You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau
menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter,2005)
Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi,
tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi
dan perilaku, sehingga dalam penangananyapun memerlukan perhatian yang
serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, untuk itu
pemahaman tentang nyeri dan penanganannya sudah menjadi keharusan bagi
setiap tenaga kesehatan, terutama perawat yang dalam rentang waktu 24 jam
sehari berinteraksi dengan pasien. (Jansen,2004)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Tipe Nyeri ?
2. Bagaimana Syndrome Nyeri yang Lazim ?
3. Bagaimana Perbedaan Manajemen Nyeri untuk pasien yang di Rumah
Sakit dengan di Lingkungan Masyarakat ?
4. Bagaimana Pengkajian Nyeri secara Komprehensif ?
5. Bagaimana Aktivitas Terapeutik dalam Penganganan Keperawatan ?

1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui Tipe Nyeri
2. Untuk mengetahui Syndrome Nyeri yang Lazim
3. Untuk mengetahui Perbedaan Manajemen Nyeri untuk pasien yang di
Rumah Sakit dengan di Lingkungan Masyarakat
4. Untuk mengetahui Pengkajian Nyeri secara Komprehensif
5. Untuk mengetahui Aktivitas Terapeutik dalam Penganganan
Keperawatan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. TIPE NYERI
Rasa nyeri dapat timbul dalam berbagai modalitas bergantung pada letak
reseptor
1. Nyeri somatik superfisial (nyeri kulit)
Rangsang yang dapat menimbulkan rasa nyeri kulit adalah rangsang
nosiseptif yaitu rangsang yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Rangsang dapat berupa rangsang mekanis, listrik, termal atau kimia.
Nyeri kulit biasanya dirasakan sebagai sensasi yang datang berurutan.
Pertama terasa sebagai rasa yang tajam, lokasi rangsang dapat ditunjukkan
dengan tepat, sensasi yang terasa dapat dijelaskan sesuai dengan rangsang
yang diberikan dan segera hilang bila rangsang dihentikan. Rasa nyeri yang
segera terasa pada saat rangsang diberikan ini disebut fast pain / initial
pain/ nyeri primer. Kemudian disusul dengan nyeri yang tumpul, lokasi
rangsang tidak dapat ditunjukkan dengan tepat, sensasi rasa kurang dapat
diuraikan dengan jelas. Biasanya terasa sebagai rasa panas, menusuk yang
sifatnya difus. Sensasi tetap terasa beberapa saat sesudah rangsang
dihentikan. Nyeri susulan ini disebut slow pain / delayed pain / nyeri
sekunder.
Pada beberapa keadaan patologis tertentu kulit, kepekaan reseptor
nyeri dapat berubah yang menimbulkan hiperalgesia yaitu;

a. Hiperalgesia primer bersifat setempat, pada daerah luka atau radang,


ambang reseptor menurun. Disebabkan oleh lepasnya histamin, dapat
terasa sampai berhari- hari.

b. Hiperalgesia sekunder, disebabkan oleh rangsangan nosiseptif yang


kuat dan cukup lama yang menyebabkan impuls menyebar dari daerah
rangsang baik secara horizontal maupun vertikal. Reseptor nyeri

