You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS

Fraktur Nasal, Maksila, dan Frontal

Disusun Oleh:
Elisabeth Letwar 112017164

Pembimbing:
dr. Harun Adam, SpB.SpBP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 15 Oktober – 22 Desember 2018

i
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : November 2018
SMF ILMU PENAKIT MATA
RSPAD GATOT SUBROTO

Nama : Elisabeth Letwar Tanda Tangan


NIM : 112017164 ………………..
Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Harun Adam, SpB.SpBP ………………..

IDENTITAS PENDERITA
Nama : An.A
Umur : 14 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kemayoran timur
Tanggal pemeriksaan : 4 November 2018

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri pada wajah dan kepala akibat kecelakaan lalu lintas sejak 8 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


8 jam SMRS pasien mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi dan menabrak taxi yang
akan belok, pasien telempar dari motor dan mengatakan sempat tidak sadarkan diri. 7 Jam SMRS
pasien dibawa ke IGD RS Hermina dan dilakukan CT-Scan kepala dan didapatkan kesan adanya

2
fraktur pada nasal, maksila, dan frontal. Pasien mengatakan tidak diberikan obat-obatan maupun
tatalaksana lain di IGD RS tersebut, kemudian 4 jam SMRS pasien dibawa oleh keluarganya ke
IGD RSPAD Gatot Soebroto.
Pasien megeluh nyeri dirasa cukup hebat terutama pada daerah wajah dan kepala. Nyeri juga
dirasa pada lutut kanan dan kiri karena beberapa luka robek. Nyeri maupun jejas pada dada dan
perut pasien tidak ada. Sesak tidak ada. Mual dan muntah di sangkal. Keluar darah dari hidung
+/+, keluar darah dari telinga (-/-), mata (-/-), MUE (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Sulit
membuka mulut dan gigi patah disangkal.

Riwavat Penyakit Dahulu


Pasien tidak mempunyai riwayat asma, alergi, diabetes mellitus, jantung, hipertensi.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma, jantung pada keluarga tidak ada.

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu

Riwayat Sosial
Pasien tidak merokok dan minum-minuman alkohol

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Pasien tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
TD : 110/70mmHg
RR : 20 x/menit
HR : 71 x/menit
tº : 36,8ºC
BB : 50 kg
TB : 155 cm
IMT: 22.2 (Normal)

3
Status generalis:
Kepala : Bengkak, terdapat vulnus eksoriasi
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya +/+
Hidung : hidung bengkak (+) keluar darah (+/+),
Telinga : bentuk normal, mikrotia (-), anotia (-), tidak ada secret/bau/perdarahan
Mulut : bibir tidak sianosis, tidak ada gangguan membuka mulut, maloklusi (-), gigi
patah (-), makan biasa (+)
Tenggorokan : tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
Leher : tidak ada pembesaran KGB, tidak ada pembesaran tiroid
Thoraks:
 Paru
Inspeksi : jejas (-), bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun
dinamis,
retraksi iga (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
 Jantung
Inspeksi : jejas (-), iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V Linea Midclavicula kiri, reguler, tidak kuat
angkat
Auskultasi : BJ I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : jejas (-), bentuk datar, bekas luka operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : tympani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan
Ekstremitas:
Akral hangat + + Oedem - -
+ + - -

4
Status Lokalis:
Wajah
 Frontal
Inspeksi: edema (+), vulnus eksoriasi pada frontal lateral sinistra diameter 5cm, dan
samping lateral dari orbita diameter 7cm
Palpasi: nyeri tekan (+), krepitasi (+), lunak (+), hangat (+), tidak ada cekungan
 Nasal
Inspeksi: deformitas (+), edema (+), sisa darah dari hidung +/+
Palpasi: edema (+), krepitasi (+), nyeri tekan (+), hangat (+)
 Maksila
Inspeksi: edema (+) kanan > kiri, vulnus eksoriasi pada lateral pipi kanan diameter 4cm
Palpasi: edema (+), krepitasi (+), nyeri tekan (+), hangat (+)

Ekstremitas
Inspeksi: 5 vulnus eksoriasi pada patela (+/+) ukuran bervariasi diameter 2cm-7cm, merah (+/+)
Palpasi: Edem (-/-), nyeri (+/+), hangat (+/+)
ROM tidak terbatas

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb : 12,9 g/dL (13,0 – 18,0 g/dL)
Hematokrit : 38% (40-52%)
Eritrosit : 5.4 juta/uL (4.3-6.0 juta/uL)
Leukosit : 19170 uL (4800 – 10.800/ul)
Trombosit : 315000L (150.000-400.000/uL)
MCV : 71 fL (80-96 fL)
MCH : 24 pg (27-32 pg)
MCHC : 34 g/dl (32-36 g/dL)

5
Koagulasi
PT : 11.3 detik (9.3-118 detik)
APTT : 26.1 detik (31-47 detik)
Kimia Klinik
Ureum : 16 mg/dL (20-50mg/dl)
Kreatinin : 0,7 mg/dL (0.5-1.5 mg/dl)
Natrium (Na) : 142 (135-147 mmol/L)
Kalium (K) : 4,5 (3.5-5.0 mmol/L)
Klorida (Cl) : 99 (95-105 mmol/L)

2. Elektrokardiografi (EKG)
Tidak tampak kelainan pada fungsi jantung.
3. Rontgen Thorax
Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
4. CT-Scan Kepala
Kesan:
- Fraktur dinding anterior medial sinus maksila kanan dan kiri, dinding anterior sinus
frontal kanan kiri (os frontal) dan fraktur septum nasi dengan deviasi septum nasi ke
kanan.
- Hematosinus maksila, ethmoid, frontal kanan kiri dan sphenoid kanan
- Soft tissue swelling regio palpebra superior kanan
- Subgaleal hematoma dengan empisema subkutis region parieto-frontal kiri
- Tidak tampak perdarahan intracranial saat ini

