You are on page 1of 11

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR KOMPRESI

A. Konsep Dasar (Fraktur Kompresi)


1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang
dan/atau tulang rawan (Mansjoer, 2000). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya (Smeltzer, 2006). Sedangkan menurut
sjamsuhidayat (2005) adalah fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuintas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa.
Berdasarkan batasan diatas dapat disimpulkan
bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuintas tulang,
retak, atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya
disebabkan oleh trauma/ rudapaksa atau tenaga fisik
yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
Fraktur kompresi adalah suatu keretakan pada
tulang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan
yang terjadi bersamaan. Fraktur kompresi adalah adanya
kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang
tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur
kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi
kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi
terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala,
osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat
lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra
tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami
fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi
akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran
vertebra sebenarnya.
Dari ketiga pengertian diatas penulis
menyimpulkan fraktur kompresi adalah terputusnya

1
kontinuitas tulang atau keretakan pada tulang yang
disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan yang terjadi
bersamaan.

2. Penyebab
Adapun penyebab dari fraktur kompresi adalah
sebagai berikut:
a. Trauma langsung merupakan utama yang sering
menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada
saat benturan dengan benda keras.
b. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan
(hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan
dislokasi atau fraktur.
c. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat
jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan
sebagainya.
d. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau
kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang
atau melemahnya tulang.
e. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body
Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat.

3. Patofisiologi
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat
sendi antara korpus vertebra yang saling berdekatan.
Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra
sevikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat
discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk
sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus
pulposus ditengah dan annulus fibrosus di
sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga
intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang
rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-
berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambung
dan sel-sel tulang rawan.

2
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan
antara korpus vertebra yang berdekatan, selain itu
juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan
antara discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.
Apabila kontuinitas tulang terputus, hal
tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian struktur
yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh
darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada
berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada
umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi
perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi
atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus
persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan
bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah
tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan
biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman
jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya
juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat
timbul setelah fraktur.

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala fraktur adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekkan deformitas, krepitus,
pembengkakan lokal dan perubahan warna (Smeltzer,
2006).
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang
menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat
digunakan dan cenderung bergerak secara tidak
alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas yang bisa
diketahui dengan ekstermitas normal. Ektremitas tak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal

3
otot bergantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
c. Terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstermitas diperiksa teraba adanya derik
tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
yang terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur.

5. Proses Penyembuhan Tulang


a. Tahap Hematoma, Pada tahap terjadi fraktur, terjadi
kerusakan pada kanalis Havers sehingga masuk ke
area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah
dan fibrin yang masuk ke area fraktur, terbenuklah
hematoma kemudian berkembang menjadi jaringan
granulasi.
b. Tahap Poliferasi, Pada aerea fraktur periosteum,
endosteum dan sumsum mensuplai sel yang berubah
menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan
jaringan panjang.
c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus, Jaringan
granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus
mencapai ukuran maksimal pada 14 sampai 21 hari
setelah injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus
eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus
internal (medulla) dan kalus intermediet pada
minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-10 kalus
menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan
osteoklas, kalus mengalami proses tulang sesuai
dengan hasilnya.

4
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
a. Usia klien
b. Immobilisasi
c. Tipe fraktur dan area fraktur
d. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih
cepat sembuh dibandingkan dengan tulang kompak.
e. Keadaan gizi klien
f. Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang
memadai
g. Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
h. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa
menyebabkan penyembuhan lebih lama.
Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan
kortikosteroid.

6. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan
cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga
terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.
b. Mal union
Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah
infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling
beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan
sedikit gerakan (non union).
c. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam
waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi
yang kurang memadai.
d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus
berlangsung dalam waktu lama dari proses
penyembuhan fraktur.

5
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler
diseminata (KID)
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman
pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan
mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
f. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke
otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam
otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan
jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat
menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf
Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau
keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips,
balutan atau pemasangan traksi.

