1. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan peningkatan yang terus-menerus, dengan kasus terbanyak pada usia produktif 19-49 tahun.
2. HIV berdampak besar pada angkatan kerja, ekonomi, dan sistem kesehatan akibat biaya perawatan dan kerugian hari kerja.
3. Tingkat pendidikan dan usia berpengaruh terhadap waktu perkembangan HIV menjadi AIDS, dengan kelompok usia 30-39 tahun dan pendidikan
1. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan peningkatan yang terus-menerus, dengan kasus terbanyak pada usia produktif 19-49 tahun.
2. HIV berdampak besar pada angkatan kerja, ekonomi, dan sistem kesehatan akibat biaya perawatan dan kerugian hari kerja.
3. Tingkat pendidikan dan usia berpengaruh terhadap waktu perkembangan HIV menjadi AIDS, dengan kelompok usia 30-39 tahun dan pendidikan
1. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan peningkatan yang terus-menerus, dengan kasus terbanyak pada usia produktif 19-49 tahun.
2. HIV berdampak besar pada angkatan kerja, ekonomi, dan sistem kesehatan akibat biaya perawatan dan kerugian hari kerja.
3. Tingkat pendidikan dan usia berpengaruh terhadap waktu perkembangan HIV menjadi AIDS, dengan kelompok usia 30-39 tahun dan pendidikan
1. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Kasus penularan AIDS pertama di Indonesia dilaporkan terjadi pada tahun 1987, kemudian disusul dengan kasus-kasus berikutnya, sehingga pada tanggal 31 januari 1995 tercatat pengidap HIV 211 orang dan 69 penderita AIDS, 44 orang diantaranya meninggal. Data terakhir bulan juni 1999 tercatat 88 mengidap HIV dan 26 penderita AIDS (sampai dengan 31 Agustus 1999). Serupadengan pola penyebaran dinegara lain, di Indonesiapun penyebaran HIV-AIDS pada awalnya terjadi diantara orangorang homo seks, kemudian muncul pada sekelompok kecil orang-orang yang berperilaku resiko tinggi seperti pecandu obat narkotika dan para tuna susila. Namun pada perkembanganya saat ini HIV-AIDS juga banyak dialami ibu rumah tangga dan juga anak-anak (Kementrian RI, 2016). Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia semakin memprihatinkan. Indonesia kini dikategorikan sebagai negara dengan tingkat endemi HIVAIDS terkonsentrasi. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan kondisi HIV-AIDS di dunia turun dari 40,3 juta pada tahun 2005 menjadi tinggal 33,2 juta pada 2007. Berdasarkan laporan dari tahun ke tahun, kasus AIDS di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang terus-menerus. Berdasarkan laporan Ditjen Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes RI juga dapat dilihat jumlah kumulatif kasus AIDS diIndonesia sampai dengan akhir Juni 2011 sebanyak 26.483 kasus (Stratnas Penanggulangan HIV-AIDS, 2011, Ditjen PP & PL, 2014). Beberapa penyebab dari tertularnya seseorang oleh HIV-AIDS antara lain: a. Mereka yang mempunyai banyak pasangan seksual, baik homo maupun hetero. b. Penerima transfuse darah. c. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV. d. Pecandu narkotika secara suntikan. e. Pasangan dari pengidap AIDS atau yang positif HIV. f. Prilaku seks beresiko tinggi dan makin maraknya industry seks. g. Kurangnya informasi tentang penularan HIV/AIDS dan masalah budaya 2. Dampak a. Dampak Demografi Efek jangka panjang endemi HIV-AIDS yang meluas seperti yang telah terjadi di Papua adalah dampaknya demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup.Hal ini menjadi masalah yang penting karena hilangnya individu yang terlatih dalam jumlah besar tidak akan mudah dapat digantikan. Biaya karena kehilangan seperti itu seperti meningkatnya pekerja yang tidak hadir, meningkatnya biaya pelatihan, pendapatan yang berkurang, dan sumber daya yang seharusnya dipakai untuk aktivitas produktifterpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga akan meningkat. (Handayani, 2017) b. Dampak Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan Tingginya tingkat penyebaran HIV-AIDS berarti bahwa semakin banyak orang sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Biaya langsung dari perawatan kesehatan tersebut semakin lama akan menjadi semakin besar. Banyak waktu yang dihabiskan oleh anggota keluarga untuk merawat pasien, dan tidak dapat melakukan aktivitas yang produktif. Waktu dan sumber daya yang diberikan untuk merawat pasien HIV-AIDS dapat mempengaruhi program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk aktivitas kesehatan lainnya. (Handayani, 2017) c. Dampak Terhadap Ekonomi Nasional Menjangkiti orang muda dan mereka yang berada pada umur produktif utama (94% pada kelompok usia 