You are on page 1of 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BERLAKANG


Tuberkulosis penyakit lama yang masih menjadi pembunuh terbanyak di
antara penyakit menular. Tubercolosis (TB) menjadi penyakit menular yang banyak
menyebabkan kematian di Indonesia. Pada tahun 2016, terdapat 274 kasus kematian
per hari di Indonesia. Angka itu menjadikan Indonesia berada di peringkat kedua
kasus TB terbanyak di dunia setelah India. Kemudian, disusul oleh China, Filipina,
Pakistan, Nigeria, dan Afrika selatan. Menurut laporan WHO, penderita TB paru di
Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 294.731 orang dan pada tahun 2012 jumlah
penderita TB paru meningkat cukup tajam yaitu 583.000 orang dan pada tahun 2017
diperkirakan ada 1.020.000 kasus di Indonesia, namun baru terlaporkan ke
Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000 kasus.1-3

Mereka yang belum diperiksa dan diobati akan menjadi sumber penularan
bagi orang di sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan seakan-akan masalah TB tak
kunjung selesai. Dunia pun masih belum bebas dari TB padahal dunia ingin
mencapai eliminasi TB pada tahun 2030 dan Indonesia turut berkomitmen
mencapainya. Seperti diketahui, penanggulangan TB ini masuk dalam program
prioritas yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun
2018.2,4

Menurut Riskesdas Tahun 2013, Jakarta disebut menjadi salah satu provinsi
dengan penderita TB tinggi. Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta
mengatakan, ada 37.716 kasus TB yang tercatat pada tahun 2017. Satu orang punya
potensi menularkan ke 10 sampai 15 orang. Karena itu, beliau menilai
penanganannya harus serius. Menurut Anies, Jakarta punya sumber daya yang besar
untuk mencapai target bebas TB pada 2030. Adapun untuk mendukung percepatan
eliminasi penyakit TB tersebut, Pemprov DKI menerbitkan Peraturan Gubernur
Nomor 28 Tahun 2018 tentang Penanggulangan TB di DKI Jakarta.5,6

1
Jakarta Selatan merupakan wilayah dengan jumlah TB Paru BTA+ terbesar di
Provinsi DKI Jakarta, yaitu rata-rata sebanyak 2.000 penderita setara dengan Jakarta
Timur dan Barat. Selain itu TB merupakan salah satu masalah respirasi yang paling
banyak ditemukan di Kelurahan Bintaro. Pada tahun 2016 telah dilakukan upaya
pengobatan pada penderita TB Paru BTA+, 80,59% diantaranya dinyatakan sembuh.
Selanjutnya pasien akan dievaluasi faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pengobatannya diantaranya yang paling utama adalah kesadaran masyarakat untuk
melakukan pengobatan secara teratur dan disiplin, selain monitoring dan evaluasi
dari petugas kesehatan. Penderita TB Paru yang belum dinyatakan sembuh akan
masuk dalam pengobatan Kategori 2 ataupun dinyatakan sebagai pasien TB-MDR
(Multidrug-Resistant).7,8

Tantangan berikutnya adalah meningkatnya kasus TB Kategori 2 dan MDR


(Multidrug-Resistant). TB Kategori 2 dapat terjadi jika pengobatan tuntas tetapi BTA
masih positif, pengobatan tidak tuntas, dan relaps sedangkan TB MDR bisa terjadi
bila pengobatan TB tidak dilakukan secara tuntas dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan gene expert. Apabila kasus MDR tidak ditangani dengan tuntas dapat
berkembang menjadi XDR (Extensively drug-resistant). Untuk mencegah pasien
jatuh dalam TB Kategori 2 dan MDR pemerintah mendorong seluruh pemberi
pelayanan TB pemerintah dan swasta memberikan pelayanan TB standar serta
meningkatkan kewaspadaan dengan penemuan kasus TB secara dini dan memastikan
pelayanan TB berkualitas untuk mencegah kejadian TB resistan obat. Selain itu juga
mengajak seluruh masyarakat dan keluarga untuk mendukung pasien dalam
menjalani pengobatan TB sampai tuntas.9

Besar dan luasnya permasalahan akibat TB mengharuskan semua pihak untuk


dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan pencegahan dan
pengendalian TB. Kerugian yang diakibatkannya sangat besar, bukan hanya dari
aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial maupun ekonomi. Dengan
demikian TB merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, karenanya perang terhadap
TB berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan, dan kelemahan
akibat TB.

2
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Dari latar belakang diatas dapat diidentifikasi masalah yaitu bagaimana
pengetahuan, sikap, dan perilaku pasien Tuberkulosis Kategori II atau Multidrug-
Resistant (MDR) di Kelurahan Bintaro.

1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku pasien
Tuberkulosis Kategori II dan Multidrug-Resistant (MDR).

1.4 MANFAAT
Makalah ini diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan penilaian dan
evaluasi untuk program memberantas TB khususnya Kategori II dan MDR yang
ditargetkan selesai Tahun 2030 oleh Puskesmas Kelurahan Bintaro, Kecamatan
Pesanggarahan, Jakarta Selatan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI TUBERKULOSIS

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium Tuberkulosis. Penyakit infeksi ini ditandai dengan pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi, terutama paru-paru. Selain itu juga dapat
menyebar hampir ke seluruh bagian tubuh termasuk meningens, ginjal, tulang, nodus
limfe. 10

Kuman TB merupakan kuman intrasel yang hanya dapat diobati dengan


beberapa jenis obat khusus untuk TB, dalam jangka waktu pengobatan minimal 6
bulan dan diminum hingga tuntas, apabila terjadi kegagalan dalam pengobatan TB
maka dapat menyebabkan terjadinya resistensi kuman terhadap salah satu atau lebih
obat anti TB yang dikenal dengan kategori TB Resisten Obat. Kasus-kasus ini salah
satu kategorinya disebut sebagai TB MDR (Multi Drug Resistance) dan ada pula TB
XDR (Extensive Drug Resistance) 10.

