You are on page 1of 5

EPIDEMIOLOGI GLOBAL DAN LOKAL

KECENDERUNGAN HIV/AIDS

I. Epidemiologi Local HIV/AIDS


1. Situasi HIV/AIDS di Indonesia
Kasus penularan AIDS pertama di Indonesia dilaporkan terjadi pada tahun 1987,
kemudian disusul dengan kasus-kasus berikutnya, sehingga pada tanggal 31 januari
1995 tercatat pengidap HIV 211 orang dan 69 penderita AIDS, 44 orang diantaranya
meninggal. Data terakhir bulan juni 1999 tercatat 88 mengidap HIV dan 26 penderita
AIDS (sampai dengan 31 Agustus 1999). Serupadengan pola penyebaran dinegara
lain, di Indonesiapun penyebaran HIV-AIDS pada awalnya terjadi diantara orangorang
homo seks, kemudian muncul pada sekelompok kecil orang-orang yang berperilaku
resiko tinggi seperti pecandu obat narkotika dan para tuna susila. Namun pada
perkembanganya saat ini HIV-AIDS juga banyak dialami ibu rumah tangga dan juga
anak-anak (Kementrian RI, 2016).
Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia semakin memprihatinkan. Indonesia kini
dikategorikan sebagai negara dengan tingkat endemi HIVAIDS terkonsentrasi. Data
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan kondisi
HIV-AIDS di dunia turun dari 40,3 juta pada tahun 2005 menjadi tinggal 33,2 juta
pada 2007. Berdasarkan laporan dari tahun ke tahun, kasus AIDS di Indonesia
menunjukkan tren peningkatan yang terus-menerus. Berdasarkan laporan Ditjen
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes RI juga dapat
dilihat jumlah kumulatif kasus AIDS diIndonesia sampai dengan akhir Juni 2011
sebanyak 26.483 kasus (Stratnas Penanggulangan HIV-AIDS, 2011, Ditjen PP & PL,
2014).
Beberapa penyebab dari tertularnya seseorang oleh HIV-AIDS antara lain:
a. Mereka yang mempunyai banyak pasangan seksual, baik homo maupun hetero.
b. Penerima transfuse darah.
c. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV.
d. Pecandu narkotika secara suntikan.
e. Pasangan dari pengidap AIDS atau yang positif HIV.
f. Prilaku seks beresiko tinggi dan makin maraknya industry seks.
g. Kurangnya informasi tentang penularan HIV/AIDS dan masalah budaya
2. Dampak
a. Dampak Demografi
Efek jangka panjang endemi HIV-AIDS yang meluas seperti yang telah
terjadi di Papua adalah dampaknya demografi. Karena tingginya proporsi
kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang membahayakan ini,
dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup.Hal ini
menjadi masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam
jumlah besar tidak akan mudah dapat digantikan. Biaya karena kehilangan
seperti itu seperti meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya
pelatihan, pendapatan yang berkurang, dan sumber daya yang seharusnya
dipakai untuk aktivitas produktifterpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan,
waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan
lainnya,juga akan meningkat. (Handayani, 2017)
b. Dampak Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan
Tingginya tingkat penyebaran HIV-AIDS berarti bahwa semakin banyak
orang sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Biaya langsung dari
perawatan kesehatan tersebut semakin lama akan menjadi semakin besar.
Banyak waktu yang dihabiskan oleh anggota keluarga untuk merawat pasien,
dan tidak dapat melakukan aktivitas yang produktif. Waktu dan sumber daya
yang diberikan untuk merawat pasien HIV-AIDS dapat mempengaruhi
program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk aktivitas kesehatan
lainnya. (Handayani, 2017)
c. Dampak Terhadap Ekonomi Nasional
Menjangkiti orang muda dan mereka yang berada pada umur produktif
utama (94% pada kelompok usia 19 sampai 49 tahun), epidemi HIV-AIDS
memiliki dampak yang besar pada angkatan kerja, akan meningkatkan
terjadinya kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi. Dari sudut pandang
individu HIV-AIDS berarti tidak dapat masuk kerja, jumlah hari kerja yang
berkurang, kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dengan
gaji yang lebih baik dan umur masa produktif yang lebih pendek. Dampak
individu ini selanjutnya menjadi dampak ekonomi pada keluarga dan
komunitas. (Handayani, 2017)
d. Dampak Terhadap Tatanan Nasional
Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial
masyarakat. Penderita HIV-AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan
kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber
penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian
mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan
piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab
itu keterbukaan dan hilangnya stigma dan diskriminasi sangat perlu mendapat
perhatian dimasa mendatang. (Handayani, 2017)
3. Kecenderungan HIV/AIDS
Kecenderungan survival penderita HIV dari stadium klinis III sampai mengalami
perkembangan stadium AIDS yaitu: Berdasarkan status pendidikan terakhir, penderita
HIV yang berstatus pendidikan PT (Perguruan Tinggi) memiliki waktu survival lebih
lama, peluang waktu berkembangnya HIV dari stadium III sampai stadium AIDS
terjadi dalam waktu 60 bulan.
Penderita HIV dengan status tamat pendidikan tidak sekolah dan SD memiliki
waktu survival yang sama yaitu 10 bulan berkembang menjadi stadium AIDS.
Penderita HIV dengan status pendidikan terakhir SMP mempunyai waktu survival
23,33 bulan untuk berkembang pada stadium AIDS, penderita HIV dengan status
pendidikan terakhir SMA memiliki waktu survival 25 bulan untuk berkembang pada
stadium AIDS.
Penderita HIV dengan berdasarkan kelompok usia, kelompok 30–39 tahun
memiliki waktu survival 60 bulan untuk berkembang pada stadium AIDS. Penderita
HIV dengan kelompok usia 20–29 tahun memiliki waktu survival yaitu 55 bulan waktu
untuk berkembang pada stadium AIDS dan pada penderita HIV yang berusia lebih dari
40 tahun hanya memiliki waktu survival 35 bulan untuk berkembang pada stadium
AIDS. Berdasarkan jumlah CD4 penderita HIV yang memulai terapi ARV dengan
CD4 tinggi memiliki waktu survival lebih lama yaitu 12,5 bulan dari pada penderita
HIV yang memulai terapi ARV dengan jumlah CD4 rendah yaitu 7,5 bulan.
Pendidikan Penderita HIV yang memiliki status pendidikan terakhir tidak tamat
sekolah dan SD memiliki survival 10 bulan lebih cepat untuk berkembang ke stadium
klinis AIDS dan penurunan survival mencapai 50%. Hal tersebut lebih cepat jika
dibandingkan pada penderita HIV yang memiliki status pendidikan terakhir tinggi.
1) Pendidikan
Pendidikan memang bukan variabel yang langsung berpengaruh pada
peningkatan stadiumklinis, namun status pendidikan merupakan komponen
penting pada penderita HIV dalam proses penerimaan informasi terkait
penyakit HIV dan upaya pengendaliannya. Penelitian ini adalah data sekunder
maka untuk mengukur pengetahuan hanya dilihat dari status pendidikan akhir,
semakin tinggi tingkat pendidikan diasumsikan juga memiliki pengetahuan
yang baik. Penerimaan informasi yang salah juga dapat membentuk sikap yang
salah, hal tersebut terjadi karena salah satu pembentuk sikap individu adalah
pengetahuan yang diperolehnya (Yusuf, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Ubra (2012), menunjukkan bahwa status
pendidikan memiliki hubungan yang bermakna yaitu terkait sikap kepatuhan
penderita HIV dalam mengonsumsi ARV. Status pendidikan yang tinggi
memiliki proporsi kepatuhan minum ARV 20 kali dibandingkan dengan status
pendidikan yang rendah. Jika hasil penelitian dikaitkan dengan teori dan hasil
penelitian lain bahwa penderita HIV yang memiliki status pendidikan terakhir
yang tinggi akan lebih paham dalam upaya pengendalian AIDS, upaya itu
dilakukan dengan cara mengonsumsi ARV rutin. Konsumsi ARV secara rutin
maka dapat menekan virus HIV dalam darah dan berpengaruh pada
peningkatan jumlah CD4. Meningkatnya jumlah CD4 maka juga akan
berpengaruh pada penguatan sistem imun dan infeksi oportunistik dapat
kendalikan serta perkembangan stadium klinis III ke stadium klinis AIDS dapat
terjadi lebih lama (WHO, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dibandingkan dengan teori dan hasil
penelitian lain, maka dapat diketahui bahwa penderita HIV yang dapat
menerima informasi dengan baik terkait pengendalian dan pencegahan AIDS,
maka juga dapat bersikap baik dalam upaya pengendalian AIDS. Sikap yang
terbentuk adalah seperti konsumsi ARV secara rutin, dapat
mengendalikan penyebaran virus HIV, dan memeriksakan kesehatan secara
rutin.
Jika semua penderita HIV memiliki pengetahuan baik tentang penyakitnya,
maka sikap patuh mengonsumsi ARV dan upaya pencegahan perkembangan
penyakit HIV juga akan baik. Upaya pengendalian AIDS jika dilakukan
dengan baik maka kesakitan akibat terjadinya AIDS juga dapat dikurangi dan
penderita HIV dapat tetap hidup produktif serta harapan hidup bisa sama
seperti orang yang sehat.
2) Usia
