Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
ABSTRAK
Longsor lahan merupakan bencana alam geologi yang diakibatkan oleh gejala alami geologi
maupun tindakan manusia dalam mengelola lahan atau ruang hidupnya. Analisis kerawanan bencana
dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya adalah metode pemetaan berbasis Sistem
Informasi Geografis (SIG). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
analisis spasial. Data yang telah diperoleh berupa Peta Sebaran Curah Hujan, Peta Kemiringan, Peta
Tata Guna Lahan dan Peta Jenis Tanah diberi skor sesuai dengan parameter dan kriterianya kemudian
dilakukan tumpang susun (overlay). Penentuan daerah rawan longsor menggunakan SIG dengan metode
Indeks Storie yaitu perkalian setiap parameter-parameter. Hasil analisis itu nantinya akan menghasilkan
nilai kisaran indeks storie. Selanjutnya nilai kisaran ini dikonversi pada beberapa tingkatan rawan
longsor. Wilayah Kecamatan Pegentan dipengaruhi oleh 4 Stasiun Hujan terdekat, yaitu Stasiun Hujan
Karangkobar, Stasiun Hujan Limbangan, Stasiun Hujan Pejawaran dan Stasiun Hujan Pagentan. Dari ke
4 Stasiun Curah Hujan tersebut diketahui bahwa wilayah yang mempunyai nilai curah hujan paling besar
adalah wilayah yang dipengaruhi oleh Stasiun Hujan Pagentan yaitu sebesar 3.703 mm/tahun.
Sedangkan curah hujan terkecil adalah wilayah stasiun Curah Hujan Karangkobar sebesar 1.583
mm/tahun. Kemiringan di Kecamatan Pagentan didominasi oleh kemiringan berbukit, curam, sangat
curam dan terjal. Sehingga wilayah Kecamatan Pagentan berdasarkan kemiringannya sebagian besar
30
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
merupakan wilayah yang rawan terhadap terjadinya longsor. Berdasarkan hasil analisa maka didapatkan
Peta Kawasan Longsor Kecamatan Pagentan. Kecamatan Pagentan terdapat wilayah yang mempunyai
kerawanan sangat rawan, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus berkaitan dengan mitigasi
bencana.
Kata kunci : Indeks Storie, Sistem Informasi Geografis, tanah longsor
PENDAHULUAN
Kejadian bencana longsor akhir-akhir ini semakin sering terjadi di wilayah Indonesia. Akan
tetapi ketersediaan data, laporan dan peta bencana alam di beberapa instansi tidak terkoordinasi dan
terinformasi dengan baik. Sistem penyimpanan data juga masih dilakukan secara manual dan
konvensional (Sudarsono, 2002). Menurut Nugroho, J.A. dkk (2006), beberapa parameter yang terdiri
dari faktor-faktor penyebab longsor antara lain iklim (curah hujan), topografi (kemiringan dan panjang
lereng), vegetasi (penggunaan lahan), tanah (jenis tanah) dan faktor tindakan konservasi (pengelolaan
tanah) dan faktor-faktor lain (geomorfologi/bentuk lahan, tekstur tanah, kelembaban tanah, dan geologi).
SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan suatu system yang mempunyai kemampuan analisis
terhadap data spasial untuk keperluan manipulasi maupun permodelan. Fungsi analisis ini dijalankan
memakai data spasial dan data atribut dalam SIG untuk menjawab berbagai pertanyaan yang
dikembangkan dari data yang ada menjadi suatu persoalan yang relevan, fungsi analisis yang
dimaksudkan adalah fungsi pengolahan dan analisis data spasial dan atribut, dalam penyederhanaan
berbagai kelompok analisis terdapat 4 katogori yaitu : fungsi pemanggilan/klasifikasi/pengukuran data,
fungsi tumpang tindih, fungsi tetangga dan fungsi jaringan/keterkaitan (Arifin dan Ita, 2006).