RESUME
Laki-laki usia 14 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas 8 jam SMRS. 7 Jam SMRS
pasien dibawa ke IGD RS Hermina dan dilakukan CT-Scan kepala dan didapatkan kesan
adanya fraktur pada nasal, maksila, dan frontal. 4 jam SMRS pasien dibawa ke IGD
RSPAD Gatot Soebroto. Pasien mengatakan mengendarai sepeda motor dengan
kecepatan tinggi dan menabrak taxi yang akan belok, pasien telempar dari motor dan

6
sempat tidak sadarkan diri. Nyeri dirasa pada wajah, kepala, kaki dan tangan. Keluar
darah dari hidung +/+. Pada pemeriksaan fisik didapatkan frontal terdapat edema (+),
vulnus eksoriasi pada frontal lateral sinistra diameter 5cm, dan samping lateral dari orbita
diameter 7cm, nyeri tekan (+), krepitasi (+), lunak (+), hangat (+). Nasal ditemukan
deformitas (+), edema (+), sisa darah dari hidung +/+, krepitasi (+), nyeri tekan (+),
hangat (+). Maksila terdapat edema (+) kanan > kiri, vulnus eksoriasi pada lateral pipi
kanan diameter 4cm, krepitasi (+), nyeri tekan (+), hangat (+). Serta pada ekstremitas
terdapat 5 vulnus eksoriasi pada patela (+/+) ukuran bervariasi diameter 2cm-7cm, merah
(+/+), nyeri (+). Pada CT-Scan didapatkan kesan fraktur dinding anterior medial sinus
maksila kanan dan kiri, dinding anterior sinus frontal kanan kiri (os frontal) dan fraktur
septum nasi dengan deviasi septum nasi ke kanan. Hematosinus maksila, ethmoid, frontal
kanan kiri dan sphenoid kanan. Soft tissue swelling regio palpebra superior kanan. Dan
Subgaleal hematoma dengan empisema subkutis region parieto-frontal kiri.

DIAGNOSIS KERJA
Fraktur nasal, maksila, dan frontal

PENATALAKSANAAN
Rawat Inap, pro rekonstruksi nasal
IVFD RL 500ml/8 jam
Ciprofloksasin 2x1g
Ketorolac 3x30mg
Ranitidin 2x50mg
Tetagram
Diet biasa

Nasal: pro rekonstruksi, untuk rekonstruksi dan estetik


Maksila: tidak dilakuan apa-apa karena tidak mengganggu fungsi
Frontal: tidak dilakukan apa-apa karena tidak mengganggu fungsi

7
LAPORAN Operasi (Tgl 8 November 2018, pukul 09.45)
1. Pasien dalam posisi supine dan dilakukan anestesi umum
2. Dilakuan A dan Antisepsis daerah operasi
3. Dilakukan refrakturisasi kartilago os nasal dengan menggunakan forsep Walsham, yaitu
satu sisi dimasukkan ke dalam cavum nasi dan sisi lain di luar hidung, dan forsep Ash
digunakan dengan cara memasukan masing-masing bilah kedalam kedua ronga hidung
sambil menekan septum dengan sisi forsep.
4. Perdarahan kontrol
5. Diinsersi tampon internal dan fiksasi eksternal dengan gips, kemudian di plester
menggunakan micropore
6. Operasi selesai

PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : bonam

FOLLOW UP :
Senin, 5 November 2018
S : Nyeri pada wajah, kepala, lutut kanan dan kiri berkurang. Demam (-)
O : Keadaan umum : tampak sakit berat

8
Kesadaran : compos mentis
TD : 110/70mmHg
RR : 20 x/menit
HR : 71 x/menit
tº : 36,8ºC
Status Lokalis:
Wajah
Inspeksi: Tidak simetris, edema (+) pada kepala, frontal, dan pipi kanan
Hematom pada mata +/+ berkurang
Vulnus eksoriasi pada frontal lateral sinistra diameter 6cm, dan samping lateral
dari orbita diameter 8cm
Vulnus eksoriasi pada lateral pipi kanan diameter 5cm
Palpasi : Os frontal lunak (+), nyeri (+), hangat (+)
Hidung edema (+), nyeri (+), hangat (+)
Ekstremitas
Inspeksi: 5 vulnus eksoriasi pada patela (+/+) ukuran bervariasi diameter 2cm-7cm,
merah (+/+)
Palpasi: Edem (-/-), nyeri (+/+), hangat (+/+)
Motorik 5/5/5/5
A: Fraktur nasal, maksila, dan frontal
P: - Infus RL
- Injeksi ceftriakson 2x1 gr
- Injeksi ketorolac 3x1 30g
- Injeksi ranitidine 2x1 50g

Selasa, 06 November 2018


S : Nyeri pada wajah, kepala, lutut kanan dan kiri masih sama. Demam (-)
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 110/80 mmHg
RR : 20 x/menit

9
HR : 95 x/menit
tº : 36,7ºC
Status Lokalis:
Wajah
Inspeksi: Tidak simetris, edema (+) pada kepala, frontal, dan pipi kanan
Hematom pada mata +/+ berkurang
Vulnus eksoriasi pada frontal lateral sinistra diameter 6cm, dan samping lateral
dari orbita diameter 8cm
Vulnus eksoriasi pada lateral pipi kanan diameter 5cm
Palpasi : Os frontal lunak (+), nyeri (+), hangat (+)
Hidung edema (+), nyeri (+), hangat (+)
Ekstremitas
Inspeksi: 5 vulnus eksoriasi pada patela (+/+) ukuran bervariasi diameter 2cm-7cm,
merah (+/+)
Palpasi: Edem (-/-), nyeri (+/+), hangat (+/+)
Motorik 5/5/5/5
A: Fraktur nasal, maksila, dan frontal
P: Pro operasi kamis
Terapi lanjut

