Rencana Pemantauan
- Pantau keadaan umum, kesadaran, dan tanda-tanda vital
- Pantau pemeriksaan fisik ( sesak, retraksi, batuk, pilek)
IX. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad Functionam : ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
ANALISA KASUS
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai oleh mengi
dan/atau batu berulang dengan karakteristik:
1. Timbul secara episodik
2. Cenderung pada malam/ dini hari
3. Timbul setelah aktivitas fisis
4. Terdapat riwayat asma dan/atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluargamya
Eksaserbasi (serangan) asma merupakan episode perburukan gejala-gejala asma
secara progresif yang umumnya ditandai dengan distres pernapasan. Dapat timbul
gejala sesak napas, batu, mengi, dada terasa tertekan, atau berbagai kombinasi
gejala tersebut.
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
- Variabiliti APE>30%
Parameter klinis, Asma Asma episodik Asma persisten
episodik sering
kebutuhan obat
jarang
dan faal paru asma
Terapi medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda adalah obat pelega atau obat serangan.
Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika
sedang timbul, contohnya obat-obatan golongan β adrenergik kerja pendek atau
golongan methyl xantine. Kelompok obat kedua adalah controller atau pengendali,
yang sering disebut juga obat pencegah. Obat ini digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronis.
1. Bronkodilator
Beta Adrenergik Kerja Pendek (Short acting)
Beta adrenergik agonis merupakan obat pilihan pada serangan asma.
Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergik menyebabkan
perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga menimbulkan
relaksasi otot polos jalan pernapasan yang menyebabkan
bronkodilatasi. Efek lain juga dapat terjadi, seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskular, dan
berkurangnya pelepasan mediator inflamasi dari sel mast. Golongan
obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan β2-agonis selektif.
Epinefrin/ Adrenalin
Pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan
asma, kecuali jika tidak ada obat β2-agonis selektif. Epinefrin khususnya diberikan
jika ada reaksi anafilaktif atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara
subkutan atau inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan
epinefrin dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan 3 kali,
dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja adrenalin subkutan adalah 5-15 menit,
efek puncaknya 30-120 menit, durasi efek 2-3 jam. Inhalasi aerosol dapat diberikan
menggunakan nebulizer, tetapi pemberian ini kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilator hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping khususnya di
jantung dan CNS. Epinefrin dapat menstimulasi reseptor β1, β2, dan α, sehingga
akan menimbulkan efek samping berupaka sakit kepala, gelisah, palpitasi, taki-
aritmia, tremor, dan hipertensi.
β2-agonis selektif
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol.
Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali,
diberikan setiap 6 jam;
Dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, diberikan
setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali setiap 6 jam.
Pemberian secara oral akan menimbulkan bronkodilatasi setelah 30 menit dan lama
kerjanya selama 5 jam. Pemberian secara inhalasi memiliki onset kerja yang lebih
cepat, efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama kerjanya 4-6 jam. Pemberian
secara subkutan tidak memberi efek bronkodilator yang lebih baik seperti inhalasi,
sehingga cara ini tidak dianjurkan. Dosis salbutamol subkutan adalah 10-20
mcg/kgBB/kali sedangkan dosis terbutalin subkutan adalah 5-10 mcg/kgBB/kali.
Selain bentuk obat di atas, salbutamol juga dapat diberikan secara inhalasi
(nebulizer) dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB/kali (dosis maksimum 5
mg/kgBB/kali), dengan interval 20 menit, atau nebulisasi secara kontinyu dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15mg/kgBB/jam). Pasien yang tidak
responsif dengan pemberian 2 kali inhalasi, pada inhalasi ketiga dapat ditambahkan
antikolinergik (ipratropium bromida). Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan
dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulizer. Salbutamol intravena dapat diberikan
apabila tidak berespon pada obat-obat beta adrenergik lainnya dengan dosis mulai
dari 0,2 mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit dengan
dosis maksimal 4mg/kgBB/menit. Terbutalin dapat diberikan dengan dosis 10
mcg/kgBB melalui infus selama 10 menit. Dilanjutkan 0,1-4 µg/kgBB/jam. Efek
samping β2-agonis antara lain tremor, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
Selain itu dapat menimbulkan hipoksemia dan dapat terjadi hipokalemia. Oleh
karena itu, sebaiknya dilakukan pemantauan kadar kalium darah dan pemeriksaan
EKG.
