You are on page 1of 20

MITIGASI DAN MANAJEMEN BENCANA GEOLOGI TSUNAMI DI

KOTA PALU SULAWESI TENGAH


1. Latar Belakang
1.1 Pengertian Tsunami

Gambar 1. Tsunami
Tsunami merupakan gerakan badan air yang disebabkan perubahan
permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut
dapat disebabkan oleh gempa yang berasal dari bawah laut, letusan gunung
berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau di laut atau meteor. Gelombang
tsunami mampu merambat ke segala arah. Energi yang terdapat dalam
gelombang tsunami sangatlah besar. Tsunami terkadang dianggap sebagai
gelombang air pasang. Hal tersebut karena saat mencapai daratan, gelombang
ini memang lebih mirip air pasang yang tinggi daripada menyerupai ombak biasa
yang mencapai pantai. Akan tetapi, sebenarnya gelombang tsunami sama sekali
tidak berkaitan dengan peristiwa pasang surut air laut.
Gelombang tsunami mampu merambat ke segala arah. Di laut yang dalam,
gelombang tsunami merambat dengan kecepatan mencapai 1000 km per jam,
menyamakan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut yang
dalam hanya berkisar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terlalu
terasa oleh kapal yang sedang berada di laut.Akan tetapi, ketika mendekati
pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun. Namun, ketinggiannya sudah
meningkat sampai puluhan meter.
1.2 Penyebab Terjadinya Tsunami
a. Gempa bumi di bawah laut

Gambar 2. Gempa bumi bawah laut


Gempa bumi yang terjadi di bawah laut merupakan penyebab paling
sering terjadinya tsunami. Gerakan vertikal pada kerak bumi (gempa) dapat
menyebabkan dasar laut naik atau turun secara mendadak, yang menyebabkan
gangguan keseimbangan air yang ada di atasnya. Kondisi ini mengakibatkan
terjadinya aliran energi laut, yang ketika tiba di pantai menjadi tsunami.
Walaupun demikian, tidak semua gempa yang terjadi di bawah laut mampu
menyebabkan tsunami. Gempa bumi bawah laut yang menyebabkan
terjadinya tsunami adalah gempa bumi yang memenuhi kriteria seperti
berikut :
• Pusat gempa kurang dari 30 kilometer dibawah permukaan laut
• Gempa bumi yang berkekuatan minimal 6,5 SR
• Gempa bumi yang diakibatkan pola sesar naik atau turun
b. Meletusnya Gunung Berapi

Gambar 3. Gunung berapi


Gunung berapi banyak terdapat di seluruh penjuru dunia. Letusan dari
gunung berapi mampu menyebabkan terjadinya gempa vulkanik (gempa yang
terjadi karena letusan gunung berapi). Meskipun sangat jarang terjadi,
tsunami yang disebabkan letusan gunung berapi berdampak sangat dahsyat.
Ditambah lagi jika posisi gunung berapinya ada di bawah laut.
c. Longsor Bawah Laut

Gambar 4. Longsor bawah laut


Longsor bawah laut umumnya terjadi akibat hantaman antara
lempeng benua dan lempeng samudera yang disebabkan gempa dan
perubahan air laut. Keadaan ini membentuk paling laut secara tiba-tiba
mempengaruhi pergerakan volume air yang mendadak. Pada skala tertentu
bisa menyebabkan tsunami. Ciriciri tsunami yang disebabkan oleh longsor
bawah laut adalah gempa yang berskala kecil tapi mampu mengakibatkan
tsunami yang dahsyat.
1.3 Dampak positif dan negatif tsunami
a. Dampak positif
 Tumbuhnya kerjasama untuk menolong korban bencana
 Timbulnya rasa kemanusiaan
 Mengetahui sampai kekuatan konstruksi bangunan yang telah ada serta
kelemahannya sehingga bisa dilakukan inovasi baru untuk kekuatan
konstruksi yang lebih baik.
b. Dampak negatif

