You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan mengenai farmakokinetik farmakodinamik dan efek samping
dari obat otonom!
2. Buatlah skema mekanisme obat otonom terhadap target organ!
3. Berikan nama contoh obat-obat otonom yang sering dipakai di rumah
sakit dan masyarakat!

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah:
1. Tujuan umum
Untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah Ilmu Dasar
Keperawatan II (IDK II)
2. Tujuan khusus
Untuk mengatahui dan memahami materi tentang farmakokinetik,
farmakodinamik, efek samping obat otonom, serta nama obat-obat
yang biasa dipakai di rumah sakit dan masyarakat

D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kami memperoleh materi dari beberapa
sumber yaitu buku dan sumber dari internet yang terkait dengan materi
farmakologi obat otonom

E. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab I meliputi latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisn, metode penulisan,
dan sistematik penulisan. Bab II pembahasan tentang materi farmakologi

1
obat otonom dan skema mekanisme obat otonom terhadap target organ,
contoh nama obat yang biasa dipakai di rumah sakit dan masyarakat. Bab
terakhir yaitu bab III terdiri dari kesimpulan dan saran.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Farmakokinetik dan Farmakodinamik


1. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari tentang konsentrasi
obat selama proses penyerapan, pengedaran obat ke seluruh tubuh, dan
eliminasi obat dari tubuh pasien. Sekitar 80% dari semua obat diberikan
melalui mulut dan dialirkan melalui saluran pencernaan ke dalam usus
kecil di mana membran usus menyerap partikel-partikel obat ke dalam
aliran darah, untuk kemudian diedarkan ke seluruh tubuh. Molekul-
molekul obat kemudian menuju target aksi obat tersebut dalam plasma,
tapi terkadang proses ini dapat menjadi terbatas karena molekul-molekul
obat tersebut harus masuk ke bagian dalam sel atau kompartemen tubuh
melalui membran sel. Membran ini bisa berada di kulit, saluran
pencernaan, atau target aksi obat. Partikel obat kemudian menempel di
reseptor dan menghasilkan efek terapeutik.
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian
umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai
di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau
biotransformasi atau metabolisme, obat diekskresi dari dalam tubuh.

a. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat
pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya,
tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum),
kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara
pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama
adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat
luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm,
disertai dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan, 2009).

3
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dala
m tubuh, melalui jalurnya hingga masuk kedalam sirkulasi sistemik.
Pada level sleuler, obat diabsorpsi melalui beberapa metode terutama
transport aktif dan transport pasif. Metode absorpsi:
1) Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan
proses difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar
konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah.
Transport aktif terjadi selama molekul-molekul kecil dapat
berdifusi sepanjang membran dan berhenti bila konsentrasi pada
kedua sisi membrane seimbang.
2) Transport aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat
dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan
konsentrasi obat tinggi.
3) Kecepatan absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya
sedikit sel. Absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai
level pengobatan dalam tubuh.
a) Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
b) Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
c) Lambat sekali, berjam-jam/berhari-hari: per rektal/sustained
frelease.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan
a) Aliran darah ke tempat absorpsi
b) Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
c) Waktu kontak permukaan absorpsi
d) Kecepatan absorpsi
e) Diperlambat oleh nyeri dan stress
f) Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi
pergerakan saluran cerna, retensi gaster.

4
g) Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat
pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorpsi
obat.
h) Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan,
sustained release, dan lain-lain.
i) Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan
atau memperlambat tergantung jenis obat.
Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar
sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak
obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek
first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi
inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi
sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.

b. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sis
temik ke jaringan dan cairan tubuh. Setelah diabsorpsi, obat akan
didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain
tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh
sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase
berdasarkan penyebarannya didalam tubuh. Distribusi fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya
sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya,
distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit,
dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan
setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan
terjadi cepat karena celah antarsel endotel kapiler mampu

5
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang
mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan
terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam
lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya
terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh
ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan
protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar
obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein
akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya difisiensi
protein.
Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransport
secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan komponen
intrasel yaitu protein, fosfolipid, atau nucleoprotein. Misalnya pada
penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk dalam sel hati.
Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoir yang penting untuk
obat larut lemak, misalnya thiopental. Protein plasma juga
merupakan reservoir obat. Obat yang bersifat asam terutama terikat
pada albumin plasma, sedangkan obat yang bersifat basa pada
asam α1-glikoprotein. Tulang dapat menjadi reservoir untuk logam
misalnya timbal (Pb) atau radium. Cairan transeluler misalnya
asam lambung, berlaku sebagai reservoir untuk obat yang bersifat
basa lemah akibat perbedaan pH yang besar antara darah dan cairan
lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai reservoir untuk obat
oral yang diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan
lepas lambat. Obat yang terakumulasi ini berada dalam
keeimbangan dengan obat dalam plasma dan akan dilepaskan
sewaktu kadar plasma menurun, maka adanya reservoir ini dapat
memperpanjang kerja obat.
Redistribusi obat dari tempat kerjanya ke jaringan lain
merupakan salah satu faktor yang dapat menghentikan kerja obat.