3
sekitar daerah luka akan terangsang.
2. Nyeri somatik dalam
Reseptor terdapat pada sendi, otot, tendon dan fascia. Agak sukar
melokalisasi tempat asal nyeri somatik dalam karena dermatom kulit yang
ada tepat diatas sklerotom tempat asal nyeri somatik dalam, tidak disarafi
saraf spinal yang sama dengan sklerotom tersebut. Sensasi nyeri yang
terasa umumnya adalah nyeri tumpul yang sering disertai rasa mual. Hal
tersebut menunjukkan adanya keterlibatan sistem saraf otonom. Rasa nyeri
somatik dalam cenderung menyebar, sehingga lebih sukar lagi untuk
menentukan tempat asal nyeri. Rangsangan adekuat untuk membangkitkan
nyeri somatik dalam adalah rangsangan mekanik tarikan atau kimia.
Iskemia otot yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah
menyebabkan tertumpuknya asam laktat yang merangsang reseptor rasa
nyeri somatic dalam. Spasme otot menyebabkan tarikan cukup dan dalam
pada tendon
Nyeri somatik dideskripsikan sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam
dalam hal kualitas. Secara umum dapat dilokalisasi dan diinisiasi oleh
aktivasi nosiseptor di jaringan kulit dan jaringan dalam. Contoh nyeri
somatic termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang.
3. Nyeri visceral
Lokasi tempat asal nyeri viseral sukar ditentukan karena jumlah
reseptornya hanya sedikit. Sering disertai keterlibatan sistem saraf otonom
dengan adanya rasa mual, berkeringat dan perubahan tekanan darah.
Rangsang adekuatnya adalah regangan, spasme atau kerutan yang
berlebihan pada otot polos, iskemia dan kimiawi. Biasanya nyeri viseral
juga disertai kerutan otot rangka yang ada didekat viseral yang terkena. Hal
tersebut bertujuan untuk melindungi viseral yang sedang menderita nyeri.
Nyeri visceral juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan,
khususnya infiltrasi, kompresi dan distensi dari organ dalam. Biasanya
dideskripsikan sebagai nyeri yang tumpul dan sukar dilokalisasi dan bisa

4
menyebar ke tempat lain. Misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh
konstipasi.
4. Nyeri alih
Sensasi nyeri atau rasa nyeri somatik dalam atau rasa nyeri viseral yang
terasa didaerah somatik superfisial. Nyeri viseral mempunyai letak nyeri
alih yang khas untuk tiap viseral yang terkena. Beberapa teori tentang
terjadinya nyeri alih adalah;
a. Teori dermatom
Nyeri alih terasa pada kulit yang berasal dari dermatom yang sama
dengan alat viseral yang terkena. Misalnya nyeri jantung dialihkan ke
lengan

b. Teori konvergensi

Traktus spinotalamikus lateralis adalah tempat berkumpulnya serat-


serat sensori nyeri, baik dari somatik maupun dari viseral, yang akan
berakhir di thalamus dan kemudian di relay oleh thalamus ke kortek
somatosensorik. Karena impuls nyeri somatik lebih sering terjadi
daripada impuls nyeri viseral, maka korteks somatosensorik seolah lebih
mengenal nyeri somatik dari pada nyeri viseral. Karena itu nyeri viseral
sering diinterpretasikan sebagai nyeri oleh korteks.

c. Teori fasilitasi

Impuls nyeri viseral dikatakan merendahkan ambang rangsang neuro


traktus spinothalamikus, yang menerima sinaps dari serat aferen
somatik. Fasilitas tersebut dengan adanya cabang serat aferen visera
yang bersinap di neuron traktus spinothalamikus tersebut dan
menimbulkan excitatory post synaptic potential (EPSP). Dengan
demikian neuron-neuron traktus spinothalamikus lateralis yang
menerima sinaps ganda tersebut sangat mudah untuk terbangkit oleh
impuls lemah dari aferen nyeri somatik, pada keadaan biasa tidak

5
terbangkit oleh impuls lemah tersebut.

5. Nyeri Neuropati

Nyeri Neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik


pusat maupun periferl. Tertembak, sengatan listrik, ataupun luka bakar
sering bersamaan dengan latar belakang timbulnya sensasi nyeri dan
terbakar. Contohnya, neuropati diabetik dan neuralgia post herpetic.

B. SYNDROME NYERI YANG LAZIM

1. Plexophaties

Istilah “plexopati” berkenaan dengan sindrom nyeri yang berhubungan


dengan pleksus saraf perifer. Abnormalitas neurologisnya, melibatkan
beberapa syaraf pada pleksus. Pada kasus brachial plexopati, nyeri
diperburuk oleh pernapasan yang dalam atau gerakan dari leher dan bahu.
Palpasi yang dalam pada daerah bahu dapat menimbulkan nyeri atau
perasaan penuh. Nyeri pada brachial plexopati mungkin berhubungan
dengan penyebaran neoplastik ke syaraf, perlekatan dan penyebaran setelah
infeksi, operasi, atau terapi radiasi.

