You are on page 1of 4

Diabetes melitus, DM (Bahasa Yunani: διαβαίνειν, diabaínein, tembus atau pancuran air)

(bahasa latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit
kencing manis adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor,
dengan simtoma berupa hiperglikemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak danprotein, sebagai akibat dari:

 defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya


 defisiensi transporter glukosa
 atau keduanya.

WHO mengklasifikasikan bentuk diabetes melitus berdasarkan perawatan dan simtoma:

1. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di
dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat
idiopatik. Diabetes melitus denganpatogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau
defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini. (diabetes anak-anak)
2. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai
dengan sindrom resistensi insulin
3. Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT
dan gestational diabetes mellitus, GDM.

dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:

1. Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
2. Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini,sekresi insulin endogenus tidak
cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan
hormon dari luar tubuh
3. Not insulin requiring diabetes.

Faktor Resiko Diabetes:

 Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )


 Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)} IMT atau Indeks
Masa Tubuh = Berat Badan (Kg) dibagi Tinggi Badan (meter) dibagi lagi dengan
Tinggi Badan (cm), misalnya Berat Badan 86kg dan Tinggi Badan 1,75meter, maka
IMT = 86/1,75/1,75 = 28 > 27, berarti memiliki Faktor Resiko Dibetes
 Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
 Riwayat keluarga DM, ayah atau ibu atau saudara kandung ada yang terkena penyakit
diabetes
 Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
 Riwayat DM pada kehamilan
 Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl
 Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu)

Laporan mengenai studi populasi DM di berbagai negara dari WHO tahun 2009 menyebutkan
jumlah diabetisi di Indonesia menduduki peringkat enam sebagai negara dengan jumlah
penderita diabetes mellitus-nya terbanyak setelah India, China, Uni Soviet, Jepang, dan
Brasil. Data Perkeni cabang Semarang mengenai prevalensi DM di daerah semi urban di
Jawa Tengah yaitu Pekajangan yang berada di Kabupaten Pekalongan, menunjukkan bahwa
pada tahun 1979 terdapat 2,3% penduduk merupakan diabetisi dan pada tahun 2003
jumlahnya bertambah menjadi 9,2%, jumlah tersebut bahkan menempati urutan ke tiga se-
Indonesia dari tahun 2003 (Darmono, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan prevalensi DM tersebut kemungkinan


diakibatkan oleh perubahan gaya hidup dan budaya pernikahan antar anggota keluarga yang
tinggi sehingga menimbulkan dominasi faktor genetik. Hal tersebut terlihat dari jumlah
diabetisi dalam satu keluarga yang sering terdapat lebih dari satu. Keadaan ini akan
berdampak pada kondisi psikis anggota keluarga (calon diabetisi/diabetisi) yang akhirnya
akan berpengaruh pada kepatuhan penderita dalam melaksanakan program pengendalian DM.

Diabetes Melitus (DM) pada saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang
berdampak pada produktivitas dan menurunkan mutu sumber daya manusia. Penderita DM di
seluruh dunia pada tahun 2025 berkisar 333 juta orang (5,4%). Berdasarkan catatan
organisasi kesehatan dunia tahun 1998, Indonesia menduduki peringkat keenam dengan
jumlah penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina, Rusia, Jepang, dan Brasil.1 Penderita
DM di Indonesia semakin meningkat. Hal ini dapat diketahui bahwa pada tahun 1995
terdapat lebih kurang 5 juta penderita DM di Indonesia dengan peningkatan sekitar 230 ribu
penderita setiap tahun, sehingga pada tahun 2025 penderita diabetes di Indonesia
diperkirakan akan mencapai 12 juta orang.

Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM)
di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Sedangkan hasil Riset
kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat
DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu
14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.

Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum yang meliputi:
pencegahan tingkat dasar (primordial prevention), pencegahan tingkat pertama (primary
prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat
kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosa dini serta pengobatan yang tepat,
pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap terjadinya
cacat dan rehabilitasi (Noor, 2002).