Rabu, 07 November 2018


S : Demam (-)
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 120/80 mmHg
RR : 20 x/menit
HR : 90 x/menit
tº : 36,7ºC
Status Lokalis:
Wajah
Inspeksi: Tidak simetris, edema (+) pada kepala, frontal, dan pipi kanan

10
Hematom pada mata +/+ berkurang
Vulnus eksoriasi pada frontal lateral sinistra diameter 6cm, dan samping lateral
dari orbita diameter 8cm
Vulnus eksoriasi pada lateral pipi kanan diameter 5cm
Palpasi : Os frontal lunak (+), nyeri (+), hangat (+)
Hidung edema (+), nyeri (+), hangat (+)
Ekstremitas
Inspeksi: 5 vulnus eksoriasi pada patela (+/+) ukuran bervariasi diameter 2cm-7cm,
merah (+/+)
Palpasi: Edem (-/-), nyeri (+/+), hangat (+/+)
Motorik 5/5/5/5
A: Fraktur nasal, maksila, dan frontal
P: Terapi lanjut
Pro rekonstruksi besok

Kamis, 08 November 2018


S : Keluhan (-)
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 120/80 mmHg
RR : 20 x/menit
HR : 90 x/menit
tº : 36,7ºC
Status Lokalis:
Wajah
Inspeksi: Tidak simetris, edema (+) pada kepala, frontal, dan pipi kanan
Hematom pada mata +/+ berkurang
Vulnus eksoriasi pada frontal lateral sinistra diameter 6cm, dan samping lateral
dari orbita diameter 8cm
Vulnus eksoriasi pada lateral pipi kanan diameter 5cm
Palpasi : Os frontal lunak (+), nyeri (+)

11
Hidung edema (+), nyeri (+)
Ekstremitas
Inspeksi: 5 vulnus eksoriasi pada patela (+/+) ukuran bervariasi diameter 2cm-7cm,
merah (+/+)
Palpasi: Edem (-/-), nyeri (+/+), hangat (+/+)
Motorik 5/5/5/5
A: Fraktur nasal, maksila, dan frontal
P: Pro operasi hari ini
Instruksi post operasi: 1. Awasi TTV
2. ceftriaxone 2x1g IV
3. Ketorolac 3x30g IV
4. Ranitidin 2x50g IV
obat rawat jalan : 1. Ciprofloxaxin 3x1
2. Na Diclofenac 2x1
3. Ponstan 3x1

Jumat, 09 November 2018


S : Demam (-)
O : Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 120/80 mmHg
RR : 18 x/menit
HR : 86 x/menit
tº : 36,5ºC
Status Lokalis:
Hidung: post rekonstruksi tertutup kassa.
Motorik 5/5/5/5
A: Fraktur nasal post rekonstruksi
P: Rawat Jalan.
Pengangkatan tampon pada hari ke 4 sampai 5, dan gips 2 minggu post op.

12
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal,
orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal,
temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila
terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang
menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses
pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir
semua dokter baik itu dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma
wajah selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam anatomi
wajah, latar belakang estetika, dan keahlian dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan
rujukan untuk menangani pasien trauma wajah.Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak-
anak, dengan peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan
peningkatan aktivitas fisik. Fraktur maksila pada anak berbeda secara signifikan dibandingkan
dengan orang dewasa baik itu dari segi pola, maupun treatment. Dengan demikian, adanya
fraktur maxillofacial harus dapat didiagnosis dan ditangani dengan tepat dan akurat untuk
menghindari gangguan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, mengingat adanya
gangguan fungsional dan masalah estetika yang mungkin terjadi.1,2

Etiologi

Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat terjadi,
seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat
peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah
kecelakaan lalu lintas.Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada
pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang keselamatan jiwa
mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti tidak menggunakan pelindung
kepala (helm), kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan

13
Holmgreen (1990), dalam studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-
1986, menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan
helm meninggal karena cidera kepala yang mereka alami.1,2

Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur
kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar,
fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.3

Anatomi Tulang Frontalis, Nasal, dan Maksila1,3,4

Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding penopang (buttress)
vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang lebih tebal yang menyokong unit
fungsional wajah (otot, mata, oklusi dental, airway) dalam relasi yang optimal dan menentukan
bentuk wajah dengan cara memproyeksikan selubung soft tissue diatasnya. Vertical buttresses
terdiri dari sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral) atau zygomatic buttress,
maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress, pterygomaxillary buttress,
dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress. Horizontal buttresses juga terdiri dari
sepasang maksilari tranversal atas (+ lantai orbital), maksilari transversal bawah (+ palatum),
mandibular transversal atas dan mandibular tranversal bawah.

