You are on page 1of 133

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


PADA LANSIA DEMENSIA DENGAN KONFUSI KRONIS
MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY
DI RUANG SARASWATI RUMAH SAKIT
DR.H.MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

Missesa
1106122644

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2014

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


PADA LANSIA DEMENSIA DENGAN KONFUSI KRONIS
MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY
DI RUANG SARASWATI RUMAH SAKIT
DR.H.MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)

Missesa
1106122644

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2014

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya I1miah Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,


,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama :MISSESA
NPM : 1106122644
Tanda Tangan

Tanggal

ii

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama MISSESA
NPM 1106122644
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Jiwa
Judul Tesis Manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa
pada lansia demensia dengan konfusi kronis
menggunakan pendekatan Model Adaptasi
Roy di Ruang Saraswati Rumah Sakit DR.H.
Marzoeki Mahdi Bogor.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Spesialis Keperawatan Jiwa pada Program Stdi Ners Spesialis Keperawatan
Jiwa, Fakultas I1mu Keperawatan Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : DR. Novy Helena C.D., S.Kp., M Sc ~


~ o-~ )
~

Pembimbing II : Yossie Susanti Eka Putri, SKp, MN ~..)


Penguji : DR. Mustikasari, S.Kp., MARS
~
( . ...... ...... )
~

Penguji : dr. Priyanto , Sp. KJ

Penguji : Tantri Widiarti Utami ,S.Kp,MKep.Sp.KepJ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal :'10 Juli 2014

iii

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


SURAT PERNYATAAN DEDAS PLAGIAT

Yang beitanda tangan di bawah ini, saya :

Nama :MISSESA
NPM : 1106122644
Mahasiswa Program : Spesialis Keperawatan Jiwa
Peminatan : Keperawatan Jiwa
Tahun Akademik : 2013/2014

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan karya
. ilmiah akhir saya yang berjudul :

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA


LANSIA DEMENSIA DENGAN KONFUSI KRONIS MENGGUNAKAN
PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY DI RUANG SARASWATI
RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MARDI DOGOR

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat, maka saya akan menerima
sangsi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Depok, 10 Juli 2014

iv
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih
karuniaNya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir dengan Judul
“Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa pada Lansia Demensia
dengan Konfusi Kronis menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy di
Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor”. Karya Ilmiah Akhir
ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk meraih gelar Spesialis
Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Penyusunan Karya Ilmiah Akhir dibantu, dibimbing dan didukung oleh berbagai
pihak, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang
setulusnya kepada yang terhormat :

1. Dra. Juniati Sahar, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia beserta seluruh jajarannya
2. Henny Permatasari, M.Kep. Sp. Kep. Kom., selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N,Sc., selaku Koordinator mata ajar Karya
Ilmiah Akhir yang telah memberikan arahan.
4. Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc selaku Koordinator Residen III
dan motivator yang selalu memberikan support, memberikan ide cemerlang dan
mengajarkan kedisiplinan.
5. DR. Novy Helena Catharina Daulima, S.Kp, M.Sc selaku pembimbing I yang
telah membimbing penulis dengan sabar, bijaksana dan telaten memberikan
masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
6. Yossie Susanti Eka Putri, S.Kp, M.N selaku pembimbing II yang membimbing
penulis dengan sabar, bijaksana dan juga sangat teliti memberikan masukan
serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
7. DR. Mustikasari, S.Kp., MARS selaku penguji yang memberikan masukan
untuk penyempurnaan Karya Ilmiah Akhir ini

v
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
8. dr. Priyanto, Sp.K.J selaku penguji yang memberikan masukan khususnya
dalam penatalaksanaan medis.
9. Ns. Ice Yulia Wardhani, S.Kep, M.Kep, Sp. Kep. J selaku pembimbing
akademik yang selalu mengarahkan dan membimbing dengan kasih sayang.
10. Dhini, M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
yang memberikan dukungan dan izin melanjutkan pendidikan.
11. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah membekali dengan ilmu, sehingga penulis mampu
menyusun tugas akhir.
12. Direktur Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan
izin untuk praktik klinik keperawatan jiwa 3.
13. Idayati Arif, AMK selaku kepala Ruangan Saraswati dan seluruh rekan perawat
ruangan khususnya ruang Saraswati, terima kasih atas kerjasama selama penulis
menjalani praktik klinik keperawatan jiwa 3.
14. Keluarga tercinta, Papah Demus S.K Penyang dan Almarhum Mamah
Marthania tersayang, Ibu tersayang, Mertua tersayang, serta mina mama pahari
samandi’ai. Terima kasih atas dukungan doa dan kasihnya.
15. Suami tercinta Hendrowanto Nibel, M.Pd dan Ananda Giovansho Nibel
tersayang. Terima kasih atas cinta, doa, dukungan dan pengorbanan waktu
bersama yang diberikan.
16. Sobatku Hasniah, Martina, Adelina, Lydia, Reni dan seluruh rekan-rekan
angkatan VII Program Studi Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia atas kekompakan dan kerjasama yang baik.
Bersama kita luar biasa dan penuh ekspresi.
17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
Penulis harapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan Karya
Ilmiah Akhir ini. Semoga hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bermanfaat dari
segi kelimuan untuk peningkatan kualitas layanan asuhan keperawatan jiwa
khususnya pada lansia sebagai wujud pengabdian dan kasih kepada orangtua.

Depok, 10 Juli 2014

Penulis

vi

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :
Nama :MISSESA
NPM : 1106122644
Program Studi : Spesialis Keperawatan Jiwa
Peminatan : Keperawatan Jiwa
Fakultas : Fakultas IlmuKeperawatan
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Rolyalti Nonekslusif (Non Exclusive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA PADA


LANSIA DEMENSIA DENGAN KONFUSI KRONIS MENGGUNAKAN
PENDEKATAN MODEL ADAPTASI ROY DI RUANG SARASWATI
RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI BOGOR

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan hak bebas royalti nonekslusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/fonnatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database) merawat dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik
Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat,


Dibuat : Depok
PadaTanggal: 10 Juli 2014

Vll
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
ABSTRAK

Missesa

Karya Ilmiah Akhir, Juli 2014

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

Manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada lansia demensia dengan


konfusi kronis menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy di Ruang Saraswati
Rumah Sakit DR.H. Marzoeki Mahdi Bogor.

xix + 109 halaman + 17 tabel + 3 skema + 1 gambar + 8 lampiran

Prevalensi gangguan mental emosional termasuk demensia di Jawa Barat


berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 paling banyak dialami oleh
lansia. Karakteristik demensia seperti penurunan kognitif dan gangguan orientasi
menimbulkan masalah keperawatan yaitu konfusi kronis. Tujuan karya ilmiah akhir
ini melaporkan penerapan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap
lansia konfusi kronis di ruang Saraswati RSMM Bogor dengan pendekatan Model
Adaptasi Roy melalui intervensi keperawatan jiwa secara generalis, terapi
kelompok Reminiscence dan Family Psychoeducation (FPE). Jumlah lansia yang
dikelola ada 12 orang. Hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa
menunjukkan bahwa penurunan tanda dan gejala konfusi kronis serta peningkatan
kemampuan lansia demensia mengatasi konfusi kronis. Rekomendasi hasil karya
ilmiah akhir ini adalah diharapkan perawat jiwa menerapkan terapi keperawatan
generalis dan spesialis (Terapi Kelompok Reminiscence dan FPE) untuk perawatan
lansia dengan konfusi kronis.

