You are on page 1of 23

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIAL

Oleh :
dr. Riska Aulia Rahma

Pembimbing :
dr. Raditya Rahman Landapa

Program Internsip Dokter Indonesia RSUD Asy-Syifa’ Taliwang


Nusa Tenggara Barat
2017-2018
BAB I

PENDAHULUAN

Meskipun pengetahuan mengenai asma terus berkembang, baik dalam pathogenesis


maupun pengobatan, kenyataannya morbiditas dan mortalitas asma tidak banyak mengalami
perubahan. Badan kesehatan dunia WHO pada tahun 2005 melaporkan paling tidak 255.000
pasien meninggal karena asma, sebagian besar terjadi di Negara berkembang. Hasil analisis
dari kasus-kasus yang meninggal menunjukkan kegagalan pengobatan terjadi karena dokter
tidak atau kurang memahami dalam menilai beratnya serangan asma dan memberikan
pengobatan yang tidak adekuat, sementara pasien juga tidak mengetahui bahwa serangan
asmanya berat, sehingga terlambat mencari pertolongan. Mengenal serangan asma sedini
mungkin sangat penting, karena pemberian terapi yang adekuat, seawal mungkin sangat
penting untuk mencegah komplikasi atau kematian yang tidak diinginkan.

Umumnya perkembangan atau pola serangan asma mengikuti pola bertahap, yaitu
beratnya penyakit secara bertahap memburuk dalam beberapa hari bahkan ada yang sampai
beberapa minggu, atau yang dinamakan asma subakut memburuk beberapa jam sampai hari.
Sebagian kecil diperkirakan sekitar 8-13%, serangan asma berkembang sangat cepat, sehingga
dalam waktu 1-2 jam dapat berkembang menjadi gagal nafas. Keadaan yang terakhir ini yang
disebut asma hiperakut atau asma asfiksi akut. Mekanismenya diduga sebagai
bronkokonstriksi akut atau kejang bronkus yang berat, sementara yang subakut karena
inflamasi, edema saluran pernafasan, infiltrasi sel-sel radang dan sumbatan mucus di saluran
nafas. Asma hiperakut akan memburuk dengan cepat, tetapi cendrung memberikan respon
pengobatan yang juga cepat.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1.IDENTITAS
Nama : Tn. H

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 28 tahun

Pekerjaan :

Alamat :

Masuk R.S : 15 November 2017 melalui IGD

Rumah Sakit : RS Asy Syfa

2.2.S/ AUTOANAMNESA
a. Riwayat Penyakit Sekarang ( 15 November 2017 )
- Keluhan Utama : Sesak
- Onset : Sejak 3 hari yang lalu
- Kualitas : Sesak mengganggu aktivitas
- Kuantitas : Sesak dirasakan terus menerus.
- Faktor modifikasi : Diperberat dengan aktivitas. Sesak semakin memberat jika
pasien beraktivitas.
- Kronologis : 3 hari yang lalu pasien mulai sesak, sesak memang sudah
dirasakan sejah 6 bulan yang lalu, namun dirasakan semakin
memberat sejak 3 hari ini.
- Gejala penyerta : Selain sesak pasien juga mengeluhkan badan terasa panas, batuk
dan lemas. Tidak ada nyeri dada, tidak berdebar-debar, tidak ada
keluhan lainnya, BAB/BAK lancar.
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat sesak sebelumnya. 6 bulan SMRS pasien sudah
pernah berobat ke dokter spesialis paru dan melakukan pemeriksaan fungsi paru.
Pasien menyangkal memiliki :
- penyakit ginjal,
- riwayat tekanan darah tinggi,
- riwayat penyakit jantung, dan riwayat kencing manis
- Riwayat batuk-batuk lama dan riwayat minum obat 6 bulan.
c. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang pernah memiliki gejala serupa dengan
pasien. Keluarga pasien juga tidak ada yang mengalami batuk-batuk lama dan
tidak ada yang mengkonsumsi obat-obatan selama 6 bulan.
d. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan :
Pasien merupakan seorang anggota polri yang melakukan aktivitas sedang
sampai berat.
Tidak ada tetangga yang sedang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien. Dan juga tidak ada tetangga sekitar rumah yang memiliki riwayat batuk-
batuk lama dan mengkonsumsi obat-obatan selama 6 bulan.
2.3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis (19 November 2017) :