1. Frontal
Tulang frontalis terletak di bagian depan kepala / tengkorak dan sesuai
dengan daerah yang dikenal sebagai dahi. Fungsi utama dari tulang frontal
perlindungan otak dan membentuk wajah. Tulang-tulang frontal terdiri dari dua bagian:
bagian vertikal dikenal sebagai squama frontalis dan bagian horizontal, yang dikenal
sebagai pars orbital. Bagian vertikal sesuai dengan dahi sementara bagian horizontal
berkorelasi dengan atap rongga orbital (mata) dan hidung.
2. Nasal
Nasal (hidung) adalah organ sederhana yang sebenarnya berfungsi sangat
vital dalam kehidupan kita. Selain sebagai indera penghidu, hidung juga
ternyata berguna sebagai saringan (filter) terhadap debu yang masuk bersama udara

14
yang kita hirup. Hidung juga menjadi air conditioning sistem dengan cara
menghangatkan atau melembabkan udara yang masuk ke tubuh kita. Hidung merupakan
bagian wajah yang paling sering mengalami trauma karena merupakan bagian
yang berada paling depan dari wajah dan paling menonjol. Hidung secara anatomi dibagi
menjadi dua bagian yaitu :
1. Hidung bagian luar (Nasus eksterna)
2. Rongga hidung (Nasus interna atau kavum nasi)

 Hidung Bagian Luar (Nasus Eksterna)


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) Pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi),
3) puncak hidung (tip),
4) ala nasi,
5) kolumela dan
6)lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dilapisi oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1) tulang hidung ( os nasalis),
2) prosesus frontalis os maksila dan
3) prosesus nasalis os frontal,

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut sebagai kartilago alar
mayor,dan
3) tepi anterior kartilago septum

15
 Rongga Hidung (Nasus Interna/ Kavum Nasi)
Rongga hidung dibagi dua bagian, kanan dan kiri di garis median oleh septum
nasi yang sekaligus menjadi dinding medial rongga hidung. Kerangka septum
dibentuk oleh :
a. lamina perpendikularis tulang etmoid (superior)
b. kartilago kuadrangulari (anterior)
c. tulang vomer (posterior)
d. krista maksila dan krista palatine (bawah) yang menghubungkan septum
dengan dasar rongga hidung
e. lamina perpendikularis tulang etmoid (superior)
f. kartilago kuadrangularis (anterior)

3. Maksila
Maksila terdiri dari dua tulang terpisah yang menyatu secara kolektif.
Maksila, sering dikenal sebagai tulang kumis karena bentuknya, terletak di atas
mandibula dan di bawah orbita. Maksila terbentuk dari dua bagian komponen
piramidal iregular yang berkontribusi terhadap pembentukan bagian tengah wajah dan
bagian orbit, hidung, dan palatum. Maksila berlubang pada aspek anteriornya untuk
menyediakan celah bagi sinus maksila sehingga membentuk bagian besar dari orbit, nasal
fossa, oral cavity, dan sebagian besar palatum, nasal cavity, serta apertura piriformis.
Maksila terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal, zygomatic, palatina, adan
alveolar. Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar. Pada masa anak-anak,
ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan mebesar dan menembus
sebagian besar struktur sentral pada wajah. Fungsi maksila adalah untuk memberikan
perlindungan wajah, mendukung orbita, tempat melekatnya gigi bagian atas, dan
membentuk dasar hidung.

16
Gambar 1.1 Anatomi Tulang Wajah Manusia

Gambar 1.2 Hidung Manusia

Fraktur Nasal3
Tulang hidung dan kartilago rentan untuk mengalami fraktur karena hidung letaknya
menonjol dan merupakan bagian sentral dari wajah, sehingga kurang kuat menghadapi tekanan
dari luar. Pola fraktur yang diketahui beragam tergantung pada kuatnya objek yang menghantam
dan kerasnya tulang. Seperti dengan fraktur wajah yang lain, pasien muda cenderung mengalami
fraktur kominunitiva septum nasal dibandingkan dengan pasien dewasa yang kebanyakan

17
frakturnya lebih kompleks. Daerah terlemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan
pertemuan antara kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum pada krista
maksilaris. Daerah terlemah merupakan tempat yang tersering mengalami fraktur atau dislokasi
pada fraktur nasal.
Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk yang
ditandai dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas bentuk C biasanya dimulai
di bagian bawah dorsum nasal dan meluas ke posterior dan inferior sekitar lamina
perpendikularis os ethmoid dan berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-kira 1
cm di atas krista maksilaris. Kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi juga fraktur pada
kartilago septum nasal.
Fraktur nasal lateral merupakan yang paling sering dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur
nasal lateral akan menyebabkan penekanan pada hidung ipsilateral yang biasanya meliputi
setengah tulang hidung bagian bawah, prosesus nasi maksilaris dan bagian tepi piriformis.
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis, ethmoid dan
tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur lamina
kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III

Klasifikasi Fraktur Nasal3,5


 Fraktur nasal dapat dibedakan menurut:
1. Lokasi : tulang nasal (os nasale), septum nasi, ala nasi, dan tulang rawan triangularis.
2. Arah datangnya trauma
o Dari lateral : kekuatan terbatas dapat menyebabkan fraktur impresi dari salah satu
tulang
o Datang dari arah kaudal : relatif jarang.

o Dari lateral: kekuatan terbatas dapat menyebabkan fraktur impresi dari salah satu
tulang nasal. Pukulan lebih besar mematahkan kedua belah tulang nasal dan
septum nasi dengan akibat terjadi deviasi yang tampak dari luar.
o Dari frontal: cederanya bisa terbatas hanya sampai bagian distal hisung atau
kedua tulang nasal tulang nasal bisa patah dengan akibat tulang hidung jadi pesek

18
dan melebar. Bahkan kerangka hidung luar dapat terdesak ke dalam dengan akibat
cedera pada kompleks etmoid.
o Datang dari arah kaudal: relatif jarang.