Gambar 5. Dampak negatif tsunami


 Banyak terdapat kerusakan rumah dan fasilitas umum
 Banyak menimbulkan korban jiwa
 Muncul kekacauan ekonomi dan politik
 Timbul penyakit
1.4 Sejarah tsunami di kota Palu
Daerah Palu dan sekitarnya, selain sangat rawan gempabumi juga
rawan terhadap tsunami. Kerawaan gempabumi dan tsunami daerah ini
sudah dibuktikan dengan beberapa catatan sejarah gempabumi dan tsunami
yang berlangsung sejak tahun 1927, seperti Gempabumi dan Tsunami Palu
1927, Gempabumi dan Tsunami Parigi 1938 dan Gempabumi dan Tsunami
Tambu 1968.
Gempabumi dan Tsunami Palu 1 Desember 1927 bersumber di teluk
Palu dan mengakibatkan kerusakan parah diKota Palu, Palu, Biromaru dan
sekitarnya. Gempabumi juga dirasakan dibagian tengah Pulau Sulawesi
yang jaraknya sekitar 230 kilometer. Selain menimbulkan kerusakan sangat
parah, gempabumi ini juga memicu tsunami di Teluk Palu.
Gelombang Tsunami yang tingginya mencapai 15 meter ini terjadi
segera setelah terjadi gempabumi. Banyak bangunan rumah di kawasan
pantaimengalami kerusakan parah. Bencana ini menyebabkan 14
orangmeninggal, dan 50 orang luka-luka. Tsunami juga menimbulkan
kerusakan dipelabuhan. Tangga dermaga Pelabuhan Talise hanyut akibat
terjangan tsunam ini,sementara itu berdasarkan laporan dasar laut setempat
mengalami penurunan sedalam12 meter.
Gempabumi dan Tsunami Parigi 20 Mei 1938 terjadi sangat dahsyat,
hingga dirasakan hampir diseluruh bagian Pulau Sulawesi dan Bagian timur
pulau Kalimantan. Daerah yang menderita kerusakan paling parah adalah
kawasan Teluk Parigi. Di tempat ini dilaporkan 942 unit rumah roboh.
Kerusakan yang ditimbulkan ini meliputi lebih dari 50 % rumah yang ada
wilayah tersebut, sedangkan 184 rumah lainnya rusak ringan.
Di Teluk Parigi dilaporkan 16 orang tewas tenggelam, dan di
Ampibabo satu orang tewas tersapu gelombang tsunami. Dermaga
Pelabuhan Parigi hanyut, dan menara suar penjaga pantai mengalami rusak
berat. Binatang ternak dan pohon kelapa juga banyak yang hanyut tersapu
gelombang tsunami. Beberapa ruas jalan di daerah Marantale mengalami
retak-retak dengan lebar 50 cm disertai keluar lumpur, bahkan sebuah
rumah bergeser hingga 25 meter, namun daerah Palu mengalami kerusakan
ringan. Di daerah Poso dan Tinombo dirasakan getaran sangat kuat, tetapi
tidak menimbulkan kerusakan.
Gempabumi dan Tsunami Tambu 14 Agustus 1968 merupakan
gempabumi kuat yang bersumber di lepas pantai barat laut Sulawesi. Akibat
gempabumi tersebut, di Teluk Tambu, antara Tambu dan Sabang, terjadi
fenomena air surut hingga kira-kira 3 meter dan selanjutnya terjadi
hempasan gelombang tsunami.Pada beberapa tebing terjadi longsoran dan
terjadi retakan tanah yang disertai munculnya pancaran air panas.
Di Daerah Sabang dilaporkan bahwa tsunami dating dengan suara
gemuruh. Tsunami tersebut juga menyerang di sepanjang pantai Palu.
Menurut laporan, ketinggian gelombang tsunami mencapai 10 meter dan
limpasan tsunamike daratan mencapai 500 meter dari garis pantai. Daerah
yang mengalami kerusakan paling parah adalah kawasan Mapaga. Ditempat
ini ditemukan160 orang meninggal dan 40 orang dinyatakan hilang, serta
58 orang luka parah.
Terakhir, Gempabumi dan Tsunami Toli-Toli dan Palu 1996 (M6.3),
menyebabkan 9 orang tewas,serta kerusakan parah di Desa Bangkir, Toli-
Toli, Tonggolobibi, dan Palu. Gempabumi ini juga memicu tsunami
denganketinggian 2 meter dengan limpasan air laut ke daratan sejauh 400
meter (Suparto et al. 2006).
Tingginya aktivitas gempabumi di Daerah Palu berlangsung hingga
sekarang. Dalam beberapa tahun terakhir, gempabumi kuat masih terjadi
dan mengguncang kawasan ini, seperti Gempabumi Palu-Palu yang terjadi
padatanggal 24 Januari 2005 yang menyebabkan satu orang meninggal dan
4 orang luka-luka.
Bagi masyarakat Palu dan sekitarnya, kondisi alam yang kurang
bersahabat ini adalah sesuatu yang harus diterima sehingga mau tidak mau,
suka tidak suka, semua itu adalah risiko yang harus dihadapi sebagai
penduduk yang tinggal di kawasan seismik aktif.
Bagi kalangan ahli kebumian dan instansi terkait dalam penanganan
bencana, labilnya Daerah Palu secara tektonik merupakan tantangan
berpikir untuk menyusun strategi mitigasi yang tepat untuk memperkecil
risiko jika sewaktu-waktu terjadi bencana bencana gempabumi dan tsunami
di Daerah Palu dan sekitarnya seperti yang terjadi pada masa lalu.
2. Mitigasi dan Manajemen Bencana
Manajemen bencana bisa diartikan sebagai upaya-upaya untuk merencanakan,
mengorganisasikan, mengawasi, melaksanakan dan mengarahkan segala
sumberdaya jika terjadi bencana (disaster) pada suatu daerah. Manajemen bencana
bisa digambarkan sebagai suatu siklus yang berlangsung secara terus menerus
(kontinyu). Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan: (1)
mengurangi atau mencegah kerugian karena bencana, (2) menjamin terlaksananya
bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana dan (3) mencapai
pemulihan yang cepat dan efektif.
Dalam manajemen bencana dikenal 4 tahapan kerja penanggulangan bencana
yaitu;
 Fase Pencegahan dan Mitigasi; dilakukan pada situasi tidak terjadi bencana
tujuannya untuk memperkecil dampak negatif bencana.
 Fase Kesiapsiagaan (Preparadness); dilakukan pada situasi terdapat potensi
bencana dengan merencanakan bagaimana menanggapi bencana.
 Fase Tanggap Darurat (Emergency Response); dilakukan pada saat terjadi
bencana tujuannya untuk mengurangi dampak negatif pada saat bencana.
 Fase Pemulihan (Recovery); dilakukan setelah terjadi bencana tujuannya untuk
mengembalikan masyarakat pada kondisi normal.