6
Fenomena ini hanya terjadi pada obat yang sangat larut lemak,
misalnya thiopental. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi,
maka setelah disuntikkan IV, obat ini segera mencapai kadar
maksimal dalam otak. Tetapi karena kadar dalam plasma dengan
cepat menurun akibat difusi ke jaringan lain, maka thiopental
dalam otak juga secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma
untuk selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain.
Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat harus
menembus sawar khusus yang dikenal sebagai sawar darah otak.
Endotel kapiler otak tidak mempunyai celah antarsel maupun
vesikel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat (tight
junction). Di samping itu, terdapat sel glia yang mengelilingi
kapiler otak ini. Dengan demikian, obat tidak hanya harus melintasi
endotel kapiler tetapi juga membran sel glia perikapiler untuk
mencapai cairan interstisial jaringan otak. Karena itu, kemampuan
obat untuk menembus sawar darah-otak hanya ditentukan oleh, dan
sebanding dengan, kelarutan bentuk non-ion dalam lemak. Obat
yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion,
misalnya ammonium kuaterner atau penisilin, dalam keadaan
normal tidak dapat masuk ke otak dari darah. Penisilin dosis besar
sekali dapat masuk ke otak, tetapi penisilin dosis terapi hanya dapat
masuk ke otak bila terdapat radang selaput otak, karena
permeabilitas meningkat di tempat radang. Eliminasi obat dari otak
kembali ke darah terjadi melaui 3 cara, yakni (1) secara transport
aktif melalui epitel pleksus koroid dari cairan serebrospinal (CSS)
ke kapiler darah untuk ion-ion organik, misalnya penisilin; (2)
secara difusi pasif lewat sawar darah-otak dan sawar darah-CSS di
pleksus koroid untuk obat yang larut lemak; dan (3) ikut bersama
aliran CSS melalui vili araknoid ke sinus vena untuk semua obat
dan metabolin endogen, larut lemak maupun tidak, ukuran kecil
maupun besar.

7
Sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin terdiri
dari sel epitel vili dan sel endotel kapiler janin; jadi, tidak berbeda
dengan sawar saluran cerna. Karena itu, semua obat oral yang
diterim ibu akan masuk ke sirkulasi janin. Distribusi obat dalam
tubuh janin mencapai keseimbangan dengan darah ibu dalam waktu
paling cepat 40 menit.

c. Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh
merubah komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk
dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui
beberapa cara:
1) Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
2) Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri
dan bisa dimetabolisme lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian
setelah dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme
obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmik
retikulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang
lain (ekstrahepatik) adalah dinding usus, ginjal, paru, darah, otak,
dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat
diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Kondisi Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1) khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme,
penyakit hepar seperti sirosis.

8
2) Pengaruh gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat
memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain
lambat.
3) Pengaruh lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme,
contohnya: Rokok, keadaan stress, penyakit lama, operasi,
cedera.
4) Usia
5) Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs
dewasa vs orang tua.

d. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh.
Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui
urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat,
ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif
merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di
tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12
bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat
yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan
keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk
eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009).
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik:
1) Waktu paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah
dari obat dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi

9
waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi. Waktu
paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat
harus diberikan.
2) Onset, puncak, dan durasi
a) Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga obat
terasa kerjanya. Sangat tergantung rute pemberian dan
farmakokinetik obat
b) Puncak, setelah tubuh menyerap semakin banyak obat
maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat,
c) Durasi, durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu
efek terapi.

2. Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan
mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik
mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam
sintesis obat baru.
a. Mekanisme kerja obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan
reseptor pada sel suatu organisme. Reaksi obat dengan reseptornya
ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang
merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat
merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup dua
konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini
masih berlaku sampi sekarang. Setiap komponen makromolekul

10
fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok
reseptor obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk ligand
endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya
menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa
yang tiak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara
kompetitif efek suatu agonis ditempat ikatan agonis (agonist binding
site) disebut antagonis.
b. Reseptor obat
Protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam
nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya
untuk sitotastik. Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion,
hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil
dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer dapat
menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.
c. Transmisi sinyal biologis
Penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan
suatu substansi ekstraseluler yang menimbulkan respon seluler
fisiologis yang spesifik. Reseptor yang terdapat di permukaan sel
terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim. Reseptor tidak hanya
berfungsi dalam pengaturan fisiologis dan biokimia, tetapi juga
diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatik lain. Bila suatu
sel di rangsang oleh agonisnya secara terus-menerus maka akan
terjadi desentisasi yang menyebabkan efek perangsangan.
d. Interaksi obat-reseptor
Ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai
ikatan lemah (ikatan ion, hydrogen, hidrofilik, van der Waals), mirip
ikatan antara subtract dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.
e. Antagonisme farmakodinamik
1) Antagonis fisiologik
Terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor yang
berlainan. Misalnya, efek bronkokonstriksi histamine pada