2.2 EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS

Tuberkulosis sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat du dunia walaupun upaya penanggulangan TB telah
dilaksanakan di banyak Negara sejak tahun 1995. 11
Menurut laporan WHO (Worl d Health Organization) tahun 2015, ditingkat
global diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah
perempuan. Dengan 1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah
perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan
kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB RO
dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta
kasus TB Anak (dibawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun. 11
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan
100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus

4
TB dengan HIV positif (25% per-100.000 penduduk). Angka Notifikasi kasus (Case
Notification Rate/ CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000
penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus
baru. 11
Secara nasional jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang
berasal dari 1,9 kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB
dengan pengobatan ulang. 11
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dbandingkan dengan
tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada ahun 1990 sebesar >900 oer 100.000
penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. 11

2.3 PENULARAN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium Tuberkulosis).Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.12
Cara penularan :
- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jamdalam keadaan yang gelap dan lembab.
- Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan darah dalam sputum dan lamanya menghirup udara
tersebut.

5
Risiko penularan
- Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar dari pasien. TBparu dengan BTA negatif.
- Risiko penularan setiap tahunnyaditunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberkulosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)
orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
- ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
- Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif.12
Risiko menjadi sakit TB:
- Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
- Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100orang) akan menjadi
sakit TB setiap tahun.
- Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
- Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
- HIV merupakan factor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit
Orang dengan BTA (+) dapat menginfeksi hingga 10-15 orang lain melalui
kontak dekat selama setahun. Tanpa pengobatan yang tepat, dua pertiga orang
dengan sakit TB akan meninggal dunia. 12

2.4 PATOGENESIS TUBERKULOSIS

Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam


udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas 1 – 2 jam,
tergantung pada ada tidaknya sinar ultaviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban.
Dalam suasana lembab dan gelap, kuman apat tahan berhari – hari sampai berbulan –
bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada

6
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran
partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian
baru oleh makrofag. Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag keluar dari percabangan trankeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.12
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau afek primer atau sarang
(fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati
regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ
seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi
penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.12

Tuberkulosis Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan
menetap disana. Kuman akan menghadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian
baru makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau di bersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.10
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Di sini ia akan terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru berbentuk sarang tuberkulosa pneumonia kecil dan di
sebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. 12
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks
primer ini selanjutnya dapat menjadi: 12
i. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini banyak terjadi.
ii. Sembuh dengan sedikit meninggalkan bekas berpa garis-garis fibrosis,
kalsifikasi di hilus.

7
iii. Berkomplikasi dan menyebar secara : a). Per kontinuitatum, yakni menyebar
ke sekitarnya, b). Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun
sebelahnya, c). Secara limfogen, d). Secara hematogen. 12

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (apikal-posterior lobus superior
atau inferior) dan invasinya ke daerah parenkhim. 12
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. 12

2.5 DIAGNOSIS TUBERKULOSIS

Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan


klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. 12
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi: Keluhan yang disampaikan pasien, serta
wawancara rinci berdasar keluhan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala
dan tanda TB yang meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering
kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak
harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap

8
sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan
faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat
penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja
dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru. 11

2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP): a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat
dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana pasien
menjalani rawat inap. 11

2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB


Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan. 11

3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator
Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb). Pemeriksaan
tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Dalam menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji
dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung
terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem

9
transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang
membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut serta mengurangi
risiko penularan jika pasien bepergian langsung ke laboratorium. 11

b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya


1) Pemeriksaan foto toraks
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu. 11

c. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di
laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA),
dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional. d. Pemeriksaan
serologis Sampai saat ini belum direkomendasikan. 11

3. Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa


Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:
a. Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat tes cepat molekuler
b. Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak memiliki
akses ke tes cepat molekuker. 11

10
Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa 11

11
Diagnosis TB Ekstra Paru
1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil
dari organ tubuh yang terkena.
3. Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan
kemungkinan TB Paru.
4. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstraparu dilakukan
dengan contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF) pada
kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah bening melalui
pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH (Fine Neddle Aspirate
Biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh uji
jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB jaringan lainnya. 11

Diagnosis TB Resisten Obat


MDR TB yaitu kasus dimana pasien TB resisten terhadap minimal 2
obat anti TB yang paling poten yaitu Isoniazid dan Rifampisin secara bersama-
sama atau disertai resisten terhadap obat anti TB lini pertama lainnya seperti
etambutol, streptomisin, dan pirazinamid. 11
Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga diawali
dengan penemuan pasien terduga TB-RO. 11
1) Terduga TB-RO
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap
OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riawayat satu
atau lebih dibawah ini:
a. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.

12
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit
selama 1 bulan.
d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan
pengobatan.
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1
dan 2.
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai
pengobatan/default).
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB-
RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan,
hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis
maupun klinis terhadap pemberian OAT, {pada penegakan diagnosis
awal tidak menggunakan TCM (Tes Cepat Molekuler) TB }
2) Pasien dengan risiko rendah TB-RO
Selain 9 kriteria diatas, kasus TB RO dapat juga dijumpai pada kasus TB
baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegaakkan diagnosis
dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. 11
Pada kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB
RR (Resisten Rifampisin), maka pemeriksaan TCM TB perlu dilakukan
sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya. 11
Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan
M.Tuberkulosis menggunakan metode standar yang tersedia di Indonesia
yaitu metode Tes Cepat Molekuler TB dan metode konvensional. Saat ini
metode Tes Cepat yang dapat digunakan adalah pemeriksaan molekular
dengan Tes cepat molekular TB (TCM) dan Line Probe Assay (LPA).
Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen
(LJ) dan MGIT.11

13
2.6 DEFINISI KASUS TUBERKULOSIS

Pasien dibedakan berdasarkan klasifikasi penyakitnya yang bertujuan


untuk: 11
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk Penanggulangan TB
4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologis dan riwayat pengobatan
5. Analisis kohort hasil pengobatan
6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik
dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.