Plexopathy adalah gangguan yang mempengaruhi jaringan saraf,


pembuluh darah, atau pembuluh getah bening. Wilayah saraf itu berada di
brakialis pleksus atau lumbosakral. Gejala yang ditimbulkan termasuk rasa
sakit atau nyeri, kehilangan kontrol motor, dan defisit sensorik.

Ada dua jenis utama plexopathy; Brachial plexopathy dan lumbosakral


plexopathy. Mereka biasanya disebabkan dari beberapa jenis trauma lokal
seperti dislokasi bahu. Kelainan juga dapat disebabkan oleh kompresi,
komorbiditas penyakit pembuluh darah, infeksi, atau mungkin idiopatik
dengan penyebab yang tidak diketahui.

Langkah pertama dalam evaluasi dan manajemen plexopathy terdiri dari

6
mengumpulkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik oleh dokter kesehatan.
Pola fungsi motorik yang cacat akan terdeteksi dengan baik di ekstremitas
atas atau bawah membantu diagnosis gangguan tersebut. X- ray dari tulang
belakang leher, dada, dan bahu biasanya diperintahkan jika gejala
menunjukkan keadaan akut pada brakialis plexopathy. Jika riwayat fisik
mengungkapkan riwayat diabetes, penyakit vaskular kolagen, atau gejala
infeksi, dokter dapat memerintahkan serangkaian tes darah termasuk hitung
darah lengkap (CBC) dan panel metabolik yang komprehensif (CMP).
2. Sensitisation
Sensitisasi adalah karakterteristik nosiseptor dimana respon terhadap
stimuli meningkat ditempat cedera. Sensitisasi nosiseptor menghasilkan
hiperalgesia primer di tempat cedera yang menghasilkan nyeri terasa terus-
menerus selama istirahat dan meningkat selama dan setelah pembedahan,
cedera, persalinan dan sakit akut.
Input nosisepsi selama dan setelah pembedahan, cedera, persalinan dan
sakit akut dapat meningkatkan respon saraf yang mentransmisikan nyeri di
susunan saraf pusat, hal ini akan memperbesar sensasi nyeri secara klinis.
Peningkatan respon saraf di susunan saraf pusat terhadap input aferen yang
normal atau dibawah ambang (subtreshold) disebut sensitisasi sentral
(central sensitization). Besarnya sensitisasi sentral tergantung pada
banyak factor, termasuk tipe jaringan dan luasnya cedera Sensittisasi sentral
memperkuat transmisi input dari jaringan perifer dan menghasilkan
hiperalgesia sekunder, peningkatan respon neyri yang dibangkitkan oleh
stimuli diluar area cedera. Sensitisasi sentral bisa terjadi baik di tingkat
spinal maupun supraspinal.

C. PERBEDAAN MANAJEMEN NYERI UNTUK PASIEN YANG DI


RUMAH SAKIT DENGAN YANG DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

Nyeri sendiri dapat didefinisikan sebagai "pengalaman sensoris dan


emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan

7
jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti
kerusakan" (The International Association for the Study of Pain, 1979).

