You are on page 1of 47

Asuhan Keperawatan pada Sistem Persarafan : Meningitis Ensefalitis

November 23, 2017

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Meningitis Ensefalitis merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf. Kebanyakan penyakit ini
menyerang pada anak-anak. Banyak yang tidak mengetahui sesungguhnya kedua penyakit ini berbeda
meskipun sebenarnya mirip.

Meningitis adalah radang membran pelindung system saraf pusat. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme, luka fisik, kanker, obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena
letaknya dekat dengan otak dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali
gerak, pikiran,bahkan kematian. Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti
virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.

Meningitis tergolong penyakit serius dan bisa mengakibatkan kematian. Data WHO menunjukkan bahwa
dari sekitar 1,8 juta kematian anak balita di seluruh dunia setiap tahun, lebih dari 700.000 kematian
anak terjadi di negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Di Australia pada tahun 1995 meningitis
yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1 kasus per 100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 –
4 tahun dan 15 – 19 tahun . Sedangkan kasus meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae
angka kejadian pertahun 10-100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2 tahun dan diperkirakan
ada 3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia, dengan angka kematian pada anak sebesar 15%,
retardasi mental 17%, kejang 14% dan gangguan pendengaran 28%.

Sedangkan ensefalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus. Terkadang
ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari penyakit lain
seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh bakteri). Penyakit parasit dan
protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat
menyebabkan ensefalitis pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi
karena otak terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum


Untuk menerapkan dan mengetahui gambaran Asuan Keperawatan pada An.H dengan Gangguan
SistemMeningoensefalitis di Rumah Sakit Umum Daerah Balaraja.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian pada An.H dengan Gangguan


Sistem Meningoensefalitis di Rumah Sakit Umum Daerah Balaraja.

b. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan pada An.H dengan Gangguan Sistem Meningoensefalitis
di Rumah Sakit Umum Daerah Balaraja.

c. Mampu menyusun perencanaan keperawatan pada An.H dengan Gangguan


Sistem Meningoensefalitis di Rumah Sakit Umum Daerah Balaraja.

d. Mampu melaksanakan pelaksanaan keperawatan pada An.H dengan Gangguan


Sistem Meningoensefalitis di Rumah Sakit Umum Daerah Balaraja.

e. Mampu melaksanakan evaluasi pada An.H dengan Gangguan Sistem Meningoensefalitis di Rumah
Sakit Umum Daerah Balaraja.

1.3 Batasan Penulisan

Fokus kami dalam penyusunan makalah ini adalah Konsep Dasar dan Asuhan Keperawatam dengan
Sistem Persarafan : Meningoensefalitis.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan metode deskriptif melalui studi kepustakaan dengan pengumpulan data
dari berbagai literatur atau sumber dan studi kasus dengan pengumpulan data dari pasien dan rekam
medis.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada makalah ini yaitu :

BAB I : Pendahuluan

BAB II : Tinjauan Teoritis dan Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

BAB III : Tinjauan Kasus

BAB IV : Penutup
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN

Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu cerebromeningitis,
encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter
yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis.
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa,
jamur, ricketsia, atau virus.Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar
klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama
meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam
parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai
cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang
berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun
otak misalnya enterovirus.

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu
meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan
piameter yang disertai cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai
adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta
adalah radang bernanah araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya
antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus
haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeuruginosa.

2.2 ETIOLOGI

Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:

No Agen penyebab
1. Virus

Togaviridae
Alfavirus
VirusEnsefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado
Rhabdoviridae
Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe
2
Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2
Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus
2. Bakteri
Haemophilus influenza
Neisseria menigitidis
Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Mycobacterium tuberkulosa
3. Parasit
Protozoa
Plasmodium falciparum,
Toxoplasma gondii,
Naegleria fowleri (Primary amebic
meningoencephalitis),
Granulomatous amebic encephalitis
Helminthes
Taenia solium,
Angiostrongylus cantonensis
Rickettsia
Rickettsia ( Rocky Mountain)
4. Fungi
Criptococcus neoformans
Coccidiodes immitis
Histoplasma capsulatum
Candida species
Aspergillus
Paracoccidiodes

Penyebab karena Mumpsvirusditularkan melalui kontak langsung, titik ludah atau

muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi.


Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya gejala klinik.
Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar terjadi penularan Mumpsvirus, bila
dibandingkan dengan penularan virus Measles atau Varicella-zoster.

Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan invertebrata

/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi pada manusia terjadi melalui gigitan
arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandung Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes
simpleks virus, namun banyak strain yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya
kelinci,tikus, marmot, anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak melalui saraf olfaktoris, kemudian
menyebar dari sel ke sel sehingga menimbulkan nekrosis neuron yang luas.

Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus
kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO, Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang
belum diketahui penyebabnya dan ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai
komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis
epidemika, Mononukleosis infeksiosa.

Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu: di

negara berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV-1), virus gondok, enterovirus,
herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein –Barr. Di Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis,
West Nile virus, Eastern and Weastern equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di
Eropa Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simpleks-type 2 merupakan
penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis Jepang adalah penyebab ensefalitis
yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di
dunia. Ensefalomieletis pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan
campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr,cytomegalovirus,
coxsackie B, Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan dengan virus tertentu
yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat
berkembang menjadi ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus.

Pada umumnya invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen dari infeksi di paru-paru.
Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya sebanding dengan metastasis
kuman tuberculosa ke ruang intrakranial, baik di permukaan korteks maupun di araknoid dapat
dibentuk granuloma yang besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses. Penyebab
karena bakteri yang mencapai cairan serebrospinal akan memperbanyak diri dengan cepat karena
ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada

komplemen, antibodi opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H. influenzae eksperimental,
hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk memulai infeksi pada CSS. Bakteri Streptococcus dapat
menyebabkan meningitis pada semua kelompok umur, dan pada penderita umur lebih dari 40 tahun
merupakan agen penyebab yang paling sering.