Definisi kasus TB
Definisi kasus TB terdiri dari dua, yaitu;
a. Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis:
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh
uji biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini
adalah:
1) Pasien TB paru BTA positif
2) Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4) Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. Semua
pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat. 11

b. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis


Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara
bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan
diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok
pasien ini adalah: 11

14
1) Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
2) Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3) Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4) TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Pasien TB yang
terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis
positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. 11

Klasifikasi pasien TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut: 11
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
1) Tuberkulosis paru
Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Pasien
yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstraparu
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan
tulang. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada
paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus
diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium
Tuberkulosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TB terberat.

15
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB
Adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya
atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB
Adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau
lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan
hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up. (Klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
Adalah pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan


pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji Mycobacterium
Tuberkulosis terhadap OAT dan dapat berupa:
1) Mono resistan (TB MR)
Mycobacterium Tuberkulosisresistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
2) Poli resistan (TB PR)
Mycobacterium Tuberkulosisresistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

16
3) Multi drug resistan (TB MDR)
Mycobacterium Tuberkulosisresistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama
lainnya.
4) Extensive drug resistan (TB XDR):
Adalah TB MDR yang sekaligus juga Mycobacterium Tuberkulosis resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
5) Resistan Rifampisin (TB RR)
Mycobacterium Tuberkulosisresistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat molekuler) atau metode fenotip (konvensional).

2.7 PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU

Tujuan pengobatan TB adalah : 11


- Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
- Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
- Mencegah kekambuhan TB
- Mengurangi penularan TB kepada orang lain
- Mencegah perkembangan dan penularan kebal obat
WHO merekomendasikan kombinasi obat dosis tetap (KDT) untuk mengurangi
tuberkulosis kebal obat akibat monoterapi. Dengan KDT maka pasien tidak dapat
memilih obat yang diminum, jumlah butir obat yang harus diimnum lebih sedikit
sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien dan kesalahan resep oleh dokter
juga diperkecil karena berdasarkan berat badan. 11

17
Tabel 2.1 Dosis Rekomendasi obat antituberkulosis lini pertama untuk
dewasa 14

Pasien dengan kasus baru diasumsikan atau diketahui peka terhadap OAT kecuali
pasien yang tinggal di daerah prevalensi tinggi kebal isoniazid atau riwayat kontak
dengan pasien TB kebal obat, sehingga pada kasus seperti ini pasien sejak awal perlu
dilakukan uji peka obat untuk memastikan sebelum melakukan pengobatan. 11
Panduan 2RHZE (2 bulan fase intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, Etambutol) dilanjuti 4RH (4 bulan fase lanjutan terdiri dari Rifampisin
dan Isoniazid) merupakan panduan pengobatan pada pasien dengan TB paru kasus
baru yang disertai pengawasan ketat secara langsung untuk setiap dosis obat. 11
TB kebal obat ganda atau dikenal TB MDR menunjukan bahwa kuman TB kebal
minimal terhadap Isoniazid dan Rifampisin yaitu OAT terkuat. Pada kasus ini diobati
dengan OAT lini II atau obat cadangan yang efeknya tidak sekuat lini I. pengobatan
menjadi dua fase yaitu fase internsif merupakan obat suntik sekurang-kurangnya 8
bulan. Total lamanya pengobatan dengan panduan standar menurut WHO 2011
adalah minimal 20 bulan. 11

Penanganan Pasien TB – RO

Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) adalah suatu keadaan di mana kuman M.


Tuberkulosis sudah tidak dapat dibunuh dengan obat anti TB (OAT) lini pertama. 11

1. Prinsip Pengobatan TB-RO


Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB RO mengacu kepada
strategi DOTS.

18
a. Semua pasien yang sudah terbukti TB RO ataupun Resisten
Rifampisin berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. Tuberkulosis
baik dengan TCM TB maupun metode konvensional harus segera
dimulai pengobatan TB RO yang baku dan bermutu.
b. Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal
termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
c. Paduan OAT untuk pasien TB RO adalah paduan standar yang
mengandung OAT lini kedua dan lini pertama. Paduan OAT tersebut
dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M.
Tuberkulosis dengan paduan baru.
d. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR
serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan
oleh dokter dan atau TAK yang sudah dilatih, dengan masukan dari
tim terapik jika diperlukan
e. Inisiasi pengobatan TB RO dapat dimulai di Puskesmas yang telah
terlatih. Pemeriksaan laboratorium penunjang dapat dilakukan dengan
melakukan jejaring rujukan ke RS Rujukan.
f. Pada pasien TB MDR dengan penyulit yang tidak dapat ditangani di
Puskesmas, rujukan ke RS harus dilakukan.
g. Prinsip ambulatory, seperti halnya pengobatan TB non MDR. Hanya
pasien dengan kondisi dan atau komplikasi khusus yang memerlukan
rawat inap di RS atau fasyankes.
h. Pengawasan menelan obat dilakukan oleh petugas kesehatan di
fasyankes. Jika pemberian OAT MDR dilakukan di rumah pasien,
maka pengawasan menelan obat dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan/kader yang ditunjuk, atau oleh keluarga pasien dengan
sebelumnya sudah disepakati oleh petugas kesehatan dan pasien.
i. Pasien TB RO yang memulai pengobatan TB MDR di RS Rujukan
dapat dilanjutkan pengobatannya di Puskesmas/fasyankes terdekar
dengan tempat tinggal pasien. Proses desentralisasi (perpindahan)
pasien dari RS Rujukan ke Puskesmas/fasyankes dilakukan dengan
persiapan sebelumnya.