Gambar 6. Tahap penanggulangan bencana


2.1 Fase Pencegahan dan Mitigasi Tsunami di kota Palu
a. Permodelan zona genangan Tsunami di sekitar kota Palu
Permodelan zona genangan tsunami dilakukan dengan menggunakan lima
skenario ketinggian run-up pada garis pantai, yakni 1m, 2m, 5m, 10m, dan 15m.
Dari permodelan tersebut ditunjukkan bahwa pada skenario ketinggian run-up 1
meter, rendaman tsunami menggenangi wilayah Kota Palu seluas 328,2 Ha
dimana mayoritas wilayah yang tergenang masih berupa lahan kosong dan
sedikit permukiman. Genangan terluas terdapat di Kecamatan Palu Utara dengan
luas 112,06 ha atau 34,14% dari total luas wilayah yang tergenang tsunami
dengan ketinggian 1 meter. Wilayah genangan terkecil berada di Kecamatan
Palu Timur, yang hanya seluas 14,60 ha atau 4,45% dari total luas wilayah
genangan tsunami 1 meter.
Pada permodelan tsunami dengan ketinggian run-up 2 meter ini,
genangan tsunami menjalar hingga tambak-tambak penduduk. Total luas
wilayah yang tergenang dalam skenario ini adalah 706,25 Ha atau meningkat
53,52 % dari luasan genangan tsunami pada skenario run-up 1 meter. Kecamatan
dengan wilayah genangan terbesar adalah Kecamatan Palu Utara seluas 202,5 ha
atau30,09%. Sedangkan wilayah genangan terkecil adalah Kecamatan Palu
Timur dengan luasan 33,85 ha dengan persentase 4,79%.
Pada permodelan tsunami dengan ketinggian run-up 5 meter, genangan
tsunami semakin menjalar ke wilayah daratan. Berdasarkan hasil permodelan
diperoleh hasil bahwa genangan tsunami dengan ketinggian 5 meter telah
memasuki wilayah permukiman penduduk ke arah pusat Kota Palu. Wilayah
dengan luas genangan terkecil adalah Kecamatan Palu Timur dengan luas 117,29
Ha, sedangkan wilayah dengan genangan terluas adalah Kecamatan Palu Utara
dengan luas 428,47 Ha (28,12% dari total luas wilayah genangan pada
ketinggian run-up 5 meter).
Pada ketinggian 10 meter, genangan tsunami telah menjalar hingga
Sungai Palu, wilayah permukiman di sekitar sungai, sebagian permukiman dan
lahan kosong di sepanjang pantai bagian barat sisi timur, dan permukiman-
permukiman lain yang mengarah ke arah pusat kota. Luas genangan pun semakin
besar, yaitu 2380, 59 Ha, dimana luas genangan terbesar berada di Kecamatan
Palu Utara (619,39 Ha). Bahkan, Kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan
Tatanga yang sebelumnya tidak tergenang tsunami, diprediksikan turut
tergenang seluas 0,10 Ha dan 7,92 Ha jika terjadi tsunami dengan ketinggian 10
meter.
Permodelan tsunami dengan ketinggian run-up 15 meter tergolong
tingkat bahaya sangat tinggi. Hasil permodelan pada ketinggian 15 meter
menunjukkan bahwa genangan tsunami semakin meluas dan menjalar ke arah
pusat Kota Palu. Luasan genangan tsunami mencapai 3458,56 Ha atau meluas
31,16% dari luasan genangan tsunami pada ketinggian 10 meter. Luas genangan
terbesar berada di Kecamatan Palu Utara dan luas genangan terkecil berada di
Kecamatan Palu Selatan dengan luas masing-masing 842,84 Ha dan 34,94 Ha