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.3.1 Anatomi Otak

Otak bertanggung jawab dalam mengurus organ dan jaringan yang terdapat di kepala. Otak terdiri atas
otak besar atau serebrum (cerebrum), otak kecil atau cerebelum (cerebellum) dan batang otak (trunkus
serebri). Jaringan otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meninges) yang dilindungi oleh tulang
tengkorak dan mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi menunjang otak yang lembek dan halus
sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala.

2.3.2 Histologi Susunan Saraf Pusat

Bila dibuat penampang melintang bagian-bagian dari susunan saraf pusat, akan terlihat adanya jaringan
dengan warna berbeda. Sebagian tampak berwarna putih dan sebagian lagi berwarna agak gelap
(kelabu). Atas dasar itu, susunan saraf pusat dibagi menjadi substansia grisea yang berwarna kelabu dan
substansia alba yang berwarna putih. Warna kelabu ini disebabkan oleh banyaknya badan sel saraf di
bagian tersebut, sedangkan warna putih ditimbulkan oleh banyaknya serabut saraf yang bermielin, sel
saraf yang terdapat dalam susunan saraf pusat juga dapat dibagi menjadi sel saraf dan sel penunjang. Sel
penunjang merupakan sel jaringan ikat yang tidak berfungsi untuk menyalurkan impuls. Pada sel saraf
serabut dengan diameter besar ditandai dengan nama serabut alpha atau A, beta atau B untuk yang
lebih kecil dan gamma untuk yang lebih kecil lagi pada ujung-ujung saraf yang membentuk sinaps,
ternyata terdapat gelembung yang menghasilkan macam macam zat kimia. Karena demikian banyaknya
sinaps yang terdapat di otak, secara keseluruhan otak dapat dianggap sebagai sebuah kelenjar yang
sangat besar.

2.3.3 Anatomi Selaput Otak

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus,
membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:

a. Lapisan Luar (Durameter)

Durameter disebut juga selaput otak keras atau pachymeninx. Durameter dapat dibagi menjadi
durameter cranialis yang membungkus otak dan durameter spinalis yang membungkus medula spinalis.
Di samping itu, durameter masih dapat dibagi lagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan meningeal yang lebih
dekat ke otak (lapisan dalam) dan lapisan endostium yang melekat erat pada tulang tengkorak.

b. Lapisan Tengah (Araknoid)

Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter,
membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat.
Ruangan di antara durameter dan araknoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih
menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang
menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan serebrospinal, bagian ini
dapat dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut lumbal fungsi.

c. Lapisan dalam (Piameter)

Lapisan piameter merupakan selaput tipis yang kaya akan pembuluh darah kecil yang menyuplai darah
ke otak dalam jumlah yang banyak dan lapisan ini melekat erat pada permukaan luar otak atau medula
spinalis. Ruangan di antara araknoid dan piameter disebut subaraknoid. Pada reaksi radang ruangan ini
berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang

belakang.
2.4 PATOFISIOLOGI MENINGOENSEFALITIS

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah, penyebaran langsung,
komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam
bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula
terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini membentuk eksudat,
trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah
yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan
kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk ialah melalui
saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies
dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui ruang
ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali
rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema
otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia.Amuba meningoensefalitis
diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup
bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu penderita
berenang di air yang bertemperatur hangat. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma
dapat timbul dari penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan
daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista,
terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui
penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak,
ginjal dan bagian tubuh lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus
meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya
mikrosefalus, dll.

2.5

Mikroorganisme (Bakteri, Jamur, Virus, Protozoa

PATHWAY
Masuk ke Nasofaring

Masuk melalui luka terbuka

Menyerang pembuluh darah

Masuk ke pembuluh darah

Resiko tinggi infeksi

Masuk ke serebral melalui pembuluh darah

Tromboemboli

Emboli terlepas ke pembuluh darah

Menyebar ke CSS

Peningkatan TIK
Reaksi local pada meningen

Metabolisme bakteri

Akumulasi sekret

Peningkatan komponen darah di serebral

Bakteri masuk ke aliran balik vena ke janutng

Darah diedarkan ke seluruh tubuh

Meningitis
Bakteri masuk ke menhingen

Peningkatan viskositas darah

Penurunan perfusi jaringan serebra

Gangguan perfusi serebra

Peningkatan permeabilitas kapiler

Kebocorancairan dari intravaskular

peningkatan volume cairan di interstitial

Ketidakseimbangan ion

Edema serebral

Postulat kellie monroe


Desensepalon

Ketidakseimbangan asam basa

Gangguan hemostasis neuron

Kelainan depolarisasi neuron

Hiperaktifitas neuron

Kejang

Peningkatan listrik pada sel-sel saraf motorik

Peningkatan kontraksi otot

Resiko Cedera

Penekanan pada hipotalamus


Perubahan pada pengaturan suhu

Peningkatan rangsangan pada hipofise posterior

Demam

Hipertermi

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan ensefalitis (demam,


sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang
tanda neurologik fokal, tandatanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik.
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
klien biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan
keperawatan. Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : compos mentis,

incompos mentis (apatis, delirium, somnolen, sopor, coma).

- Compos mentis : sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan.

- Apatis : sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, tidak segera menjawab bila ditanya.

- Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang
terganggu. Pasien tampak gelisah, disorientasi dan merontaronta.

- Somnolen : mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi rangsangan tetapi saat rangsangan
dihentikan, pasien tertidur lagi.

- Sopor : penurunan kesadaran yang dalam, dimana penderita hanya dapat dibangunkan dalam
waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang.

- Coma adalah penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada
respon terhadap nyeri.

Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas marah, dan kaku kuduk.
Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan orang dewasa. Meningitis karena bakteri
pada neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang,
nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang
44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh
streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan,
koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah,
mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda
Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah
yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku
agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali,
malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus,dapat terjadi renjatan, hipotensi
dan takikardi karena septikimia. Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia
dan malaise, diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke susunan saraf pusat. Pada
meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, sakit tenggorok, nyeri
otot, dan demam, disertai dengan timbulnya ruam kulit makulo papular yang tidak disertai gatal
terdapat pada wajah, leher, dada dan badan. Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit
kepala, demam, kejang disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi Famili
Togavirus (memiliki gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala sampai terjadinya
sindrom demam akut disertai demam berdarah dan gejala-gejala sistem saraf pusat). Western Equine
Virus (WEE) pada umumnya menimbulkan infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat
berupa letargi, kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang tidak tetap. Gejala berat
pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang sesudah sembuh akan menimbulkan cacat fisik
dan mental yang berat. Gejala yang mungkin tampak dengan penyebab Japanese B enchephalitis virus
adalah panas mendadak, nyeri kepala, kesadaran yang menurun, fotofobi, gerak tidak terkoordinasi,
hiperhidrosis. Pemeriksaan laboratorium berupa uji serologis misalnya ELISA terhadap bahan atau cairan
serebrospinal menunjukkan adanya IgM. Uji fiksasi komplemen menunjukkan nilai titer yang meningkat
4 kali lipat. Tanda Kernig positif: Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah
abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna. Tanda Brudzinski: tanda ini didapat apabila leher
klien difleksikan, maka hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas yang
berlawanan. Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai
jaringan selaput otak. Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk manifestasi klinik, yaitu:

2.6.1 Bentuk asimtomatik

Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.

2.6.2 Bentuk abortif

Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-
gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.

2.6.3 Bentuk fulminan

Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir dengan kematian. Pada
stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, sangat gelisah
dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam.

2.6.4 Bentuk khas ensefalitis

Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala infeksi saluran
nafas bagian atas. Kemudian muncul tanda radang sistem saraf pusat (SSP) seperti kaku kuduk, tanda
Kernig positif, gelisah, lemah, sukar tidur. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat
terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, gangguan bicara, gangguan mental.
Manifestasi klinis yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformansberupa nyeri kepala akut atau
subakut, demam dan kadang kejang tetapi jarang ditemukan defisit neurologis fokal. Gejala awal pada
amuba meningoensefalitis adalah radang hidung dan sakit tenggorokan yang diikuti oleh demam dan
sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan gangguan kesadaran yang dapat diikuti oleh kematian penderita 1
minggu kemudian.

2.7 KOMPLIKASI

Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus, epilepsi, gangguan jiwa, buta karena
atrofi N.II, kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV, N.VI, hemiparesis. Komplikasi dari meningitis
purulenta adalah efusi subdural, abses otak, hidrosefalus, paralisis serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli,
renjatan septik.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.7.1 Pemeriksaan Pungsi Pumbal

a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh karena
mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati
dan bakteri.

b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal, biasanya disertai
limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.

c. Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan cairan otak ditemukan adanya
protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula menurun, klorida menurun.

d. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba meningoensefalitis yang diperiksa secara


mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba.

Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun.
Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau meningkat, protein meningkat, kadar
glukosa menurun. Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan massa
dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan atau MRI kepala.

2.7.2 Pemeriksaan darah

a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar glukosa, kadar ureum.
Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis,
biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit. Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di
samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang
menurun.

b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm dengan sel mononuklear
yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000, dan test
tuberkulin sering positif.

2.7.3 Pemeriksaan Radiologis


a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan kemungkinan lesi
massa dan menunjukkan edema otak.

b. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini dapat dibantu
dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA virus.

c. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak difus.

2.9 PENGOBATAN

Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan ensefalitis. Satu-satunya pengobatan
spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama 10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks.
Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Tidak ada manfaat yang terbukti untuk
kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan yang disebabkan oleh bakteri
dapat diberikan klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari. Meningitis pada neonatus
(organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim
dan aminoglikosida, dengan menambahkan ampisilin jika Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus
memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis tuberkulosis diobati dengan rifampisin, pirazinamid,
isoniazid, dan etambutol. Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir
intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya. Pengobatan amuba meningoensefalitis dilakukan
dengan memberikan amfoterisin B secara intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini
dapat mengurangi angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati
meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba lainnya.

2.10 PENCEGAHAN MENINGOENSEFALITIS

2.10.1 Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningoensefalitis bagi individu
yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan terhadap
infeksi dilakukan dengan cara imunisasi pasif atau aktif. Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang
diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indeks) serta imunisasi aktif. Imunisasi
aktif terhadap H. influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada penyakit invasif, dengan
pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme tersebut. Imunisasi untuk pencegahan infeksi
Haemophilus influenzae (menggunakan vaksin H.influenzae tipe b) direkomendasikan untuk diberikan
secara rutin pada anak berusia 2, 3, dan 4 bulan. Amuba penyebab meningoensefalitis, yang hidup
dalam kolam renang dapat dimusnahkan dengan memberikan kaporit pada air kolam secara teratur,
hindari berenang pada kolam air tawar yang mempunyai temperatur di atas 250C. Meningoensefalitis
dengan penyebab Mycobacterium tuberkulosa dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya
memenuhi syarat kesehatan, tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2/orang), dan pencahayaan yang
cukup. Pencegahan untuk Virus Japanese B Encephalitis yaitu vaksinasi inaktif diberikan pada anak-
anak, karena kelompok tersebut sensitif terhadap infeksi virus. Selain itu dilakukan pencegahan
terhadap gigitan nyamuk dan dilakukan prosedur

pengamanan tindakan dan pekerjaan laboratorium.