Analisis kerawanan bencana dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya adalah
metode pemetaan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Dewasa ini berbagai pihak telah mencoba
untuk menyusun suatu peta risiko bencana, dikerenakan belum adanya standarisasi dalam metode
penyusunan peta risiko menyebabkan setiap lembaga atau institusi memiliki metode yang berbeda dalam
penyusunan peta risiko. Secara mendasar pemahaman tentang konsep bencana menjadi dasar yang kuat
dalam melakukan pemetaan risiko bencana yang dapat diaplikasikan ke dalam Sistem Informasi
Geografis (SIG) yang dapat ditampilkan secara spasial. Analisis kerentanan suatu kawasan secara umum
dapat dilakukan dengan konsep overlay antar layer (antar variabel) yang saling mendukung, sehingga
melalui fasilitas yang ada pada software SIG dapat diperoleh informasi potensi kawasan tersebut, yaitu
kawasan rawan longsor.
Peta curah hujan didapatkan dari titik stasiun curah hujan yang berada di sekitar lokasi wiayah
rawan longsor. Dari titik titik stasiun curah hujan tersebut dibangun sebuah polygon yang berisi
informasi polygon sebaran curah hujan pada masing-masing stasiun curah hujan.
Tahapan dari pembuatan peta digital yaitu sebagai berikut :
• Digitasi Peta analog
• Input data atribut (titik stasiun hujan beserta data)
• Pembuatan polygon sebaran curah hujan
2. Pembuatan Peta Kemiringan
Peta Kemiringan diperoleh dari digitasi peta kontur yang bersumber dari Peta Rupa Bumi
Indonesia Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) skala 1:25000.
Peta Kontur digunakan sebagai dasar untuk analisa Digital Elevation Model (DEM) sehingga
didapatkan Peta Kemiringan Lereng.
3. Pembuatan Peta Tanah
Peta tanah diperoleh dari digitasi peta jenis tanah yang bersumber dari Peta Geologi
Indonesia.
4. Pembuatan Peta Tata Guna Lahan
Peta Tata Guna Lahan diperoleh dari digitasi peta analog yang bersumber dari Peta Rupa
Bumi Indonesia Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) skala
1:25000.
d. Analisis Spasial
Setelah data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dan perhitungan yang
diperlukan untuk analisis kelongsoran. Langkah awal yaitu pemberian skoring/pengharkatan pada
peta sesuai dengan parameter dan kriterianya. Selanjutnya dilakukan proses tumpang susun
(overlay), yaitu dengan mengoverlay beberapa peta parameter (peta kemiringan lereng, peta jenis
tanah, peta curah hujan, peta tataguna lahan).
Penentuan daerah rawan longsor menggunakan SIG dengan metode Indeks Storie yaitu perkalian
setiap parameter-parameter. Hasil analisis itu nantinya akan menghasilkan nilai kisaran indeks
storie. Selanjutnya nilai kisaran ini dikonversi pada beberapa tingkatan rawan longsor.
L = A x B/10 x C/10 x D/10
dimana :
L = tingkat kerentanan
A = tataguna lahan
B = kemiringan lereng
C = jenis tanah
D = curah hujan
32
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan longsor dan digunakan dalam penelitian ini adalah
: curah hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan jenis tanah.
A. Curah Hujan
Peta curah hujan didapatkan dari titik stasiun curah hujan yang berada di sekitar wilayah
Kecamatan Pagentan. Stasiun curah hujan tersebut adalah stasiun curah hujan Karangkobar, stasiun
curah hujan limbangan, stasiun curah hujan penusupan dan stasiun curah hujan Pagentan. Data dari
masing-masing stasiun curah hujan akan dirata-rata tahunan untuk selanjutnya digunakan sebagai
dasar pemberian skor. Pemberian skor didasarkan pada besar kecilnya rata-rata curah hujan tahunan
dalam millimeter. Semakin besar curah hujan yang terjadi dalam suatu wilayah akan mempengaruhi
besarnya kemungkinan terjadinya longsor, sebaliknya semakin kecil curah hujan yang terjadi pada
suatu wilayah maka kemungkinan terjadinya longsor juga kecil.