Gambar 7. Pemodelan Tsunami Kota Palu


b. Zona Bahaya Tsunami
Secara umum, luas bahaya tsunami Kota Palu adalah 3558,56 ha atau ±
9,63% dari luas wilayah Kota Palu (luas Kota Palu adalah 36.946 ha). Seluruh
wilayah kecamatan yang ada di Kota Palu memiliki potensi terkena bahaya
tsunami, baik mulai tingkat bahaya rendah hingga tingkat bahaya sangat tinggi,
kecuali Kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Tatanga yang tidak memiliki
bahaya tsunami yang sangat tinggi. Kecamatan yang mempunyai luas bahaya
tsunami terbesar adalah Kecamatan Palu Utara, yaitu 842,84 Ha. Luas
Kecamatan Palu Utara adalah 3171 Ha sehingga luas kecamatan yang
diprediksikan tergenang adalah 26,58% dari luas wilayah total. Kecamatan
dengan luas bahaya tsunami terkecil adalah Kecamatan Palu Selatan.

Gambar 8. Zona Bahaya Tsunami Kota Palu


c. Zona Kerentanan Tsunami
Parameter yang digunakan dalam penentuan tingkat kerentanan
Kota Palu terhadap tsunami adalah kepadatan bangunan, jumlah penduduk
wanita, balita, dan manula, serta kepadatan penduduk. Dari parameter
tersebut, diperoleh 4 klasifikasi tingkat kerentanan tsunami di Kota Palu,
yaitu kerentanan rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Secara umum wilayah Kota Palu termasuk dalam klafisikasi
kerentanan tinggi terhadap tsunami. Wilayah yang mempunyai kerentanan
tinggi di KotaPalu adalah seluas 1190,91 Ha atau ±32,78% dari total
wilayah rentan di Kota Palu. Wilayah dengan kerentanan rendah seluas
1103,20 Ha, wilayah kerentanan sedang seluas 1076,50 Ha, serta wilayah
kerentanan sangat tinggi seluas 262,61 Ha. Jika dirinci per kategori
kecamatan, kecamatan dengan luas kerentanan rendah terbesar adalah
Kecamatan Kecamatan Palu Utara (288,57 Ha), kecamatan dengan luas
kerentanan sedang terbesar adalah Kecamatan Mantikulore (304,61 Ha),
kecamatan dengan luas kerentanan tinggi terbesar adalah Kecamatan
Mantikulore (359,87 Ha), dan kecamatan dengan luas kerentanan sangat
tinggi terbesar adalah Kecamatan Palu Selatan (179,54 Ha).