Jenis - Jenis Fraktur3,4


Fraktur Tulang Hidung
Pada trauma muka paling sering terjadi adalah fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung
dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan
dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung,
terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya robekan pada mukosa septum, hematoma
septum,dislokasi atau deviasi septum. Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinus
paramasal posisi Water dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk melihat
fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lain.
1. Fraktur Tulang Sederhana
Jika hanya fraktur tulang hidung saja, dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut
dalam analgesia local. Akan tetapi pada anak - anak atau orang dewasa yang tidak
kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum. Analgesia local
dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2% yang dicampur dengan
epinefrin 1:1000%.3,4
Tampon kapas yang berisi obat analgesia local ini dipasang masing-
masing 3 buah, pada setiap hidung. Tanpon pertama diletakkan pada meatus superior
tepat dibawah tulag hidung, tampon kedua diletakkan antara konka media dan septum
dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen sphenopalatina,
tampon ketiga diletakkan antara konka inferior dengan septum nasi. Kadang-kadang
diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray beberapa kali, melalui
rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan efek vasokonstriksi yang baik. 3,4
Penatalaksanaan
Teknik reduksi tertutup. Jenis fraktur tersering menimbulkan depresi pada satu
tulang hidung disertai pergeseran pyramid hidung ke sisi satunya. Elevasi
tulang hidung yang mengalami depresi tersebut dengan suatu elevator yang pipih,
diikuti dengan penggeseran pyramid kembali ke posisi semula biasanya dapat

19
dilakukan tanpa kesulitan. Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah
trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang mungkin terjadi sangat sedikit.
Sesudah waktu tersebut, tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah
terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti estektomi. 3,4,5
Sesudah fraktur hidung dikembalikan keadaan semula, dilakukan
pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat
ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan
berhenti, sesudah pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar
(gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti
huruf “T” dan dipertahankan hingga 10-14 hari. 3,4,5

2. Fraktur Tulang Hidung Terbuka


Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung
tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
Cedera berat tidak hanya memerlukan reduksi terbuka namun juga berbagai
teknik fiksasi seperti pemasangan kawat langsung, penyangga eksternal, atau bahkan
transfiksasi dengan kawat stainless steel dan pemasangan lempeng plumbum. 3,4

3. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks


Jika nasal pyramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan
menimbukan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal.
Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis
os frontal. Bagian dari nasal pyramid yang terletak diantara kedua bola mata akan
terdorong kebelakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan
fraktur nasoorbita. 3,4

Gejala Klinis
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :
a) Depresi atau pergeseran tulang – tulang hidung.
b) Terasa lembut saat menyentuh hidung.
c) Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.

20
d) Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
e) Deformitas hidung
f) Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
g) Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
h) Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.5

Diagnosis
Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan anamnesis, inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai
dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada
robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan bila perlu
dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk melihat fraktur hidung dan
kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya. Pasien harus selalu diperiksa terhadap
adanya hematoma septum akibat fraktur, bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat
berlanjut menjadi abses, dimana terjadi resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana (
saddle nose ) yang berat. 3,5,6

a. Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting
untukpenatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu
trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh,
trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal.
Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma akibat olahraga, trauma nasal yang
terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung akan menyebabkan sulit
menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang
diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung
sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah
epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia. 3,5,6

21
b. Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat
dihantam atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan
napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering
dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya
trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya
membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi
dalam waktu singkat beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di
bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah. 3,5,6
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat
khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada
trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting
untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi
absolut untuk drainase bedah segera. Sangatlah penting untuk memastikan
diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang
ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang
piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk
dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen kantus
medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea
cerebrospinalis. 3,5,6
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat
emfisema subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada
pasien dengan hematom septi tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang
nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam
mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk pelana,
yang membutuhkan penanganan bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung
dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung
dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan
nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal. 3,5,6

22
c. Pemeriksaan Radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang
diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga hanya
diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi tidak mampu
untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam
menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur yang disertai dengan
pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti rhinorrhea
cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi. CT-scan dapat
diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular. 3,5,6

Penatalaksanaan
Tujuan Penangananan Fraktur Hidung :
a. Mengembalikan penampilan secara memuaskan
b. Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
c. Menempatkan kembali septum pada garis tengah
d. Menjaga keutuhan rongga hidung
e. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela, perubahan
bentuk punggung hidung
f. Mencegah gangguan pertumbuhan hidung.7

Konservatif6,7
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan
bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal
dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien dengan
perdarahan hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak
berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh
darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol
perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5
hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan
kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk

23
mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis
untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan tanpa
dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehingga akan
terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan menurunkan resiko
kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat mengenai
kapan seharusnya penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan
segera setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung. Sayangnya, jarang
pasien dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan apakah
patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi tertutup menjadi sulit
dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup
dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda
setelah 7-10 hari maka akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal dan
keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan terhadap
fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka
dan kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan
(debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan
dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan
untuk melapisi kartilago yang terbuka.

Operatif

Teknik Operasi

 Menjelang operasi:
 Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang akan
dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan permohonan
dari penderita untuk dilakukan operasi (Informed consent).
 Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi. Instrumen yang
digunakan untuk reduksi tertutup adalah elevator Boies atau Ballenger, forcep Asch dan
Walsham.