- Keadaan Umum : pasien tampak lemah,


- Kesadaran : Composmentis (E4V5M6)
- Tanda Vital :
o Tekanan darah: 100/70 mmHg
o Nadi : 96 x/menit (regular, kuar angkat dan isi cukup)
o Pernapasan : 20 x/menit (Pola pernapasan normal)
o Suhu axilla : 37,2˚C,
o SpO2 : 98%
- Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata, tidak mudah rapuh dan
rontok
- Dahi : Turgor kulit baik
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-
/-)
- Telinga : Pendengaran (+) normal, nyeri tekan di mastoideus (-), nyeri
tekan Tragus (-)
- Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), Discharge (-), septum deviasi (-/-
)
- Mulut : bibir sianosis (-), pulse lips breathing (-),
- Leher : Perbesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), deviasi
trakea (-),
- Thoraks :
 Inspeksi : Simetris (+/+), retraksi (-/-)
- Paru Depan :
 inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
 Palpasi : vocal fremitus sama dikedua lapang paru
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Wheezing (+/+), Rhonki (-/-)
- Paru Belakang :
 inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
 Palpasi : Vocal fremitus sama dikedua lapang paru
 Perkusi : Sonor disemua lapang paru.
 Auskultasi : Wheezing (+/+), Rhonki (-/-).
- Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
 Perkusi : Dalam batas normal
 Auskultasi : S1/S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)
- Abdomen :
 Inspeksi : perut tampak datar (+), sikatrik (-), massa (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Perkusi : timpani (+)
- Ekstremitas : Akral Hangat (+/+/+/+), Sianosis (-/-/-/-), Ikterik (-/- /-/-), Edema
Ekstremitas (-/-/-/-).
Pemeriksaan Penunjang :

Foto Rontgen (22 Agustus 2017) : Tak tampak kelainan

Spirometri dan EKG


2.4. ASSESMENT
 Asma Bronkiale Persisten dalam Serangan Sedang
2.5. PLANING
A. Diagnostik
- Pemeriksaan Darah Rutin
Cek Darah Rutin (17/11-2017) : Cek Darah Rutin (19/11-2017) :
- HB 14.1 gr/dL - HB 14.6 gr/dL
- WBC 20.000/ul - WBC 8.900/ul
- PLT 261.000/ul - PLT 229.000/ul

B. Terapi
- IVFD RL 18 tpm
- Oksigen 3 lpm (jika perlu)
- Nebulisasi Combivent /12 jam
- Inj. Metylprednisolon 2 x 125 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 Amp.
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram (skin test)
- Ambroxol 3 x 1
- Citirizin 1 x 10 mg (Malam)
C. Edukasi
- Hindari faktor penyebab sesak
- Kurangi aktivitas fisik berlebih
BAB III

PEMBAHASAN

Asama bronkiale adalah penyakit infllamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan
obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hipersensitivitas
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama
mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel.

Ada dua hal penting yang perlu diketahui pada penatalaksanaan asma akut yaitu pertama
mengenal derajat beratnya serangan asma dan yang kedua mengidentifikasi pasien-pasien-
pasien yang beresiko mendapat serangan asma yang fatal.

Faktor pencetus

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
- Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
- Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk
bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan
jam tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk
bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut.
Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang
menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus
terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi
dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini
menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini
terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat
dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E
orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast
dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat
anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik
dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada
dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan
spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi
sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional
dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
Derajat Serangan Asma

Panduan GINA menyatakan berat serangan asma ditentukan oleh gejala saat serangan,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan fungsi paru dalam hal ini pengukuran Arus Puncak Ekspirasi
(APE), dan pemeriksaan analisis gas darah (AGD). Ada 4 tingkat serangan asma yaitu
serangan ringan, sedang, berat dan mengancam nyawa.