19
Pada prinsipnya semua pasien TB RO harus mendapatkan pengobatan dengan
mempertimbangkan kondisi klinis awal. Tidak ada kriteria klinis tertentu
yang menyebabkan pasien TB RO harus dieksklusi dari pengobatan atau
tidak dapat mendapatkan penanganan. Kondisi pada tabel dibawah adalah
kondisi khusus yang harus diperhatikan oleh semua faskes yang menangani
pasien TB RO, terutama oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RO. 11

Tabel 2.2. Pasien TB Resisten Obat dengan kondisi khusus 11

Penyakit penyerta yang berat (ginjal, hati, Kondisi berat karena penyakit utama atas
epilepsi dan psikosis). dasar riwayat dan pemeriksaan
laboratorium.
Kelianan fungsi hati Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai
normal atau terbukti menderita penyakit
hati kronik.
Kelainan fungsi ginjal. Kadar kreatinin >2,2 mg/dl.

Ibu hamil Wanita dalam keadaan hamil

Pada kasus seperti diatas, pasien sebaiknya dirujuk ke RS Rujukan TB MDR


untuk memulai pengobatan di RS Rujukan.

Pengobatan pasien TB Resisten Obat menggunakan paduan OAT Resisten


Obat yang terdiri dari OAT lini ke dua dan lini pertama, yaitu : 11

a. Paduan pengobatan TB Resisten Obat standar konvensional (20-26 bulan)


Pilihan paduan OAT Resisten Obat saat ini adalah paduan standar,
yang permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB
Resisten Obat.
1) Paduan standar yang diberikan adalah :

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H)

20
2) Paduan standar diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR
secara laboratoris (hasil tes cepat atau metode konvensional)
3) Pengobatan dengaa standar dapat dimulai berdasarkan hasil Tes cepat
molukuler TB yang menyatakan TB RR.
4) Bila ada riwayat penggunaan paduan OAT yang dicurigai telah ada
resistansi, misalnya pasien sudah pernah mendapat fluorokuinolon pada
pengobatan TB sebelumnya makan diberikan Levofloksasin dosis tinggi
atau Moksifloksasin. Sedangkan pada pasien yang sudah mendapatkan
Kanamisin sebelumnya makan diberikan Kapreomisin sebagai bagian
dari paduan OAT standar yang diberikan
5) Paduan OAT Resisten Obat standar tersebut di atas akan disesuaikan
paduan atau dosisnya jika :
a) Terdapat bukti tambahan resistansi terhadap OAT lainnya
berdasarkan hasil uji kepekaan konvensional untuk OAT lini
pertama dan lini kedua
b) Terjadi efek samping berat dan obat penyebab sudah diketahui, maka
obat bisa diganti bila tersedia obat pengganti atau dihentikan,
contoh:
(1) Apabila pasien mengalami efek samping karena Sikloserin
misalnya muncul gangguan kejiwaan maka Sikloserin dapat
diganti dengan PAS.
(2) Apabila pasien mengalami gangguan pendengaran karena
Kanamisin, maka Kanamisin dapat diganti dengan Kapreomisin.
(3) Apabila pasien mengalami gangguan penglihatan disebabkan
oleh Ethambutol maka pemeberian Ethambutol bisa dihentikan.
c) Dosis atau frekuensi disesuaikan bila :
(1) Terjadi perubahan kelompok berat badan
(2) Terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia

b. Paduan pengobatan TB RO jangka pendek (9-11 bulan)


Paduan pengobatan 9 bulan terdiri dari :

4- 6 Km – Mfx – Pto – H – Cfx – E – Z / 5 Mfx – Cfx – E – Z

21
Paduan ini diindikasikan untuk pasien yang diperikirakan tidak
resistan terhadap Fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua berdasarkan
riwayat pengobatan dan atau hasil uji kepekaan obat baik molekuler maupun
fenotipik. Pasien yang terbukti resistan atau kemungkinan resistan terhadap
FQ dan/atau obat injeksi lini kedua atau memiliki kontraindikasi penggunaan
paduan pengobatan 9 bulan akan diberikan paduan pengobatan sesuai dengan
tipe resistansinya.

Pasien akan mendapatkan terapi selama 9-11 bulan, tergantung durasi


fase intensif dan selanjutnya dimonitor selama minimal 12 bulan.
c. Paduan pengobatan TB RO individual
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin (TB pre-XDR), maka
paduan standar adalah sebagai berikut :

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon (TB pre-XDR),


maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) – (H) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) – (H)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon


(TB XDR), maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) – (H) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) – (H)

4) Saat ini program telah menyediakan OAT grup-5 (Bedaquiline,


Linezolide, Clofazimin) dalam jumlah dan pemakaian terbatas untuk uji
pendahuluan dan akan dikembangkan.
Sementara ini ketersediaan OAT grup-5 yaitu Bedaquiline, Linezolide,
Clofazimin khusus diperuntukkan bagi :
1) Alternatif paduan bagi pasien TB XDR dimana semua obat injeksi lini
dua dan kuinolon cadangan sudah pernah dipakai.
Eto – Cs – PAS – Z – (E) – Bdg – Lnz – Cfz /Eto – Cs – PAS

22
2) Pasien TB Pre XDR resistan kuinolon tetapi sensitif dengan obat
injeksi lini kedua

Km – Eto – Cs – PAS – Z – (E) – Bdg / Eto – Cs – PAS – Z – (E)

3) Pasien TB Pre XDR resistan obat injeksi lini kedua tetapi sensitif
dengan kuinolon

Lfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) –Bdg / Lfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)

4) Pasien dengan alergi atau efek samping berat terhadap 2 atau lebih
dari obat bakteriostatik oral lini kedua (Grup 4) sedangkan injeksi lini
kedua dan golongan kuinolon masih bisa dipakai

Km – Lfx – (Eto/Cs/PAS) – Z – (E) –Bdg – (Lnz/ Cfz) / Lfx – Eto/Cs/PAS – Z – (E) –


(Lnz/Cfz)

5) Penggunaan Obat Delamanid dan obat/paduan baru untuk TB MDR


mengikuti pedoman nasional.