Namun dewasa ini, banyak rumah sakit yang telah melakukan upaya intensif
untuk mengelola rasa nyeri tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai
tindakan medis, tindakan keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada pasien
dapat diminimalkan atau dilakukan tindak lanjut yang teratur, sesuai dengan
kriteria yang dikembangkan oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien. Nyeri yang
dirasakan pasien dikelola dengan melakukan pemantauan secara kontinyu dan
terencana. Bahkan dalam akreditasi Joint Commission International (JCI) isu
manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian yang dipersyaratkan
untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagai bentuk pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada pasien harus mengacu pada pedoman pengelolaan rasa
nyeri. Hal ini seperti tercantum dalam standar akreditasi JCI berikut:
1. Patient and Family Rights (PFR)
Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan asesmen dan
pengelolaan rasa sakit yang tepat.
2. Assessment of Patients (AOP)
Semua pasien rawat inap dan rawat jalan diperiksa apakah mengalami rasa
nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika ada.
3. Care of Patients (COP)
Pasien didukung secara efektif dalam mengelola rasa nyerinya.
Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang identik dengan berbagai jenis
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, acap kali
memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat
menyertai proses pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh,
bagaimana proses transfusi darah dapat memberikan rasa nyeri bagi si
pasien, ataupun tindakan medis lainnya yang dapat memberikan rasa nyeri
pada pasien. Sumber-sumber nyeri dapat meliputi; prosedur tindakan medis,
tindakan keperawatan, dan prosedur diagnostic
Perawatan pasien dalam keadaan menjelang ajal

8
mengoptimalkan kenyamanan dan martabatnya
Proses penerapan manajemen nyeri ini memerlukan peran aktif dari
seluruh civitas hospitalia yang memberikan pelayanan kesehatan pada
pasien, serta peran langsung dari pasien itu sendiri, dimana pasien didorong
untuk menyampaikan rasa nyeri yang mereka alami. Sedangkan pada proses
pelaksanaannya, pihak rumah sakit dapat mempergunakan beberapa
alternatif tools yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengkaji
intensitas nyeri. Skala pengukuran nyeri sendiri dapat didasarkan pada self
report, observasi (perilaku), atau data fisiologis.
Berikut adalah beberapa tools yang dapat dipergunakan berdasar pada
'self report' pasien :
1. Verbal Rating Scale (VRS): Verbal Rating Scale merupakan jenis
pengukuran nyeri yang telah lama dipergunakan dan merupakan
pengukuran nyeri dalam bentuk sederhana. Dapat berupa pertanyaan
sederhana 'apakah anda merasa nyeri?', yang dapat dijawab pasien
dengan 'iya' atau 'tidak'. Namun, biasanya dalam pengukuran ini
mempergunakan 4 sampai dengan 5 titik intensitas skala dengan
deskripsi seperti; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, sangat nyeri.
2. Visual Analog Scale (VAS): Visual Analog Scale (VAS) adalah
instrumen untuk mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm.
Biasanya berbentuk horizontal atau vertikal, dan garis ini digerakkan
oleh gambaran intensitas nyeri yang memiliki range dari tidak nyeri
sampai dengan rasa nyeri yang ekstrim.
3. Numerical Rating Scale (NRS): Numerical Rating Scale (NRS)
hampir sama dengan Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-
angka sepanjang garisnya, kisaran angka 0-10 dan pasien diminta
untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya.

Faces Rating Scale dari Wong Baker: Instrumen dengan menggunakan Faces
Rating Scale terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang
tersenyum untuk "no pain" sampai wajah yang berlinang air mata. Pasien dapat

9
menunjukkan dengan gambar, tingkat rasa nyeri yang dirasakannya.

Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam proses pemberian
layanan kesehatan kepada pasien. Pada implementasinya pelayanan bermutu
diberikan dengan mempedulikan rasa nyeri yang dialami pasien, didukung
dengan tools pengkajian nyeri yang sesuai dan terdokumentasi dengan baik
serta pemberian manajemen nyeri sesuai pedoman yang ditetapkan

D. PENGKAJIAN NYERI SECARA KOMPREHENSIF

Manajemen nyeri suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau
yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan, pada orang lain
ataupun diri sendiri.
Penanganan Nyeri

Dalam penanganan nyeri, perawat terlebih dahulu mengkaji tingkat nyeri yang
dirasakan pasien. Hal ini dikarenakan nyeri merupakan pengalaman
interpersonal, sehingga perawat harus menanyakannya secara langsung
kepada klien karakteristik nyeri dengan P Q R S T.