11
bronkus lewat reseptor histamin, dapat dilawan dengan
pemberian adrenalin yang bekerja pada adrenoreseptor β.
2) Antagonisme pada reseptor
Obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu
menimbulkan efek farmakologi secara instrinsik.
f. Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor
1) Efek nonspesifik dan gangguan pada membran
a) Perubahan sifat osmotic
Diuretik osmotik (urea, manitol), misalnya, meningkatkan
osmolaritas filtrat glomerulus sehingga mengurangi
reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek
diuretic.
b) Perubahan sifat asam/basa
Kerja ini diperlihatkan oleh antacid dalam menetralkan
asam lambung.
c) Kerusakan nonspesifik
Artinya zat perusak nonspesifik digunakan sebagai
antiseptik dan disinfektan, dan kontrasepsi. Contohnya,
detergen merusak intregitas membran lipoprotein.
d) Gangguan fungsi membrane
Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,
halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut
dalam lemak membrane sel di SSP sehingga eksitabilitasnya
menurun.
2) Interaksi dengan molekul kecil atau ion
Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya
CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang
inaktif pada keracunan Pb.
3) Masuk ke dalam komponen sel
Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat
berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga menggangu

12
fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolite
misalnya 6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, flusitosin, dan anti
kanker atau anti mikroba lain.

B. Skema Mekanisme Obat Otonom Terhadap Target Organ


C. Contoh Obat-Obat Otonom Yang Sering Dipakai di Rumah Sakit dan di
Masyarakat
1. Obat kolinergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas
susunan saraf parasimpatis. Ada 2 macam reseptor kolinergik:
a. Reseptor muskarinik: merangsang otot polos dan memperlambat
denyut jantung
b. Reseptor nikotinik/neuromuskular → mempengaruhi otot rangka

Penggolongan kolinergik
a. Ester kolin (asetil kolin, metakolin, karbakol, betanekol)
Dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbokol,
betanekol. Asetilkolin (Ach) adalah prototip dari oabat golongan
ester kolin. Asetilkolin (Ach) adalah prototip dari oabat golongan
ester kolin. Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian tidak
berguna secara klinis karena efeknya menyebar ke berbagai
organ sehingga titik tangapnya terlalu luas dan terlalu singkat.
Selain itu Ach tidak dapat diberikan per oral, karena dihidrolisis oleh
asam lambung.
1) Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari Ach dibagi dalam dua
golongan, yaitu terhadap kelenjar eksoskrin dan otot polos, yang
disebut efek muskarinik serta ganglion (simpatis dan
parasimpatis) dan otot rangka, yang disebut efek nikotik.
Pembagian efek Ach ini berdasarkan obat yang dapat
mengahambatnya, yaitu atropin mengahambat khusus efek

13
muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar mengahambat efek
nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila asetilkolin
diberikan intravena, maka efeknya terhadap pembuluh darah
merupakan resultante dari beberapa efek tunggal:
a) Ach bekerja langsung pada reseptor kolinergik pembuluh
darah dan melaui pengelepasan EDRF (endhotelium derived
relaxing factory) menyebabkan fasodilatasi.
b) Ach bekerja pada ganglion simpatis dengan akibat
pelepasan NE pada akhir postsinaptik pembuluh darahdan
menyebabkan vasokonstriksi. Saraf parasimpatis hamper
tidak mempunayi pengaruh terhadap pembuluh darah
melaluiganglion parasimpatis kecuali pada alat kelamin.
c) Ach bekerja merangsang sel medulla anak ginjal yang
melepaskan katekolamin dan menyebabkan vasokonstriksi
d) Ach dapat merangsang reseptor muskarinik parasinaps saraf
adrenergic dan mengurangi peepasan NE.
Resultant dari keempat efek ini akan menentukan apakah
terjadi kenaikan atau penurunan tekanan darah.
2) Sediaan dan posologi ester kolin
a) Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk
kering, dan dalam ampul berisi 200 mg, dosis : 10 – 100 mg
IV.
b) Metakolin klorida tersedia sebagai tablet 200 mg pemberian
oral tidak dapat diandalkan , sebaliknya diberikan subkutan
(SK) 2,5 – 40 mg, tergantung dari respon penderita.
c) Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25
mg/ml, pemberian oral cukup efektif dengan dosis 3 kali 0,2
– 0,8 mg. Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini
tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia sebagai tetes mata
untuk miotikum.

14
d) Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau
dalam ampul yang mengandung 5 mg/ml. Dosis oral adalah
10 - 30 mg, sedangkutan subkutan 2,5 – 5,0 mg. tidak boleh
diberikan IV atau IM.
3) Efek samping
Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena
itu jangan diberikan secara IV, kecuali asetilkolin yang lama
kerjanya sangat singkat. Pemberian oral atau SK merupakan
cara yang lazim digunakan. Kombinasi dengan prostigmin atau
obat kolinergik lain juga tidak boleh digunakan, karena terjadi
potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Ester kolin dapat
mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina
pectori, karena tekanan darah yang menurun mengurangi
sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami
fibrilasi atrium terutama pada pemberian metakolin. Tindakan
pengamanan perlu diambil yaitu dengan menyediakan atropin
dan epinefrin sebagai antidotum. Gejala keracunan pada
umumnya berupa efek muskarinik dan nikotinik yang
berlebihan, keracunan ini harus cepat diatasi dengan atropin dan
epinefrin.
4) Indikasi
Metakolin pernah digunakan untuk memperbaiki sirkulasi
perifer pada penyakit Raynaud atau tromboflebitis bedasarkan
efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah arteri tetapi sekarang
tidak digunakna lagi kerana intensitas respons yang tidak dapat
diramalkan.
Feokromositoma. Metakolin dapat digunakan untuk tes
provokasi penyakit ini pada waktu tekanan darah penderita
sangat rendah. Pemberian metakolin 25 mg SK akan
menyebabkan turunnya tekanan darah seperti yang diharapkan
tetapi dengan cepat disusul dengan peningkatan tekanan sistolik