2.10.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala
(asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit. Deteksi dini anak-
anak yang mengalami kelainan neurologis sangat penting karena adanya kemungkinan untuk
mengembangkan potensinya di kemudian hari melalui program intervensi diri. Untuk mengenal kelainan
neurologik, pemeriksaan neurologik dasar merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.

2.11 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

2.11.1 Pengkajian

1. Anamnesa

a. Identitas

Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register,
tanggal pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan
yang lain. Jenis kelamin, umur dan dan kotor dapat mempercepat atau memperberat keadaan penyakit
infeksi. ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.

b. Keluhan utama

Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.

c. Riwayat penyakit sekarang

Mula-mula anak rewel ,gelisah ,muntah-muntah ,panas badan meningkat kurang lebih 1-4 hari , sakit
kepala.

d. Riwayat penyakit dahulu:

Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita penyakit Herpes,
penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.

e. Riwayat Kesehatan Keluarga:

Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh: Herpes dan lain-lain. Bakteri
contoh: Staphylococcus Aureus, Streptococcus , E. Coli , dan lain-lain.
f. Imunisasi:

Kapan terakhir diberi imunisasi DTP karena ensafalitis dapat terjadi post imunisasi pertusis.

g. Pemeriksaan fisik (ROS)

1) B1 (Breathing)

Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan intra cranial menyebabkan

kompresi pada batang otak yang menyebabkan pernafasan tidak teratur. Apabila tekanan intrakranial
sampai pada batas fatal akan terjadi paralisa otot pernafasan (F. Sri Susilaningsih, 1994).

2) B2 (Blood)

Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan terjadi iskemik pada daerah tersebut, hal ini
akan merangsaang vasokonstriktor dan menyebabkan tekanan darah meningkat. Tekanan pada pusat
vasomotor menyebabkan meningkatnya transmitter rangsang parasimpatis ke jantung.

3) B3 (Brain)

Kesadaran menurun. Gangguan tingkat kesadaran dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme dan
difusi serebral yang berkaitan dengan kegagalan neural akibat prosses peradangan otak.

4) B4 (Bladder)

Biasanya pada pasien Ensefalitis kebiasaan mictie normal frekuensi normal.

5) B5 (Bowel)

Penderita akan merasa mual dan muntah karena peningkatan tekanan intrakranial yang menstimulasi
hipotalamus anterior dan nervus vagus sehingga meningkatkan sekresi asam lambung. Dapat pula
terjadi diare akibat terjadi peradangan sehingga terjadi hipermetabolisme.

6) B6 (Bone)

Kelemahan.

2. Analisa Data

Analisa Data Etiologi Masalah Keperawatan

Data subyektif CO 2 Gangguan perfusi jaringan


serebral
Nyeri kepala, Pusing,
kehilangan memori,
bingung, kelelahan,
kehilangan visual,
kehilangan sensasi

Data obyektif Hipoksia serebri

Bingung / disorientasi,
penurunan kesadaran,
perubahan status mental,
gelisah, perubahan
motorik, dekortikasi, Permiabilitas vaskuler
deserebrasi, kejang,
dilatasi pupil, edema papil

Transudasi cairan

Edema serebri

Volume tengkorak

TIK

Vasospasme pembuluh
darah serebri

Sirkulasi terhenti

Gangguan perfusi jaringan

Data subyektif: - Gangguan transmisi impuls Risiko tinggi terhadap


cedera
Data obyektif

pasien mengalami kejang,


gangguan motorik, ataksia.

Kejang

Risiko tinggi terhadap


cedera

Data subyektif Peradangan Perubahan persepsi


sensori
Klien mengeluh frustasi.

Data obyektif

Pasien mengalami
kebingungan, emosi yang Kerusakan myelin pada
berlebihan, frustasi, akson dan whitematter
disorientasi realitas
Gangguan sensori persepsi

Data subyektif Peradangan Hipertermi

klien merasa kedinginan

Data obyektif

suhu tubuuh klien lebih


dari 37,5 C Suhu tubuh

Hipertermi

Data subyektif Peradangan Risiko tingi terjadinya


infeksi
Klien mengeluh pusing dan
nyeri pada kepala

Data obyektif

Suhu tubuh lebih dari Suhu tubuh


37,5C, Terdapat bengkak di
kepala

Leukosit lebih dari 40.000 Metabolisme tubuh

Penyebaran toksin ke
jaringan tubuh
Sepsis

Risiko tinggi infeksi

2.11.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral yang


mengubah/menghentikan darah arteri/virus.

2. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum.

3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan myelin pada akson dan whitematter.

4. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.

5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan sepsis.

2.11.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa 1: Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral


yang mengubah/ menghentikan darah arteri/virus.

Tujuan : Perfusi jaringan menjadi adekuat

Kriteri hasil : Kesadaran kompos mentis

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Tirah baring dengan posisi kepala 1. Perubahan tekanan CSS mungkin


datar. merupakan potensi adanya resiko herniasi
batang otak yang memerlukan tindakan
medis dengan segera.
2. Aktivitas seperti ini akan
meningkatkan tekanan intratorak dan
intraabdomen yang dapat meningkatkan
2. Bantu berkemih, membatasi batuk, TIK.
muntah mengejan.

3. Peningkatanaliran vena dari kepal


akna menurunkan TIK.

Kolaborasi 4. Meminimalkan fluktuasi dalam aliran


vaskuler dan TIK.
3. Tinggikan kepala tempat tidur 15-45
derajat. 5. Menurunkan permeabilitas kapiler
untuk membatasi edema serebral,
4. Berikan cairan iv (larutan hipertonik, mengatasi kelainan postur tubuh atau
elektrolit ). menggigil yang dapat meningkatkan TIK,
menurunkan konsumsi oksigen dan resiko
5. Berikan obat : steroid, clorpomasin,
kejang.
asetaminofen.