Gambar 9. Zona Kerentanan Tsunami


d. Zona Resiko Bencana Tsunami
Resiko bencana tsunami merupakan hasil interaksi antara potensi
bahaya (hazard) dengan tingkat kerentanan daerah (vulnerability). Luas
wilayah beresiko tsunami di Kota Palu yang adalah 1416l,02 Ha. Dari luas
wilayah tersebut, mayoritas merupakan wilayah beresiko tinggi, yaitu seluas
710,55 Ha. Jika dirinci per kategori, wilayah beresiko rendah mempunyai
luas 90,91 Ha dengan wilayah terluas di Kecamatan Palu Utara (31,34 Ha)
wilayah beresiko sedang seluas 402,59 Ha dengan wilayah terluas di
Kecamatan Ulujadi (127,15 Ha), serta wilayah beresiko sangat tinggi seluas
211,97 Ha dengan luasan terbesar di Kecamatan Palu Timur (126,46 Ha).
Gambar 10. Zona resiko bencana tsunami
e. Penentuan Lokasi Rawan dan Lokasi Evakuasi
Lokasi rawan yaitu merupakan lokasi kawasan terbangun yang
mengalami penggenangan (termasuk zona resiko) ataupun yang dekat
dengan lokasipenggenangan. Berdasarkan kondisi dilapangan, terdapat 108
lokasi rawan yang dijadikan bangkitan dalam penentuan rute evakuasi.
Kemudian, berdasarkan kriteria prioritas lokasi evakuasi di atas dan
pengamatan di lapangan, diperoleh lokasi evakuasi sebanyak 161 unit,
dimana sebagian besar bangunan yang dapat digunakan sebagai shelter
berupa bangunan peribadatan dan juga bangunan pemerintahan serta
pendidikan.
Gambar 11. Lokasi rawan dan lokasi evakuasi bencana tsunami
f. Pembuatan rute evakuasi
Jaringan yang dipergunakan dalam pembuatan rute evakuasi
tsunami yaitu jaringan jalan. Nilai pada tiap segmen jalan adalah waktu
tempuh tiap segmen dengan memasukkan nilai waktu rata-rata orang
berjalan yaitu sebesar 0,75 m/detik. Berdasarkan hasil penentuan rute
evakuasi, diperoleh sebanyak 108 rute evakuasi terpilih dan dari 161
bangunan/shelter yang dapat dijadikan sebagai lokasi evakuasi, terdapat 50
lokasi yang terpilih. Lokasi tersebut terbagi lagi dalam dua kelompok
berdasarkan lokasinya yaitu didalam kawasan yang terkena resiko tsunami
maupun kawasan yang aman terhadap resiko tsunami.
Gambar 12. Rute evakuasi bencana tsunami kota Palu
g. Kegiatan lain yang berhubungan dengan mitigasi
Pemerintah Kota Palu sendiri telah membuat rambu-rambu evakuasi
yang dipasang di sejumlah jalan yang berada di sekitar Teluk Palu. Rambu
persegi panjang berwarna cokelat itu bertuliskan jalur evakuasi disertai
gambar ombak dan tanda panah yang mengarahkan ke titik aman. Namun
hingga saat ini warga belum jelas di mana tetak titik aman evakuasi ketika
suatu saat tsunami benar – benar terjadi. Namun jika dirunut secara seksama
rambu petunjuk evakuasi tsunami itu mengarah ke Lapangan Vatulemo
yang berjarak sekitar lima kilometer dari Palu. Pembuatan rambu evakuasi
itu didasari pengalaman pada tahun 2005. Saat itu Kota Palu dilanda gempa
bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter. Ratusan warga saat itu berhamburan
ke luar rumah sambil berlarian tak jelas ke mana arah yang dituju. Saat itu
ada pula hembusan isu yang mengatakan air laut akan naik, padahal pusat
gempa sendiri berada di darat dan tidak menyebabkan tsunami. Hal
semacam ini yang harus diwaspadai, agar masyarakat tidak panik dan bisa
menyelematkan diri dengan tenang.
Gambar 13. Rambu peringatan bahaya tsunami
Hingga kini, Kota Palu baru memiliki satu unit sirene peringatan dini
bencana tsunami berdaya jangkau 3 kilometer. Padahal, sejarah Kota Palu
yang pernah dilanda tsunami pada 1927 lalu, jumlah tersebut terbilang tidak
cukup, terutama untuk menjangkau seluruh warga di ibukota provinsi
Sulteng ini. Pusat pengendali atau server sirene tersebut berlokasi di kantor
Badan Penanggulangan Badan Daerah (BPBD) Kota Palu.
Untuk mengantisipasi bencana tsunami lainnya yang telah
dilaksanakan di Kota Palu ada beberapa hal, yaitu dengan pembangunan
Pangkalan Angkatan Laut di Teluk Palu dan Teluk Rantai yang berfungsi
sebagai pusat data dan informasi kebencanaan maritim dapat menjadi lebih
akurat dan menjadi begian teknokratis pembangunan berkelanjutan yang
berbasis pengurangan resiko bencana. Dengan catatan pembangunan
Pangkalan TNI AL dilaksanakan dengan memenuhi beberapa kriteria
tertentu guna mengurangi risiko bencana, di antaranya perlu adanya
diseminasi peta-peta gempa bumi di daerah yang akan dibangun, konstruksi
bangunan harus dibuat tahan gempa, penyesuaian bentuk dermaga, serta
SOP ataupun Emergency Response Plan yang baku apabila sewaktu-waktu
tsunami terjadi.
2.2 Fase Kesiapsiagaan
Dalam fase ini memiliki tujuan antara lain sebagai berikut:
 Mampu mengenali ancaman dan memprediksi sebelum terjadinya bencana.
 Mampu mencegah bencana jika mungkin.
 Jika tidak mampu mencegah, mampu mengurangi dampaknya.
 Jika terjadi bencana, mampu menanggulangi secara efektif.
 Setelah bencana terjadi, mampu pulih kembali.
Dalam hal ini, contoh fase kesiapsiagaan yang dilakukan oleh BPBD
Kota Palu yaitu dengan melakukan simulasi bencana di sekolah-sekolah.

