You are on page 1of 10

Al-Quran dalam pandangan Ignaz Goldzhiher

Slamet Nur Fajar, Ita Maesaroh, Nirwanti, Asmaul Husna


Institut Agama Islam Negeri Kendari (IAIN)
Ilmu Al-Quran dan Tafsir

ABSTRAK
Keaslian Al-Quran di pertahankan melalui transmisi isnad dari generasi ke generasi
secara terus-menerus, keaslian Al-Quran di pertahankan. Oleh karena itu, ada
komentar tambahan yang di tulis oleh para sahabat atau sahabat Nabi. Namun,
komentar tambahan mereka tidak mengurangi keaslian Al-Quran dengan cara apa
pun, karena teks atau tulisan mengacu pada qira’ah dan tidak bertentangan dengan
Al-Quran. Menurut Ignaz Goldzhihe, ia mengatakan bahwa semua wacana
bermasalah tentang qira’ ah seperti ahruf sab’ ah berdampak pada berbagai cara
membaca atau qira’ah yang berbeda terimplementasi. Dengan demikian menjadi
alasannya untuk mempertanyakan keaslian Al-Quran.
Tahun Usia Keterangan

1850 0 Thn Lahir di Hungaria

1855 5 Thn Mampu membaca teks


bibel”asli” dalam bahasa ibrani

1870 15 Thn Menyelesaikan pendidikan S1 di


Universitas Budapest,Hungaria.
1871 16 Thn Sukses mempelajari manuskrip-
manuskrip Arab di Leiden dan
Wiena. Goldziher juga terpilih
sebagai anggota pertukaran
pelajar Maghyar dengan
melakukan ekspedisi di kawasan
Timur Tengah dan menetap di
Kairo.
1873 18 Thn Goldziher juga berkunjung ke
syiria dan Mesir pada tahun
1873, Goldziher dikenalkan oleh
Dor Bey, seorang pejabar
inspektur jendral Madrasah pada
masa Khediye Ismail di Mesir.
Melalui Dor Bey, maka
Goldziher diperkenalkan kepada
Riyad Pasha , Menteri
pendidikan mesir. Setelah
berkenalan beberapa lama
dengan beliau,Goldziher
mengemukakan hasratnya untuk
belajar di Universitas Al-Azhar.
1874 19 Thn Kemudian melanjutkan studinya
di Universitas Leipzig, Jerman.
Kemudian atas bimbingan
Heinrich Fleisher, Goldziher
mendapatkan gelar Doktor.
1875 20 Thn Goldziher melanjutkan
penelitiannya di Universitas
Leiden,(Belanda) selama 1
tahun.
1876 21 Thn Selanjutnya, Goldziher pulang
ke kampung halamannya dan
menjadi dosen privat di
Universitas Budapest.
1894 39 Thn Setelah berhasil mengkaji ilmu
di Mesir, Kairo. Goldziher
kembali ke Budapest untuk
menjadi calon pengajar bahasa
semit.
1904 49 Thn Universitas Cambridge
memberikan gelar doktor
kepada Goldziher dalam bidang
kesusastraan serta mendapat
gelar LL.L dari Universitas
Aberden, Skotlandia.
1914 56 Thn 10 Thn kemudian, Goldziher
menjadi guru besar bahasa semit
di Universitas Budapest,
Hungaria.