Kata kunci : demensia, FPE, konfusi kronis, lansia, model adaptasi Roy,
reminiscence

Daftar Pustaka : 83 (1997 – 2014)

viii
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
ABSTRACT

Missesa

Final Scientific, July 2014

THE STUDY PROGRAM OF NURSING, SPECIALIST PSYCHIATRIC NURSE


FACULTY OF NURSING SCIENCE, UNIVERSITY OF INDONESIA

The Case management of psychiatric nursing specialist on elderly’s dementia with


chronic confusion, use Roy Adaptation Model approach in the Saraswati Ward,
Hospital of Dr.H. Marzoeki Mahdi, Bogor.

xix + 104 pages + 17 tables+ 3 schemas + 1 image + 8 attachments

The prevalence of mental disorders including dementia emotional in West Java,


based on the results of the Health Research In 2013 most widely experienced by
elderly. Characteristic of dementia such as cognitive decline and disorientation that
cause nursing diagnosis of chronic confusion. Psychiatric nursing care with Roy
Adaptation Model approaches to overcome the chronic confusion through a
generalist interventions in psychiatric nursing, therapy and family group
psychoeducation Reminiscence (FPE). The purpose of final scientific papers
reporting on the implementation case management of specialist psychiatric nursing
to elderly with chronic confusion in Saraswati ward RSMM Bogor, use Roy
Adaptation Model approach. The number of elderly who managed 12 people. The
case management result of psychiatric nursing specialists showed that the
reduction of signs and symptoms of chronic confusion, and increasing the ability of
elderly’s dementia to cope chronic confusion. Recommended final outcome of this
scientific work is expected to implement nursing therapy generalist and specialist
(Reminiscence Therapy and FPE) to elderly care with chronic confusion.

Keywords: dementia, FPE, chronic confusion, the elderly, adaptation Roy model,
reminiscence

Bibliography : 83 (1997 - 2014)

ix
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT .................... iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA .............
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xvi
DAFTAR BAGAN.................................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................xviii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 9
1.2.1 Tujuan Umum ................................................................................ 9
1.2.2 Tujuan Khusus ............................................................................... 9
1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................... 10
1.3.1 Manfaat Aplikatif........................................................................... 10
1.3.2 Manfaat Keilmuan ......................................................................... 10
1.3.3 Manfaat Metodologi ...................................................................... 10
1.3.4 Manfaat Kehidupan Profesionalisme ............................................. 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 12


2.2 Lansia Demensia ..................................................................................... 12
2.1.1 Konsep Lansia ............................................................................... 11
2.1.2 Demensia ....................................................................................... 14
2.2 Model Adaptasi Stres Stuart .................................................................... 22
2.2.1 Input ............................................................................................... 24
2.2.2 Proses ............................................................................................. 31
2.2.3 Output ............................................................................................ 42
2.3 Konsep Model Adaptasi Roy .................................................................. 43
2.4 Proses Keperawatan pada Lansia Demensia dengan Konfusi Kronis .....
Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy .................................... 44

BAB 3 MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN RUMAH SAKIT ....


DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR .......................................................... 50
3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. Marzoeki Mahdi Bogor ................. 50
3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa ..................
Profesional (MPKP) RSMM Bogor ........................................................ 52
3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Saraswati ................ 53
3.4 Penatalaksanaan Konfusi Kronis di Ruang Saraswati............................. 59

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA ...........
PADA LANSIA DEMENSIA DENGAN KONFUSI KRONIS .................
DI RUANG SARASWATI ............................................................................ 60
4.1 Hasil Pengkajian Lansia dengan Konfusi Kronis di Ruang Saraswati ... 60
4.1.1 Karakteristik Klien ........................................................................ 60
4.1.2 Faktor Predisposisi ........................................................................ 62
4.1.3 Faktor Presipitasi ........................................................................... 63
4.1.4 Penilaian terhadap Stressor ............................................................ 64
4.1.5 Sumber Koping .............................................................................. 66
4.1.6 Koping Mekanisme........................................................................ 67
4.1.7 Diagnosa Keperawatan dan Medik ................................................ 67
4.2 Penatalaksanaan Lansia dengan Diagnosa Keperawatan .....................
Konfusi Kronis ....................................................................................... 69
4.2.1 Rencana Keperawatan ................................................................... 69
4.2.2 Implementasi Keperawatan .......................................................... 69
4.2.3 Evaluasi Hasil ............................................................................... 71
4.3 Kendala Pelaksanaan .............................................................................. 77
4.4 Rencana Tindak Lanjut ........................................................................... 77

BAB 5 PEMBAHASAN ............................................................................................. 79


5.1 Input ........................................................................................................ 79
5.1.1 Stimulus Fokal................................................................................ 80
5.1.2 Stimulus Kontekstual ..................................................................... 83
5.1.3 Stimulus Residual ........................................................................... 89
5.2 Proses ....................................................................................................... 91
5.2.1 Proses Kontrol ................................................................................ 91
5.2.2 Asuhan Keperawatan Konfusi Kronis ............................................ 94
5.3 Output ...................................................................................................... 98

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 105


6.1 Kesimpulan............................................................................................... 105
6.2 Saran ......................................................................................................... 107

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengobatan pada Lansia Demensia dengan Gangguan Perilaku ............. 21
Tabel 3.1 Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP Ruang Saraswati ................
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2014 .................................. 57
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Lansia dengan Konfusi Kronis di Saraswati .... 61
Tabel 4.2 Analisis Karakteristik Lansia berdasarkan MMSE ................................. 62
Tabel 4.3 Distribusi Faktor Predisposisi pada Lansia dengan Konfusi Kronis ....... 63
Tabel 4.4 Distribusi Faktor Presipitasi pada Lansia dengan Konfusi Kronis di
Saraswati ................................................................................................. 64
Tabel 4.5 Distribusi Penilaian terhadap Stressor pada Lansia Konfusi Kronis ......
Di Saraswati ............................................................................................ 65
Tabel 4.6 Distribusi Sumber Koping pada Lansia dengan Konfusi Kronis di ........
Saraswati ................................................................................................. 66
Tabel 4.7 Distribusi Mekanisme Koping pada Lansia dengan Konfusi Kronis ......
Di Saraswati ............................................................................................ 67
Tabel 4.8 Distribusi Diagnosa Keperawatan yang Menyertai Lansia ..................... 67
Tabel 4.9 Distribusi Diagnosa Medis dan Terapi Medis pada Lansia dengan
Konfusi Kronis di Saraswati ................................................................... 68
Tabel 4.10 Perencanaan Pelaksanaan pada Lansia dengan Konfusi Kronis .............
Di Saraswati ........................................................................................... 69
Tabel 4.11 Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan jiwa pada
Lansia dengan Konfusi Kronis Di Ruang Saraswati ........................... 69
Tabel 4.12 Evaluasi Tanda dan Gejala Konfusi Kronis pada Lansia di Ruang .......
Saraswati ............................................................................................... 72
Tabel 4.13 Rata-rata nilai MMSE pada Lansia dengan Konfusi Kronis di ............
Ruang Saraswati .................................................................................... 74
Tabel 4.14 Evaluasi Kemampuan Lansia mengatasi Konfusi Kronis di Ruang .....
Saraswati ............................................................................................... 75
Tabel 4.15 Evaluasi Kemampuan Keluarga Lansia mengatasi Konfusi Kronis di .
Ruang Saraswati .................................................................................... 76

xii

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar otak .......................................................................................... 26

xiii

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Model Adaptasi Stres Stuart..................................................................... 22


Skema 2.2 Pohon Masalah Keperawatan Konfusi Kronis ......................................... 32
Skema 2.3 Integrasi Aplikasi Model Adaptasi Stres Stuar dan Model Adaptasi
Roy pada Proses Keperawatan .................................................................. 49

xiv

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Pengukuran Tanda dan Gejala Konfusi Kronis

