You are on page 1of 4

1.

Food Taboo
Tabu makanan adalah suatu larangan dalam mengonsumsi makanan tertentu karena ada beberapa
ancaman atau hukuman bagi orang yang mengonsumsinya. Dalam ancaman ini, terdapat
kekuatan supranatural dan mistik yang akan menghukum mereka yang melanggar aturan ini atau
tabu (Susanto, 1977) Dasar dari kebiasaan pangan dicirikan dalam suatu sistem nilai seseorang
dalam memilih makanan yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi. Sistem nilai
tersebut pada dasarnya berasal dari tiga sumber kebenaran yang dipercayai yaitu
1) Agama dan kepercayaan kepada Tuhan,
2) Adat-adat yang berasal dari moyang,
3) Pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan formal.
Selain itu, sistem nilai tersebut disosialisasikan dalam keluarga dan dalam pendidikan informal
melalui media masa (Nikmawati, 1999). Tabu makanan di Indonesia masih menjadi masalah
karena masih banyak makanan yang seharusnya dikonsumsi tapi masih ditabukan. Akibat tabu
makanan tersebut ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak tidak berani mengonsumsi
makanan tertentu sehingga dapat mengurangi asupan makanan yang padaakhirnya akan menurunkan status
gizi mereka.
Contoh makan tabu di Sulawesi Selatan pada ibu hamil Air kelapa dapat menyebabkan Bayi
influenza dalam kandungan dan anak flu, Cumi-cumi dapat menyebabkan anaknya akan berkulit
hitam, daun kelor dapat menyebabkan anak yang dilahirkan gampang terkena penyakit
2. Food Value
Nilai yang terkandung dalam suatu makanan tergantung dari proses pematangan atau kandungan
alami yang ada pada bahan makanan. Makanan yang dikonsumsi (mentah atau diolah)
merupakan bagian dari kebudayaan.

Makanan yang diolah dari bahan-bahan mentah adalah sebuah bentuk kebudayaan. Lawa’: jenis
makanan mentah yang diolah dari ikan, cuka/jeruk, kelapa & bumbu tertentu adalah salah satu
jenis makanan orang Bugis.

Proses pematangan makanan adalah bagian dari kebudayaan. Meliputi cara, bahan, & alat yang
digunakan. Makanan yang lazim dimakan oleh orang Jawa belum tentu lazim bagi orang Bugis.
Misalnya ikan lele yang banyak dikonsumsi oleh orang Jawa, orang Bugis justru kurang
menyukainya.
Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-
memasak, masalah kesukaran dan ketidaksukaran, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan,
pantangan-pantangan, dan takhayul-takhayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan, dan
konsumsi makanan. Pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli
antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak kategori budaya
lainnya.

Makanan dalam pandangan sosial budaya, memiliki makna yang lebih luas dari sekedar sumber
nutrisi. Terkait dengan kepercayaan, status, prestise, kesetiakawanan dan ketentraman. Makanan
memiliki banyak peranan dalam kehidupan sehari - hari suatu komunitas manusia. Makna ini
selaras dengan nilai hidup, nilai karya, nilai ruang atau waktu, nilai relasi dengan alam sekitar;
dan nilai relasi dengan sesama.

Dalam kebudayaan bukan hanya makanan saja yang dibatasi atau diatur, akan tetapi konsep
tentang makanan, kapan dimakannya, terdiri dari apa dan etiket makan. Di antara masyarakat
yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa lapar dan apa, serta
berapa banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Jadi dengan demikian, nafsu
makan lapar adalah suatu gejala yang berhubungan namun berbeda.

Nafsu makan, dan apa yang diperlukan untuk memuaskan adalah suatu konsep budaya yang
dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar
menggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan merupakan suatu konsep fisiologis.

Makanan selain penting bagi kelangsungan hidup kita, juga penting bagi pergaulan sosial, yang
mempunyai simbolik antara lain sebagai berikut:

a. Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial

Barangkali di setiap masyarakat, menawarkan makanan (dan kadang-kadang minuman) adalah


menawarkan kasih sayang, perhatian, dan persahabatan. Menerima makanan yang ditawarkan
adalah mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya.

b. Makanan sebagai ungkapan dari kesetia-kawanan kelompok


Makanan sering dihargai sebagai lambang-lambang identitas suatu bangsa atau nasional. Namun
tidak semua makanan mempunyai nilai lambang seperti ini. Makanan yang mempunyai dampak
yang besar adalah makanan yang berasal atau dianggap berasal dari kelompok itu sendiri dan
bkan yang biasanya dimakan di banyak negara yang berlainan atau juga dimakan oleh banyak
suku bangsa.

c. Simbolisme makanan dalam bahasa

Pada tingkatan yang berbeda, bahasa mencerminkan hubungan-hubungan psikologis yang sangat
dalam di antara makanan, persepsi kepribadian, dan keadaan emosional. Dalam bahasa Inggris,
yang pada ukuran tertentu mungkin tidak tertandingi oleh bahasa lain, kata-kata sifat dasar yang
biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas-kualitas makanan digunakan juga untuk
menggambarkan kualitas-kualitas manusia.

Kedudukan nilai - nilai budaya ini pada tiap komunitas adat tentu tidak sama, demikian pula
orientasi dari nilai - nilai itu pada tiap komunitas. Makanan dalam konteks kultur nilai - nilai
budaya meliputi, pilihan rasional terhadap jenis makanan, cara memasak, kesukaan dan
ketidaksukaan, kearifan kolektif, kepercayaan, dan pantangan - pantangan yang berkaitan dengan
produksi, persiapan dan konsumsi makanan. Ini semua adalah sebagai kompleks kebiasaan
makan.

Refrensi

Dadang Sukandar. 2007. MAKANAN TABU DI JENEPONTO SULAWESI SELATAN (Taboo


Food In Jeneponto South Sulawesi). Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2007 2(1): 42-46

Prayugi, Subur Djati, Ansar, dan Abd. Farid Lewa3 . 2015 FAKTOR SOSIAL BUDAYA YANG
BERHUBUNGAN DENGAN POLA KONSUMSI MAKANAN PADA MASYARAKAT
SUKU KAILI DI KOTA PALU PROPINSI SULAWESI TENGAH. JIK Vol. 1 No. 18 Mei
2015: 927 – 934

Nurti, Y. 2017. Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi. JURNAL ANTROPOLOGI:


Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10

You might also like