Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM
I. TINJAUAN TEORI
A. Konsep Kejang
Kejang merupakan pelepasan muatan neuron otak yang mendadak
dan tidak terkontrol, yang menyebabkan perubahan fungsi otak. Kejang
terjadi ketika neuron serebral tertentu dalam keadaan dapat mengalami
hipereksitasi atau mudah mengalami depolarisasi. Neuron ini tampak
memiliki potensial membran yang kurang negatif daripada normal pada
saat istirahat, atau kehilangan hubungan inhibisi yang penting. Akibatnya,
kelompok neuron ini disebut fokus epileptogenik, selalu dekat dengan
potensial ambang yang diperlukan untuk mencetuskan potensial aksi.
Neuron fokus epileptogenik berespons terhadap tingkat stimulus yang
tidak menimbulkan pelepasan muatan yang kacau pada neuron lain.
Saat fokus epileptogenik mulai mencetuskan potensial aksi, arus
yang timbul dapat menyebar ke sel disekitarnya sehingga menyebabkan sel
tersebut juga melepaskan muatan. Arus dapat menyebar kedua sisi otak
serta seluruh area korteks, subkorteks, dan batang otak. Apabila kejang
mulai terjadi secara difus diseluruh korteks serebri dan mencakup kedua
sisi korteks, kejang ini disebut kejang umum, dan kesadaran selalu
menurun. Apabila kejang timbul akibat fokus diskret dan terbatas pada
salah satu sisi otak, kejang ini disebut kejang parsial, dan kesadaran
biasanya menurun. Kejang parsial dapat dapat berkembang dan menjadi
umum. Saat tidak sadar setelah kejang umum disebut fase postictal.
Saat kejang berlanjut, neuron inhibisi diotak mencetuskan dan
menyebabkan peleapasan mauatan neuron melambat, kemudian berhenti.
Apabila suatu kejang kedua atau ketiga sebelum individu memperoleh
kembali kesdarannya, dikatakan terjadi status epileptikus.
Kejang umum mencakup kejang tonik – klonik, yang ditandai
dengan awitan mendadak kontraksi kuat dan kaku otot lengan dan tungkai
2
(kejang tonik), diikuti oleh kontraksi dan relaksi ritmik otat (kejang
klonik). Kejang ini merupakan jenis kejang umum yang paling sering
terjadi dan secara formal disebut grand mal. Kejang umum lainnya dapat
bersifat tonik murni, klonik murni, atau atonik. Kejang abcanse, yang
sering kali dijumpai pada anak, ditandai dengan mata membelalak dan
terhentinya aktivitas secara mendadak. Kejang umum dapat terjadi secara
idiopatik ( untuk alasan yang tidak diketahui) atau setelah trauma otak,
infeksi, tumor, atau perdarahan.
Kejang fokal atau parsial mencakup kejang parsial simple, yang
selama kejang tersebut kesadaran tidak terganggu, dan kejang parsial
kompleks, yang pada kejang tersebut kesadaran terganggu. Kejang parsial
dapat terjadi secara idiopatik atau setelah kerusakan otak.
B. Kejang Demam
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lainnya
misalnya infksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
( Kesepakan Syaraf Anak 2005, Konsesus Penatalaksanaan Kejang
Demam)
C. Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
2. Kejang demam kompleks ( complex febrile seizure)
3
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum
yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau
lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lainnya misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
daerah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III,
rekomendasi D)
4
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadiny meningitis
bakterialisis adalah 0,6% - 6,7%.
Pada bayi kecil sering sulit untuk menengakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena
itu fungsi lumbal dianjurkan pada :
a) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b) Bayi diantara 12 – 18 bulan dianjurkan
c) Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan
Pungsi lumbal.
3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak
direkomendasikan ( Level II-2, rekomendasi E)
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang
demam yang tidak khas. Misalnya : kejang demam kompleks pada
anak usai lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
4. Pencintraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography
scan (CT-Scan ) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
a) Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b) Paresis nervus VI
c) Papiledema
5
E. Prognosis
1. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya
tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Tetapi beberapa
penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis
pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada
kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif.Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya.
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada
suhu > 38,5 0C (level I, rekomendasi A).
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan
sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.Fenobarbital, karbamazepin,
dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang
demam (level II rekomendasi E)
3. Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan
ciri sebagai berikut (salah satu):
8
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari
dalam 1-2 dosis.
H. Vaksinasi
Sejauh in tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap
anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena
vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9
kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR
25-34 per 100.000. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal
bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa
dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3
hari kemudian.
11
C. Rencana Keperawatan
CLINICAL PATHWAY
KEJANG DEMAM