15
maupun diastolik. Uji semacam ini uga dapat dikerjakan dengan
asetilkolin atau dengan histamine. Bila tensi penderita sedang
tinggi, sedikit-dikitnya diatas 190 mmHg, maka sebaiknya
dilakukan uji fentoloamin. Hasil uji fentolamin dikatakan positif
bila penurunan tekanan darah sekurang-kurangnya 35/25
mmHg.
b. Anti kolinestrase (eserin, prostigmin, dilsopropil fluorofosfat)
Antikolinesterase terdiri dari eserin (fisostigmin), prostigmin
(neostigmin), disospropil-fluorofosfat (DFP), dan insektisida
golongan organofosfat. Antikolinesterase menghambat kerja
kolinesterase (dengan mengikat kolinesterase) dan mengakibatkan
perangsangan saraf kolinergik terus menerus karena Ach tidak
dihidrolisis. Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat yaitu
yang menghambat secara reversible misalnya fisostigmin,
prostigmin, piridostigmin dan edrofonium. Dan menghambat secara
ireversibel misalnya gas perang, tabung, sarin, soman, insektisida
organofosfat, parathion, malation, diazinon, tetraetil-pirofosfat
(TEPP), heksaetiltetrafosfat (HETP) dan oktametilpiro-
fosfortetramid (OMPA).
1) Mekanisme kerja
Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan adanya
asetikolin endogen. Hal ini disebabkan oleh tidak terjadinya
hidrolisis asetilkolin yang biasanya terjadi sangat cepat, karena
enzim yang diperlukan diikat dan dihambat oleh
antikolinesterase. Hambatan ini berlangsung beberapa jam utuk
antikolinesterase yang reversible, tetapi yang ireversibel dapat
merusak kolinesterase sehingga diperlukan sisntesis baru dari
enzim ini untuk kembalinya transmisi normal. Akibat hambatan
ini asetilkolin tertimbun pada rseptor kolinergik ditempat Ach
dilepaskan.

16
2) Farmakodinamik
Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat
pada pupil, usus dan sambungan saraf-otot. Efek-efek lain hanya
mempunyai arti toksikologi.
a) Mata. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada
konjungtiva bulbi, maka terlihat suatu perubahan yang
nyata pada pupil berupa miosis, hilangnya daya akomodasi
dan hiperemia konjungtiva. Miosis terjadi cepat sekali,
dalam beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah
setengah jam. Tergantung dari antikolinesterase yang
digunakan, kembalinya ukuran pupil ke normal dapat terjadi
dalam beberapa jam (fisostigmin) atau beberapa hari sampai
seminggu (DFP). Miosis menyebabkan terbukannya saluran
Schlemm, sehingga pengaliran cairan mata lebih mudah,
maka tekanan intraokuler menurun. Terutama bila ada
glaukoma. Miosis oleh obat golongan ini dapat diatasi oleh
atropin.
b) Saluran cerna. Prostigmin paling efektif terhadap saluran
cerna. Pada manusia pemberian prostigmin meningkatkan
peristalsis dan kontraksi lambung serta sekresi asam
lambung. Efek muskarinik ini dapat mengatasi inhibisi oleh
atropine. Di sini N.vagus yang mempersarafi lambung harus
utuh setelah denervasi, prostagmin tidak memperlihatkan
efek. Perbaikan peristalsis ini merupakan dasar pengobatan
meteorisme dan penggunaan prostigmin pasca bedah.
c) Sambungan saraf-otot. Antikolinesterase memperlihatkan
efek nikotinik terhadap otot rangka dan asetikolin yang
tertimbun pada sambungan saraf-otot menyebabkan otot
rangka dalam keadaan terangsang terus-menerus. Hal ini
menimbulkan tremor, fibrilasi otot, dan dalam keadaan
keracunan, kejang-kejang. Bila perangsangan otot rangka

17
terlau besar misalnya padakeracunan insektisida
organofosfat, maka akan terjadi kelumpuhan
akibatdepolarisasi menetap (persisten).
d) Tempat-tempat lain. Pada umunya antikolinerase melaui
efek muskarinik, memperbesar skresi semua kelenjar
eksoskrin misalnya kelenjar pada bronkus, kelenjar air
mata, kelenjar keringat, kelenjar liur, dan kelenjar saluran
cerna. Pada otot polos bronkus obat ini menyebabkan
konstriksi, sehingga dapat terjadi suatu keadaan yang
menyerupai asma bronkial, sedangkan pada ureter
meningkatkan peristalsis. Pembuluh darah perifer umumnya
melebar akibat antikolinesterase, sebaliknya pembuluh
koroner dan paru-parumenyempit. Terhadap jantung efek
langsungnya ialah penimbunan asetilolin endogen dengan
akibat bradikardi dan efek inotropik negative sehingga
menyebabkan berkurangnya curah jantung. Hal ini disertai
dengan memanjangnya waktu refrakter dan waktu konduksi.
3) Farmakokinetik
Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat
suntikan maupun melaui selaput lendir lainya. Seperti atropin,
fisostigmin dalam obat tetes mata dapat menyebabkan obat
sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan menekan sudut medial
mata dimana terdapat kanalis lakrimalis. Prostigmin dapat
diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada
pemberian oral diperlukan dosis 30 kali lebih besar dan
penyerapannya tidak teratur. Efek hipersalivasi baru tampak 1-1
½ jam setelah pemberian oral 15-20 mg.
4) Sediaan dan posology
Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai obat
tetes mata, oral dan parenteral. Prostigmin bromida (Neostigmin
bromida) tersedia untuk pemakian oral (15mg per tablet)