Diagnosa 2: Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kejang umum/fokal,


kelemahan umum.

Tujuan : Mengurangi risiko cidera akibat kejang.

Kriteria hasil : Tidak ditemukan cidera selama kejang.

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Pertahankan penghalang tempat tidur 1. Melindungi pasien bila terjadi kejang.


tetap terpasang dan pasang jalan nafas
buatan.
2. Menurunkan resiko terjatuh/trauma
2. Tirah baring selama fase akut.
ketika terjadi vertigo, sinkop, atau ataksia.

3. Merupakan indikasi untuk


Kolaborasi penanganan dan pencegahan kejang.

3. Berikan obat : venitoin, diaepam,


venobarbital.

Diagnosa 3: Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan myelin pada


akson dan whitematter.

Tujuan : Meminimalkan perubahan persepsi sensori.

Kriteria hasil : Klien dapat mengontrol emosi dirinya.

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Hilangkan suara bising yang berlebihan. 1. Menurunkan ansietas, respons emosi


yang berlebihan/bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang
berlebihan.

2. Validasi persepsi pasien dan berikan 2. Membantu pasien untuk


umpan balik. memisahkan pada realitas dari perubahan
persepsi.

3. Menurunkan frustasi yang


3. Beri kesempatan untuk berkomunikasi berhubungan dengan perubahan
dan beraktivitas. kemampuan/pola respons yang
memanjang.

4. Pendekatan antardisiplin dapat


menciptakan rencana penatalaksanaan
Kolaborasi ahli fisioterapi terintegrasi yang didasarkan atas
kombinasi kemampuan/ketidakmampuan
4. Terapi okupasi,wicara dan kognitif. secara individu yang unik dengan berfokus
pada fungsi fisik, kognitif, dan
keterampilan perceptual
Diagnosa 4: Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.

Tujuan : suhu tubuh kembali normal.

Kriteria hasil : suhu tubuh 36,5 - 37,5 ° C

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Berikan kompres hangat. 1. Pengeluaran panas secara konduksi.

2. Anjurkan klien untuk menggunakan 2. Pengeluaran panas secara evaporasi.


baju yang tipis.

3. Observasi Suhu tubuh klien


3. Menentukan keberhasilan tindakan.
Kolaborasi dengan dokter

4. Berikan obat penurun panas.


4. Membantu menurunkan suhu tubuh

Diagnosa 5: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan sepsis.

Tujuan : Meminimalkan proses penyebaran infeksi

Kriteria hasil

- Leukosit normal 10.000-40.000.

- Tidak ditemukan tanda-anda inflamasi.

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Beri tindakan isolasi sebagai 1. Pada fase awal meningitis, isolasi


pencegahan. mungkin diperlukan sampai organisme
diketahui/dosis antibiotik yang cocok telah
diberikan untuk menurunkan resiko
penyebaran pada orang lain.

2. Menurunkan resiko pasien terkena


infeksi sekunder. Mengontrol penyebaran
sumber infeksi.
2. Pertahankan teknik aseptik dan teknik 3. Memobilisasi secret dan
cuci tangan yang tepat. meningkatkan kelancaran secret yang
akan menurunkan resiko terjadinya
komplikasi terhadap pernapasan.
3. Ubah posisi pasien secara teratur,
dianjurkan nafas dalam.
4. Obat yang dipilih tergantung pada
tipe infeksi dan sensitivitas individu

Kolaborasi

4. Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G,


ampisilin, klorampenikol, gentamisin.

i BAB III

ASKEP MENINGOENSEFALITIS PADA ANAK H DI RUANG ICU

RSUD BALARAJA KABUPATEN TANGERANG\

3.1 Pengkajian

· Biodata Pasien

Nama : An. H

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 2 tahun

Tempat, Tanggal Lahir : Balaraja, 27 Juni 2014

Anak ke : 1 (Pertama)
No. Medrek : 118405

Agama : Islam

Golongan Darah : O Positif

Pekerjaan :-

Diagnosa Medis : Meningoensefalitis (ME)

Tanggal Masuk RS : 11 Maret 2017

Tanggal Pengkajian : 14 Maret 2017

Alamat Lengkap : Kp. Kadu Agung Desa Margasari Tigaraksa

· Penanggung Jawab

Nama Ayah : Tn. S

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

Suku Bangsa : Sunda, Indonesia

Nama Ibu : Ny. A

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Suku Bangsa : Sunda, Indonesia

· Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama :

Pasien mengalami penurunan kesadaran (Somnolen), keadaan umum sangat lemah, keluarga
mengatakan anak H kejang ≥ 5 menit, kejang sudah 9 kali, sehabis kejang pasien tidak sadarkan diri
seperti tertidur, demam ± 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Keluarga mengatakan anak H datang ke IGD RSUD Balaraja pada hari Sabtu 11 Maret 2017 pukul
23.00 WIB, datang dengan keluhan demam (38,0ºC) kejang sudah 9 kali, sehabis kejang pasien tidak
sadarkan diri seperti tertidur, setelah diberikan tindakan cepat di IGD pasien langsung di pindahkan di
ruang ICU RSUD Balaraja.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Keluarga mengatakan sebelumnya anak H tidak pernah menderita atau mengalami kejang, penyakit
yang pernah diderita anak H yaitu panas, batuk, pilek tetapi jarang terjadi. Keluarga juga mengatakan
imunisasi pada anak H lengkap sampai 2 tahun, tetapi tidak menyebutkan secara rinci imunisasi apa saja,
hanya mengatakan terakhir imunisasi campak.

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga mengatakan tidak mempunyai penyakit keturunan dan penyakit menular seperti DM,
Hepatitis, TBC, dan di keluarga Ayah maupun Ibu dari anak H tidak ada yang mempunyai riwayat kejang.

Primary Survey

A : Airway (jalan nafas)

Jalan nafas normal, tidak ada sumbatan.