Lampiran 2. Instrumen Pengukuran Kemampuan Generalis Mengatasi Konfusi

Kronis

Lampiran 3. Instrumen Pengukuran Terapi Kelompok Reminiscence

Lampiran 4. Instrumen Pengukuran Terapi Family Psycoeducation

Lampiran 5. Ringkasan Terapi Kelompok Reminiscence

Lampiran 6. Ringkasan Terapi Kelompok Family Psycoeducation

Lampiran 7. Instrumen Mini Mental State Examination (MMSE)

Lampiran 8. Riwayat Hidup Penulis

xv

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aset berharga saat ini untuk menghadapi era globalisasi adalah kesehatan jiwa.
Kesehatan jiwa adalah keadaan sejahtera yang dikaitkan dengan adanya
kebahagian, kepuasan, prestasi, rasa optimis atau harapan (Stuart, 2013). Definisi
lainnya yaitu kesehatan jiwa sebagai kondisi sejahtera dimana individu menyadari
kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stres dalam kehidupannya, dapat
bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam kehidupan
bermasyarakat (WHO, 2013). Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa seseorang
akan mengalami masalah kesehatan jiwa jika keadaannya tidak sejahtera secara
emosional, psikologis, dan sosial, serta belum menyadari akan kemampuannya
sehingga tidak dapat produktif.

Kesejahteraan dalam kesehatan jiwa ditujukan kepada semua kelompok usia


mulai bayi sampai lansia. Proyeksi penduduk tahun 2010-2035 yaitu kelompok
umur 0-14 tahun dan 15-49 tahun menurun, sedangkan kelompok umur lansia (50-
64 tahun dan 65+) terus meningkat (Kementerian Kesehatan R.I, 2013). Pada
tahun 2008 sebesar 19.502.355 lansia, Tahun 2010 sekitar 24 juta lansia dan
tahun 2020 diperkirakan sekitar 28 juta lansia (BPS dalam Martono, 2013).
Peningkatan jumlah lansia ini menempatkan Indonesia termasuk 5 besar negara
dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia, hal tersebut didukung
peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH). Tahun 2000 UHH di Indonesia adalah
64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia 7,18%), Tahun 2010 meningkat
menjadi 69,43 tahun (dengan persentase populasi lansia 7,56%) dan Tahun 2011
menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia 7,58%) (Kementerian
Kesehatan R.I, 2013). Peningkatan ini harus diimbangi dengan peningkatan
layanan kesehatan untuk peningkatan kesejahteraan lansia.

1 Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


2

Lansia mendapat perhatian khusus karena rentan mengalami gangguan mental


emosional terkait perubahan berbagai aspek baik dari segi biologis, psikologis dan
sosial (Mauk, 2006). Secara biologis lansia mengalami penurunan berbagai
sistem tubuh mulai dari dari sistem sensoris, integument, muskuloskeletal,
neurologis, kardiovaskuler, pulmonal, endokrin, perkemihan, gastrointestinal dan
reproduksi serta daya tahan tubuh (Wallace, 2008). Perubahan fisik yang
dialaminya seperti penjelasan sebelumnya, khususnya pada sistem neurobiologis
baik dari segi struktur dan fungsinya terjadi perubahan seperti penyusutan neuron,
distribusi neuron kolinergik, norepineprin dan dopamine yang tidak seimbang
sehingga dikompensasi dengan menurunnya intelektual. Penuaan pada sistem
kardiovaskuler seperti menurunnya elastisitas pembuluh darah sehingga menurun
pula suplay nutrisi ke jaringan otak, penuaan pada sistem muskuloskeletal seperti
menurunnya aktivitas motorik yang berisiko terjadinya cidera pada kepala (Steele,
2010).

Perubahan sosial pada lansia seperti menurunnya aktivitas sosial karena


keterbatasan fisik, perubahan status sosial ekonomi karena pensiun dan penurunan
aktivitas kerja serta adanya perpisahan atau kehilangan orang terdekat (Mauk,
2006; Stanley & Beare, 2014). Perubahan psikologis lansia yaitu sebagian lansia
akan merasa terpenuhinya berbagai kebutuhan atau sebaliknya banyak yang belum
terpenuhi, semakin meningkatnya kesadaran diri atau makin kuatnya ego,
melakukan prestasi dalam hidupnya, menerima perawatan dan penurunan kondisi
mental, adanya keteladanan atau penurunan peran, kesiapan mengahadapi
kesakitan dan kematian atau sebaliknya menjadi frustasi dalam perannya atau
frustasi dengan keberadaannya (Mauk, 2006; Townsend, 2014).

Perubahan pada lansia merupakan proses penuaan yang normal tetapi apabila
lansia tidak memiliki koping yang efektif dan belum mampu beradaptasi serta
memiliki penilaian negatif terhadap berbagai stressor tersebut maka muncullah
masalah psikologis yang memicu terjadinya gangguan mental emosional.
Demensia merupakan salah satu gangguan mental emosional yang sering terjadi
pada lansia selain depresi dan ansietas (WHO, 2014). Demensia merupakan suatu
Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


3

sindroma klinis yang menggambarkan kerusakan fungsi kognitif secara global


yang biasanya bersifat progresif dan mempengaruhi aktivitas sosial dan aktivitas
pekerjaan sehari-hari (Bowers, 2008).

Karel, Gatz dan Smyer (2012) menyampaikan bahwa ada peningkatan gangguan
mental seperti demensia seiring peningkatan usia yaitu sekitar 1 dari 5 lansia.
Jumlah orang dengan demensia di seluruh dunia pada tahun 2010 diperkirakan
mencapai 35,6 juta dan diperkirakan hampir dua kali lipat setiap 20 tahun menjadi
65,7 juta pada tahun 2030 dan 115.400.000 pada tahun 2050, dengan demikian
diproyeksikan meningkat menjadi 71 % pada tahun 2050 (WHO, 2013). Hasil
penelitian di Nigeria sebagai salah satu negara berkembang menunjukkan bahwa
prevalensi demensia adalah 2,79% (CI 1-4,58%) dengan 66,67% penyakit
Alzheimer dari seluruh kasus demensia, serta usia satu-satunya faktor demografis
yang terkait dengan demensia yaitu usia lanjut (mean subyek 75,5 tahun) (Yusuf
et al, 2011). Fakta ini memberi gambaran bahwa lansia berisiko mengalami
demensia dan jumlah kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Peningkatan kasus demensia merupakan masalah serius yang harus ditangani


terutama di wilayah berpenghasilan menengah seperti Indonesia yang jumlahnya
terus meningkat pula. Total jumlah kasus demensia baru setiap tahun di seluruh
dunia hampir 7,7 juta, hal ini menyiratkan bahwa 1 (satu) kasus baru setiap 4
(empat) detik, dimana 58 % tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah (Greenblat, 2012). Hasil penelitian WHO (2013) menunjukkan bahwa
peningkatan kasus demensia di wilayah Asia tenggara tertinggi pada usia 75 – 79
tahun dengan estimasi prevalensi 6,4 % (termasuk tinggi sesuai standar
internasional 6 – 9 %).

Masalah demensia di Indonesia tidak dijabarkan secara langsung tetapi


diidentifikasikan sebagai salah satu masalah gangguan mental emosional yang
dialami dengan prevalensi secara nasional berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Tahun 2013 adalah 6,0% dengan peningkatan kejadian
meningkat seiring usia lanjut tepatnya tertinggi dialami usia 75 tahun ke atas.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


4

(Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, 2013). Data ini


menggambarkan bahwa demensia merupakan gangguan mental emosional yang
banyak dialami oleh lansia.