33
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
Wilayah Kecamatan Pegentan dipengaruhi oleh 4 Stasiun Hujan terdekat, yaitu Stasiun Hujan
Karangkobar, Stasiun Hujan Limbangan, Stasiun Hujan Pejawaran dan Stasiun Hujan Pagentan. Dari
ke 4 Stasiun Curah Hujan tersebut diketahui bahwa wilayah yang mempunyai nilai curah hujan paling
besar adalah wilayah yang dipengaruhi oleh Stasiun Hujan Pagentan yaitu sebesar 3.703 mm/tahun.
Sedangkan curah hujan terkecil adalah wilayah stasiun Curah Hujan Karangkobar sebesar 1.583
mm/tahun.
Wilayah sebaran curah hujan pada Kecamatan Pagentan didapatkan dengan metode polygon thiessen.
Berdasarkan hasil pengolahan data stasiun hujan menggunakan software GIS diketahui bahwa stasiun
curah hujan pagentan memiliki luas pengaruh curah hujan paling tinggi yaitu seluas 3.308 Ha.
B. Kemiringan Lereng
Peta kemiringan Kecamatan Pagentan diperoleh dari analisa Digital Elevation Model (DEM) yang
bersumber dari peta kontur. Hasil dari analisa DEM kemudian diturunkan untuk menjadi peta
kemiringan. Peta kemiringan menggunakan satuan dalam persen. Skoring didasarkan pada lereng yang
curam memiliki skor yang besar dibandingkan dengan lereng yang landai atau datar, karena salah satu
34
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
syarat terjadinya longsor adalah lereng yang curam, sehingga volume tanah akan bergerak/meluncur ke
bawah.
Tabel 3. Hasil skoring parameter kemiringan lahan
No. Kemiringan Kriteria Nilai Skor
1. >75 % Lereng - Terjal s/d sangat terjal 6
2. 46-75% Sangat curam s/d terjal 5
3. 31-45% Curam s/d sangat curam 4
4. 16-30% Agak curam dan berbukit 3
5. 4-15% Landai, berombak, bergelombang 2
6. 0-3% Datar 1
Sumber : Analisis (2017).
Kemiringan di Kecamatan Pagentan didominasi oleh kemiringan berbukit, curam, sangat curam dan terjal.
Sehingga wilayah Kecamatan Pagentan berdasarkan kemiringannya sebagian besar merupakan wilayah
yang rawan terhadap terjadinya longsor. Kondisi topografi yang berbukit-bukit dengan kemiringan lereng
yang hampir tegak lurus mengakibtkan banyak lereng yang tidak stabil.
35
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
Tipe penggunaan lahan yang menentukan tingkat potensi bahaya longsor (rawan hingga sangat rawan)
yaitu semak belukar, tegalan, pemukiman, sawah dan ladang. Di Kecamatan Pagentan banyak ditemukan
kebun salak yang ditanam pada daerah yang mempunyai kemiringan cukup tinggi. Pola penggunaan
lahan (landuse) untuk kebun salak, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng
terjal dapat menyebabkan meningkatnya potensi longsor. Tanah yang kehilangan vegetasi penutup akan
menjadi retak-retak pada musim kemarau dan pada musim penghujan air akan mudah meresap kedalam
lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan tanah jenuh air sehingga dapat
meningkatkan resiko terjadinya tanah longsor.
D. Jenis Tanah
Jenis Tanah di wilayah studi terdiri dari 4 jenis tanah yang dikelompokkan menurut klasifikasi
USDA. Jenis tanah yang terdapat dalam wilayah studi adalah ultisol, inseptisol, histosol dan oxisol.