Dosis OAT Resistan Obat

Dosis OAT Resistan Obat ditetapkan oleh TAK di faskes rujukan dan oleh
dokter yang sudah dilatih di faskes MTPTRO, penetapan dosis berdasarkan
kelompok berat badan pasien. 11

Tabel 2.3. Perhitungan dosis OAT Resistan Obat 11

Berat badan (BB) > 30 kg


OAT Dosis Harian 30-35 36-45 kg 46-55 kg 56-70 kg > 70 kg
kg
Kanamisin 15 – 20 500 mg 625 – 875 - 1000 mg 1000 mg
mg/kg/hari 750 mg 1000 mg
Kapreomisin 15 – 20 500 mg 600 – 750 – 1000 mg 1000 mg
mg/kg/hari 750 mg 800 mg
Pirazinamid 20 -30 800 mg 1000 mg 1200 mg 1600 mg 2000 mg

23
mg/kg/hari
Etambutol 15 – 25 600 mg 800 mg 1000 mg 1200 mg 1200 mg
mg/kg/hari
Isoniazid 4–6 150 mg 200 mg 300 mg 300 mg 300 mg
mg/kg/hari
Levofloksasin 750 mg/hari 750 mg 750 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
(dosis standar)
Levofloksasin 1000 mg/hari 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg
(dosis tinggi)
Moksifloksasin 400 mg/hari 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
Sikloserina 500 – 750 mg/ 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
hari
Etionamida 500 – 750 mg/ 500 mg 500 mg 750 mg 750 mg 1000 mg
hari
Asam PASa 8 g/hari 8g 8g 8g 8g 8g
Sodium PASa 8 g/hari 8g 8g 8g 8g 8g
Bedaquilina 400 mg/hari 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg 400 mg
Linezolid 600 mg/hari 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg 600 mg
Klofazimina 200 – 300 200 mg 200 mg 200 mg 300 mg 300 mg
mg/kg/hari

Keterangan :

a. Sikloserin, Etionamid, dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi
untuk mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam
dosis terbagi direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART
b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS dan bisa
diberikan dalam dosis terbagi. Mengingat sediaan sodium PAS bervariasi
dalam hal persentase kandungan aktif per berat (w/w) maka perhitungan
khusus harus dilakukan. Misal sodium PAS dengan w/w 60% dengan
berat per sachet 4 gr akan memiliki kandungan aktif seberat 2,4 gr

24
c. Bedaquilin diberikan 400 mg/hari dosis tunggal selama 2 minggu,
dilanjutkan dengan dosis 200 mg intermitter 3 kali per minggu diberikan
selama 22 minggu (minggu 3-24). Pada minggu ke 25 pemberian
Bedaquilin dihentikan.
d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal
selama 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari.

Lama dan cara pemberian pengobatan TB Resistan Obat standar konvensional

a. Lama pengobatan pasien TB Resisten obat adalah :


1) Pasien baru/belum pernah diobati dengan pengobatan TB RR/ RO
a) Lama pengobatan adalah 18 bulan setelah konversi biakan
b) Lama pengobatan paling sedikit 20 bulan
2) Pasien sudah pernah diobati dengan pengobatan TB RR/RO atau
pasien XDR:
a) Lama pengobatan adalah 22 bulan setelah konversi biakan
b) Lama pengobatan paling sedikit 24 bulan
b. Pengobatan dibagi menjadi dua tahap, yaitu :
1) Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat oral
dan obat suntikan kanamisin atau kapreomisin
a) Pasien baru:
(1) Lama tahap awal adalah 4 bulan setelah terjadi konversi
biakan
(2) Diberikan sekurang-kurangnya selama 8 bulan
b) Pasien sudah pernah diobati atau pasien TB XDR
1. Lama tahap awal adalah 10 bulan setelah terjadi konversi
biakan
2. Diberikan sekurang-kurangnya selama 12 bulan

Tabel 2.4. Lama Pengobatan

Tipe Bulan Lama tahap Lama Lama tahap


pasien konversi awal (a) pengobatan (b) lanjutan (b-a)
Baru1 Bulan 0-2 8 bulan 20 bulan 12 bulan

25
Bulan 3-4 8 bulan Tambah 18 13-14 bulan
bulan dari
bulan konversi
Bulan 5-8 Tambah 4 Tambah 18 12 bulan
bulan dari bulan dari
bulan bulan konversi
konversi
Pernah Bulan 0-2 12 bulan 24 bulan 12 bulan
diobati Bulan 3-4 Tambah 13 Tambah 22 12 bulan
atau TB bulan dari bulan dari
2
XDR bulan bulan konversi
konversi
Bulan 5-8 Tambah 10 Tambah 22 12 bulan
bulan dari bulan dari
bulan bulan konversi
konversi
Keterangan :

a. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah diobati atau pernah diobati
dengan paduan OAT Resistan Obat kurang dari satu bulan
b. Pasien yang pernah diobati adalah pasien yang pernah diobati dengan
paduan OAT Resistan Obat lebih dari satu bulan

2) Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai pengobatan


tahap awal dan pemberian suntikan dihentikan
a) Pasien Baru: Lama tahap lanjutan adalah 12-14 bulan
b) Pasien pernah diobati TB RR/RO atau pasien TB XDR : Lama
tahap lanjutan adalah 12 bulan
c) Satuan bukan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis yang
diberikan, bukan bulan kalender. Satu bulan pengobatan adalah
bila paien mendapatkan 28 dosis pengobatan (1 bulan = 4
minggu = 28 hari).