Dampak demensia pada kesejahteraan lansia seperti kesulitan dalam memori,


bereaksi, membuat rencana dan melakukan perawatan diri secara mandiri (Steele,
2010). Selain itu, lebih dari 20 % orang dewasa berusia 60 dan lebih menderita
gangguan mental atau neurologis terkait gangguan yang umum terjadi pada lansia
salah satunya demensia dapat menimbulkan dampak terhadap indikator DALY’s
(Disability Adjusted Life Years) yaitu ketidakmampuan lansia melakukan aktivitas
sehari-hari (WHO, 2014). Lansia yang mengalami demensia memiliki tingkat
ketergantungan yang signifikan, meningkatkan beban ekonomi karena
membutuhkan perawatan jangka panjang (Melilo & Houde, 2011). Biaya
perawatan pada klien demensia diperkirakan mencapai US $ 604.000.000.000 per
tahun saat ini dan akan terus meningkat lebih cepat daripada prediksi prevalensi
kasusnya (Greenblat, 2012). Dampak lainnya yaitu menurunnya kualitas hidup
lansia karena menurunnya kemandirian, kemampuan bekerja dan keterlibatan
dalam kegiatan sosial (Bienacki, 2007). Demensia memiliki dampak pada
berbagai aspek kehidupan mulai dari penurunan tingkat kemampuan, peningkatan
beban ekonomi dan penurunan kualitas hidup lansia.

Demensia di Indonesia secara tidak langsung berkontribusi terhadap disabilitas


atau ketidakmampuan seseorang (Kementerian Kesehatan R.I, 2013). Hasil
RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi kecenderungan
disabilitas ada 11 item, penulis mengidentifikasi ada 9 item diantaranya yang
berkaitan dengan demensia yaitu kesulitan penggunaan pakaian (1,6%), sulit
kebersihan diri (1,8%), sulit memelihara persahabatan (2,2%), sulit bergaul
dengan orang yang belum dikenal (2,5%), sulit mengerjakan pekerjaan sehari-hari
(3,3%), sulit berperan dalam kegiatan di masyarakat (3,9%), sulit memusatkan
pikiran selama 10 menit (3,9%), besar masalah kesehatan yang mempengaruhi
emosi (4,4%), sulit mengerjakan pekerjaan rumah tangga (4,6%), sulit untuk

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


5

berdiri dalam waktu lama, sulit berjalan jauh). Berbagai dampak negatif tersebut
merupakan masalah keperawatan yang harus segera ditangani.

Respon yang menjadi ciri khas pada lansia yang mengalami demensia adalah
terjadinya penurunan daya ingat kronis yang membuatnya bingung melakukan
sesuatu, hal ini menjadi pertimbangan ditegakkannya diagnosa keperawatan
konfusi kronis pada lansia yang mengalami demensia (Doenges, Moorhouse &
Murr, 2006; Mosack, 2011; Videbeck, 2011; NANDA, 2012; Stuart, 2013;
Townsend, 2014). Konfusi kronis adalah penurunan irreversible jangka panjang
atau progresif pada kemampuan intelektual dan kepribadian yang
dikarakteristikkan dengan penurunan kemampuan untuk menterjemahkan stimulus
lingkungan serta penurunan kapasitas proses pikir intelektual serta
dimanifestasikan dengan gangguan daya ingat, orientasi dan perilaku (NANDA,
2012).

Tanda dan gejala konfusi kronis seperti mudah lupa, mudah lelah, sulit
konsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, tampak bingung, disorientasi
waktu, tempat dan orang, kerusakan memori jangka panjang, kerusakan memori
jangka pendek, gangguan interpretasi, hambatan sosialisasi, tidak bisa merawat
diri, gangguan kepribadian, bukti klinis gangguan organik, afek labil (cepat marah
dan atau sulit diatur), mondar-mandir / kurang koordinasi gerakan (Doenges,
Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse Center, 2011; NANDA, 2012).
Diagnosa keperawatan konfusi kronis ini harus ditangani karena kebingungan
yang lansia alami membuat mereka kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,
kurang mampu bersosialisasi dan mengambil keputusan dalam perawatan diri
dengan rendahnya daya orientasi serta penurunan daya ingat yang mereka alami
(Mauk, 2006). Kondisi ini tentunya secara tidak langsung menurunkan kualitas
hidup pada lansia, upaya kesehatan yang dapat dilakukan perawat jiwa
meminimalisir akibat konfusi kronis yaitu melalui intervensi keperawatan yang
tepat.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


6

Intervensi keperawatan mengacu pada model adaptasi Roy yaitu meningkatkan


kemampuan adaptasif lansia yang mengalami konfusi kronis terdiri dari tindakan
keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis jiwa. Tindakan
keperawatan secara generalis seperti mengkaji derajat kerusakan kognitif (misal
perubahan orientasi pada orang, tempat, rentang perhatian dan kemampun
berpikir), mempertahankan lingkungan yang nyaman; melakukan pendekatan
dengan pola lambat dan tenang; berhadapan dengan individu ketika berbicara;
memanggil klien sesuai namanya; berbicara dengan nada suara rendah dan
perlahan; selingi interaksi dengan humor, memberi kesempatan klien
mengumpulkan barang-barang milik pribadi; menciptakan aktivitas sederhana
tanpa kompetitif sesuai kemampuan klien seperti stimulasi kognitif dengan musik,
menonton acara televisi; melakukan hobi dan melakukan aktivitas harian sesuai
kemampuan; melakukan kegiatan spiritual; memantau efek samping obat, tanda
dan kelebihan; mengevaluasi pola istirahat yang adekuat (Doenges, Moorhouse &
Murr, 2006).

Intervensi keperawatan pada tingkat lanjut atau kita kenal sebagai tindakan
keperawatan spesialis jiwa salah satunya adalah psikoterapi (Videbeck, 2011).
Psikoterapi adalah proses terapi masalah psikologis melalui komunikasi
memperhatikan struktur, prinsip dan tehnik yang profesional (Herkov, 2006).
Psikoterapi mengatasi masalah kognitif lansia demensia diantaranya yaitu Terapi
Musik, Terapi Stimulasi Otak, Terapi Reminiscence (Innes & McCabe, 2007;
Jones & Miesen, 2007; Mosack, 2011). Psikoterapi mengatasi diagnosa
keperawatan konfusi kronis masih terbatas, namun terkait masalah kognitif pada
lansia demensia telah banyak diteliti, salah satunya yaitu terapi Reminiscence.

Terapi Reminiscence adalah terapi mengenang pada lansia secara spontan sejak
masa kanak-kanak sampai dewasa tanpa terikat urutan atau struktur yang baku,
dapat lakukan secara individu maupun kelompok (Mitchell, 2009). Hasil
penelitian Korte, Bohlmeijer, Cappeliez, Smit & Westerhof (2012) menunjukkan
bahwa terapi kelompok reminscence efektif untuk mencegah dan mengurangi
depresi, meningkatan tingkat kepuasan dalam hidup, meningkatkan perawatan
Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


7

diri, meningkatkan harga diri, membantu lansia dalam krisis, kehilangan dan
transisi. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Schweitzer (2013) tentang
“Reminiscence in Dementia Care” menunjukkan terapi Reminiscence terbukti
efektif mengatasi masalah demensia pada lansia salah satunya kemampuan
kognitifnya, penelitian ini dimulai sejak Tahun 1997 sampai sekarang diawali dari
Inggris kemudian beberapa negara Eropa lainnya melalui program kegiatan yaitu
Remember Yesterday Caring Today (RYCT).