Methyl Xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2-agonis, tetapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, sebaiknya obat ini hanya
diberikan pada serangan asma berat yang dengan pemberian β2-agonis dan
antikolinergik tidak memberikan respon. Dosis aminofilin IV jika pasien
sebelumnya belum mendapatkan aminofilin adalah dosis awal (dosis inisial)
sebesar 6-8mg/kgBB dilarutkan dalam 20ml dextrose 5% atau garam fisiologis,
diberikan selama 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin kurang dari
12 jam sebelumnya, dosis diberikan setengahnya. Selanjutnya aminofilin diberikan
dosis rumatan, yaitu 0,5-1 mg/kgBB/jam. Dosis maksimal aminofilin adalah 16-20
mg/kgBB/hari. Karena farmakokinetik teofilin
dipengaruhi oleh umur pasien, dosis awal aminofilin berbeda-beda sesuai dengan
usia :
Usia 1-6 bulan : 0,5 mg/kgBB/jam
Usia 6-11 bulan : 1,0 mg/kgBB/jam
Usia 1-9 tahun : 1,2-1,5 mg/kgBB/jam
Usia >10 tahun : 0,9 mg/kgBB/jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia, dan aritmia.
2. Antikolinergik
Ipratpropium bromida
Pemberian obat ini sering dikombinasikan dengan β2-agonis.
Kombinasi ini sebaiknya diberikan jika 1x nebulisasi β2-agonis tidak
memberikan respon. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa
tidak enak di mulut. Secara umum obat ini tidak memiliki efek
samping yang berarti.
3. Kortikosteraoid
Pemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma,
mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru, serta memperbaiki
respon bronkodilatasi yang ditimbulkan akibat β2-agonis. Preparat
oral yang dipakai adalah prednison, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5
hari. Kortikosteroid IV dapat diberikan pada kasus asma yang dirawat
di rumah sakit. Metil prednisolon merupakan pilihan utama karena
memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek
antiinflamasi yang lebih besar, serta efek mineralokortikotiroid yang
minimal. Dosis metil-prednisolon IV adalah 1mg/kgBB setiap 4-6
jam. Hidrokortison IV diberikan dosis 4mg/kgBB setiap 4-6 jam.
Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis 0,5-1
mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari, setiap 6-8jam.
4. Obat-obatan lain
Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada
serangan asma berat, dan dapat dipertimbangkan pada anak dengan
asma berat yang dirawat di ruang intensif. Pemberian obat ini
memberikan efek bronkodilator yang terjadi melalui perannya di
dalam siklus adenil siklase pada reseptor B2, yaitu sebagai kofaktor
yang mengatur regulasi Na dan K dalam membran sel. Obat ini juga
memiliki efek sedatif, mengurangi pelepasan asetilkolin, penghambat
kanal kalsium, dan menstabilkan sel mast. Dosisnya adalah 25-
50mg/kgBB IV, diberikan selama 1 jam. Efek samping obat ini adalah
kelemahan otot, penurunan refleks tendon, hipotensi, takikardia, mual
muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung.
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagain besar penyakit
asma bukan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu dapat diberikan
apabila ada tanda-tanda infeksi bakteri seperti ada tanda pneumonia, sputum
purulen, dan rinosinusitis yang menyertai asma.
Terapi suportif
Oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker
atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur
dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
Campuran helium dan Oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan
pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol
dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus,
meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen
dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah
mencapai alveoli.