Tabel 1. Derajat Berat/Ringannya Serangan Asma


Apnoe/Henti
Serangan
Gejala Klinis Serangan Asma Serangan Berat Nafas
Sedang
Mengancam
Sesak nafas Berjalan sudah Berbicara sudah Istirahat sudah
sesak sesak sesak
Masih dapat Lebih enak Duduk harus
berbaring duduk, membungkuk ke
berbaring sesak depan karena
sesak
Berbicara Dapat Berbicara putus- Sukar berbicara
menyelesaikam putus karena sesak
kalimat
Kegelisahan Kadang-kadang Selalu gelisah Selalu gelisah Mengantuk atau
gelisah bingung
Frekuensi Meningkat Meningkat Sering>30x/menit
pernafasan
Otot-oto bantu Biasanya tidak Biasanya Biasanya Gerakan
nafas digunakan digunakan digunakan paradoksan
torakoabdominal
Bising mengi Sedang, sering Keras Biasanya keras Tidak ada bising
hanya akhir (silent chest)
ekspirasi
Nadi/menit <100 100-120 >120 Bradikardi
Pulsus Tidak ada <10 Bisa ada 10-25 Sering ada > 25 Jika tidak ada
paradoksus mmHg mmHg mmHg harus dicurigai
adanya
kelelahan otot
nafas
APE sesudah >80% ±60-80% <60% dari
pemberian perkiraan atau
bronkodilator % nilai terbaik
dari predictor (<100L/menit
atau % dari nilai pada orang
terbaik dewasa)
PO2 (tanpa Normal >60% mmHg <60% mmHg
oksigen) (Pemeriksaan
biasanya tidak
dilakukan)
PCO2 (kalau ada <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
alat) (kemungkinan
gagal nafas)
SaO2 >95% 91-95% <90%
(tanpa oksigen)
(kalau ad alat)
*Tidak semua gejala diperlukan untuk mengklasifikasikan serangan akut

Berdasarkan berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat :

1. Asma Intermitten
Gambaran klinis sebelum pengobatan
- Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu)
- Serangan singkat (beberapa jam sampai hari)
- Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan
- Di antara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal
- Nilai APE dan VEP1 >80% dari nilai prediksi, variabilitas <20%
- Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat laun tergantung intensitas
serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.
2. Asma Persisten Ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan
- Gejala lebih dari 1 x seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- Serangan asma malam lebih dari 2 kali sebulan
- Nilai APE atau VEP1 >80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%
- Obat yang digunakan : setiap hari obat pencegah, beta 2 agonis bila perlu.
3. Asma Persisten Sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan
- Gejala setiap hari
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- Serangan asma malam lebih dari 1 kali seminggu
- Setiap hari menggunakan agonis beta 2 hirup
- Nilai APE atau VEP1 antara 60-80% nilai prediksi, variabilitas >30%
- Obat yang dipakai: setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan
bronkodilator kerja panjang.
4. Asma Persisten Berat
Gambaran klinis sebelum pengobatan
- Gejala terus menerus, sering mendapat serangan
- Gejala asma malam sering
- Aktivitas fisik terbatas karena gejala asma
- Nilai APE atau VEP1 kurang dari 60% nilai prediksi, variabilitas >30%
- Obat yang dipakai setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi. Kortikosteroid
hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang.

Pemeriksaan Spirometri pada asma ;

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa
(KVP) dilakukan dengan maneuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan nafas
diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

- Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <75% atau VEP1 <80%
nilai prediksi.
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator) atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibility ini dapat
membantu diagnosis asma.
Pemeriksaan APE asalkan teknik pemeriksaannnya benar barangkali pemeriksaan
yang paling obyektif. Pemeriksaan ini mudah, cepat dan murah dan bila dilakukan berulang-
ulang dapat memantau respons pengobatan. Hasil selalu dikaitkan dengan jenis kelamin,
tinggi badan dan umur. Nilai APE dapat memprediksi apakah telah terjadi hiperkapnia atau
belum. Nilai APE 30-50% Pred (dari nilai prediksi) menunjukkan telah terjadi obstruksi yang
berat, nilai APE <100 L/menit mungkin telah terjadi hipoksemia dan hiperkapnia sehingga
memerlukan pemeriksaan lanjutan analisis gas darah. Pada pasien dengan nilai awal APE
<30% pred dan respon pengobatan setelah 1 jam naik kurang dari 10%, dianjurkan untuk
dirawat.