Konsep model adaptasi Roy menjabarkan bahwa intervensi keperawatan yang


diberikan kepada lansia dapat berupa stimulus dari lingkungan sekitar termasuk
keluarga sebagai sumber pendukung. Hasil penelitian Schulz dan Martire (2004)
menunjukkan bahwa keluarga sebagai caregiver mengalami masalah kesehatan
karena adanya konflik dalam perawatan klien demensia dalam jangka waktu yang
cukup lama, misalnya penurunan kesehatan secara fisik dan masalah psikologis
seperti cemas dan depresi. Hasil penelitian Lavretsky, H., Siddarth, P., Irwin,
M.R. (2010) menunjukkan fakta yang tidak jauh berbeda dengan penelitian
sebelumnya bahwa keluarga yang menjadi caregiver klien demensia mengalami
depresi. Fakta ini menjadi acuan intervensi keperawatan bahwa keluarga sebagai
sumber pendukung harus dipersiapkan seoptimal mungkin dengan mengatasi
masalah dalam perawatan melalui Family Psycoeducation (FPE). Penerapan
terapi FPE memberi dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stress dan
krisis, seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit Alzheimer
(Carson, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa FPE dapat meningkatkan
kualitas hidup lansia yang mengalami depresi secara bermakna (Bharaty, Keliat
& Besral, 2011). Keadaan lansia yang mengalami konfusi kronis sama halnya
dengan lansia depresi yang berdampak pada psikologis keluarga, oleh karena itu
FPE merupakan salah satu pilihan mengatasi diagnosa konfusi kronis pada lansia
demensia.

Pelaksanaan tindakan keperawatan ini dilakukan secara terintegrasi dengan model


atau model konsep sebagai landasan pelaksanaan terapi. Pendekatan yang
dilakukan dalam mengatasi masalah ini adalah Model adaptasi Roy (Alligood &
Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


8

Tomey, 2014). Tiga konsep utama dalam proses model adaptasi Roy yaitu input,
proses kontrol dan umpan balik serta output. Input yang diterima manusia berupa
stimulus yang dihasilkan dari interaksi antara manusia dengan lingkungan terdiri
dari 3 tingkatan yaitu fokal, kontekstual dan residual. Stimulus fokal merupakan
stimulus yang langsung berkaitan dengan stressor utama, stimulus kontekstual
merupakan stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhi fokal, dapat
diukur dan dilaporkan secara subjektif. Stimulus tambahan namun sulit diukur
yaitu stimulus residual, contohnya nilai, kepercayaan, sikap dan sifat.

Penggunaan Model adaptasi ini dalam penanganan klien dalam konfusi kronis
adalah membantu klien belajar beradaptasi mengatasi masalah saat ini dengan
melalui stimulus – stimulus yang diberikan supaya klien mengenal keberadaannya
dan lingkungan sekitarnya kemudian memproses semua informasi tersebut
sebagai bahan belajar untuk meningkatkan kemampuan diri sehingga hasil
akhirnya ia mampu semaksimal mungkin memberikan umpan balik positif atau
berespon sesuai stimulus yang diterimanya.

Pelaksanaan asuhan keperawatan keperawatan jiwa lansia dengan konfusi kronis


pada karya ilmiah akhir ini di Rumah Sakit Dr. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor
yaitu Rumah Sakit dengan unggulan pelayanan kesehatan jiwa sejak Tahun 1882
yang berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil RISKESDAS
prevalensi gangguan mental emosional di Jawa Barat Tahun 2007 tertinggi secara
nasional yaitu 20% berarti lebih tinggi 8,4% dari angka nasional dan Tahun 2013
ada 9,3% berarti lebih tinggi 3,3% dari angka nasional (Departemen Kesehatan
R.I, 2007; Kementerian Kesehatan R.I, 2013). Fakta tersebut menggambarkan
bahwa ada penurunan gangguan mental emosional di Jawa Barat termasuk
wilayah Bogor tetapi perbaikan ini belum optimal karena masih tinggi dari angka
nasional serta munculnya masalah penyerta lainnya yang masih berkaitan dengan
demensia yaitu disabilitas.

Disabilitas penduduk Provinsi Jawa Barat berdasarkan RISKESDAS Tahun 2013


menunjukkan prevalensi 12,7% berarti lebih tinggi dari prevalensi penduduk
Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


9

Indonesia yaitu 1,7%, sedangkan rata-rata skor disabilitas mencapai 22,88 dan
rata-rata hari produktif yang hilang 5,5 hari selama sebulan. Hal ini menjadi
keprihatinan di Jawa Barat karena disabilitas dan hilangnya produktifitas ini
berefek pada aspek lainnya yaitu perekonomian di Jawa Barat.

Ruang Saraswati RSMM Bogor merupakan Ruang Psikogeriatri yang menjadi


bagian pelayanan yang tidak terpisah dengan berbagai permasalah tersebut di atas,
mengingat ruang perawatan ini khusus bagi lansia yang rentan mengalami
ganggguan mental emosional dan disabilitas. Berdasarkan hasil praktik residensi
3 (tiga) selama 9 minggu di Saraswati ada 12 (33,3%) lansia demensia dengan
diagnosa keperawatan konfusi kronis. Asuhan keperawatan yang diberikan
perawat ruang Saraswati untuk mengatasi diagnosa keperawatan konfusi kronis
masih bervariasi pada lansia dan keluarganya serta berfokus pada pemenuhan
kebutuhan dasar karena belum ada standar khusus kecuali Terapi Kelompok
Aktivitas Orientasi Realitas yang rutin dilakukan.

Fakta dan beberapa hasil penelitian sebelumnya serta pertimbangan kondisi klinis
tentang lansia demensia dengan konfusi kronis, maka penulis tertarik untuk
membuat karya tulis ilmiah akhir dengan pendekatan Model adaptasi Roy
dilakukan di ruang rawat Saraswati RSMM Bogor. Hal ini sebagai upaya
peningkatan kemampuan adaptif lansia dengan konfusi kronis sehingga tercapai
integritas diri secara optimal.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Menganalisis manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap klien
konfusi kronis di ruang Saraswati RSMM Bogor dengan pendekatan
Model Adaptasi Roy.

1.2.2 Tujuan Khusus


1.2.2.1 Mengidentifikasi karakteristik klien yang mengalami konfusi kronis di
ruang Saraswati RSMM Bogor.
Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


10

1.2.2.2 Menganalisis aplikasi Model adaptasi Roy dalam penerapan Reminiscence


dan Family Psycoeducation pada klien konfusi kronis di ruang Saraswati
RSMM Bogor.
1.2.2.3 Menganalisis implikasi terapi Reminiscence dan Family Psycoeducation
pada klien konfusi kronis dan keluarga di ruang Saraswati RSMM Bogor
dengan pendekatan Model adaptasi Roy.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Manfaat Aplikatif
1.3.1.1 Hasil karya ilmiah ini diharapkan jadi panduan perawat dalam
melaksanakan terapi spesialis pada klien dengan konfusi kronis dengan
pendekatan Model adaptasi Roy di ruang rawat inap RSMM Bogor.
1.3.1.2 Meningkatkan kemampuan perawat dalam memberikan terapi spesialis
pada klien dengan konfusi kronis dengan pendekatan Model adaptasi Roy
di ruang rawat inap RSMM Bogor.
1.3.1.3 Menjadi dasar pertimbangan dan pemikiran dalam mengembangkan dan
menerapkan terapi keperawatan jiwa spesialis dengan menggunakan
pendekatan model pendekatan Model adaptasi Roy.