18
danneostigmin metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan
1,0 mg/ml. Pridostigmin bromida (Mestinon bromida) sebagai
tablet 60 mg dan juga ampul 0,5 mg/ml. Edrofonium klorida (
Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat dipakai untuk
antagonis kurareatau diagnosis miastenia gravis. Diisopropil
fluoro posfat (DFP) atau isoflurorat tersedia sebagai larutan
dalam minyak untuk pemberian parenteral dan sebagai obat tetes
mata (0,1 % larutan dalam air).
5) Indikasi
a) Antonio otot polos
Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos
saluran cerna dan kandung kemih yang sering terjadi pada
pasca bedah atau keadaan toksik. Pemberian sebaiknya
secara SK atau IM. Prostigmin yang diberikan sebelum
pengambilan X-foto abdomen juga bermanfaat untuk
menghilangkan bayangan gas dalam usus.
b) Sebagai miotika
Fisostigmin dan DFP secara local digunakan dalam
oftalmologi untuk menyempitkan pupil, terutama setelah
pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh
atropin berlangsung berhari-har dan menggangu penglihaan
bila tidak diantagonis dengan eserin. Dalam hal ini DFP
merupakan miotik yang kuat. Perlekatan iris dengan lensa
kadang-kadang terjadi akibat peradangan dalam hal ini
atropin dan fisostigmin digunakan berganti-ganti untuk
mencegah timbulnya perlengketan tersebut.
c) Diagnosis dan pengobatan miastenia gravis
Miastenia gavis ditandai dengan kelemhan otot yang
ekstrim. Gejala penyakit ini adalah berkurangnya produksi
asetilkolin pada sambungan saraf-otot atau dapat ditandai
juga dengan peninggian ambang rangsangan. Setelah

19
pemberian 1,5 mg prostigmin SK kelemahan otot rangka
diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat dianggap
sebagai suatu tes diagnostik. Untuk diagnosis digunakan 2
mg androfonium, disusul 8 mg 45 detik kemudian bila dosis
pertama tidak mempan. Prostigmin dan piridostigmin
merupakan kolinergik yang sering digunakan untuk
mengobati miastenia gravis. Pengobatan dimulai dengan 7,5
mg prostigmin atau 30 mg prodiatigmin biasanya 3 kali
sehari. Bila diragukan apakah efek kolinergik sudah cukup
apa belum, dapat diuji dengan pemberian endrofonium, bila
terjadi perbaikan berarti dosis perlu ditambah.
c. Alkaloid tumbuhan (muskarin, pilokarpin, arekolin)
Alkaloid tumbuhan yaitu muskarin yang berasal dari jamur Amanita
muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman Pilocarpus
jaborandidan Pilokarpus microphyllus dan arekolin yang berasal
dari Areca catehu (pinang). Ketiga obat ini bekerja pada efek
muskarinik, kecuali pilokarpin yang juga memperlihatkan efek
nikotinik. Pilokorpin terutama menyebabkan rangsangan terhadap
kelenjar keringat yang terjadi karena perangangan langsung (efek
muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek
nikotinik), kelenjar air mata dan kelenjar ludah. Produksi keringat
dapat mencapai 3 liter. Pada penyuntika IV biasanya terjadi kenaikan
tekanan darah akibat efek ganglionik dan sekresi katekolamin dari
medulla adrenal.
1) Intoksikasi
Keracunan muskarin dapat terjdi akibat keracunan jamur.
Keracunan jamur Clitocybe dan Inocybe timbul cepat dalam
beberapa menit sampai dua jam setelah makan jamur sedangkan
gejala keracunan A. phalloides timbul lambat, kira-kira sesudah
6-15 jam, dengan sifat gejala yang berlainan. Amanita
muscaria dapat menyebabkan gejala muskarinik tetapi efek