Pemeriksaan spirometri (VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) pada PPOK;

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1% (VEP1/KVP) <75%
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternative dengan memantau variability harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
Pemeriksaan analisis gas darah (AGD), memang menunjukkan apakah telah terjadi
gagal nafas atau belum. Kejadian hipoksemia (PaO2) <60 mmHg dan penurunan saturasi
oksigen (SaO2), sebenarnya jarang, tetapi bila terjadi dapat menimbulkan komplikasi dan
bahkan kematian. Dianjurkan pemakaian “pulse oxymetri” untuk pasien-pasien yang
mengalami sesak berat/distress yang mempunyai APE<40% atau tak mampu melakukan
prosedur pemeriksaan fungsi paru. Pemantauan nilai PaCO2 penting pada serangan asma yang
berat. Pada awal serangan asma terjadi hiperventilasi sehingga terjadi hipokapnia, bila
serangan tidak kunjung reda atau makin berat PaCO2 meningkat mendekati normal,
selanjutnya meningkat terus menunjukkan obstruksi semakin berat dan telah menunjukkan
gagal nafas. Tidak semua pasien serangan asma memerlukan pemeriksaan AGD, hanya pasien
dengan asma berat pemeriksaan analisis gas darh diperlukan. Nilai APE <25%, barangkali
dapat menjadi acuan untuk memeriksa AGD, sepanjang pasien tidak mengkonsumsi obat
narkotik atau sedatif.

Pemeriksaan Foto Paru

Seperti halnya pemeriksaan AGD, Pemeriksaan foto paru tidak rutin dilakukan. Umumnya
hasil foto paru hanya menunjukkan hiperinflasi. Pada kasus-kasus asma akut yang
mengunjungi gawat darurat hanya sekitar 2% yang ditemui kelainan seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, pneumonia atau atelektasis. Pada kasus yang dirawat foto paru
dilakukan pada pasien yang diduga mempunyai komplikasi seperti demam, nyeri dada,
leukositosis, atau hipoksemia. Pemeriksaan foto paru juga berguna untuk pasien yang
mempunyai resiko komorbid (riwayat narkoba suntik, imunosupresi, penyakit jantung dan
sebagainya).

PENATALAKSANAAN ASMA AKUT

Tujuan utama penatalaksanaan asma akut adalah mengembalikan obstruksi saluran nafas
sesegera mungkin dan bila mungkin mengoreksi hiperkapnia dan hipoksemia yang terjadi.
Obstruksi saluran nafas akan segera membaik bila diatasi dengan pemberian bronkodilator
inhalasi berulang-ulang dan pemberian kortikosteroid sistemik. Kondisi pasien memerlukan
pengawasan yang ketat secara teratur, termasuk diantaranya pengukuran fungsi paru secara
serial untuk menilai respons pengobatan. Pengobatan standar pada asma akut umumnya terdiri
dari oksigen, bronkodilator terutama bentuk inhalasi, kortikosteroid sistemik dan terapi non-
standar, campuran gas helium-oksigen, antagonis reseptor lekotrin, metal-santin dan
kortikosteroid inhalasi.

Oksigen

Hipoksia merupakan penyebab kematian pada asma. Karena itu pemberian oksigen harus
diusahakan paling sedikit mencapai SaO2 mencapai 92% (95% pada wanita hamil).
Suplementasi oksigen, tidak akan menekan rangsangan pernapasan, mungkin akan terjadi
kenaikan PCO2, tetapi secara klinis tidak mempunyai arti klinis.

Inhalasi Agonis Beta-2

Bronkodilator utama pada pengobatan asma akut adalah dengan cara inhalasi agonis
adrenergic beta 2 seperti albuterol atau salbutamol, terbutalin dengan dosis 2,5-5 mg dengan
cara nebulasi baik secara berkala setiap 1 – 4 jam tergantung keperluan. Pada kasus-kasus
yang sangat berat, ada yang memberikan nebulisasi terus menerus 10-15 mg selama 1 jam
atau sampai terjadi efek samping berupa tremor atau debar-debar.
Bila nebulizer tidak tersedia dapat digantikan dengan bronkodilator Metered Dose
Inhaler (MDI) yang dipasangi “spacer” (penyambung) 2-6 semprot setiap 15-20 menit selama
satu jam. Menurut penelitian hasilnya juga sebanding dengan cara nebulizer.