1.3.2 Manfaat Keilmuan


1.3.2.1 Memberikan informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan jiwa
di tatanan rumah sakit dalam menangani klien dengan konfusi kronis.
1.3.2.2 Mengembangkan teknik pemberian asuhan keperawatan jiwa dalam
penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan
konfusi kronis..
1.3.2.3 Mengembangkan cara untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi klien
dengan konfusi kronis.

1.3.3 Manfaat Metodologi


1.3.3.1 Menerapkan model atau model keperawatan Model adaptasi Roy untuk
meningkatkan kemampuan klien konfusi kronis.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


11

1.3.3.2 Hasil penulisan ilmiah ini berguna sebagai data dasar aplikasi Model
adaptasi Roy dalam memberikan gambaran terapi yang efektif bagi klien
konfusi kronis.

1.3.4 Manfaat Kehidupan Profesionalisme


1.3.4.1 Memperoleh gambaran dan menjadi data acuan pelaksanaan manajemen
kasus spesialis terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa dan
asuhan keperawatan jiwa ditatanan rumah sakit.
1.3.4.2 Memperoleh pengalaman dalam penerapan ilmu dan model konseptual
keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi spesialis pada klien
gangguan jiwa dan melakukan koordinasi ditatanan rumah sakit

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab ini penulis akan menguraikan konsep lansia, Model stres adaptasi
Stuart pada lansia demensia dengan konfusi kronis, konsep Model Adaptasi Roy,
penerapan Model Adaptasi Roy pada proses keperawatan lansia dengan konfusi
kronis. Berikut ini akan penulis uraikan berbagai konsep yang terkait.

2.1 Lansia Demensia


2.1.1 Konsep Lansia
Lanjut usia atau lebih kita kenal dengan dengan istilah lansia di Indonesia
menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
ditetapkan yaitu usia 60 tahun ke atas. Tidak jauh berbeda yang disampaikan oleh
Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan R.I Tahun 2009 bahwa lansia
yaitu berusia 60 tahun ke atas. WHO dalam Depkes R.I (2001) menyebutkan
batasan usia lansia terdiri dari 4 (empat) kategori yaitu middle age (45 - 59 tahun),
elderly (60-70), old (75-90), very old ( usia di atas 90 tahun). Merangkum hal
tersebut diatas maka batasan usia lansia adalah usia 60 tahun atau lebih.

Tugas perkembangan lansia adanya konflik antara integritas ego versus


keputusasaan terbagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap pertama (perbedaan ego
versus preokupasi peran kerja), tahapan kedua (transcendence tubuh versus
preokupasi tubuh), selanjutnya tahapan ketiga (transcendence ego versus
preokupasi ego) (Stanley & Beare, 2006). Pada tahapan pertama lansia memiliki
tugas mencapai identitas dan perasaan berharga dari sumber lain selain dari peran
kerjanya, tahapan kedua mengarah pada pandangan bahwa kesenangan dan
kenyamanan dapat menciptakan kesejahteraan fisik. Pada tahapan ketiga
melibatkan penerimaan tentang kematian individu. Berdasarkan hal tersebut
disimpulkan bahwa lansia dalam pencapaian tugas perkembangan integritas diri
yang utuh harus melalui penyesuaian dan adaptasi terhadap perubahan kondisi
fisik yang dialaminya.

12 Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


13

Perubahan kondisi fisik lansia khususnya neurologis yaitu perubahan struktural


yang paling terlihat pada otak seperti perubahan ukuran otak akibat atropi girus
dan dialtasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang
paling besar dipengaruhi oleh neuron, adanya penurunan aliran darah serebral.
Penyusutan neuron potensial 10%, distribusi neuron kolinergik, norepinefrin dan
dopamin yang tidak seimbang dikompensasi oleh hilangnya sel-sel yang
mengakibatkan penurunan intelektual. Memori mungkin berubah dalam proses
penuaan dimana memori untuk kejadian di masa lalu lebih banyak diretensi dan
lebih banyak diingat daripada informasi yang masih baru, hal ini terkait bahwa
neuron-neuron tidak mengalami regenerasi namun hubungan antar sel yang tersisa
meningkat sehingga kemampuan kognitif masih memberikan dukungan. Fungsi
saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami penurunan secara keseluruhan,
adanya plak senilis dan kekusutan neurofibril yang berkembang pada lansia
dengan dan tanpa demensia (Stanley & Beare, 2006).

Penuaan yang dialami oleh lansia membuatnya rentan mengalami berbagai


masalah kesehatan khususnya masalah kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa pada lansia
dipenaruhi berbagai tantangan dalam menjaga homoestasis emosionalnya oleh
adanya beberapa faktor seperti penyakit, kematian, penurunan kemampuan,
menurunnya sensori pancaindera, kehilangan peran dan penurunan pendapatan
(Eliopoulus, 2010). Pernyataan lainnya disampaikan oleh Mauk (2010) bahwa
lansia rentan mengalami gangguan mental emosional terkait perubahan berbagai
aspek baik dari segi biologis, psikologis dan sosial (Mauk, 2010). Gangguan
mental emosional yang umum terjadi pada lansia dan merupakan masalah utama
yang mengakibatkan disabilitas yaitu depresi, demensia dan ansietas (WHO,
2014).

Kondisi tersebut di atas harus diimbangi dengan pelayanan kesehatan yang


memadai, perhatian khusus pemerintah Indonesia terkait layanan kesehatan
tertuang dalam Undang-Undang Kesejahteraan Lansia Tahun No.13 Tahun 1998
Pasal 12 bahwa pelayanan kesehatan merupakan salah satu pelayanan yang tidak

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


14

potensial atau dengan kata lain harus ditingkatkan sehingga kondisi fisik, mental
dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar.

2.2.2 Demensia
2.2.2.1 Pengertian Demensia
Pengertian lainnya menurut WHO (2013) demensia adalah suatu sindrom
penyakit pada otak biasanya bersifat kronis dan progresif, dimana disebabkan oleh
kerusakan multifel kortikal termasuk memori, kemampuan berpikir, orientasi,
pemahaman, berhitung, kapasitas belajar, berbahasa dan pengambilan keputusan.
Kondisi ini kadang-kadang disertai kerusakan kontrol emosi, perilaku sosial atau
motivasi.

Definisi demensia secara klinis yaitu gangguan jiwa yang meliputi defisit kognitif
multiple, kerusakan memori utama dan minimal salah satu gangguan kognitif
berikut: afasia (deteriorasi fungsi bahasa), aprasia (gangguan kemampuan dalam
melakukan fungsi motorik walaupun kemampuan motorik utuh), agnosia
(ketidakmampuan untuk mengenali atau menyebutkan nama benda walaupun
kemampuan sensori utuh atau gangguan fungsi eksekutif (kemampuan untuk
berpikir abstrak dan merencanakan, memulai, mengurutkan, memantau dan
menghentikan perilaku yang kompleks) (Stuart, 2013). Berdasarkan beberapa
pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa demensia suatu sindrom atau
sekumpulan gejala terkait dengan kerusakan kognitif, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, motorik, interpretasi sesuatu serta kepribadian yang umunya
bersifat kronis dan progresif tanpa adanya penurunan kesadaran yang
mempengaruhi fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas klien sehari-hari.