7. Pemeriksaan Penunnjang
a. Pemeriksaan Rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan jenis
fraktur. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan
adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang,
atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan
kecurigaan patologis lain seperti tumor,
osteomielitis.
b. Scan tulang, tomogram dan CT Scan/MRI
Memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga
dapat megidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

6
c. Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskular.
d. Hitung Darah lengkap
Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi)atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh pada multiple trauma). Peningkatan
jumlah SDP adalah proses stres normal setelah
trauma.
e. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
f. Profil koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multiple atau cedera hati
g.Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada
tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.
h.Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana
keakuratan dan miogram terbatas.
i.Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi
yang berhubungan, infeksi adanya darah.
j.Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke
atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi
discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada
kaki posterior.
k.Mielogram, hasilnya mungkin normal atau
memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus,
menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara
spesifik.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Pengobatan dan Terapi Medis
1) Pemberian anti obat antiinflamasi seperti
ibuprofen atau prednisone
2) Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah
fase akut
3) Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
4) Bedrest, Fisioterapi

7
b. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan
fisioterapi agar mobilisasi dapat berlangsung lebih
cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti
disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk
menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan
peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus
detektif, menstabilkan tulang belakang dan
mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat
lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis
spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan
radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus
diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi
dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu
dan menekan akar syaraf.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada
klien fraktur menurut (Smeltzer, 2006) adalah sebagai
berikut :
a. Data demografi/ identitas klien
Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama,
tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Adanya nyeri dan sakit pada daerah fraktur.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk menentukan hubungan genetik perlu
diidentifikasi misalnya adanya predisposisi seperti
arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai
(terdapat pada fraktur psikologis).
d. Riwayat spiritual
Apakah agama yang dianut, nilai-nilai
spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam
menjalankannya.

8
e. Aktivitas kegiatan sehari-hari
Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya
sehari-hari, kebiasaan membawa benda-benda berat
yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama
lainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan
tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat
timbul pada orang yang suka berolah raga dapat
menimbulkan nyeri sendi pada tangan.
f. Neurosensori
Gejala : hilang gerak/sensasi, spasme otot, kebas/
kesemutan (parastesi).
Tanda : deformitas lokal, angulasi abnormal,
pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot,
kelemahan/ hilang fungsi. Agitasi
berhubungan dengan nyeri, ansietas, trauma
lain.
g. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : nyeri berat tiba-tiba saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan/ kerusakan
tulang), dapat berkurang pada imobilisasi),
tak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme/
kram otot (setelah imobilisasi).
h. Keamanan
Tanda : laserasi kulit, avulsi jaringan,
perdarahan, dan perubahan warna kulit.
Pembengkakan lokal (dapat meningkatkan
secara bertahap atau tiba-tiba).
i. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran tinggi badan
2) Pengukuran tanda-tanda vital
3) Integritas tulang, deformitas tulang belakang
4) Kelainan bentuk pada dada
5) Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti
ronkhi basah atau kering, sonor atau vesikuler,
apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana
warna dan produktivitasnya.

9
6) Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi
nadi, tekanan darah, pengisian kapiler, warna
kulit dan temperatur kulit.
7) Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising
usus, pembesaran hati atau tidak, apakah limpa
membesar atau tidak.
8) Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal
dan pola berkemih karena adanya immobilisasi.
9) Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah
fraktur
10) Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada
kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus otot.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut
Doengoes, 2002 untuk klien dengan fraktur kompresi,
yaitu :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
spasme otot, gerakan fragmen tulang, agen pencedera
fisik kompresi saraf: spasme otomatis,
stres/ansietas.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri,
spasme otot, kerusakan rangka neuromuskular.
c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan
dengan krisis situasi, perubahan status kesehatan,
ketidakadekuatan mekanisme koping, kurang
pengetahuan tentang kondisi/ prognosis penyakit.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
kehilangan sensori dan mobilitas permanen.
e. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera
vertebra
f. Konstipasi berhubungan dengan efek kerusakan
spinalis
g. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi
neurologi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Doengus at ei. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi:3.


Jakarta: EGC.
Hidayat, Aziz Alimul. 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Lukman, 2011. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3
Jilid: 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Smeltzer, Suzanne C. 2006. Buku Ajar keperawatan Medikal:
Vol.3. Jakarta: EGC.

11

You might also like