B : Breathing (Control Ventilasi)

- Inspeksi : frekuensi nafas normal, tidak ada jejas di dada, dinding dada tampak simetris.

- Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.

- Perkusi : sonor.

- Palpasi : tidak ada kelainan.

C : Circulation (Control Perdarahan)


Kesadaran pasien somnolen, TD: 80/40 mmHg, nadi cepat dan lemah, akral dingin.

D : Disability

GCS : 11, E4M5V2 , kesadaran pasien somnolen

E : Exposure (Kaji seluruh anggota tubuh)

Pergerakan tidak aktif, terdapat respon mata, sudah mulai merengek selama 2 hari perawatan
diruang ICU.

Sekundary Survey

F : Foley Cateter

Terpasang kateter, monitoring cairan infus RL 500 cc/24 jam

G : Gastric Tube

Terpasang NGT (Naso Gastric Tube), ada distensi abdomen (pasien mengalami diare sampai anus
memerah)

H : Heart Monitor

TD: 80/40, N: 133 x/menit, RR: 42 x/menit, S: 37,5ºC, Saturasi 97%

RE-EVALUASI

Sekundary Survey

· Head to Toe Examination

Saat dilakukan pengkajian dari atas rambut sampai ujung kaki tidak ditemukan tanda-tanda kelainan
seperti tumor, kelainan bentuk tubuh.

· Finger in Every Orifice


Hidung simetris, tampak terpasang NGT, lubang hidung tampak bersih, tidak ada kelainan. Telinga
simetris, tampak bersih, fungsi pendengaran baik. Mulut tampak kering dibagian bibir. Anus tampak
memerah karena diare yang dialami (sekret berbentuk cair dan berwarna merah darah).

· Vital Sign

TD: 80/40 mmHg

N: 133 x/menit

RR: 42 x/menit

S: 37,5ºC

· Anamnesis

Keluhan saat ini: Diare sudah 3 hari semenjak berada diruang ICU

Obat:

ü Lacto B 2x1

ü Zink syrup 1x20 ml

ü Cefotaxime 3x200 mg

ü Ranitidine 2x7 mg

ü Phenitoin 2x5 mg

ü Sanmol 7 mg

ü RL 500 cc/24 jam

Makanan:

Diit dengan ahli gizi MC (Makanan Cair), glukosa 75 cc diberikan saat diare, dan outmeal 150 cc.

Penyakit:

Meningoensefalitis

Alergi:

Tidak ada alergi obat dan makanan tertentu.

Kejadian:

Keluarga mengatakan anak H datang ke IGD RSUD Balaraja pada hari Sabtu 11 Maret 2017 pukul 23.00
WIB, datang dengan keluhan demam (38,0ºC) kejang sudah 9 kali, sehabis kejang pasien tidak sadarkan
diri seperti tertidur, setelah diberikan tindakan cepat di IGD pasien langsung di pindahkan di ruang ICU
RSUD Balaraja.

Pemeriksaan Fisik :

1. Status kesehatan umum

Keadaan penyakit sangat lemah, kesadaran somnolen, Tekanan Darah 80/40 mmHg, Nadi 133 x/menit,
Respirasi 42 x/menit, Suhu 37,5ºC, GCS E4M5V2, BB sakit (8kg), BB sebelum sakit (tidak diketahui).

2. Integumen

Permukaan kulit lembab, rambut bersih tipis hitam, akral dingin.

3. Kepala

Tampak simetris, tidak ada lesi, tidak ada oedema, tidak ada kelainan.

4. Wajah

Tampak simetris, tidak ada lesi, tidak ada oedema, tampak lesu.

5. Mata

Tampak simetris, terdapat alis mata, kelopak mata normal, konjungtiva anemis, pupil isokor, sclera tidak
ikterus, refleks cahaya positif dengan pergerakan mata yang lemah.

6. Telinga

Tampak simetris, tampak bersih, tidak ada lesi, tidak ada kelainan.

7. Hidung

Tampak simetris, tidak ada lesi, tampak bersih, terpasang NGT, tidak ada cuping hidung, terpasang O2 2
liter.

8. Mulut

Bibir tampak kering, tidak ada stomatitis, lidah merah muda, kelainan tidak ada.

9. Leher

Simetris, tampak bersih, tidak ada lesi, tidak ada kaku kuduk, tidak ada pembesaran vena jugularis.

10. Thoraks

Gerakan dada simetris, tidak ada lesi, tidak ada suara tambahan, tidak ada kelainan, RR: 42 x/menit.
11. Abdomen

Terdapat bising usus, tidak ada lesi, tidak ada benjolan, tidak ada kelainan.

12. Anus

Terpasang kateter, memakai popok, anus tampak memerah dan bengkak.

13. Ekstremitas

Akral dingin, tidak ada lesi, tidak ada oedema, tidak ada kelainan, tampak gerakan tangan dan kaki
lemah.

Pola Aktivitas Sehari-hari

Jenis Kegiatan Di Rumah Di Rumah Sakit

Pola Nutrisi

1. Makan

Frekuensi 3x sehari Diit MC (Makanan Cair)


melalui NGT per 3 jam cairan
Jenis Nasi tim dengan sayur glukosa 75 cc jika diare dan
Porsi Setengah piring outmeal 150 cc.

Cara Mengunyah dengan gigi

Keluhan -

2. Minum Diit MC (Makanan Cair),


sebelum makanan masuk, air
Frekuensi ±4 gelas sehari mineral selalu diberikan.

Jenis Air mineral

Cara Menggunakan edot

Keluhan -

Pola Eliminasi

1. BAB

Frekuensi 2x sehari 4x ganti popok dalam sehari


karena diare, cair bercampur
Konsistensi Padat-Lembek lendir merah, khas feses.