Pengkelasan dan penentuan nilai bobot jenis tanah menggunakan tingkat kepekaan erosi jenis tanah
terhadap kerentanan gerakan tanah.
Alih guna lahan yang intensif dan berlangsung dalam jangka waktu lama menjadi salah satu
faktor penyebab perubahan dari sifat isik tanah. Proses ini menjadi salah satu faktor yang berpengaruh
36
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
terhadap perubahan struktur tanah, kemantapan agregat, porositas,dan infiltrasi yaitu melalui
perakaran tanaman.
Tabel 5. Hasil skoring parameter jenis tanah
No. Jenis Tanah Kriteria Nilai Skor
1. Histosol Histosol 1
2. Inceptisol Inceptisol 3
3. Oxisol Oxisol 7
4. Ultisol Ultisol 6
Sumber : Analisis (2017).
Tanah bertekstur pasir dan debu sangat rentan terhadap longsor dibandingkan dengan tekstur liat
yang memiliki daya menahan air lebih baik (Kocher and John, 2006). Tanah dengan tekstur pasir,
pasir berlempung dan lempung berpasir umumnya bersifat lunak dan mudah dilalui air sehingga
mudah terjadi longsor. Menurut Gofar dan Setiawan (2006) pengaruh peningkatan kadar air terhadap
keruntuhan cukup dominan. Penyebab peningkatan kandungan air yang paling berbahaya bagi tanah
adalah kenaikan muka air tanah dan infiltrasi.
Analisis Kerawanan Longsor Berdasarkan metode skoring dalam Nugroho dkk (2009),
parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan longsor adalah jenis tanah,
kemiringan lereng, penggunaan lahan, ketinggian dan curah hujan. Analisis kerawanan longsor
dilakukan pada peta unit lahan. Dalam setiap jenis peta di input data atribut yaitu skor berdasarkan
klasifikasi yang telah ditetapkan. Penentuan skor tiap kelas parameter didasarkan pada Nugroho dkk
(2009). Tingkat kerawanan longsor dibagi menjadi lima kelas, yaitu:
1. Tidak rawan
2. Kerawanan rendah
3. Kerawanan sedang
4. Kerawanan tinggi
37
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
5. Sangat rawan
Untuk mendapatkan kelas kerawanan longsor, skor yang sudah dimasukkan sebagai data atribut
dijumlahkan sehingga mendapatkan informasi nilai minimal dan nilai maksimal. Nilai ini akan
digunakan untuk menentukan Interval Tingkat Kerentanan, yaitu:
ITK = Nilai Maksimal – Nilai Minimal
5
Berdasarkan hasil overlay dan skoring pada masing – masing parameter serta perhitungan indeks storie
maka dihasilkan nilai skoring yang berkisar antara 0,01 – 0,86. Sehingga untuk interval tingkat
kerawanan longsor dapat dihitung dengan :
ITK = 0,86 – 0,01 = 0,17
5
Tabel 6. Nilai skoring klasifikasi longsor
No. Klasifikasi Kisaran Longsor
1. Tidak Rawan 0,01 – 0,18
2. Kerawanan rendah 0,18 – 0,35
3. Kerawanan sedang 0,35 – 0,52
4. Kerawanan tinggi 0,52 – 0,69
5. Sangat rawan 0,69 – 0,86
Sumber : Nugroho, dkk (2006).
Berdasarkan hasil analisa maka didapatkan Peta Kawasan Longsor Kecamatan Pagentan. Kecamatan
Pagentan terdapat wilayah yang mempunyai kerawanan sangat rawan, sehingga perlu mendapatkan
perhatian khusus berkaitan dengan mitigasi bencana.
38
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
Setelah data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dan perhitungan yang
diperlukan untuk analisis kelongsoran. Langkah awal yaitu pemberian skoring/pengharkatan pada peta
sesuai dengan parameter dan kriterianya. Selanjutnya dilakukan proses tumpang susun (overlay), yaitu
dengan mengoverlay beberapa peta parameter (peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta curah
hujan, peta tataguna lahan).