Inhalasi Antikolinergik

Panduan terbaru merekomendasikan penambahan ipratropium bromide pada pasien yang


mengalami serangan asma akut berat. Dosis ipratropium yang dianjurkan 500 mcg setiap 20
menit sebanyak tiga kali pemberian, selanjutnya setiap dibutuhkan. Beberapa penelitian
menunjukkan kombinasi agonis beta dengan ipratropium memberikan hasil yang lebih baik
disbanding agonis beta2 saja, khususnya pada serangan asma yang berat. Penambahan terapi
ipratropium juga dipakai pada kasus penyakit paru obstruktif kronik yang mempunyai
komponen asma atau pasien asma yang diinduksi obat penyekat beta dimana pengobatan
agonis 2 tidak atau kurang efektif. Selain sediaan MDI, sediaan ipratropium dengan
salbutamol telah ada dipasaran.

Kortikosteroid Sistemik

Pasien asma yang masih mempunyai gejala sesak nafas atau mengi setelah pemberian
bronkodilator yang intensif, menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas yang menetap yang
disebabkan oleh inflamasi saluran nafas dan sumbatan mucus intra luminal. Respons satu jam
setelah pengobatan bronkodilator umumnya lambat, karena sumbatan saluran nafas bukan
hanya bronkokonstriksi otot polos bronkus, tetapi edema saluran nafas, infiltrasi selular dan
hipersekresi mucus. Oleh karena itu kortikosteroid harus segera diberikan. Kortikosteroid
sistemik akan mengurangi inflamasi, meningkatkan jumlah dan sensitifitas reseptor agonis
beta dan mencegah migrasi dan fungsi sel-sel eosinofil dan netrofil. Pemberian kortikosteroid
dilaporkan akan mempercepat penyembuhan, mengurangi angka perawatan, mencegah
kekambuhan dan mencegah kematian. Karena efek maksimum kortikosteroid baru tercapai
setelah 4-6 jam, steroid diberikan seawal mungkin, umumnya segera setelah bronkodilator
tidak atau kurang efektif (1 jam pertama). Mengenai besarnya dosis kortikosteroid belum ada
kesepakatan. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 40-125 mg metal-prednisolon tiga kali
sehari, meskipun ada yang merekomendasikan 120-180 mg/hari terbagi dalam 3-4 dosis
selama 48 jam, selanjutnya dosis diturunkan menjadi 60-80 mg sampai APE mencapai 70%
pred. atau nilai terbaik pasien. Sebagian peneliti menyatakan dosis 40-60 mg prednisone/hari
dosis tunggal atau terbagi, sudah memadai untuk ditempat praktek. Selama dapat mentoleransi
atau tidak muntah, kortikosteroid diberikan secara oral karena absorbsinya bagus.
Kortikosteroid intravena diberikan pada pasien yang berat seperti ancaman gagal nafas atau
pasien tidak dapat mentoleransi pemakaian kortikosteroid oral. Lama pemberian
kortikosteroid juga bervariasi tergantung kondisi pasien. Sebagai gambaran pasien asma akut
berat yang memerlukan perawatan rumah sakit memerlukan 10-14 hari, sebaliknya pasien
dapat menghentikan kortikosterois setelah gejala asmanya hilang dan nilai APE nya di atas
70%.

Selama pemberian kortikosteroid kurang dari 3 minggu, penurunan bertahap (tapering)


tidak diperlukan asalkan pemberian kortikosteroid inhalasi menyertainya untuk pencegahan
kekambuhan.