24
 Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi .
 Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau kombinasi Clindamycin dan Garamycin, dosis
menyesuaikan untuk profilaksis.7

Reduksi Tertutup

 Pembiusan
 Dengan anestesi umum
 Posisi pasien terlentang, dikerjakan di kamar operasi dengan anestesi general atau
lokal.
 Disinfeksi lapangan operasi dengan larutan hibitan-alkohol 70% 1:1000.
 Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril
 Jarak antara tepi rongga hidung ke sudut nasofrontal diukur, kemudian instrumen
dimasukkan sampai batas kurang 1 cm dari pengukuran tadi.
 Fragmen yang depresi diangkat dengan elevator dalam arah berlawanan dari tenaga
yang menyebabkan fraktur, biasanya kearah antero-lateral. Reposisi fraktur nasal
dapat dilakukan dengan forsep Walsam, sedangkan untuk reposisi fraktur septun
digunakan forsep Walsam.
 Jangan terlalu ditekan (dibawah tulang hidung yang tebal dekat sutura nasofrontal)
karena daerah ini jarang terjadi fraktur, lagipula bisa menyebabkan robekan mukosa
dan perdarahan.
 Reduksi disempurnakan dengan melakukan ‘molding’ fragmen sisa dengan
menggunakan jari.
 Pada kasus fraktur dislokasi piramid bilateral, reduksi septum nasal yang tidak
adekuat menyebabkan reposisi hidung luar tidak memuaskan.
 Stabilisasi septum dengan splints Silastic, pasang tampon pada tiap lubang hidung
dengan sofratul. Splints dengan menggunakan gips kupu-kupu. Tampon dilepas pada
hari ke 4 paska reposisi.
 Meskipun kebanyakan fraktur nasal dan septal dapat direduksi secara tertutup,
beberapa hasilnya tidak optimal, disini penting merencanakan reduksi terbuka.7

25
Reduksi Terbuka

Tahapan operasi:

 Penderita dalam anestesi umum dengan pipa orotrakheal, posisi telentang dengan
kepala sedikit ekstensi .
 Desinfeksi lapangan operasi dengan larutan Hibitane dalam alkohol 70% 1: 1000,
seluruh wajah terlihat .
 Persempit lapangan operasi dengan menggunakan kain steril
 Insisi pada kulit ada beberapa pilihan, melalui bekas laserasi yang sudah terjadi, insisi
“H”, insisi bilateral Z, Vertikal midline, insisi bentuk “W”.
 Insisi diperdalam sampai perios dan perdarahan yang terjadi dirawat. Perios diinsisi ,
dengan rasparatorium kecil fragmen tulang dibebaskan.
 Dilakukan pengeboran fragmen tulang dengan mata bor diameter 1 mm, tiap
pengeboran lindungi dengan rasparatorium dan disemprot dengan aquadest steril.
 Lakukan reposisi dan fiksasi antara kedua fragmen tulang dengan menggunakan
kawat 03 atau 05, sesuaikan dengan kondisi fragmen tulang. Pada fraktur komunitif
dapat dipertimbangkan penggunaaan bone graft.
 Luka diirigasi dengan larutan garam faali.
 Luka operasi dijahit lapis demi lapis, perios, lemak subkutan dijahit dengan vicryl
atau dexon 03, kulit dijahit dengan dermalon 05.7

Komplikasi operasi

Komplikasi awal/cepat mencakup keadaan edema, ekimosis, epistaksis, hematoma, infeksi dan
kebocoran liquor.

 Hematom
Cukup serius dan membutuhkan drainase. Harus dicari adanya hematom septal pada
setiap kasus trauma septal karena kondisi ini menyebabkan timbulnya infeksi sehingga
kartilago septal hilang dan akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom septal harus
dicurigai jika didapati nyeri dan pembengkakan yang menetap; komplikasi ini perlu

26
diperhatikan pada anak-anak. Splint silastic dapat digunakan untuk mencegah
reakumulasi darah pada tempat hematom.
 Epistaksis
Biasanya sembuh spontan tapi jika kambuh kembali perlu dikauter, tampon nasal atau
ligasi pembuluh darah. Perdarahan anterior karena laserasi arteri etmoid anterior, cabang
dari arteri optalmikus (sistem karotis interna). Perdarahan dari posterior dari arteri etmoid
posterior atau dari arteri sfenopalatina cabang nasal lateral, dan mungkin perlu ligasi
arteri maksila interna untuk menghentikannya. Jika menggunakan tampon nasal, tidak
perlu terlalu banyak, karena dapat mempengaruhi suplai darah pada septum yang
mengalami trauma sehingga menyebabkan nekrosis. Infeksi tidak umum terjadi, tapi
antibiotik profilaksis penting untuk pasien yang mempunyai penyakit kelemahan kronis,
immuno-compromised dan dengan hematom septal.
 Kebocoran liquor
Jarang dan disebabkan fraktur ‘cribriform plate’ atau dinding posterior sinus frontal.
Kebocoran kulit cukup diobservasi selama 4 sampai 6 minggu dan biasanya terjadi
penutupan spontan. Konsultasi bedah saraf.

Komplikasi lanjut dapat berupa obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur, deformitas


sekunder, synechiae, hidung pelana dan perforasi septal. Penatalaksanaan terbaik dari komplikasi
ini adalah dengan mencegah terjadinya komplikasi itu sendiri.7

Mortalitas
Fraktur nasal saja tanpa perdarahan hebat dan aspirasi tidak mengakibatkan kematian. 7

Perawatan Paska bedah

 Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari


 Antibitika profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian .
 Analgetika diberikan kalau perlu. Penderita sadar betul boleh minum sedikit-sedikit
 Bila 8 jam kemudian tidak apa apa boleh makan bubur ( lanjutkan 1 minggu )
 Perhatikan posisi tidur , jangan sampai daerah operasi tertekan.
 Rawat luka pada hari ke 2 - 3 , angkat jahitan hari ke-7. 7

27
Follow-Up

 Tampon hidung dilepas hari 3-4


 Splint septum dilepas hari 10
 Gips kupu-kupu dilepas minggu ke-3
 Kontrol tiap bulan selama 3 bulan. 7