Usia Penderita HIV yang berusia 30–39 tahun merupakan kelompok usia
yang memiliki kecenderungan survival paling lama untuk mengalami
perkembangan stadium klinis III ke stadium AIDS, dengan pencapaian waktu
60 bulan. Hal ini lebih lama dari pada kelompok usia 20-29 tahun dan usia
lebih dari sama dengan 40 tahun. Waktu pencapaian 60 bulan berarti penderita
HIV yang masih survive pada stadium III dari awal didiagnosa sampai akhir
penelitian. Pada kelompok usia lebih dari 40 tahun memiliki peluang lebih
cepat berkembang pada stadium klinis AIDS dalam waktu 35 bulan dengan
penurunan waktu survival 25%. Hal ini kemungkinan besar pada kelompok
usia 30–39 tahun merupakan kelompok usia yang masih produktif memiliki
daya imun yang kuat serta motivasi yang kuat, sehingga upaya untuk
pengendalian AIDS juga relatif lebih bagus, pada kelompok usia yang muda
mungkin lebih memiliki emosi yang masih labil dalam menanggapi
penyakitnya meskipun pada usia muda daya imunitas dalam tubuh masih relatif
kuat. Pada kelompok usia lebih dari 40 tahun mempunyai daya imun yang lebih
rentan terhadap penyakit, karena pada usia tua juga terjadi proses alamiah
penurunan fungsi dalam tubuh dan penurunan daya ingat sehingga untuk
mengonsumsi ARV bisa saja tidak rutin karena faktor daya ingat yang
berkurang.
Menurut penelitian Liu H (2005) di Cina bahwa untuk mendapatkan
keberhasilan pengobatan ARV diperlukan tingkat kepatuhan minimal 95%
yang berarti hanya lupa atau telat minum tiga dosis perbulan dengan jadwal
dua kali sehari, hanya 81% menunjukkan virus dalam dibandingkan yang
berusia muda sehingga peningkatan stadium klinis AIDS dapat terjadi lebih
cepat. Hal tersebut karena jika seseorang didiagnosa HIV positif pada usia tua
kemungkinan peluang untuk terjadinya infeksi oportunistik lebih besar dan
kepatuhan minum obat juga menurundarah yang tidak terdeteksi, sehingga jika
pasien lupa minum ARV maka pengobatan ARV menjadi tidak efektif
(Anggraeni, 2010). Penelitian oleh Viard dkk (2010), menunjukkan bahwa,
usia yang lebih tua lebih lama untuk meningkatkan CD4 dalam darah. Data
yang dikumpulkan dalam analisis kecenderungan ini adalah data sekunder
yang meliputi data tentang jumlah pengidap HIV dan penderita AIDS secara
kumulatif dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1997 dan karakteristiknya.
Data dikumpulkan dari laporan mmah sakit, laboratorium kesehatan, PMI
dan hasil msurvei yang d i i l e h dari catatan di Dinas Kesehatan Dati I dan
Kanwil Depkes Provinsi Jawa Timur. Analisis kecendemngan HIV dilakukan
dengan menggunakan EpiModel (Chin, 1995). Dengan perangkat tunak ini
dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kecendemngan jumlah pengidap HJY
bam, AIDS baru dan kematiannya sampai dengan tahun 2002.
3) Hasil dan Analisis Kasus
- Jumlah kasus HIV/AIDS
Kasus AIDS penama kali di Jawa Timur ditemukan tahun 1989 di
sebuah mmahsakit swasta. Sejak itu penemuan kasus bam HIV/AIDS terus
meningkat dan pada sampai dengan bulan Oktober 1997 secara kumulatif
telah ditemukan 41 kasus, yang terdiri dari 8 penderita AIDS dan 33
pengidap. Enam dari penderita AIDS telah meninggal, sedang semua
pengidap HIV sampai saat ini masih hidup.
- Jumlah kasus HIV/AIDS menurut umur
Jumlah kasus HIV/AIDS bila dijabarkan menurut umurnya. ternyata
untuk penderita AIDS umurnya berkisar antara 22-60 tahun, sedang
pengidap HIV antara 17-42 tahun. Pada Tabel 3 nampak bahwa penderita
AlDS proporsi paling besar pada kelompok umur 31-40 tahun (50.0%).
Sedang dari pengidap HIV proporsi terbesar pada kelompok 21-30 tahun
(51.5 %).
- Jumlah kasus bila ditinjau menurut jenis kelaminnya
Nampak bahwa pada kelompok penderita AIDS proporsi terbesar
adalah laki-laki (87.5 %), sedang pada kelompok pengidap HIV proporsi
lakilaki dan perempuan perbedaannya tidak terlalu besar (laki-laki : 42.4%
dan perempuan : 39.4%)
- Jumlah kasus HIV/AIDS menurut tempat tinggal
Nampak bahwa kasus HlV/AIDS sudah tersebar di 13 Dati 11 (35%)
dari 37 Dati JI yang ada di Rovinsi Jawa Timur. Kasus AIDS yang
terbanyak di Kodya Surabaya. Kota Malang dan Kabupaten Ngawi masing-
masing sebesar 25,9%. Disusul Kabupaten Sidoarjo dan Blitar, masing-
masing 12.5 %. Sedaproponi pengidap HIV terbanyak di Kodya Surabaya,
Kodya Malan masing-masing sebesar 15,2%. Diikuti Kabupaten Blitar dan
Malang masing-masing sebesar 9.1 %.

You might also like