Penggunaan Antihistamin Jangka Panjang:

Sistem kardiovaskular

- Dilatasi kapiler. Histamin dapat menyebabkan dilatasi kapiler (baik arteriol maupun
venul) dengan akibat kemerahan dan rasa panas pada wajah (blushing area),
menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah.
- Meningkatkan permeabilitas kapiler. Ini merupakan efek sekunder yang menyebabkan
protein dan cairan plasma keluar ke ruang ekstrasel dan menimbulkan edema.
- Triple response Lewis. Apabila disuntikan, histamin akan menyebabkan tiga hal yaitu
bercak merah setempat, flare (kemerahan yang lebih terang dengan bentuk tidak
teratur 1-3cm sekitar bercak awal), dan edema setempat.
- Pembuluh darah besar. Histamin justru cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh
darah besar yang intensitasnya berbeda antar spesies.
- Jantung. Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung.
Pemberian histamin sebagai obat dapat mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA
sehingga frekuensi denyut jantung meningkat. Juga, memperlambat konduksi AV,
meningkatkan automoatisitas sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia.
- Tekanan darah. Penurunan resistensi perifer dapat menyebabkan penurunan tekanan
darah.

Otot Polos Non-Vaskular

Jika berikatan dengan reseptor H1, Histamin akan menyebabkan kontraksi otot polos
sedangkan aktivasi reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi otot polos. Pada pasien asma dan
penyakit paru, dapat terjadi bronkokonstriksi akibat histamin.

Kelenjar Eksokrin

- Kelenjar lambung. Perangsangan langsung pada sel parietal melalui reseptor H2 akan
memicu sekresi asam lambung oleh histamin.
- Kelenjar lain. Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur, pankreas, bronkus dan air
mata tetapi umumnya efek ini lemah dan tidak tetap.

Ujung Saraf Sensoris

- Histamin dapat menstimulasi rasa nyeri dan gatal. Flare pada histamin disebabkan oleh
pengaruhnya pada ujung saraf yang menimbulkan refleks akson. Hal tersebut
merupakan kerja histamin merangsang reseptor H1 di ujung saraf sensoris.

Medula adrenal dan ganglia

- Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga langsung
merangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion otonom. Pada pasien
feokromositomia, pemberian histamin IV akan meningkatkan tekanan darah.

Indikasi Rawat

Tujuan perawatan asma akut di rumah sakit adalah untuk melakukan observasi ketat dan
melakukan intervensi yang agresif bila diperlukan. Perawatan juga menghindari hal-hal yang
dapat mencetuskan asma yang ada di lingkungan rumah pasien, menjamin ketaatan
pengobatan dan mendapatkan istirahat.
BAB IV

PENUTUP

Dalam mengelola pasien asma akut, pada awal penilaian perlu diketahui derajat beratnya
serangan baik diperoleh dari penampilan fisis, pemeriksaan fisik sampai kepada pemeriksaan
pembantu seperti APE atau oksimetri. Pemeriksaan AGD hanya dilakukan pada pasien dengan
obstruksi berat. Foto paru hanya dilakukan bila respons pengobatan tidak memadai atau
dicurigai adanya komplikasi, demikian pula halnya dengan pemeriksaan elektrokardiogram
hanya dilakukan bila diduga adanya penyakit jantung iskemik yang dapat terganggu akibat
hipoksemia atau dampak pengoobatan asma. Pasien-pasien yang mempunyai resiko kematian
harus mendapat pengawasan yang ketat. Pada waktu dipulangkan dari perawatan, sebaiknya
pasien telah mendapat penyuluhan mengenai penyakitnya untuk mencegah kekambuhan
asmanya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Asma Bronkial. http://WWW.Scribbid.co.id. Akses 2010


Guyton, A.C. & Hall, J.E.,( 2008). Buku Ajar Fisiology Kedokteran 11th ed., Jakarta : EGC.
Medicafarma. (2008, Mei 7). Asma Bronkiale. Diakses 24 September 2008 dari Medicafarma:
http://medicafarma.blogspot.com/2008/05/asma-bronkiale.html
Medlinux. (2008, Juli 18). Penatalaksanaan Asma Bronkial. Diakses 24 September 2008 dari
Medicine and Linux: http://medlinux.blogspot.com/2008/07/penatalaksanaan-asma-
bronkial.html
Robbins.(2007). Buku Ajar Patologi : volume 2. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi B. dkk. N 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : jilid II Edisi V.
Jakarta. Publishing interna
Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

You might also like