Provoking : Penyebab

Quality : Kualitas

Region : Lokasi

Severate : Skala

Time : Waktu

a. Lokasi

Pengkajian lokasi nyeri mencakup 2 dimensi :


 Tingkat nyeri, nyeri dalam atau superfisial
 Posisi atau lokasi nyeri
 Nyeri superfisial biasanya dapat secara akurat ditunjukkan oleh klien;

10
sedangkan nyeri yang timbul dari bagian dalam (viscera) lebih
dirasakan secara umum.

Nyeri dapat pula dijelaskan menjadi empat kategori, yang berhubungan


dengan lokasi :
 Nyeri terlokalisir : nyeri dapat jelas terlihat pada area
asalnya

 Nyeri Terproyeksi : nyeri sepanjang saraf atau serabut


saraf spesifik
 Nyeri Radiasi : penyebaran nyeri sepanjang area asal
yang tidak dapat dilokalisir
 Reffered Pain (Nyeri alih) : nyeri dipersepsikan pada area yang
jauh dari area rangsang nyeri.

b. Intensitas
Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri :

 Distraksi atau konsentrasi dari klien pada suatu kejadian


 Status kesadaran klien
 Harapan klien
Nyeri dapat berupa : ringan, sedang, berat atau tak tertahankan. Perubahan
dari intensitas nyeri dapat menandakan adanya perubahan kondisi patologis
dari klien.
c. Waktu dan Lama (Time & Duration)
Perawat perlu mengetahui/mencatat kapan nyeri mulai timbul; berapa lama;
bagaimana timbulnya dan juga interval tanpa nyeri dan kapan nyeri terakhir
timbul.
d. Kualitas
Deskripsi menolong orang mengkomunikasikan kualitas dari nyeri.
Anjurkan pasien menggunakan bahasa yang dia ketahui: nyeri kepala

11
mungkin dikatakan “ada yang membentur kepalanya”, nyeri abdominal
dikatakan “seperti teriris pisau”.
e. Perilaku Non Verbal
Beberapa perilaku nonverbal yang dapat kita amati antara lain : ekspresi
wajah, gemeretak gigi, menggigit bibir bawah dan lain-lain.

E. AKTIFITAS TERAPEUTIK DALAM PENANGANAN KEPERAWATAN


1. Tindakan Farmakologis
Umumnya nyeri direduksi dengan cara pemberian terapi farmakologi.
Nyeri ditanggulangi dengan cara memblokade transmisi stimulant nyeri
agar terjadi perubahan persepsi dan dengan mengurangi respon kortikal
terhadap nyeri Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah :
1. Analgesik Narkotik
2. Analgesik Lokal
3. Analgesik yang dikontrol klien
4. Obat – obat nonsteroid
2. Tindakan Non Farmakologis
Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk
menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi
nyeri terdiri dari beberapa tindakan penaganan berdasarkan :
1. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :
 Stimulasi kulit
Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu
memblok atau menurunkan impuls nyeri
 Stimulasi electric (TENS)
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran
adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok

12
stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat,
kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan
(TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS
merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik
ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
 Akupuntur
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama
digunakan untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang
dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu,
tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri
ke otak.
 Plasebo
Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan
merupakan zattanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang
dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan
injeksi dan sebagainya.
2. Intervensi perilaku kognitif meliputi :
 Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri.
Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan bebrapa kali agar
mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat
mengubah persepsi terhadap nyeri.
 Umpan balik biologis
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu
informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih
kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif
untuk mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara
memasang elektroda pada pelipis.
 HipnotiS

13
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti
positif
 Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri
ringan sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau
pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi
sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual
(merangkai puzzle, main catur)
 Guided Imagery (Imajinasi terbimbing)
Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang
menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan
yang tenang serta konsentrasi dari klien. Apabila klien
mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini
dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang
nyeri akut.
3. PENANGANAN NYERI AKUT
 Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak
seharusnya demikian. Kontrol nyeri sering bisa diperbaiki
dengan strategi sederhana:
1. Nilai nyeri
2. Atasi dengan obat dan teknik yang anda sudah terbiasa
3. Nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk
memodifikasi pengobatan jika perlu.
4. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca bedah
seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus

Prinsip umum

1. Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa


nyeri. Mereka perlu didengarkan dan dipercaya.