Warna Kuning-Kecoklatan

Bau Khas Feses

Cara Melalui anus

Keluhan - Selama di RS, menggunakan


kateter dengan pengeluaran
2. BAK
urin per hari ±300 cc.
Frekuensi ±5x sehari

Warna Kuning jernih

Bau Khas Urin

Cara Melalui uretra

Keluhan -

Pola Istirahat Tidur

1. Malam 21.00 WIB-05.00 WIB Selama di RS, anak H selalu


tertidur, kalau terbangun
2. Siang 13.00 WIB-15.00 WIB hanya merengek.

Personal Hygiene

· Mandi 2x sehari Selama di RS, hanya dilap


setiap pagi dan sore dengan
· Gosok Gigi - baby oil dan minyak telon,
· Ganti Pakaian 2x sehari dan mengganti popok.

· Cara Dimandikan oleh Ibunya

· Keluhan -

Data Psikologis :

1. Data Sosial
Keluarga mengatakan baru mempunyai anak pertama yang berumur 2 tahun yang sedang dirawat,
hubungan antara Ayah, Ibu, dan anak pertamanya yaitu anak H sangat harmonis karena keluarga baru
mempunyai satu anak. Hubungan dengan tetangganya pun baik ditunjukkan dengan banyak yang
menjenguk anak H ketika berada di ruang ICU, tetapi karena pengunjung diruang ICU dibatasi jadi
maksimal hanya 2 orang saja.

2. Data Spiritual

Keluarga mengatakan selalu berdoa dan berusaha semaksimal mungkin agar anak H sembuh, Ayah
anak H mengatakan kehidupan ekonomi keluarganya hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari, tetapi
Ayah anak H percaya bahwa sang pencipta selalu memberi jalan pada hambanya yang sedang kesusahan
dan percaya bahwa Allah swt. tidak akan membebani umatnya sesuai dengan kemampuan.

Data Penunjang

· Laboratorium (Selasa, 14 Maret 2017)

No. Jenis Pemeriksaan Nilai Nilai Normal

1. Hematologi Rutin

· Hemoglobin 9,5 g/dl 9,6 - 15,6

· Leukosit 13,400 /µL 5.500 - 17.500

· Hematokrit 32 % 40 - 48

· Trombosit 271.000 /µL 150.000 - 450.000

· Terapi

ü Lacto B 2x1

ü Zink syrup 1x20 ml

ü Cefotaxime 3x200 mg
ü Ranitidine 2x7 mg

ü Phenitoin 2x5 mg

ü Sanmol 7 mg

ü RL 500 cc/24 jam

Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah

1. DS : CO 2 Gangguan perfusi jaringan


serebri.
- (-)

DO :
Hipoksia serebri
- Penurunan kesadaran
(somnolen) GCS : 11,
E4M5V2

- Tampak gelisah

- Tampak pergerakan Permeabilitas vaskuler


lemah

Transudasi cairan

Edema serebri
Volume tengkorak

TIK

Vasospasme pembuluh
darah serebri

Sirkulasi terhenti

Gangguan perfusi
jaringan

2. DS : Bakteri, virus, parasit, Gangguan pola eliminasi


makanan basi/beracun BAB cair.
- (-)

Tractus digestivus
DO :

- Tampak BAB cair dengan


frekuensi 4x ganti popok Berkembang-biak diusus

- Feses cair bercampur


lendir berwarna merah
- Anus mengalami
peradangan ( berwarna
merah, dan tampak Kerusakan villi (rambut
bengkak) halus)

Villi usus memendek

Hiperperistaltik

Berkurangnya
kemampuan usus
menyerap makanan

Diare

3. DS : Masuknya bakteri dalam Gangguan perubahan


intestinal nutrisi kurang dari
- (-) kebutuhan tubuh.

DO :

- Frekuensi BAB 4x ganti Fungsi intestinal


popok
- Pasien tampak lemah terganggu

- Terpasang NGT

Terjadi peristaltik usus

Sari makanan banyak


terbuang karena transit
time absorbsi berkurang

Sari-sari makanan
terbuang melalui feses

Kebutuhan nutrisi
terganggu

4. DS : Peradangan Resiko tinggi terjadinya


infeksi.
- (-)

DO :
Suhu tubuh
- Suhu 37,5ºC

- Leukosit 13.400/µL
Metabolisme tubuh

Penyebaran toksin ke
jaringan tubuh

Sepsis

Risiko tinggi infeksi

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan edema serebral yang


mengubah/menghentikan darah arteri/vena.

2. Gangguan pola eliminasi BAB cair berhubungan dengan penyerapan usus berkurang karena bakteri.

3. Gangguan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan nutrisi yang
tidak adekuat.

4. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan sepsis.

3.3 Perencanaan Keperawatan

Diagnosa
No. Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan

1. Gangguan perfusi Setelah 1. Monitor dan catat status 1. Refleks membuka mata
jaringan serebri b/d dilakukan neurologis dengan menentukan dalam pemulihan
edema serebral yang tindakan menggunakan metode GCS. tingkat kesadaran. Refleks
mengubah/ keperawatan motorik menentukan
menghentikan darah selama 3x24 kemampuan berespon
arteri/ vena jam terhadap stimulus.
diharapkan
gangguan 2. Mengetahui keadaan
perfusi 2. Monitor TTV tiap 1 jam. umum agar dapat
jaringan menentukan tindakan
serebri lanjutan.
teratasi 3. Antipiretik untuk
dengan menurunkan nyeri dan panas.
kriteria hasil :

- TTV dalam 3. Berikan obat-obatan yang


batas normal. diinstruksikan oleh dokter.

- Akral
hangat.

- Kesadaran
CM.