PEMBAHASAN
A. Biografi Ignaz Goldziher
1) Pendidikan
Tahun Usia Keterangan

1850 0 Thn Lahir di Hungaria

1855 5 Thn Mampu membaca teks


bibel”asli” dalam bahasa ibrani

1870 15 Thn Menyelesaikan pendidikan S1 di


Universitas Budapest,Hungaria.
1871 16 Thn Sukses mempelajari manuskrip-
manuskrip Arab di Leiden dan
Wiena. Goldziher juga terpilih
sebagai anggota pertukaran
pelajar Maghyar dengan
melakukan ekspedisi di kawasan
Timur Tengah dan menetap di
Kairo.
1873 18 Thn Goldziher juga berkunjung ke
syiria dan Mesir pada tahun
1873, Goldziher dikenalkan oleh
Dor Bey, seorang pejabar
inspektur jendral Madrasah pada
masa Khediye Ismail di Mesir.
Melalui Dor Bey, maka
Goldziher diperkenalkan kepada
Riyad Pasha , Menteri
pendidikan mesir. Setelah
berkenalan beberapa lama
dengan beliau,Goldziher
mengemukakan hasratnya untuk
belajar di Universitas Al-Azhar.
1874 19 Thn Kemudian melanjutkan studinya
di Universitas Leipzig, Jerman.
Kemudian atas bimbingan
Heinrich Fleisher, Goldziher
mendapatkan gelar Doktor.
1875 20 Thn Goldziher melanjutkan
penelitiannya di Universitas
Leiden,(Belanda) selama 1
tahun.
1876 21 Thn Selanjutnya, Goldziher pulang
ke kampung halamannya dan
menjadi dosen privat di
Universitas Budapest.
1894 39 Thn Setelah berhasil mengkaji ilmu
di Mesir, Kairo. Goldziher
kembali ke Budapest untuk
menjadi calon pengajar bahasa
semit.
1904 49 Thn Universitas Cambridge
memberikan gelar doktor
kepada Goldziher dalam bidang
kesusastraan serta mendapat
gelar LL.L dari Universitas
Aberden, Skotlandia.
1914 56 Thn 10 Thn kemudian, Goldziher
menjadi guru besar bahasa semit
di Universitas Budapest,
Hungaria.

2) Karya-karya Ilmiah
Beberapa karya yang dihasilkan oleh Goldziher diantaranya adalah
introduction to islamic thology and law azh-zhahiriyah, namun berujung
pada pengantar kajian fiqih. Selanjutnya karya Goldzhiher yang berkaitan
dengan hadist adalah dirasah ilmiah, juz pertama tertbit tahun 1889: juz
kedua tahun 1980. Karya yang cukup monumental “Muslim Studies,
Muhammedanisce studies” (1896). Pada tahun 1900, ia membuat makalah
dengan judul Islam dan agama Persia yang berbicara tentang pengaruh
agama terhadap kekuasaan. Karya lain Goldzhiher adalah ‘Almuammarain
Abi Hatim As-Sijistani (1899), dan yang paling fonemenal adalah karayanya
yang berjudul Mudharat Fi Al-Islam.1
Karya Ignaz Goldziher banyak di publikasikan dalam bentuk jurnal,
kemudian ada dari beberapa naskahnya yang di sunting hingga di
publikasikan menjadi karya buku yang disumbangkan sebagai koleksi di
akademi Hungaria. Kebanyakan naskah itu ditulis dalam bahasa jerman,
antara lain seperti judul :
a) Beitrage zur Literaturgeschicte der Shi’a (1874)
b) Beitrage Zur Geschicte der sprachgelehrsamkeit bei den Arabern
(Vienna, 1871-1873).
c) Der Mythos bei den Hebyhern und seine geschichtliche
Entwickelung (Leipzig, 1876 Eng. Trans, R Martineau, London,
1877)
d) Muhammednasiche Studien (Halle, 1889-1890, 2 Vols)
e) Abhandlungen zur arabischen philogie (Leiden, 1896-1899, 2 vols)
f) Buch v Wesen d.Seele (ed. 1907)

B. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Al-Qur’an dan Tafsir


Goldziher mempunyai pandangan yang buruk terhadap Al-
Qur’an.Menurutnya, al-qur’an sebagai alat ummat islam untuk dijadikan
senjata ampuh dalam melawan musuh-musuh, isi dari kandungan Al-Qur’an
bukanlah petunjuk yang benar , demikian Goldziher mempunyai strategi
yang baik disertai semangat yang besar untuk menghancurkan umat islam.
Dengan berargumen bahwa al-qur’an telan mengcopy paste ajaran samawi.
Kemudian Goldziher juga mengemukakan bahwa Al-Qur’an merupakan
hasil cipta karya Nabi Muhammad SAW . Strategi Galdziher untuk
meragukan otentisitas al-qur’an dengan menggunakan pendekatan sejarah
(historical critism), dengan demikian Gaoldziher juga bisa mengomentari
banyak tentang sejarah bahkan kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Menurutnya,
khalifah utsman dalam menjadikan al-qur’an menjadi kesatuan mushaf yang
tidak ada keraguan yakni mushaf usmani dengan menggunakan selektivitas
yang ketat. Perdebatan yang terjadi seputar bacaan Al-Qur’an yang terjadi
pada generasi awal islam merupakan proses untuk memelihara,menjaga
serta melestarikan kitab suci Al-Qur’an.
Hasil pemikiran karya Goldziher dalam buku mazhab tafsir, dalam
bukunya tersebut Goldziher berusaha untuk menjelaskan sekte-sekte
keagamaan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tak lain motif utamanya adalah
mengkaji penafsiran beberapa sekte aliran dalam penafsiran Al-Qur’an.
Perbedaan yang terjadi dalam pemikiran islam baik fiqh,ilmu
kalam,tasawwuf, maupun tafsir diperuntukkan untuk memahami ayat-ayar
Al-Qur’an.
Dalam karyanya Goldziher telah mengklarifikasi serta menyeleksi
berbagai sekte aliran secara ringkas. Terdapat 5 sekte aliran dalam islam:
tradisionalis,dogmatis, mistik,sekretarian dan modernis. Tiga aliran pertama
merupakan tipologi kesarjanaan muslim. Perbedaan itu jadi sebuah

1
Uin Surabaya Pemikiran Ignaz Goldzhiher tentang Qira’at al-Qur’an hlm 49-50
keniscayaan, tinggal bagaimana menyikapi perbedaan tersebut dan penulis
mengutip apa yang disampaiakn Al-Qur’an “jika kalian berselisih
kenbalikan kepada Allah dan Rasul” dalam arti dikembalikan kepada
subtansi manusia diciptakan yaitu sebagai hamba yang patuh dan disisi lain
sebagai khalifah yang dituntut harus kreatif-inovatif. Dan untuk sempurna
hal tersebut Al-Qur’anlah sebagai petunjuk yang benar. Dalam melihat
fenomena yang terjadi, bahwa tafsir dalam khazanah dunia islam memiliki
kepentingan serta tujuan tertentu. Walaupun kenyataannya ummat islam
percaya akan 1 mushaf yakni mushaf utsmani tetapi pemahaman mereka
terhadap penafsiran Al-Qur’an sangatlah beragam. Begitu pula dengan
Goldziher mengenai tafsir, Goldziher memandang bahwa tafsir memiliki
bias kepentingan teks suci Al-Qur’an bukan lagi sebagai sumber agama
tetspi lebih dari itu, al-qur’an menjadi salah satu aliran keagamaan tertinggi
bagi suatu kelompok ajaran tertentu. Bukan dari beberapa golongan aliran
mazhab islam mengklaim bahwa kebenaran Allah sebagai bukti yang tidak
dapat diganggu gugat. Adapun tafsir memang sangat beragam corak serta
mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Sebab hal itu merupakan
konsekuensi logis dari yang dianut oleh umat islam bahwa al-qur’an
Shalihun li kulli zaman wa makan.