Dalam kegiatan ini melibatkan beberapa OPD dan organisasi terkait


antara lain, Dinas Kesehatan Kota Palu, Dinas Sosial Kota Palu, Badan
Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS Palu), SATPOL-PP Kota Palu,
TAGANA Kota Palu, beserta guru,Tata Usaha dan murid. BPBD menegaskan
seluruh lapisan masyarakat diharapkan mengetahui tentang dasar-dasar
penyelamatan diri saat bencana,khususnya di lingkungan fasilitas umum seperti
sekolah dan perkantoran, terlebih lagi di lingkungan rumah, hal ini berguna
sekali dalam membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dan
memudahkan tugas dari OPD terkait dalam melaksanakan tugas dalam proses
penanganan bencana di Kota Palu.
Kemudian ada Pelatihan Penanggulangan Dan Tanggap Darurat
Bencana Di Rumah Sakit Umum Anutapura. Dalam pelaksanaan kegiatan
tersebut RSU Anutapura melibatkan peran BPBD Kota Palu. Berdasarkan Peta
Daerah Rawan Bencana Kota Palu, RSU Anutapura secara administratif terdapat
di Daerah Risiko Bencana Gempa Tinggi (KRB I) dan Risiko Bencana Banjir
Tinggi (KRB I).
2.3 Fase Tanggap Darurat
Dalam tahap tanggap darurat Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) telah melakukan perbaikan infrastruktur yang rusak
seperti membuka akses jalan dan menyediakan air bersih untuk masyarakat. Selain
itu, Kementerian PUPR juga tengah membuat hunian sementara (huntara). Titik-
titik lokasi huntara ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama dengan
Pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Gambar 14. Hunian sementara korban gempa dan tsunami palu


2.4 Fase pemulihan
Tujuan penanganan bencana adalah bagaimana mendukung upaya
pemulihan pasca-terjadinya bencana dapat berjalan efektif dan masyarakat segera
pulih kembali dari trauma. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang menjadi
korban bencana dapat kembali berkembang, tanpa harus terlalu lama terpuruk
dalam penderitaan karena kehilangan harta benda dan sanak keluarga.
Masa rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung selama kurun waktu 2
tahun dan melibatkan berbagai lembaga. Hal-hal yang dilakukan berupa:

 Perbaikan lingkungan

Gambar 15. Rehabilitasi taman GOR palu


 Perbaikan rumah atau pembuatan hunian tetap yang baru

Gambar 16. Pembuatan hunian tetap yg baru korban tsunami palu


 Pemulihan social-ekonomi budaya
Gambar 17. Posko bencana
 Pemulihan layanan publik

Gambar 13. Perbaikan gardu listrik oleh PLN


 Pembangunan kembali sarana dan prasarana

Gambar 14. Pemulihan akses jalan Palu – Toli-toli


 Pembuatan hunian yang tahan bencana
 Revitalisasi kembali partisipasi masyarakat
 Pemulihan psikologis korban bencana

Gambar 15. Kegiatan trauma healing kepada anak-anak korban tsunami Palu

You might also like