19 sampai 49 tahun), epidemi HIV-AIDS memiliki dampak yang besar pada angkatan kerja, akan meningkatkan terjadinya kemiskinan dan ketidakseimbangan ekonomi. Dari sudut pandang individu HIV-AIDS berarti tidak dapat masuk kerja, jumlah hari kerja yang berkurang, kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan umur masa produktif yang lebih pendek. Dampak individu ini selanjutnya menjadi dampak ekonomi pada keluarga dan komunitas. (Handayani, 2017) d. Dampak Terhadap Tatanan Nasional Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. Penderita HIV-AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stigma dan diskriminasi sangat perlu mendapat perhatian dimasa mendatang. (Handayani, 2017) 3. Kecenderungan HIV/AIDS Kecenderungan survival penderita HIV dari stadium klinis III sampai mengalami perkembangan stadium AIDS yaitu: Berdasarkan status pendidikan terakhir, penderita HIV yang berstatus pendidikan PT (Perguruan Tinggi) memiliki waktu survival lebih lama, peluang waktu berkembangnya HIV dari stadium III sampai stadium AIDS terjadi dalam waktu 60 bulan. Penderita HIV dengan status tamat pendidikan tidak sekolah dan SD memiliki waktu survival yang sama yaitu 10 bulan berkembang menjadi stadium AIDS. Penderita HIV dengan status pendidikan terakhir SMP mempunyai waktu survival 23,33 bulan untuk berkembang pada stadium AIDS, penderita HIV dengan status pendidikan terakhir SMA memiliki waktu survival 25 bulan untuk berkembang pada stadium AIDS. Penderita HIV dengan berdasarkan kelompok usia, kelompok 30–39 tahun memiliki waktu survival 60 bulan untuk berkembang pada stadium AIDS. Penderita HIV dengan kelompok usia 20–29 tahun memiliki waktu survival yaitu 55 bulan waktu untuk berkembang pada stadium AIDS dan pada penderita HIV yang berusia lebih dari 40 tahun hanya memiliki waktu survival 35 bulan untuk berkembang pada stadium AIDS. Berdasarkan jumlah CD4 penderita HIV yang memulai terapi ARV dengan CD4 tinggi memiliki waktu survival lebih lama yaitu 12,5 bulan dari pada penderita HIV yang memulai terapi ARV dengan jumlah CD4 rendah yaitu 7,5 bulan. Pendidikan Penderita HIV yang memiliki status pendidikan terakhir tidak tamat sekolah dan SD memiliki survival 10 bulan lebih cepat untuk berkembang ke stadium klinis AIDS dan penurunan survival mencapai 50%. Hal tersebut lebih cepat jika dibandingkan pada penderita HIV yang memiliki status pendidikan terakhir tinggi. 1) Pendidikan Pendidikan memang bukan variabel yang langsung berpengaruh pada peningkatan stadiumklinis, namun status pendidikan merupakan komponen penting pada penderita HIV dalam proses penerimaan informasi terkait penyakit HIV dan upaya pengendaliannya. Penelitian ini adalah data sekunder maka untuk mengukur pengetahuan hanya dilihat dari status pendidikan akhir, semakin tinggi tingkat pendidikan diasumsikan juga memiliki pengetahuan yang baik. Penerimaan informasi yang salah juga dapat membentuk sikap yang salah, hal tersebut terjadi karena salah satu pembentuk sikap individu adalah pengetahuan yang diperolehnya (Yusuf, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Ubra (2012), menunjukkan bahwa status pendidikan memiliki hubungan yang bermakna yaitu terkait sikap kepatuhan penderita HIV dalam mengonsumsi ARV. Status pendidikan yang tinggi memiliki proporsi kepatuhan minum ARV 20 kali dibandingkan dengan status pendidikan yang rendah. Jika hasil penelitian dikaitkan dengan teori dan hasil penelitian lain bahwa penderita HIV yang memiliki status pendidikan terakhir yang tinggi akan lebih paham dalam upaya pengendalian AIDS, upaya itu dilakukan dengan cara mengonsumsi ARV rutin. Konsumsi ARV secara rutin maka dapat menekan virus HIV dalam darah dan berpengaruh pada peningkatan jumlah CD4. Meningkatnya jumlah CD4 maka juga akan berpengaruh pada penguatan sistem imun dan infeksi oportunistik dapat kendalikan serta perkembangan stadium klinis III ke stadium klinis AIDS dapat terjadi lebih lama (WHO, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dibandingkan dengan teori dan hasil penelitian lain, maka dapat diketahui bahwa penderita HIV yang dapat menerima informasi dengan baik terkait pengendalian dan pencegahan AIDS, maka juga dapat bersikap baik dalam upaya pengendalian AIDS. Sikap yang terbentuk adalah seperti konsumsi ARV secara rutin, dapat mengendalikan penyebaran virus HIV, dan memeriksakan kesehatan secara rutin. Jika semua penderita HIV memiliki pengetahuan baik tentang penyakitnya, maka sikap patuh mengonsumsi ARV dan upaya pencegahan perkembangan penyakit HIV juga akan baik. Upaya pengendalian AIDS jika dilakukan dengan baik maka kesakitan akibat terjadinya AIDS juga dapat dikurangi dan penderita HIV dapat tetap hidup produktif serta harapan hidup bisa sama seperti orang yang sehat. 