C. Pemikiran Ignaz Goldzihe tentang Qir’at Al-Qur’an


Qiraat Al-Qur’an dalam pandangan Ignaz Goldziher, Ia mengatakan
bahwasanya lahirnya sebagian besar perbedaan qira’at itu dikembalikan
pada karakteristik tulisan arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat
menghadirkan suara (vokal) pembacaan yang berbeda,
tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf
atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Demikian halnyapada
ukuran suara (vokal) pembacaan yang dihasilka. Perbedaan harakat-harakat
yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan arab asli memicu perbedaan
posis i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat,yang menyebabkan
lahirnya perbedaan makna(dalalah).Dengan demikian, perbedaan karna
tidak adanya titik (tanda huruf) pada hrud-huruf resmi dan perbedaan karena
harokat yang dihasilkan,disatukan, dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam
(tidak dibaca), merupakan faktor utama lahirnya perbedaan qiraat dalam teks
yang tidak mempunyai titik sama sekali atau titiknya kurang jelas.
Dalam pandangan Goldzhiher dalam qira’ah berbeda dengan
pandangan ulama pada umumnya yang menjadikan riwayat sebagai acuan
dasar keabsahan qira’ah. Ia berpendapat, bahwa upaya mengklasifikasikan
yang muatawatir dari yang syadz adalah upaya ijtihad manusiawi.
Menurutnya, belum tentu yang dianggap syadz benar-benar syadz atau
sebaliknya, yang mutawatirnya demikian. Apalagi menurut pandangan
Goldzhiher apabila yang dianggap syadz itu di riwayatkan dari sarjana
qira’ah terkemuka yang belajar langsung dari Rasulullah saw. Ibnu Mas’ud
misalnya, ia adalah salah satu sarjana qira’ah yang mendapatkan ijazah
langsung dari Rasulullah saw. Sementara qira’ahnya yang berbeda dianggap
syadz oleh para sarjana qira’ah yang lain, yang notabene tidak memiliki
otoritas sebagimana Ibnu Mas’ud. Ia menambahkan, ketidakterlibatan Ibnu
Mas’ud dalam proses kodifikasi adalah sebuah kesalahan besar bagi
Utsman, karena telah mendiskualifikasi seorang yang punya otoriter dalam
menetapkan atau menolak sebuah qira’ah.
Teori di atas menyebabkan Goldzhiher dalam -banyak
argumentasinya- mengambil sampel qira’ah yang syadz bahkan tidak jelas
siapa yang membaca qira’ah tersebut. Pandangan Goldzhiher yang keliru
terhadap qira’ah, jelas terjadi karena dia tidak memiliki konsep isnad.
Sehingga argumentasinya cenderung mencampur adukkan anatar qira’ah
yang mutawatir dengan yang dla’if atau yang sydaz. Sikap Goldhziher
tersebut tentunya menafikan sikap kesungguhan dan kehati-hatian para
sahabat dalam proses univikasi qira’at demi menjaga validitas al-Qur’an.
Goldzhiher menganggap tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip
sebagai neraca dan kriteria, sehingga suatu bacaan menurut teorinya mesti
disesuaikan dengan mengikuti teks, terlepas apakah qira’ah tersebut
masyhur atau tidak.
Sebut saja contoh,dalam surah Al-Mujadalah 58:7, ia mengatakan
bahwa qira’ah Ibnu Mas’ud berbeda dengan yang telah di sepakati para
sahabat yang lain. Ia menuduh adanya penghpusan dalam ayat tersebut.
‫ما يكون من نجوئ ثالثة اال هو رابعهم (وال اربعةاالهو خامسهم) وال خمسة اال هو سادسهم وال‬
‫ادنى من ذلكوال اكثراالهومعهم‬
Dalam qira’ah di atas, Goldzhiher berpendapat bahwa qira’ah yang
dianggap masyhur dalam mushaf Utsmani, telah meninggalkan secara logis
bilangan ke empat dan kelima. Dengan cepat ia menyimpulkan bahwa
qira’ah Ibnu Mas’ud lebih masuk akal daripada qira’ah yang telah di
sepakati dalam mushaf Utsmani yang dianggap masyhur.
1. Lahirnya perbedaan Varian Bacaan
Pemahaman Goldzhiher yang salah terhadap pengertian qira’at,
berimplikasi pada kesalahan dalam memandang perbedaan varian
bacaan. Ia mengaggap bahwa perbedaan varian bacaan, adalah celah
yang strategis untuk kembali mempermasalahkan otentitas Mushaf
Utsmani. Goldzhiher berpendapat, bahwa perbedaan qira’at muncul
karena Mushaf Utsmani tidak memiliki tanda baca. Tidak ada titik akan
membedakan konsonan vokal serta tanda-tanda ortografis yang lain. Ia
menjelaskan dengan detil mengapa tulisan arab menjadi penyebab
perbedaan qira’ah.
Diantara kekhususannya adalah suatu tulisan untuk satu kata
kadang-kadang bisa dibaca dengan berbagai bentuk mengikuti titik di