1. Pencegahan Tingkat Dasar

Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha mencegah terjadinya resiko
atau mempertahankan keadaan resiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara
umum. Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau
perilaku hidup yang sudah ada dalam masyarakat yang dapat mencegah resiko terhadap
penyakit dengan melestarikan perilaku atau kebutuhan hidup sehat yang dapat mencegah atau
mengurangi tingkat resiko terhadap suatu penyakit tertentu atau terhadap berbagai penyakit
secara umum. Umpamanya memelihara cara masyarakat pedesaan yang kurang mengonsumsi
lemak hewani dan banyak mengonsumsi sayuran, kebiasaan berolahraga dan kebiasaan
lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat resiko yang rendah terhadap penyakit (Noor,
2002).
Bentuk lain dari pencegahan ini adalah usaha mencegah timbulnya kebiasaan baru dalam
masyarakat atau mencegah generasi yang sedang bertumbuh untuk tidak meniru atau
melakukan kebiasaan hidup yang dapat menimbulkan resiko terhadap beberapa penyakit.
Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama pada kelompok masyarakat berusia muda dan
remaja dengan tidak mengabaikan orang dewasa dan kelompok manula (Noor, 2002).

1. Pencegahan Tingkat Pertama.

Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya mencegah agar tidak timbul
penyakit diabetes mellitus. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya diabetes adalah faktor
keturunan, faktor kegiatan jasmani yang kurang, faktor kegemukan, faktor nutrisi berlebih,
faktor hormon, dan faktor lain seperti obat-obatan. Faktor keturunan jelas berpengaruh pada
terjadinya diabetes mellitus. Keturunan orang yang mengidap diabetes (apalagi kalau kedua
orangtuanya mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap diabetes
daripada orang normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes hampir
100% dapat dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya (Sidartawan, 2001).

Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi faktor lingkungan
(kegemukan, kegiatan jasmani kurang, nutrisi berlebih) merupakan faktor yang dapat diubah
dan diperbaiki. Usaha pencegahan ini dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi
diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko
tinggi untuk kemudian mengidap diabetes. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengidap diabetes adalah orang-orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang
mengalami perubahan perilaku/gaya hidup ke arah kegiatan jasmani yang kurang, yang juga
mengidap penyakit yang sering timbul bersamaan dengan diabetes, seperti tekanan darah
tinggi dan kegemukan.

Tindakan yang perlu dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan mengenai
perlunya pengaturan gaya hidu segat sedini mungkin dengan cara memberikan pedoman:

1. Mempertahanlan perilaku makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan


meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan
karbohidrat sederhana
2. Mempertahankan berat bada normal sesuai umur dan tinggi badan
3. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan kemampuan
1. Pencegahan Tingkat Kedua

Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan menderita
penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta pemberian pengobatan yang cepat dan
tepat.Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adanya penemuan penderita secara aktif
pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala, penyaringan (screening) yakni
pencarian penderita dini untuk penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk
secara umum pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau keterangan sehat
(Noor, 2002).

Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai dengan mendeteksi
dini pengidap diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan, terutama untuk
mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan
demikian, mereka yang memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan
kemudian yang dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar
mereka mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes kemudian
dapat dikelola dengan baik, guna mencegah penyulit lebih lanjut (Sidartawan, 2001).

1. Pencegahan Tingkat Ketiga

Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan dengan sasaran


utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya
penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehabilitasi. Tujuan utama adalah
mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti perawatan dan pengobatan khusus pada
penderita diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya
cacat maupun kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas (Noor, 2002).

Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau penyulit sudah
terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes ada beberapa macam, yaitu:

 Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya.


 Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan.
 Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan cuci darah.
 Pembuluh darah tungkai bawah, dilakukan amputasi tungkai bawah.

Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini penyulit
diabetes, agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di samping tentu saja
pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah (Sidartawan, 2001).

Pemeriksaan pemantauan yang diperlukan untuk penyulit ini meliputi beberapa jenis
pemeriksaan, yaitu:

 Mata, pemeriksaan mata secara berkala setiap 6-12 bulan.


 Paru, pemeriksaan berkala foto dada setiap 1-2 tahun atau kalau ada keluhan batuk
kronik.
 Jantung, pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein dalam urin.
 Kaki, pemeriksaan kaki secara berkala dan penyuluhan mengenai cara perawatan kaki
yang sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan timbulnya kaki diabetik dan
kecacatan yang mungkin ditimbulkannya.

You might also like