14
2. Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan
untuk membuktikan bahwa seseorang sedang berpura-pura
nyeri.
3. Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan
analgesia yang bervariasi pada berbagai pasien.
4. Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara
berbeda oleh berbagai pasien.
5. Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan
adiksi obat.
6. Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah.
7. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi, tetapi jangan tunda
analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda
bedah.
8. Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering
cukup’
9. Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering
diperoleh dengan kombinasi berbagai obat dengan cara
pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan anestesi lokal)

Penilaian nyeri, analgesia, dan sedasi

1. Sistem skoring digunakan untuk menilai nyeri dan untuk


mengukur efektivitas pengobatan. Skor nyeri bisa ditulis di
kartu suhu atau pada kartu nyeri terpisah.
Skala analogi visual (VAS) adalah garis 10 cm di mana ujung-
ujungnya adalah 0 (tak ada nyeri) dan 10 (nyeri terburuk yang
bisa dibayangkan). Pasien membubuhi tanda pada garis untuk
mengungkapkan keparahan nyeri mereka. Teknik ini mungkin
sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.
2. Verbal rating scale (VRS) lebih sederhana. Pasien ditanya
apakah mereka tidak merasa nyeri, nyeri ringan, sedang atau

15
berat dan diberi skor 0 untuk tidak nyeri, 1 untuk nyeri ringan, 2
untuk nyeri sedang, dan 3 untuk nyeri berat.
3. Pasien harus dinilai setelah dibangunkan dengan lembut. Sedasi
sebaiknya diberi skor sekaligus: 0 jika bangun, 1 jika
mengantuk kadang-kadang, 2 jika kebanyakan tidur, 3 jika sukar
dibangunkan.

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu
sensasi, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial,
kognitif, emosi dan perilaku, sehingga dalam penangananyapun memerlukan
perhatian yang serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan
kesehatan, untuk itu pemahaman tentang nyeri dan penanganannya sudah
menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan, terutama perawat yang dalam
rentang waktu 24 jam sehari berinteraksi dengan pasien.
Nyeri somatic superfisial adalah Rangsang yang dapat menimbulkan
rasa nyeri kulit adalah rangsang nosiseptif yaitu rangsang yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan. Rangsang dapat berupa rangsang mekanis,
listrik, termal atau kimia.
Nyeri somatic dalam adalah Reseptor yang terdapat pada sendi, otot,
tendon dan fascia. Agak sukar melokalisasi tempat asal nyeri somatik dalam
karena dermatom kulit yang ada tepat diatas sklerotom tempat asal nyeri
somatik dalam, tidak disarafi saraf spinal yang sama dengan sklerotom
tersebut. Sensasi nyeri yang terasa umumnya adalah nyeri tumpul yang sering
disertai rasa mual. Hal tersebut menunjukkan adanya keterlibatan sistem saraf
otonom. Rasa nyeri somatik dalam cenderung menyebar, sehingga lebih sukar
lagi untuk menentukan tempat asal nyeri. Rangsangan adekuat untuk
membangkitkan nyeri somatik dalam adalah rangsangan mekanik tarikan atau
kimia.

17
B. SARAN
Diharapkan mahasiswa keperawatan dapat lebih memahami, mengerti, serta
dapat melakukan dengan baik, tepat, dan benar bagaimana mekanisme-
mekanisme informasi yang integrative saat terjadinya bencana atau saat
penanggulangan bencana disuatu daerah baik pra, saat atau pasca bencana

18

You might also like