Penentuan daerah rawan longsor menggunakan SIG dengan metode Indeks Storie yaitu
perkalian setiap parameter-parameter. Hasil analisis itu nantinya akan menghasilkan nilai kisaran
indeks storie. Selanjutnya nilai kisaran ini dikonversi pada beberapa tingkatan rawan longsor.
KESIMPULAN
Pemanfaatan teknologi SIG adalah untuk menyiapkan data spasial, melakukan evaluasi awal
sebagai masukan lokasi survei lapangan, dan melakukan evaluasi akhir untuk menentukan wilayah
rawan longsor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan longsor dan digunakan dalam penelitian
ini adalah : curah hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan jenis tanah. Peta curah hujan
didapatkan dari titik stasiun curah hujan yang berada di sekitar wilayah Kecamatan Pagentan. Stasiun
curah hujan tersebut adalah stasiun curah hujan karangkobar, stasiun curah hujan limbangan, stasiun
curah hujan penusupan dan stasiun curah hujan pagentan. Peta kemiringan Kecamatan Pagentan
diperoleh dari analisa Digital Elevation Model (DEM) yang bersumber dari peta kontur. Penggunaan
lahan di Kecamatan Pagentan terdiri dari Kebun Campuran, Tegalan, Perkebunan, Permukiman dan
Sawah. Jenis Tanah di wilayah studi terdiri dari 4 jenis tanah yang dikelompokkan menurut klasifikasi
USDA. Jenis tanah tersebut adalah ultisol, inseptisol, histosol dan oxisol. Berdasarkan hasil analisa maka
didapatkan Peta Kawasan Longsor Kecamatan Pagentan. Kecamatan Pagentan terdapat wilayah yang
mempunyai kerawanan sangat rawan, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus berkaitan dengan
mitigasi bencana.
39
Media Agrosains Vol. 4 No. 01, Desember 2018 : 30 - 40
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, S. dan Ita C. 2006. Implementasi Pengindraan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi Daerah Rawan
Bencana Longsor. Jurnal Pengindraan Jauh LAPAN. Vol 3. hal 80-81.
Bappeda. 2010. Pembuatan Peta Penutupan Lahan untuk Mendukung Basis Data Spasial di Wilayah
Kabupaten Sinjai. Lapan, Pare-pare.
Energi Sumber Daya Mineral. 2005. Pengenalan Gerakan Tanah, Vulcanological Survey of Indonesia.
Energi Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Gofar N dan Setiawan, B. 2006. Pengaruh Kandungan Air terhadap Potensi Keruntuhan Lereng Tanah.
http://us.geocities.com/budhiaiko/ pengaruh kadar air.htm
Hardiyatmo, H. C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Karnawati, D. 2003. Manajemen Bencana Gerakan Tanah. Diktat Kuliah. Jurusan Teknik Geologi.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Karnawati, D. 2005. Geologi Umum dan Teknik. Program Studi S2 Teknik Sipil UGM, Yogyakarta.
Kocher, Susan. D and John W. LeBlance. 2006. Why is My Forest the Way it is: Soil Erosion. Univ.of
California Cooperative Extention.
Nugroho, J.A. Nugroho, Jefri Ardian., Bangun Mulyo Sukojo. 2009. Pemetaan Daerah Rawan Longsor
dengan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Jurnal. ITS, Surabaya.
Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS).
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Subagio, Habib. 2008. Model Spasial Penilaian Rawan Longsor Studi Kasus di Trenggalek. Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Jakarta.
Subekti, R, Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring Air
di Daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre, Bogor.
Wahyunto. 2007. Kerawanan Longsor Lahan Pertanian di Daerah Aliran Sungai Citarum. Jawa Barat.
Balai Penelitian Tanah, Bogor.
40