20
utama disebabkan oleh suatu turunan isoksazol yang merupakan
antidotum yang ampuh bila efek muskariniknya yang
dominan. Amanita phalloides lebih berbahaya, keracunannya
ditandai dengan gejala-gejala akut di saluran cerna dan dehidrasi
yang hebat.
2) Indikasi
Pilokarpin HCL atau pilokarpin nitrat digunakan sebagai obat
tetes mata untuk menimbulkan miosis dengan larutan 0,5-3 %.
Obat ini juga digunakan sebagai diaforetik dan untuk
menimbulkan saliva diberikan per oral dengan dosis 7,5 mg.
Arekolin hanya digunakan dalam bidang kedokteran hewan
untuk penyakit cacing gelang. Musakrin hanya berguna untuk
penelitian dalam laboratorium dan tidak digunakan dalam
terapi. Aseklidin adalah suatu senyawa sintetik yang strukturnya
mirip arekolin. Dalam kadar 0,5-4% sama efektifnya dengan
pilokarpin dalam menurunkan tekanan intraokular. Obat ini
digunakan pada penderita glaukoma yang tidak tahan pilokarpin.
d. Obat kolinergik lain (metoklopramid, sisaprid)
1) Metoklopramid
Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid.
Gugus kimianya mirip prokainamid, tetapi metoklopramid
memiliki efek anestetik lokal yang sangat lemah dan hamper
tidak berpengaruh terhadap miokard.
Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran
cerna, obat ini juga dapat meningkatkan sekresi
prolaktin.Mekanisme kerja metoklopramid pada saluran cerna,
yaitu:
a) Potensiasi efek kolinergik
b) Efek langsung pada otot polos
c) Penghambatan dopaminergik sentral

21
Indikasi Metaklopramid terutama digunakan untuk
memperlancar jalannya zat kontras pada waktu pemeriksaan
radiologic lambung dan deuodenum untuk mencegah atau
mengurangi muntah akibat radiasi dan pascabedah, untuk
mempermudah intubasi saluran cerna. selain itu obat ini
diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna dengan
gejala mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, perasaan penuh
setelah makan dan gangguan cerna (indigestion) misalnya pada
gastroparesis diabetik.
Metoklopiramid dikontraindikasikan pada obstruksi,
perdarahan, dan perforasi saluran cerna, epilepsi,
feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal. Efek samping
yang timbul pada penggunaan metoklopramid pada umunya
ringan. Yang penting diantaranya adalah kantuk, diare, sembelit
dan gejala ekstrapiramidal.
Metoklopiramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10
mg, sirup mengandung 5 mg/ 5 ml dan suntikan 10 mg/2ml
untuk penggunaan IM atau IV. Dosis untuk dewasa ialah 5-10
mg 3 kali sehari, untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg – 5 mg diminum
3 kali sehari, anak 3-5 tahun 2 mg diminum 2 atau 3 kali sehari,
anak 1-3 tahun 1 mg diminum 2 atau 3 kali sehari dan bayi 1 mg
diminum 2 kali sehari.
2) Sisaprid
Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang
motilitas saluran cerna. Kerja obat ini diduga meningkatkan
pelepasan ACH di saluran cerna.
Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah
esofagus dan meningkatkan amplitudo kontraksi esofagus
bagian distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu transit
mulut-saekum memendek, peristalsis kolon meningkat.

22
Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroessofagial,
gangguan mobilitas gaster dan dyspepsia bukan karena tukak.
Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama
pengobatan 4-12 minggu. Obat ini dimetabolisme secara
ekstensif di hati sehingga dosis perlu disesuaikan pada gagal
hati. Pada pasien gagal ginjal, dosis juga perlu diturunkan sesuai
beratnya gangguan, mungkin sampai separuhnya. Jangan
memberikan sisaprid bila peningkatan gerakan saluran cerna
dapat berpengaruh buruk misalnya pada pendarahan, obstruksi,
perforasi, atau keadaan pasca bedah.
Efek samping pada saluran cerna berupa kolik, borborigmi,
dan diare. Gejala sistem saraf pusat berupa sakit kepala, pusing,
konvulsi dan efek.
2. Obat antimuskuranik
Obat golongan ini seperti atropin dan skopolamin bekerja menyekat
reseptor muskarinik yang menyebabkan hambatan semua fungsi
muskarinik. Selain itu, obat ini menyekat sedikit perkeualian neuron
simpatis yang juga kolinergik, seperti saraf simpatis yang menuju
kelenjar keringat. Bertentangan dengan obat agonis kolinerik yang
kegunaan teraupetiknya tebatas, maka obat penyekat kolinergik ini sangat
menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena obat ini
tidak menyekat nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak
mempengaruhi smbungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.
a. Atropin
Atropin, alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap
reseptor muskarink, dimana obat ini terikat secara kompetitif,
sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor
muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di snetral
maupun saraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4
jam kecuali bila diteteskan kedalam mata, maka kerjanya sampai
berhari-hari.

23
1) Mekanisme kerja
a) Mata: atropin meyekat semua aktivitas kolinergik pada
mata, sehingg menimbulkan midriasis, mata menjadi tidak
bereaksi terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidak mampuan
untuk memfokuskn penglihatan dekat). Pada pasien dengan
glaukoma, tekanan intraokular akan meninggi secara
membahayakan.
b) Gastrointestial: atropin digunakan sebagai obat
antispsmodik untuk mengurangi aktivitas saluran cerna..
c) Sistem kemih: atropin digunakan pula untuk mengurangi
keadaan hipermotilitas kandung kemih. Obat ini kadang-
kdang masih dipakai untuk kasus enuresis (buang air seni
tanpa disadari). Tetapi obat agoni adrenergik alfa mungkin
jauh lebih efektif dengan efek samping yang sedikit.
d) Kardiovaskuler: atropin menimbulkan efek divergen pada
sistem kardiovaskuler, tergantung pada dosisnya. Pada dosis
rendah, efek yang menonjol adalah penurunan denyut
jantung (brakardia). Pada dosis tinggi, reseptor jantung pada
nodus SA disekat, dan denyut jantung sedikit bertambah
(takkikardia). Dosis sampai timbul efek ini sedikitnya 1 mg
atropin, yang berarti sudah termasuk dosis tinggi dan
pemberian biasanya. Tekanan darah arterial tidak
dipengaruh tetapi padatingkat toksik, atropin akan
mendilatasi pembuluh darah di kulit.
e) Sekresi: atropin menyekat kelenjar saliva sehingga timbul
efek pengeringan pada lapisan mukosa mulut (serostomia).
Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropin. Kelenjar
keringat dan kelenjar air mata terganggu pula. Hambatan
sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh
meninggi.