26
d) Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan
tahap lanjutan menganut prinsio DOT = Directly Observed
Treatment dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan
selama tahap awal, sedang pada tahap lanjutan dapat juga
dilaksanakan oleh kader kesehatan terlatih.
e) Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan
f) Cara pemberian obat :
1. Tahap awal:
a. Suntikan diberikan 5 kali seminggu (Senin–Jumat)
b. Obat per oral diberikan 7 kali seminggu (Senin–
Minggu)
c. Jumlah obat oral yang diberikan dan dosis minimal 224
dosis dan suntikan minimal 160 dosis
2. Tahap lanjutan
a. Obat per oral diberikan 7 kali dalam seminggu (Senin–
Minggu)
b. Obat suntikan sudah tidak diberikan pada tahap ini
c. Jumlah dosis oral yang diberikan dan ditelan minimal
336 dosis
g) Pada pengobatan TB Resistan Obat dimungkinkan terjadinya
pemberian obat dengan dosis naik bertahap (ramping
dose/incremental dose) yang bertujuan untuk meminimalisasi
kejadian efek samping obat. Tanggal pertama pengobatan
adalah hari pertama pasien bisa mendapatkan obat dengan dosis
penuh. Lama pemberian ramping dose tidak lebih dari 1 (satu)
minggu.
h) Piridoksin (vit B6) ditambahkan pada pasien yang mendapatkan
sikloserin dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin
i) Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol dan
fluoroquinolon diberikan sebagai dosis tunggal. Sedangkan
etionamid, sikloserin, dan PAS (obat golongan 4) dapat
diberikan sebagai dosis terbagi untuk mengurangi efek samping

27
jika terjadi efek samping yang berat atau pada kasus TB
RO/HIV.
j) Pada saat memulai pengobatan, penulisan paduan standar obat
TB Resistan untuk tujuan peresepan adalah sebagai berikut :
1. Paduan standar TB Resistan Obat untuk pasien baru :

8 Km5 – Lfx7 – Eto7 – Cs7 – Z7 – (E)7 –(H)7 – / 12 Lfx7 – Eto7 –


Cs7 – Z7 – (E)7 – (H)7

2. Paduan standar untuk pasien yang pernah diobati TB


Resistan Obat
12 Km5 – Lfx7 – Eto7 – Cs7 – Z7 – (E)7 –(H)7 – / 12 Lfx7 – Eto7 –
Cs7 – Z7 – (E)7 – (H)7

Keterangan :

 Angka di depan obat menunjukkan jumlah bulan


 Angka di belakang bawah obat menunjukkan hari pemberian per
minggu
 Tanda slash (/) untuk membedakan tahap pengobatan
 Tanda kurung () menunjukkan obat dapat diberikan atau tidak
sesuai ketentuan

*Catatan : Angka bulan nantinya akan menyesuaikan dengan bulan


konversi biakan.

Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB RO

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara


klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel 18 berikut. 11
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk
menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala
TB berupa batuk, berdahak, demam dan BB menurun, pada umumnya membaik
dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan
indikator respons pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2

28
kali beruntut dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif yang
semula biakkan positif. 11

29
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS

Nama : Tn. K
TTL / Umur : Jakarta, 21 Mei 1969 / 49 tahun
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Alamat : Jl. MKJ III RT 2/5
Jenis kelamin : Laki - laki
Suku Bangsa : Suku Jawa
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMK

3.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2018 di kediaman Tn. S secara


autoanamnesis dengan Tn. K pukul 17.00 WIB

3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang

Pada bulan Juni 2017, pasien mengeluh batuk kurang lebih 1 bulan.
Sebelumnya pasien hanya mengonsumsi obat warung untuk mengatasi keluhan
tersebut namun tidak kunjung sembuh. Keluhan tambahan lainnya berupa berat
badan menurun 2 kg selama 1 bulan. Gejala lain seperti meriang atau demam yang
lebih dirasakan pada malam hari, tidak nafsu makan dan keringat malam hari juga
dirasakan. Satu hari sebelum pasien datang ke Puskesmas, pasien mengaku
mengalami batuk yang mengeluarkan darah. Seminggu kemudian pasien
memeriksakan diri ke Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan lalu diperiksakan dahak,
labaratorium darah dan uji resistensi obat di RS Mampang.
Pasien terdiagnosis TB Paru MDR (Multi Drug Resistant). Pasien memulai
pengobatan pada tanggal 22 Juni 2017 dan dimulai dengan penyuntikan dan

30
meminum obat selama 8 bulan lamanya. Hingga saat ini pasien sudah memasuki
pengobatan bulan ke 14.

3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan ini merupakan keluhan yang pertama kali pasien alami, dan pasien
belum pernah mengonsumsi atau mendapat pengobatan TB sebelumnya.
Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, diabetes melitus, asma, alergi
terhadap makanan atau obat disangkal pasien. Pasien juga belum pernah di rawat di
RS sebelumnya.

3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang serupa seperti
pasien. Orang tua pasien yaitu Ayah memiliki riwayat penyakit hipertensi. Riwayat
penyakit lain seperti diabetes melitus, asma, alergi terhadap makanan atau obat pada
keluarga disangkal pasien.

3.2.4 Riwayat Pengobatan

Pasien sebelumnya hanya mengobati keluhannya dengan obat warung. Tidak


ada obat-obatan yang rutin di konsumsi pasien.

3.2.5 Riwayat Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan merokok dan menghabiskan satu bungkus rokok


perharinya. Namun semenjak memiliki keluhan batuk berdarah, pasien sudah
menghentikan kebiasaan merokoknya.