atas atau titik di bawah huruf, sebagaimana tidak adanya tanda-tanda
diakritis tatabahasa (harakah al-nahwiyyah), serta hilangnya ortografi di
dalam tulisan Arab memungkinkan untuk menjadi satu kata menjadi
keadaan yang beragam dari sisi letaknya dalam I’rab.
Dari statement di atas, Goldzhiher yakin bahwa perbedaan bacaan
dalam Al-Qur’an adalah akibat kekeliruan dalam penulisan bahasa arab
zaman dulu, tidak ada titik dan tanda diakritikal. Oleh karena itu, bentuk
kata “fi’il” saat dibuang tanda titiknya mungkin lahir ragam bacaan
seperti )‫ ) ِف ْي ٌل قَ ْب َل قَت َ َل ِقيْل‬dan lain sebagainya. Dengan demikian jelaslah,
bahwa ia telah keliru dalam memahami al-Qur’an.
Salah satu penyebab lahirnya perbedaan varian bacaan sebagaimana
di jelaskan di atas adalah Hadits Ahruf al-Sab’ah. Hadits yang
menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dalm tujuh dialek yang di
riwayatkan lebih dari duapuluh sahabat dengan berbagai macam matan
yang berbeda-beda. Kata ahruf dalam hadits tersebut, kemudian
ditafsirkan oleh lebih dari 40 ilmuan. Beberapa dari mereka
memaknainya dengan makna yang terlampau jauh, namun sebagian
besar sepakat, bahwa yang di maksud dari kalimat tersebut adalah
“dialek”.
Pendapat Goldzhiher diatas tidak bisa dibenarkan, karena
Rasulullah saw, membenarkan adanya qira’at yang berbeda ini, dan
qira’at tersebut ada terlebih dahulu daripada tulisan. Pernyataan
Goldzhiher bahwa ulama tidak memiliki kesepakatan yang jelas dalam
menfasirkan kalimat ini (sab’ah ahruf) juga tidak bisa di
pertanggungjawabkan. Menambahkan kritiknya, Goldzhiher
berpendapat bahwa hadits ahruf sab’ah tersebut jelas mengarah kepada
kebebasan otonom sampai pada batas kebebasan individual dalam
membaca al-Qur’an. Seakan-seakan semua orang mendapatkan hak
yang setara untuk meriwayatkan teks dengan cara yang tidak sama
dengan bentuk aslinya. Ia mengatakan bahwa khalifah Utsman sendiri
kadangkala telah membaca al-Qur’an berbeda teks yang terdapat dalam
penulisan ma’tsur. Goldzhiher kemudian memperkuat dengan satu
contoh. Dalam surah Ali Imran 3:104
‫والتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويامرون بالمعروف وينهون عن المنكر‬
Utsman menambahkan ‫ويستعينون هللا على ما اصابكم‬
Menjawab pendapat Goldzhiher diatas, kebebasan otonom atau
individual tersebut adala qira’at, (menurut kesepakatan para imam
qurra’) tentunya masih berada di bawah rambu-rambu riwayat yang
mutawatir.
2. Qira’ ah dengan makna
Sebagaimana perspektif Goldzhiher, selain berdampak pada
kebebasan membaca dengan berbagai qira’at, dampak lain dari di
perbolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah qira’ah
bi al ma’na, yaitu qira’ah dengan menggunakan sinonim kata. Apalagi
banyakriwayat yang terkadang menentukan bentuk perbedaan bacaan
al-quran yang diperbolehkan. Umpanya, hadis yang di riwayatkan oleh
at thabari dengan sanadnya anas binmalik, bahwa ia pernah
memmbaca “inna nasyith al-laili hiya asyadduwathan wa ashwab
qilan”,lalu orang-orang pernah berkata ,”wahai malik,bacaan yang
benar adalah aqwam.”lalu anas menjawab, “kata aqwam, aswam,dan
ahya’ memiliki makna dan arti yang sama”.
Dari hadis diatas ,Goldziher menarik kesimpulan bahwa di zaman
masyarakat muslim terdahulu, mengubah sebuah kata dalam al-quran
untuk mencari kesamaan makna sangatlah diperbolehkan. Untuk
memmperkuat pendapatnya, Goldziher memanfaatkan contoh dari
surah Al-Fatihah,ia menjelaskan bahwa Abdullah bin Mas’ud
mengganti lafadz pertama pada ayat “ihdina al shirat al mustaqim”,
dengan sinonim lafadz itu yaitu”arsyidna”.
Sementara itu,pendapat para ulama pembacaan dengan sinonim
kata tidak dapat dibenarkan. Terjadinya perbedaan antara mushaf para
sahabat memang tidak dapat dipungkiri. Menurut Abdul Shabur Syahid
dalam bukunya perbedaan tersebut karna adanya dua faktor, yaitu ;
pertama, perbedaan itu bersumber dari segi-segi bacaan yang
diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada mereka, dan
beliaumembolehkan segi-segi bacaan tersebut bagi
mereka.Kedua,perbedaan timbul karna asumsi dari orang-orang ia
mempelajari al-qur’an dari mushaf-mushaf tersebut.Ada sebagian
sahabat yang menambahkan catatan pada mushaf mereka. catatan
tersebut berupa penafsiran-penafsiran yang membantu untuk
memahami ayat.