24
2) Penggunaan terapi
a) Oftalmik: pada mata, salep mata atropin menyebabkan efek
midratik atau siklopegik dan memunginkan untuk
pengukuran kelainan refraksi tanpa gangguan oleh kapasitas
akomodasi mata. Atropin mungin menimbulkan suatu
serangan pada individu yang menderita glaukoma sudut
sempit.
b) Obat antipasmodik: atropin digunakan sebagai obat
antiplasmodik untuk melemaskan saluran cerna dan
kandung kemih.
c) Antidotum untuk aginis kolinergik: atropin digunakan untuk
mengobati kelebihan dosis organofosfat (yang megandung
insektisida tertentu) dan beberapa jenis keracunan jamur
(jamur tertentu yang megandung substansi kolinergik).
Kemampuan obat ini masuk kedalam SSP sangat penting
sekali. Atropin menyekat efek asetilkolin yang berlebihan
akibat dari hambatan terhadap asetilkolinesterase oleh obat-
obatan seperti fisostigmin.
d) Obat antisekretori: suatu obat kadang diperlukan sebagai
antisekretori guna menghentikan sekresi pada saluran napas
atas dan bawah sebelum dilakukan suatu operasi
3) Farmakokinetik
Atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme didalam hepar,
dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Masa
paruhnya sekitar 4 jam.
4) Efek samping
Tergantung pada dosis, atropin dapat menyebabkan mulut
kering, penglihatan mengabur, mata rasa berpasir (sandy eyes),
takikardia, dan konstipasi. Efeknya terhadap SSP termasuk rasa
capek, bingung, halusinasi, delirium, yang mungkin berlanjut
mnejadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem pernapasan dan

25
kematian. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropin dapat
menimbulkan midrasis dan sikloplegi dan keadaan ini cukup
gawat karena dapat menyebabkan serangan glaukomaberulang
setelah menjalani kondisi tenang.
b. Skopolamin
Skolapomin, alkaloid beladona lainnya, dapat menimbulkan efek tepi
yang sama dengan efek atropin. Tetapi efe skopolamin lebih nyata
pada SSP dan masa kerjanya lebih lama dibandingkan atropin.
1) Efek
Skopolamin merupakan salah satu obat anti mbauk perjalanan
yang paling efektif. Obat ini menimbulkan pula efek
penumpulan daya ingat jangka pendek. Bertolak belakang
dengan atropin, obat ini menyebabkan sedasi, rasa megantuk,
tetapi pada dosis yang lebih tinggi bahkan menimbulkan
kegelisahan/kegaduhan.
2) Penggunaan terapi
Walaupun mirip dengan atropin, indikasi obat ini terbatas pada
pencegahan mabuk perjalanan (obat ini memang sangat efektif)
dan penumpulan daya ingat jangka pendek.
3) Farmakokinetik dan efek samping skopolamin sama persis
seperti atropin.
3. Obat adrenergic
Yakni obat-obat yang merangsang system syaraf simpatis, karena
obat-obat ini menyerupai neurotransmitter (norepinafrin dan
epinephrine). Obat-obat ini bekerja pada suatu reseptor adrenergic yang
terdapat pada sel-sel otot polos, seperti pada jantung, dinding bronkiolus
saluran gastrointestinal, kandung kemih dan otot siliaris pada
mata. Reseptor adrenergic meliputi alfa1, alfa2, beta1 dan beta2. Kerja
obat adrenergic dapat di bagi dalam 7 jenis:
a. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan
mukosa, dan terhadap kelenjar liur dan keringat.

26
b. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan
pembuluh darah otot rangka.
c. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung
dan kekuatan kontraksi.
d. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan
kewaspadaan, aktivitas psikomotor dan pengurangan nafsu makan.
e. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenesis di hati dan otot,
lipolisis dn pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
f. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi efek insulin, rennin dan
hormone hipofisis.
g. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan
penglepasan neurotransmitter NE dan Ach.
Penggolongan Adrenergik
a. Katekolamin (Endogen: epineprin, norepineprin dan dopamine;
Sintetik: isoprotenol hidroklorida dan dobutamine)
b. Non katekolamin (fenileprin, meteprotenol dan albuterol)
Farmakodinamik
a. Bersifat inotropic
b. Bronkodilator
c. Hipertensi
d. Tremor dan gelisah
Efek samping
Efek samping sering kali muncul apabila dosis ditingkatkan atau
obat bekerja non selektif (bekerja pada beberapa reseptor). Efek samping
yang sering timbul pada obat-obat adrenergic adalah, hipertensi,
takikardi, palpitasi, aritmia, tremor, pusing, kesulitan berkemih, mual dan
muntah.
Kontra Indikasi
a. Tidak boleh di gunakan pada ibu hamil
b. Sesuaikan dosis pada penderita yang mendapat antidepresi trisiklik