Fraktur Maksila

Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis
1) Traumatic fracture
Traumatic fracture adalah fraktur yang disebabkan oleh pukulan pada:
- Perkelahian
- Kecelakaan
- Tembakan
2) Pathologic fracture
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan sakit,
tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara, makan dan
mengunyah dapat terjadi fraktur. Terjadi karena:
a) Penyakit tulang setempat
- Kista
- Tumor tulang jinak atau ganas
- Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga
dengan atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada
osteomielitis
b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah
patah.
- Osteomalacia
- Osteoporosis
- Atrofi tulang secara umum. 3,5

28
Klasifikasi

Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga pola fraktur
maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort, terdapat pula fraktur alveolar, dan
vertikal atau sagital maupun parasagital.

a). Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dikenal juga dengan fraktur Guerin yang terjadi di atas level gigi yang
menyentuh palatum, meliputi keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum, dan
prosesus pterigoid dalam blok tunggal. Fraktur membentang secara horizontal menyeberangi
basis sinus maksila.Dengan demikian buttress maksilari transversal bawah akan bergeser
terhadap tulang wajah lainnya maupun kranium.

b). Fraktur Le Fort II

Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal menimbulkan fraktur
dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk piramida. Karena sutura zygomaticomaxillary
dan frontomaxillary (buttress) mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser
terhadap basis kranium.

c). Fraktur Le Fort III

Selain pada pterygomaxillary buttress, fraktur terjadi pada zygomatic arch berjalan ke sutura
zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai ke sutura nasofrontal. Garis fraktur seperti itu
akan memisahkan struktur midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebut dengan
craniofacial dysjunction. Maksila tidak terpisah dari zygoma ataupun dari struktur nasal.
Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan hanya disuspensi oleh soft tissue.

d). Fraktur Alveolar

Bagian dentoalveolar dari maksila dapat mengalami fraktur akibat pukulan langsung maupun
secara tidak tidak langsung pada mandibula. Sebagian dari prosesus alveolar dapat mengalami
fraktur.

29
e). Fraktur Maksila Sagital atau Vertikal

Fraktur sagital biasanya dihubungkan dengan fraktur maksila lainnya. Fraktur seperti ini dapat
meningkatkan lebar arkus denta dan wajah, dimana cukup sulit untuk ditangani. 1

Diagnosis dan Manifestasi Klinis Fraktur Maksila 1,2,4,6

Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila. Namun, kurang
dari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila. Gangguan oklusal biasanya
bersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik.
Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III dimana disrupsi periosteum tidak cukup untuk
menimbulkan mobilitas maksila.

Anamnesis

Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan sebelum pasien tiba di


departemen emergency. Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter
untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau
penemuan korban dan inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga yang
mempengaruhi resusitasi pasien.

Inspeksi

Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma


subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang mengakibatkan
terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.

Palpasi

Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura zygomaticomaxillary,


mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.

30
Manipulasi Digital

Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat bagian anterior
maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya
menjaga agar kepala pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar
suara krepitasi jika terjadi fraktur.

Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea

Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior
(pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada
fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut
dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi.

Maloklusi Gigi

Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur
maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya akan
membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih
dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang
dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu
sama lain.

Pemeriksaan Radiologi

Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan radiologi
dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto
polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang
dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view.
Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita
dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila,
pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal.
Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT

31
scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial.
Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan
cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya
fraktur maksila.

Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat klasifikasi ini
cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam mengklasifikasikan
fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan. Pertama, selalu
memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan potongan koronal. Fraktur
pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan bahwa fraktur maksila tersebut
merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort. Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus
pterigoid haruslah mengalami disrupsi.Ke- dua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le
Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin
anterolateral nasal fossa untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan
zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le
Fort dimana fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ke-
tiga, jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe
tersebut, maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-
fraktur komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.

Penatalaksanaan Fraktur Maksila1,5,6

Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol pendarahan,


penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai dengan
posisinya melalui fiksasi intermaksilari.

Sebelumnya, fraktur midface direkonstruksi dengan teknik yang pertama kali


diperkenalkan oleh Milton Adams. Adam mendeskripsikan reduksi terbuka direk dan fiksasi
internal rima orbita serta kombinasi reduksi tertutup dengan fiksasi maksilomandibular midface
bawah dan kompresi menggunakan kawat. Namun teknik ini menyebabkan wajah pasien
memendek dan tetap mengalami retrusi. Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya

32
bertujuan untuk memperbaiki oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjang
wajah serta integritas kavitas nasal, orbita dan kontur soft tissue. Tujuan tersebut dicapai dengan
melakukan CT scan potongan tipis, reduksi terbuka ekstensif semua fraktur, stabilisasi rigid
menggunakan plat dan sekrup, cangkok tulang apabila terdapat gap akibat hilangnya segmen
tulang, dan reposisi selubung soft tissue .

Fiksasi Maksilomandibular.

Teknik ini merupakan langkah pertama dalam treatment fraktur maksila untuk
memungkinkan restorasi hubungan oklusal yang tepat dengan aplikasi arch bars serta
kawat interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anestesi
umum yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk ahli bedah yang sudah
berpengalaman dapat pula diberikan melalui oral endotracheal tube yang ditempatkan
pada gigi molar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan
masif dan cedera pada kedua rahang, karena pemakaian fiksasi rigid akan memerlukan
operasi selanjutnya untuk membukannya.

Akses Fiksasi.

Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-tempat tertentu


dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk mencapainya. Untuk
mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal, rima infraorbital,
lantai orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah
zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk daerah
frontal, nasoethmoidal, orbita lateral, arkus zygomatic dilakukan melalui insisi koronal
bila diperlukan.