3.2.6 Riwayat Lingkungan

Pasien tinggal di lingkungan rumah yang padat penduduk, dimana jarak antar
rumah saling berdekatan. Ventilasi rumah kurang dan cahaya matahari kurang dapat
masuk dikarenakan pintu dan jendela hanya berada di bagian depan rumah. Menurut
pengetahuan pasien tidak ada tetangga yang memiliki keluhan yang sama.

31
Pasien bekerja sebagai kuli bangunan. Teman pasien memang ada yang
mengeluhkan keluhan serupa berupa batuk lama, namun pasien kurang mengetahui
apakah teman pasien sedang menjalani terapi atau tidak.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan dilakukan pada hari Selasa, 28 Agustus 2018 pukul 17.00 WIB
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : Tekanan darah = 110/70 mmHg
Nadi = 90 x/menit, equal, isi cukup, reguler
Suhu = 36.5 0C
Laju Pernafasan = 20 x/menit

Antropometri : Berat badan : 52 kg


Tinggi badan : 155 cm
BMI : 21,64 (Normoweight)

Kulit : Sawo matang, ikterik (-), tampak beberapa bagian


menghitam dan kering
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Wajah : Simetris
Mata : Pupil bulat isokor +/+, edema palpebra -/-,
conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, normosepta, gangguan pendengaran (-/-) bentuk
telinga normal simetris kanan dan kiri
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-
Mulut : Bibir lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), T1/T1
Leher : Simetris, tidak ada deviasi trakea, tidak teraba pembesaran
KGB, JVP tidak meningkat.
Thoraks :
Paru : I = Normochest, retraksi -/-, sela iga tidak melebar
P = Fremitus taktil dan fremitus vokal simetris kanan dan
kiri, tidak ada massa pada lapang paru

32
P = Sonor pada kedua lapang paru
A = Rhonki -/-, whezzing -/-, vesikuler +/+
Jantung : I = Iktus cordis tidak tampak
P = Iktus cordis teraba, tidak kuat angkat
P = Batas kanan jantung ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis sinistra
Pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra
A = BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
Abdomen : I = cembung, sikatriks (-), asites (-), spider nevi (-)
A = Bising usus (+) normal
P = Supel, hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
P = Timpani pada seluruh lapang abdomen.
Ekstremitas : Akral hangat, pucat, edema piting seluruh tubuh, CRT < 2
detik

33
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Gen Expert

34
 Pemeriksaan Rontgen Paru

Hasil foto rontgen tanggal 15 Juni 2017 di RS Mampang

35
Hasil ekspertise foto thorax menggambarkan kesan TB paru dan tampak tanda-tanda
Emfisema paru (PPOK).

36
3.5 DIAGNOSIS

Tuberkulosis MDR

3.6 PENATALAKSANAAN

 Non Farmakologis
 Edukasi pasien tentang penyakit, pengobatan, komplikasi penyakit TB
paru
 Minum obat secara teratur dan jangan sampai putus obat
 Mengajarkan cara batuk yang benar dan mengedukasi untuk memakai
masker
 Mengedukasi agar keluarga yang kontak dengan pasien di periksakan
juga
 Farmakologis
Pasien mendapat paduan standar pengobatan TB MDR yaitu
 Kanamisin 1 gram injeksi (selama 8 bulan)
 Levofloksasin 1000 mg
 Etionamid 750 mg
 Cycloserine 750 mg
 Ethambutol 1000mg
 B6 100 mg
 Pirazinamid 1000mg
 Allopurinol 2 x 300mg

3.7 PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia

37
38
39
40
41
42
43
44
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tuberkulosis merupakan masalah global kesehatan. Penyakit ini merupakan


penyakit infeksi kedua yang menyebabkan kematian di seluruh dunia setelah
penyakit HIV. Kasus TB MDR itu sendiri terus meningkat, dan beberapa terdapat di
wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Bintaro. Penatalaksanaan klinis MDR TB lebih
rumit dibandingkan dengan TB sensitif karena menggunakan obat anti-TB lini I dan
lini II, sehingga menyebabkan permasalahan toleransi dan efek samping.13

Selain penatalaksanaan dengan farmakologi, kepatuhan pasien merupakan


salah satu kunci keberhasilan dari terapi tuberkulosis. Identifikasi kepatuhan pasien
tuberkulosis perlu dilakukan sehingga dapat dilakukan intervensi lebih lanjut apabila
terdapat kemungkinan ketidakpatuhan dalam berobat.13

Pada penelitian ini kepatuhan pasien diukur menggunakan kuisioner Modified


Morisky Scale (MMS), yang merupakan bagian dari Case Managament Adherence
Guidelines (CMAG). CMAG dirancang untuk mengidentifikasi motivasi dan
pengetahuan pasien yang mungkin dapat menjadi hambatan pada kepatuhan berobat
pasien. Setelah melakukan penilaian terhadap motivasi dan pengetahuan pasien
selanjutnya hasil penilaian akan diterjemahkan ke dalam empat kuadran “Adherence
Intention” untuk mengetahui kepatuhan pasien.14

45
Berdasarkan data dari instrumen kuesioner MMS yang dikerjakan oleh
responden, didapatkan bahwa tingkat pengetahuan pasien ini termasuk dalam
kategori tinggi. Indikator pengetahuan dalam kuesioner MMS ini dapat dilihat dari
total nilai pertanyaan nomor 3,4, dan 5. Pada pasien ini didapatkan total nilai
pengetahuan adalah 3, dimana nilai > 1 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan
pasien tinggi mengenai pengobatan serta bagaimana sikap pasien dalam memberikan
respon terhadap perkembangan pengobatannya. Sedangkan untuk indikator motivasi
pasien dapat dilihat dari total nilai pertanyaan nomor 1,2, dan 6. Pada pasien ini
didapatkan total nilai 3, dimana nilai 2-3 menunjukkan bahwa pasien memiliki
motivasi yang tinggi.14