27
c. Tidak boleh digunakan pada penderita Stenorsis subaorta, anoreksia,
insomnia dan estenia.
4. Obat penghambat adrenergic
Obat-obat antiadrenergik umumnya mengahambat efek
neurotransmitter adrenergic dengan menempati reseptor alfa dan beta
baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasar tempat kerjanya,
golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoreseptor (adrenoreseptor
bloker) dan penghambat saraf adrenergic.
Antagonis reseptor atau adrenoreseptor blocker ialah obat yang
menduduki adrenoreseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi
dengan obat adrenergic, dengan demikian menghalangi kerja obat
adrenergic pada sel efektornya. Untuk masing-masing adrenoreseptor α
dan β memiliki penghambat yang efektif yakni α-blocker dan β-blocker.
Penghambat saraf adrenergic adalah obat yang mengurangi respon
sel efektor terhadap perangsangan saraf adrenergic, tetapi tidak terhadap
obat adrenergic eksogen.
a. α – Blocker
Penggolongan dan Indikasi Obat α – Blocker
1) α – Blocker Nonselektif:
Derivat haloalkilamin (dibenamin dan fenoksibenzamin)
untuk pengobatan feokromositoma, pengobatan simtomatik
hipertofi prostat benigna dan untuk persiapan operasi.
Derivat imidazolin (fentolamin dan telazolin) mengatasi
hipertensi, pseudo-obstruksi usus dan impotensi.
Alkaloid ergot (ergonovin, ergotamine dan ergotoksin)
meningkatkan tekanan darah, untuk stimulasi kontraksi uterus
setelah partus, mengurangi nyeri migren dan untuk pengobatan
demensia senelis.

28
2) α1 – Blocker Selektif
Derivat kuinazolin (prazosin, terazosin, doksazosin, trimazosin
danbunazosin) untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung
kongesif, penyakit vaskuler perifer, penyakit raynaud dan
hipertofi prostat benigna (BPH).
α2 – Blocker Selektif (Yohimbin) untuk pengobatan impotensi,
meningkatkan TD.
Farmakodinamik
a. Menimbulkan vasodilatasi dan venodilatasi
b. Menghambat reseptor serotonin
c. Merangsang sekresi asam lambung, saliva, air mata dan keringat
d. Kontriksi pupil
Efek Samping
a. Hipotensi postural
b. Iskemia miokard dan infark miokard
c. Takikardi dan aritmia
d. Hambatan ejakulasi dan espermia yang reversible
e. Kongesti nasal
f. Pusing, sakit kepala, ngantuk, palpasi edema perifer dan nausea.
g. Tekanan darah menurun
b. β – Blocker
Jenisnya adalah propanolol yang menjadi prototype golongan obat
ini. Sehingga sampai sekarang semua β-blocker baru selalu
dibandingkan dengan propanolol.
Farmakodinamik
a. Mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
b. Menurunkan TD dan resistensi perifer
c. Sebagai antiaritmia
d. Bronkokontriksi
e. Mengurangi efek glikemia
f. Peningkatan asam lemak dalam darah

29
g. Menghambat tremor dan sekresi renin
Efek samping
a. Gagal jantung dan Bradiaritmia
b. Bronkospasme
c. Gangguan sirkulasi perifer
d. Gejala putus obat (serangan angina, infark miokard, aritmia
ventrikuler bahkan kematian)
e. Hipoglikemia dan hipotensi
f. Efek sentral (rasa lelah, gangguan tidur dan depresi)
g. Gangguan saluran cerna (nausea, muntah, diare atau konstipasi)
h. Gangguan fungsi libido ( penurunan libido dan impotensi)
i. Alopesia, retensi urine, miopati dan atropati
Indikasi
Pada umumnya obat-obat antiadrenergik di gunakan untuk
pengobatan Angina pectoris, Aritmia, Hipertensi, Infark miokard,
Kardiomiopati obstruktif hipertrofik, Feokromositoma,
Tirotoksokosis, Glaucoma, tremor esensial dan Ansietas
Kontraindikasi
a. Hati-hati penggunaan β-blocker pada penderita dengan
pembesaran jantung dan gagal jantung
b. Hati-hati penggunaan pada penderita asma, syok kardiogenik,
penyakit hati dan ginjal.
c. Tidak boleh digunakan pada penyakit vascular perifer dan
penyakit paru obstruktif menahun (PPOM)

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

31
DAFTAR PUSTAKA

Deglin, Vallerand. 2005. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta: EGC


http://ariefboyandsusilo.blogspot.co.id (diakses pada tanggal 3 April 2018 Pukul
12:43 AM)
http://dr-suparyanto.blogspot.com (diakses pada tanggal 3 April 2018 Pukul 12:50
AM)
http://arsis-adhinatha.blogspot.co.id (diakses pada tanggal 4 April 2018 Pukul
11:11 AM)

32

You might also like