2. Gangguan pola Setelah 1. Monitor TTV tiap 1 jam. 1. Mengetahui keadaan umum
eliminasi BAB cair b/d dilakukan agar dapat menentukan
penyerapan usus tindakan tindakan lanjutan.
berkurang karena keperawatan
bakteri. selama 3x24 2. Untuk mencegah terjadinya
jam dehidrasi.
diharapkan 3. Mengetahui status defekasi.
2. Kaji input dan output.
pasien tidak
diare dengan 4. Memenuhi kebutuhan
kriteria hasil : nutrisi.
3. Observasi BAB bentuk, dan
- Feses tidak warna. 5. Lacto B merupakan
cair. golongan probiotik atau
4. Kolaborasi dalam diit MC bakteri baik dan zink
- BAB ≤ 3x (Makanan Cair). merupakan mineral yang
sehari. berfungsi meningkatkan daya
5. Berikan obat-obatan yang
- Tidak ada tahan tubuh.
diindikasikan atau
lendir difeses. diinstruksikan oleh dokter.
3. Gangguan perubahan Setelah 1. Timbang BB tiap pagi. 1. Untuk mengetahui
nutrisi kurang dari dilakukan perubahan BB pasien.
kebutuhan tubuh b/d tindakan
2. Untuk mencegah
asupan nutrisi yang keperawatan 2. Anjurkan untuk makan
tidak adekuat. selama 3x24 perangsangan yang mendadak
dalam porsi kecil tapi sering. pada lambung.
jam
diharapkan 3. Untuk mengetahui sejauh
kebutuhan mana perkembangan dari
3. Pantau pemasukan dan
nutrisi keadaan pasien.
pengeluaran.
terpenuhi
dengan 4. Memenuhi kebutuhan
kriteria hasil : nutrisi sesuai dengan kondisi
4. Kolaborasi dalam pasien.
- BB pemasangan NGT
meningkat (BB 5. Dapat memberikan diit yang
ideal sesuai tepat.
umur).
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.
- Tidak ada
tanda-tanda
mal nutrisi.

- Tidak
terjadi
penurunan BB.

4. Resiko tinggi Setelah 1. Instruksikan pengunjung 1. Meminta pengunjung


terjadinya infeksi b/d dilakukan untuk mencuci tangan saat mencuci tangan agar tidak ada
sepsis. tindakan memasuki dan keluar dari mikroorganisme yang
keperawatan ruangan pasien. tertinggal ditangan.
selama 3x24
jam 2. Gunakan sarung tangan saat 2. Menggunakan sarung
diharapkan melakukan tindakan. tangan untuk melindungi
infeksi tidak tangan dari cairan dan hal lain
terjadi dengan yang dapat menjadi media
kriteria hasil : penularan penyakit.

- Suhu dalam 3. Untuk mengetahui


batas normal terjadinya demam, karena
(36,5-37,5). demam merupakan gejala
awal infeksi.
- Tidak ada
tanda-tanda 3. Pantau suhu 4. Mengawasi kerentanan
infeksi (rubor, terhadap penyebaran infeksi.
kalor, dolor,
tumor, fungsio 5. Memberikan obat untuk
laesa). mencegah terjadinya infeksi.

- Leukosit
dalam
batas normal
4. Monitor kerentanan
(5.500-
terhadap infeksi.
17.500/µL)

5. Lakukan terapi antibiotik


sesuai instruksi dokter.

3.4 Tindakan Keperawatan

No. Dx. Implementasi Paraf

1. I - Memonitor TTV tiap 1 jam

Hasil : TD; 80/40 mmHg, N; 133 x/menit, RR; 42 x/menit, S; 37,5ºC

- Memonitor Kesadaran pasien

Hasil : Kesadaran pasien Compos Mentis, GCS : 14, E4M6V4

2. III - Menimbang BB tiap pagi


Hasil : BB pasien 8 kg

- Memberikan makanan melalui selang NGT glukosa 75 cc dan


outmeal 150 cc

Hasil : Pasien tampak tenang dan terlihat lesu.

- Memantau intake pasien

Hasil : Pasien diberikan cairan glukosa selama masih terjadi diare dan
outmeal masih tetap diberikan

3. II - Mengobservasi feses meliputi bentuk dan warna

Hasil : Feses cair bercampur dengan lendir yang berwarna merah, ± 4x


ganti popok setiap hari

- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit

Hasil : Diit yang diberikan cairan glukosa 75 cc dan outmeal yang


dicairkan150 cc dapat masuk dan pasien tampak tenang

- Memberikan lacto B dan zink

Hasil : Lakto B dicampur pada cairan outmeal yang akan diberikan pada
selang NGT pasien anak H, pasien tampak tenang, dan makanan cairan
dapat masuk

4. IV - Memantau suhu tubuh

Hasil : S; 36,7ºC, Leukosit; 13.400/µL

- Memakai sarung tangan setiap akan melakukan tindakan

- Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan

- Memantau tanda-tanda terjadinya infeksi

E. Evaluasi

No. Dx. Catatan Perkembangan Paraf


1. I S:-

O : - Kesadaran pasien CM

- Pasien tampak sudah bisa mengoceh dan selalu menggerakkan


kakinya.

A : Masalah teratasi

P : Intervensi dihentikan

2. II S:-

O : - BAB 2x ganti popok dalam sehari

- Feses masih cair tetapi lendir sudah tidak berwarna merah

- Anus sudah tidak tampak merah dan bengkak

A : Masalah teratasi sebagian

P : Intervensi dilanjutkan (dipindahkan keruang rawat inap)

3. III S:-

O : - Tampak terpasang NGT

- BB pasien 8 kg

- Terapi diit glukosa dan outmeal dilanjutkan

A : Masalah teratasi sebagian

P : Intervensi dilanjutkan (dipindahkan keruang rawat inap)

4. IV S:-

O : - Suhu 36,7ºC

- Leukosit dalam batas normal 13.400/µL (5.500-17.500/µL)

- Tidak ada tanda-tanda infeksi


A : Masalah teratasi

P : Intervensi dihentikan

You might also like