Diagnosis medis demensia menurut DSM-V dengan istilah baru yaitu


Neurocognitive Disorder (NCD) sedangkan di Indonesia masih menggunakan
istilah demensia dalam Perbandingan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) – III, yaitu termasuk dalam gangguan mental organik. Demensia
meruapakan suatu sindrom akibat penyakit ganguan otak yang biasanya bersifat
kronik-progresif, dimana terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang multipel

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


15

termasuk di dalamnya: daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap, berhitung,
kemampuan belajar, berbahasa dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan
ada kalanya diawali dengan penurunan dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi hidup.
Demensia menurut PPDGJ terdiri dari 4 golongan utama yaitu F00 Demensia
pada penyakit Alzheimer, F01 Demensia Vaskular, F02 Demensia pada penyakit
lain dan F 03 Demensia yang tidak tergolongkan.

2.2.2.2 Penyebab Demensia

Penyebab demensia secara pasti belum diketahui. Pada klien yang mengalami
demensia terjadi penurunan metabolisme otak hal ini diduga menyebabkan
terjadinya demensia. Sebuah komponen genetik telah diidentifikasi untuk
beberapa demensia seperti penyakit Huntington. Sebuah gen apoE abnormal
diketahui dihubungkan dengan Penyakit Alzheimer. Penyebab lain demensia
terkait infeksi seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV) infeksi atau
penyakit Creutzfeldt – Jakob ( APA , 2000; Neugroschl et al, 2005 dalam
Videbeck, 2011). Presentase penyebab demensia yaitu 50% demensia disebabkan
oleh Penyakit Alzheimer, 15% demensia frontatemporal, 15% oleh penyakit Body
Lewy, 10% demensia vaskular dan 10% oleh penyebab lainnya (Steele, 2010).
Demensia tipe Alzheimer adalah jenis yang paling umum di Utara Amerika (60 %
dari semua demensia ), Skandinavia dan Eropa; demensia vaskular lebih umum
di Rusia dan Jepang. Tidak jauh berbeda dengan data WHO (2014) bahwa faktor
yang utama berkontribusi menyebabkan demensia adalah yaitu Penyakit
Alzheimer sekitar 60 – 70 %, kemudian diikuti penyakit lainnya.

Downs dan Bowers (2008) menyatakan bahwa ada sekitar 200 subtipe demensia,
namun pada kesempatan ini akan dibahas 3 subtipe yang paling sering dialami
oleh lansia. Demensia dengan Penyakit Alzheimer adalah gangguan otak progresif
yang memiliki onset bertahap tetapi menyebabkan penurunan fungsi, termasuk
hilangnya kemampuan wicara, kehilangan fungsi motorik dan gangguan
kepribadian. Perubahan yang terjadi seperti paranoia, delusi, halusinasi, kurang

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


16

memperhatikan kebersihan dan agresif. Hal ini dibuktikan oleh atrofi neuron otak,
adanya plak senilis dan pembesaran ventrikel ketiga dan keempat otak.

Demensia tipe Alzheimer, terutama dengan onset terlambat (setelah 65 tahun),


mungkin memiliki komponen genetik. Penelitian telah menunjukkan hubungan
untuk kromosom 21 , 14 , dan 19 ( Gorman & Anwar, 2006). Demensia tipe ini
ini umum terjadi pada lansia dan disebabkan oleh beberapa faktor terkait protein
di otak (Downs &.Bowers, 2008).

Demensia vaskular memiliki gejala yang mirip dengan penyakit Alzheimer, tetapi
onset biasanya mendadak, diikuti oleh perubahan yang cepat dalam fungsi.
Computed tomography atau Magnetic Resonance Imaging biasanya menunjukkan
beberapa lesi vaskular dari korteks serebral dan subkortikal struktur akibat suplai
darah menurun di otak (Videbeck, 2011). Demensia tipe ini dimasukkan kedalam
jenis demensia multi infark didapatkan sebagai akibat atau gejala sisa dari stroke
kortikal atau subkortikal yang berulang (Mujahidullah, 2012). Demensia dapat
menjadi konsekuensi patofisiologis langsung dari trauma kepala. Tingkat dan
jenis gangguan kognitif dan perilaku tergantung pada lokasi dan luasnya cedera
otak. Cedera kepala yang berulang-ulang (misalnya akibat tinju) dapat
menyebabkan demensia progresif.

Demensia tipe lainnya yaitu demensia psikotik umumnya berkaitan dengan obat
yang mereka gunakan. Sekitar 20% dari orang-orang yang mendapat pengobatan
dopaminergik agen melaporkan halusinasi visual orang atau hewan (Thorpe,
1997 dalam Melilo Houde, 2011). Prevalensi paronoid yang umumnya pada lansia
dilaporkan 4-6% dan diduga termasuk mereka dengan demensia (Henderson et al,
1998 dalam Melilo Houde, 2011).

2.2.2.3 Tanda dan Gejala Demensia


Tanda dan gejala demensia yang paling menonjol adalah gangguan memori
(Stanley & Beare, 2006; Downs &Browns, 2008; Steele, 2010). Klien mengalami
kesulitan belajar materi baru dan melupakan materi yang telah dipelajari

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


17

sebelumnya. Pada stadium lanjut, demensia mempengaruhi memori terpencil;


(klien lupa nama anak-anak dewasa, pekerjaan seumur hidup mereka,
dan bahkan nama mereka. Aphasia biasanya dimulai dengan ketidakmampuan
untuk mengingat nama benda yang familiar atau orang-orang dan kemudian
berkembang menjadi samar-samar. Klien mungkin menunjukkan echolalia
(menggemakan apa yang didengar) atau palilalia ( mengulang kata-kata atau suara
berulang) ( APA, 2000 dalam Videbeck, 2011).

Demensia secara umum ada 3 tahapan dengan tanda dan gejala di setiap tahapnya
(Stanley & Beare, 2006; Biernacki, 2007; Videbeck, 2011; WHO, 2013):
- Tahap ringan (Mild)
Kognitif : Gangguan ringan jangka pendek, kesulitan dengan bahasa dan
bacaan, kesulitan membuat kesulitan berkonsentrasi, kesulitan membuat
penilaian, halusinasi (jarang).
Perilaku : Pelupa (melupakan ulang tahun, peringatan, janji ), sering
kehilangan benda-benda atau sesuatu, tersesat saat mengemudi, lupa nama
orang lain, mencari orang lain untuk mengkonfirmasi
kebenaran kata-kata atau tindakan atau sebaliknya menolak bantuan yang
diberikan, confabulating ( mengarang informasi dalam ketiadaan kemampuan
untuk mengingat benar informasi.
Respon emosional : kuatir, malu secara sosial, ketakutan menjadi gangguan
jiwa, kecurigaan, gelisah, penyangkalan, frustrasi, sifat lekas marah, depresi,
tidak peduli.
Sosial : Pekerjaan dan kegiatan yang mereka lakukan sering tidak
menyenangkan sehingga mereka dihindari orang lain. Kebanyakan orang tetap
di masyarakat selama tahap ini.
- Tahap sedang (Moderate):
Kognitif : Adanya konfusi dan kehilangan memori progresif, kehilangan
memori jangka pendek, kesulitan mengingat memori jangka panjang,
disfagia, kesulitan perencanaan dan mempertimbangkan sesuatu, disorientasi
(waktu, tempat dan orang), masih mampu mengenali orang-orang terdekat,
hilangnya informasi seperti alamat dan nomor telepon.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