D. Dampak pemahaman Goldzhiher terhadap Qiraat


Dampak dari pemahaman Goldzhiher terhadap qira’at al-Qur’an
adalah munculnya keraguan di kalangan “awam” terhadap al-Qur’an yang
selama ini di yakini otentitasnya. Argumentasi Goldzhiher yang logis
dengan menggunakan hadits-hadits syadz sebagai alat untuk mengecoh
pemikiran umat muslim yang buta dalam ilmu qira’at. Hal itu sesuai dengan
target utama kaum misionaris-orientalis dalam banyak aksinya, yaitu
membangun wacana keraguan sehingga tumbuh generasi yang memusuhi
agamanya.
Sebagaimana di tegaskan oleh Samuel Zwemmer pada konfersensi
missionaris di Yerussalem 1935, bahwa misi utama kaum misionaris-
orientalis bukan menghancurkan Muslimin, namun mengeluarkan seorang
muslim dari islam, agar jadi orang muslim yang tidak berakhlak dan
mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang
sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas dan hanya
mengejar kepuasan hawa nafsunya. Dengan begitu, akan membuka pintu
kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam.
Sedangkan dikalangan intelek, kajian Goldzhiher tersebut
berdampak pada percampuran faham Barat dengan Islam dan kebingungan
intelektual. Adopsi metodik bible dalam studi al-Qur’an khususnya dalam
qira’at yang dilakukan oleh Goldzhiher berdampak pada rekontruksi al-
Qur’an dengan bentuk yang baru dan sudah tentu akan berimplikasi pada
runtuhnya bangunan Islam, seperti Muhammad Arkhoun, Nasr Hamid,
Syahrur dan lain sebagainya.
KESIMPULAN

Ignaz goldziher merupakan orientalis asal hungaria. Dalam


mengkaji ketimuran, ia lebih condong kepada Islam.adapun yang
dikritisinya adalah sumber ajaran pokok yang digunakan dalam Islam, yaitu
al qur’an dan hadis.Dalam memandang al qur’an, Goldziher mengatakan,’’
tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh kelompok
keagamaan bahwa ia adalah teks yang diturunkan atau diwahyukan, dimana
pada masa awal peredarannya, teks tersebut datang dalam bentuk kacau dan
tidak pasti sebagaimana yang kita temukan dalam Al-Qura’ an.
Menurut Goldziher, terkait dengan Al Quran banyak perbedaan
dalam hal qir’at dan tidak konsisten dalam hal tafsirnya dan ingin mengubah
susunan ayat dan surat dalam al Quran secara kronologis, mengkoreksi
bahasa Al Quran ataupun mengubah redaksi sebagian ayat-ayatnya.
Perbedaan qiraat tersebut menurutnya dipengaruhi oleh perbedaan bacaan
karena tidak ada tanda titik dan perbedaan karena tidak adanya tanda baca
berupa harakat atau syakl.
Pendapat lebih lanjut tentang al-Quran, menurut Goldziher, Al-
Quran merupakan kitab suci yang berupayamenyerap jajaran-ajaran agama
samawi sebelumnya.Jadi banyak sekali dalam al-Quran hukum yang mirip
dengan tradisi-tradisi yahudi-Nasrani dan Jahiliyah.

You might also like