2) Usia Usia Penderita HIV yang berusia 30–39 tahun merupakan kelompok usia yang memiliki kecenderungan survival paling lama untuk mengalami perkembangan stadium klinis III ke stadium AIDS, dengan pencapaian waktu 60 bulan. Hal ini lebih lama dari pada kelompok usia 20-29 tahun dan usia lebih dari sama dengan 40 tahun. Waktu pencapaian 60 bulan berarti penderita HIV yang masih survive pada stadium III dari awal didiagnosa sampai akhir penelitian. Pada kelompok usia lebih dari 40 tahun memiliki peluang lebih cepat berkembang pada stadium klinis AIDS dalam waktu 35 bulan dengan penurunan waktu survival 25%. Hal ini kemungkinan besar pada kelompok usia 30–39 tahun merupakan kelompok usia yang masih produktif memiliki daya imun yang kuat serta motivasi yang kuat, sehingga upaya untuk pengendalian AIDS juga relatif lebih bagus, pada kelompok usia yang muda mungkin lebih memiliki emosi yang masih labil dalam menanggapi penyakitnya meskipun pada usia muda daya imunitas dalam tubuh masih relatif kuat. Pada kelompok usia lebih dari 40 tahun mempunyai daya imun yang lebih rentan terhadap penyakit, karena pada usia tua juga terjadi proses alamiah penurunan fungsi dalam tubuh dan penurunan daya ingat sehingga untuk mengonsumsi ARV bisa saja tidak rutin karena faktor daya ingat yang berkurang. Menurut penelitian Liu H (2005) di Cina bahwa untuk mendapatkan keberhasilan pengobatan ARV diperlukan tingkat kepatuhan minimal 95% yang berarti hanya lupa atau telat minum tiga dosis perbulan dengan jadwal dua kali sehari, hanya 81% menunjukkan virus dalam dibandingkan yang berusia muda sehingga peningkatan stadium klinis AIDS dapat terjadi lebih cepat. Hal tersebut karena jika seseorang didiagnosa HIV positif pada usia tua kemungkinan peluang untuk terjadinya infeksi oportunistik lebih besar dan kepatuhan minum obat juga menurundarah yang tidak terdeteksi, sehingga jika pasien lupa minum ARV maka pengobatan ARV menjadi tidak efektif (Anggraeni, 2010). Penelitian oleh Viard dkk (2010), menunjukkan bahwa, usia yang lebih tua lebih lama untuk meningkatkan CD4 dalam darah. Data yang dikumpulkan dalam analisis kecenderungan ini adalah data sekunder yang meliputi data tentang jumlah pengidap HIV dan penderita AIDS secara kumulatif dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1997 dan karakteristiknya. Data dikumpulkan dari laporan mmah sakit, laboratorium kesehatan, PMI dan hasil msurvei yang d i i l e h dari catatan di Dinas Kesehatan Dati I dan Kanwil Depkes Provinsi Jawa Timur. Analisis kecendemngan HIV dilakukan dengan menggunakan EpiModel (Chin, 1995). Dengan perangkat tunak ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kecendemngan jumlah pengidap HJY bam, AIDS baru dan kematiannya sampai dengan tahun 2002. 3) Hasil dan Analisis Kasus - Jumlah kasus HIV/AIDS Kasus AIDS penama kali di Jawa Timur ditemukan tahun 1989 di sebuah mmahsakit swasta. Sejak itu penemuan kasus bam HIV/AIDS terus meningkat dan pada sampai dengan bulan Oktober 1997 secara kumulatif telah ditemukan 41 kasus, yang terdiri dari 8 penderita AIDS dan 33 pengidap. Enam dari penderita AIDS telah meninggal, sedang semua pengidap HIV sampai saat ini masih hidup. - Jumlah kasus HIV/AIDS menurut umur Jumlah kasus HIV/AIDS bila dijabarkan menurut umurnya. ternyata untuk penderita AIDS umurnya berkisar antara 22-60 tahun, sedang pengidap HIV antara 17-42 tahun. Pada Tabel 3 nampak bahwa penderita AlDS proporsi paling besar pada kelompok umur 31-40 tahun (50.0%). Sedang dari pengidap HIV proporsi terbesar pada kelompok 21-30 tahun (51.5 %). - Jumlah kasus bila ditinjau menurut jenis kelaminnya Nampak bahwa pada kelompok penderita AIDS proporsi terbesar adalah laki-laki (87.5 %), sedang pada kelompok pengidap HIV proporsi lakilaki dan perempuan perbedaannya tidak terlalu besar (laki-laki : 42.4% dan perempuan : 39.4%) - Jumlah kasus HIV/AIDS menurut tempat tinggal Nampak bahwa kasus HlV/AIDS sudah tersebar di 13 Dati 11 (35%) dari 37 Dati JI yang ada di Rovinsi Jawa Timur. Kasus AIDS yang terbanyak di Kodya Surabaya. Kota Malang dan Kabupaten Ngawi masing- masing sebesar 25,9%. Disusul Kabupaten Sidoarjo dan Blitar, masing- masing 12.5 %. Sedaproponi pengidap HIV terbanyak di Kodya Surabaya, Kodya Malan masing-masing sebesar 15,2%. Diikuti Kabupaten Blitar dan Malang masing-masing sebesar 9.1 %.