Reduksi Fraktur.

Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara anatomis. Tergantung pada


kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering dilakukan dengan kawat interosseous. CT
scan atau visualisasi langsung pada fraktur membantu menentukan yang mana dari
keempat pilar/buttress yang paling sedikit mengalami fraktur harus direduksi terlebih

33
dahulu sebagai petunjuk restorasi yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan fiksasi
maksilomandibular dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.

Stabilisasi Plat dan Sekrup.

Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada Le Fort I, plat mini
ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II,
fiksasi tambahan dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada Le Fort
III, plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi. Plat mini
yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi buttress maksila.
Ukuran yang sedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat dan teraba. Kompresi
seperti pada metode yang dijukan oleh Adam tidak dilakukan kecuali pada daerah
zygomaticofrontal. Sebagai gantinya maka dipakailah plat mini agar dapat beradaptasi
secara pasif menjadi kontur rangka yang diinginkan. Pengeboran untuk memasang sekrup
dilakukan dengan gurdi bor yang tajam dengan diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup
didinginkan untuk menghindari terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan
kecepatan pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan traksi elastis saja
dapat dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam beberapa
hari oklusi tidak membaik, maka dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal.

Cangkok Tulang Primer.

Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus diganti saat rekonstruksi
awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus digantikan dengan cangkok
tulang. Cangkok tulang diambil dari kranium karena aksesibilitasnya (terutama jika
diakukan insisi koronal), morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki
densitas kortikal tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan cangkokan juga
dilakukan dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding antral lebih dari 1.5
cm bertujuan untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan pada kontur pipi.

Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular.

34
Setelah reduksi dan fiksasi semua fraktur dilakukan, fiksasi maksilomandibular
dilepaskan, oklusi diperiksa kembali. Apabila terjadi gangguan oklusi pada saat itu,
berarti fiksasi rigid harus dilepas, MMF dipasang kembali, reduksi dan fiksasi diulang.

Resuspensi Soft tissue.

Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah dari rangka dibawahnya
ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia lateral kantal, displacement massa
pipi malar ke inferior, dan kenampakan skleral yang menonjol, dilakukan canthoplexy
lateral dan penempelan kembali massa soft tissue pipi pada rima infraorbita.

Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila.

Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi pada segmen alveolar denta, dan merubah
lebar wajah. Sebagian besar terjadi mendekati garis tengah pada palatum dan keluar di
anterior diantara gigi-gigi kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberosity dapat distabilkan
setelah fiksasi maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan plat pada tiap buttress
nasomaksilari dan zygomaticomaxillary.

Perawatan Postoperative Fraktur Maksila.

Manajemen pasca operasi terdiri dari perawatan secara umum pada pasien seperti
kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, dan antibiotik selama periode perioperasi.

Prognosis

Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu yang paling
efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi
fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang
utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan
belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan
ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara
parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalaupun
dilakukan tetap sulit untuk direduksi. 1,5

35
Komplikasi

Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta gangguan pada
jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue. Infeksi
pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal luka
terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur.
Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi
sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga
terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan
dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang
yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia
infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus.
Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).1,5,6

Fraktur Maksila pada Anak

Pola cedera wajah pada anak-anak berbeda dengan dewasa karena adanya perbedaan
karakteristik anatomi dan fisiologi pada tahap-tahap perkembangan wajah, batasan pneumatisasi
sinus paranasal, dan fase-fase pertumbuhan gigi. Pada anak terdapat 3 fase pertumbuhan gigi: (1)
fase desidua, sekitar usia 2 tahun, (2) fase campuran, dari usia 6-12 tahun, dan (3) fase permanen
pada sekitar usia 13 tahun. Pergigian yang inkomplit memberikan kekuatan tambahan terhadap
maksila dan mandibula, karena adanya tooth buds yang meningkatkan stabilitas dan elastisitas
tulang. Anak-anak memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap fraktur wajah. Kerentanan anak
terhadap fraktur greenstick juga lebih tinggi. Hal tersebut terjadi akibat perbedaan struktur tulang
pada anak. Diantaranya; banyaknya kartilago, mineralisasi yang rendah dan korteks yang belum
berkembang sehingga elastisitas dan fleksibilitas tulang anak lebih tinggi. Lapisan tebal jaringan
adiposa yang melapisi sebagian besar rangka wajah anak serta fat pads yang meng.elilingi rahang
atas maupun bawah juga membantu melindungi tulang tersebut.1,5

36
Daftar Pustaka

1. Fraioli Rebecca E, MD,et al. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin N Am.
2008; 41:51-76.
2. Tiwana Paul S, et al. Maxillary Sinus Augmentation. Dent Clin N Am.2006; 50: 409-424.
3. Alcala-Galiano Andrea, MD, et al. Pediatric Facial Fractures: Children Are Not Just
Small Adults. Radiographics. 2008; 28:441-461.
4. Hopper Richard A, MD, et al. Diagnosis of Midface Fractures with CT : What the
Surgeon Need To Know. Radiographics. 2006; 26:783-793.
5. Rhea James T, Novelline Robert A. How to simplify the CT diagnosis of Le fort
Fractures. AJR. 2005; 184:1700-1705.
6. Arosarena Oneida A, MD, et al. Maxillofacial Injuries and Violence Against Women.
Arch Facial Plast Surgery. 2009; 11(1):48-25.
7. http://bedah.usu.ac.id/images/Modul/Modul_KL/5-REPOSISI-FRAKTUR-
NASAL.pdf

37

You might also like