Tingkat kepatuhan pasien diidentifikasi ke dalam kuadran tingkat kepatuhan


yang dilihat dari domain pengetahuan dan motivasi yang dibedakan menjadi 4
kelompok, yaitu kuadran I, kuadran II, kuadran III, dan kuadran IV. Kuadran I
sampai dengan kuadran IV menggambarkan tingkat kepatuhan pasien. Kuadran I
menggambarkan pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah. Kuadran II dan III
dengan salah satu domain yang rendah menunjukan bahwa pasien memiliki
kepatuhan yang tidak tetap atau berubah ubah. Kuadran IV dengan motivasi dan
pengetahuan tinggi menunjukan bahwa pasien patuh dalam pengobatan.14

Berdasarkan hasil wawancara yang dikembangkan dari pertanyaan MMS,


didapatkan bahwa pasien memiliki tingkat pengetahuan dan motivasi yang tinggi
akan penyakitnya, ditambah dengan adanya dukungan dari dokter atau tenaga
kesehatan serta peran istri sebagai PMO menjadikan pasien patuh dalam menjalani
pengobatan untuk penyakitnya ini.

46
BAB V

KESIMPULAN

Pasien pada penelitian ini adalah Tn. K usia 49 tahun. Diagnosis Tuberkulosis
MDR Tn. K didasari oleh anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis di dapatkan batuk berdahak >1 bulan, adanya batuk darah, meriang
yang terutama diarasakan malam hari, keringat malam, nafsu makan berkurang dan
penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan auskultasi paru
ditemukan ronki basah kasar pada kedua paru. Pada pemeriksaan penunjang berupa
foto rontgen thorax didapatkan adanya gambaran TB paru dan PPOK. Hasil
pemeriksaan dahak BTA (+), dan dari hasil pemeriksaan Gen Expert pasien
ditemukan TB MDR. Terapi pada Tn. K berdasarkan pedoman penanggulangan
tuberkulosis oleh Kemenkes yaitu Paduan standar untuk Tuberkulosis MDR yang
terdiri dari :

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E) – (H)

Dari hasil analisis pengisian kuesioner dan wawancara pada pasien diketahui
Tn. K memiliki kesadaran yang baik untuk melakukan pengobatan secara teratur dan
disiplin. Tn. K juga mendapatkan dukungan yang baik dari keluarga maupun dari
petugas kesehatan sehingga Tn. K memiliki kepatuhan yang tinggi dalam menjalani
pengobatannya dan memiliki motivasi untuk sembuh. Dapat disimpulkan bahwa Tn.
K memiliki pengetahuan dan motivasi yang tinggi sehingga pasien memiliki
kepatuhan yang tinggi dalam menjalani pengobatannya.

47
LAMPIRAN

Pemeriksaan Fisik pada Tn. K di Puskesmas Kelurahan Bintaro

Tn.K saat ditemui di kediamaannya tanggal 28 Agustus 2018

48
Kediaman Tn. K saat dilakukan kunjungan tanggal 28 Agustus 2018

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar, R. Warganegara, E. Lelaki 50 Tahun dengan Tuberkulosis Paru.


Jurnal Medula Unila. 2016:5(2). hal. 75-80
2. Indonesia Peringkat Kedua TBC di Dunia, Waspadai Gejalanya. Available at
: https://sains.kompas.com/read/2018/01/17/070700923/indonesia-peringkat-
kedua-tbc-di-dunia-waspadai-gejalanya.
3. Peduli TBC Indonesia. Available at :
http://www.depkes.go.id/article/view/18032100002/peduli-tbc-indonesia-
sehat.html
4. DKI Jakarta Bebas TBC. Available at :
http://jakarta.bisnis.com/read/20180514/77/794912/dinkes-dki-jakarta-bebas-
tbc-pada-2030
5. Anies Ingin DKI Jakarta jadi Provinsi Pertama yang Bebas Tuberkulosis.
Available at
: https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/14/14491771/anies-ingin-
dki-jakarta-jadi-provinsi-pertama-yang-bebas-tuberkulosis.
6. Tuberkulosis. Available at :
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2
02013.pdf
7. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. 2016. Available at :
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVIN
SI_2016/11_DKI_Jakarta_2016.pdf
8. Mulyadi, RR. Syahruddin, E. Hubungan Sikap dengan Prevalensi Masalah
Kesehatan Respirasi pada Masyarakat Perumahan di Kelurahan Bintaro.
FKUI. 2014
9. Cara Terbaik Mencegah TB Resisten Obat adalah Promosi Pengobatan TB
dengan TOSS TB. Available at :
http://www.depkes.go.id/article/view/17032300001/cara-terbaik-mencegah-
tb-resistan-obat-adalah-promosi-pengobatan-tb-dengan-toss-tb.html

10. Rye A, Saleh YD, Hadiwijoyo Y. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Penemuan Penderita TB Paru di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Berita
Kedokteran Masyarakat. 2009; 25(4): 189-94.

50
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia NO.67 Tahun 2016 Tentang Penangulangan
Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2017. 60-103
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI. 2013. Available at:
th
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. Accessed on 6 Desember
2015
13. Reviano P., et al. Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan
Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis.
Majalah Kedokteran Bandung. 2014; 46(4): 189-196
14. Dinnya A. Evaluasi Kepatuhan Penggunaan Obat Tuberkulosis Serta Faktor
Yang Berpengaruh Pada Kepatuhan Pasien Tuberkulosis di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Bantul Periode Desember 2016-Februari 2017
[skripsi]. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; 2017

51

You might also like