18

Perilaku : Tidak lagi dapat melakukan tugas yang kompleks, tidak dapat
melakukan hobi, kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri, tidak dapat
mengemudi dengan aman, misidentifikasi anggota keluarga, tidur terganggu,
kesulitan melaksanakan kegiatan sehari-hari (mencuci, berpakaian,
menyiapkan makanan, belanja), berjalan dan hilang kontrol, menyakiti diri
(jarang).
Respon emosional : depresi, paranoia, agitasi / kecemasan apatis, kemarahan,
frustrasi, ketidaksesuaian / labilitas, agresi, reaksi dukacita, penerimaan,
menangis sedih, tidak peduli.
Sosial : membutuhkan orang lain, kehilangan persahabatan dan kontak sosial,
menarik diri.
- Tahap berat (severe):
Kognitif : kehilangan memori jangka pendek dan jangka panjang, kehilangan
pertimbangan, perencanaan dan mengambil keputusan, disfasia berat atau
afasia, disfagia, lupa nama kerabat dekat (suami atau istrinya atau anak-anak),
kehilangan kemampuan untuk merespon kebutuhan sendiri atau
mengekspresikan cara yang mudah dipahami, kemungkinan adanya delusi
sehingga berkeliaran di malam.
Perilaku : Tidak dapat mengantisipasi atau memenuhi kebutuhan sehari-hari
(seperti mencuci, pembalut, buang air), gerakan berjalan tidak konstan,
kesulitan minum dan makan sendiri, menarik diri, menolak bantuan bahkan
dengantindakan kekerasan, tindakan berulang-ulang dan berkata /
mengeluarkan suara berulang-ulang.
Respon emosional : ketenangan, agitasi, kemarahan, agresi, kecemasan dan
panik, depresi, menarik diri dari interaksi dengan orang lain.
Sosial : menarik diri, acuh dengan lingkungan.

2.2.2.4 Dampak Demensia


Dampak demensia seperti apraxia dapat menyebabkan klien kehilangan
kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri rutin seperti berpakaian
atau memasak. Gangguan pada eksekutif sehingga klien kehilangan kemampuan
untuk belajar. Defisit kognitif ini mengakibatkan gangguan fungsi sosial atau

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


19

okupasional dan menunjukkan suatu penurunan dari tingkat fungsi individu


sebelumnya, melakukan tindakan yang berisiko pada suatu situasi tertentu
(Videbeck, 2011). Dampak demensia pada lansia seperti kesulitan dalam memori,
bereaksi, membuat rencana dan melakukan perawatan diri secara mandiri (Steele,
2010). Selain itu, Lebih dari 20 % orang dewasa berusia 60 dan lebih menderita
gangguan mental atau neurologis terkait gangguan yang umum terjadi pada lansia
salah satunya demensia dapat menimbulkan dampak terhadap indikator DALY’s
(Disability Adjusted Life Years) yaitu ketidakmampuan lansia melakukan aktivitas
sehari-hari (WHO, 2014).

Demensia menghasilkan ketergantungan yang signifikan sehingga membutuhkan


perawatan jangka panjang mahal di terakhir tahun kehidupan (Melilo & Houde,
2011). Dampak lainnya yaitu menurunnya kualitas hidup lansia karena
menurunnya kemandirian, kemampuan bekerja dan keterlibatan dalam kegiatan
sosial (Bienacki, 2007). Lansia yang mengalami demensia tentunya akan
mengalami masalah perawatan diri sehari-hari, masalah sosial, penurunan kualitas
kerja, penurunan kemandirian sehingga kualitas hidupnya menurun juga.

2.2.2.5 Penanganan Demensia


Upaya kesehatan secara umum untuk mengatasi masalah demensia pada lansia
terdiri dari penanganan perawatan dan penanganan medis.

a. Upaya perawatan salah satunya dengan tindakan pencegahan sebagai berikut :


1) Pencegahan Primer
Mengidentifikasi karakteristik individu dan faktor risiko sehingga dapat dilakukan
penanganan lebih dini.

2) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yang dilakukan perawat yaitu melakukan pengkajian,
menurunkan tekanan lingkungan, melakukan intervensi keperawatan,
berkolaborasi dalam pengobatan. Pengkajian tidak hanya wawancara namun
ditunjang pula dengan diagnostik medis. Pengkajian kognitif lansia dapat
menggunakan Mini Mental State Exam (MMSE). Ujicoba instrumen MMSE di

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


20

Indonesia dengan oleh Tedjasukmana R., Wendra., Sutji H., Sidiarto. (1998)
memiliki sensivitas 100% dan spesifitas 90%. Kategori hasil MMSE yaitu 24 - 30
dinyatakan kognitif baik, skor 18 – 23 kategori gangguan kognitif ringan, skor 11
- 17 gangguan kognitif sedang, skor 0 – 10 kategori gangguan kognitif berat.

Perawat harus melakukan pengkajian tentang tekanan lingkungan terkait stimulus


lingkungan yang dapat menjadi stressor karena lansia demensia mengalami
penurunan sensori misalnya suara bising, percakapan yang tidak tepat (tidak fokus
dan rumit). Penderita demensia gangguan persepsi visual maka dihindari cahaya
yang menyilaukan, penggunaan warna yang tepat (warna redup dan monokrop
pada latar belakang seperti dinding, lantai, meja; warna kontras dan terang pada
barang sehari-hari yang digunakan seperti piring dan cangkir, tidak menggunakan
piring berbunga-bunga karena lansia akan kesulita membedakan makanannya
dengan motif piring). Hindari ruangan terlalu besar dan terdiri dari banyak barang,
untuk perawatan jangka panjang idealnya memiliki tempat duduk tidak lebih dari
12 sampai 16. Penggunaan sentuhan yang tepat, lambat, lembut dan menyakinkan
karena beberapa penderita demensia sensitive terhadap sentuhan dan bereaksi
negatif terhadap invasi ruang tubuh pribadi tetapi lainnya merasa nyaman dengan
masase, pelukan dan kontak erat dengan pemberi perawatan.Masase tangan
terbukti efektif mengurangi perilaku agitasi pada penyakit Alzheimer.

Intervensi lainnya perawat dapat membantu dan memfasilitasi kebutuhan fisik


lainnya karena lansia demensia tidak mampu melakukan tugas dengan mandiri.
Lansia terkadang tidak dapat mengungkapkan rasa nyamannya secara verbal biasa
yang ia lakukan adalah keluyuran, cemas dan menarik diri maka perawat harus
mengorientasikan terhadap tempat seperti kamar mandi dan diberikan petunjuk
visual serta memfasilitasi mereka melakukan secara bertahap.Pemberian obat
harus dikonsultasikan dengan pihak medis karena terkait diagnose medis yang
ditegakkan dan pertimbangan keadaan kesehatan lainnya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


21

3) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ini dilakukan perawat dengan kerjasama dengan caregiver.
Keluarga memegang peranan dalam perawatan demensia, sekitar 70% lansia
dirawat dirumah dan menimbulkan permasalahan pada keluarga seperti isolasi
sosial, keletihan dan masalah keuangan serta banyak menghabiskan waktu mereka
Sehingga anggota keluarga menunjukkan gangguan mental. Pelayanan daycare
dapat menjadi pilihan bagi keluarga sehingga keluarga lebih leluasa dalam
pengaturan perawatan. Pilihan perawatan berikutnya adalah Panti Jompo dengan
unit perawatan khusus Special Care Unit (SCU), namun tidak semua panti
memiliki SCU.

a. Upaya Medis
Penanganan upaya kesehatan mengatasi masalah demensia secara medis yaitu
pemberian obat oleh dokter dengan pendekatan penyebab yang menimbulkan
gangguan demensia.
Tabel 2.1
Pengobatan pada Klien Lansia dengan Gangguan Perilaku
Golongan Agen Dosis awal Rata-rata Dosis tinggi yang
target dosis direkomendasikan
Risperidone 0,25 – 0,5 mg/hr 0,5 – 1,5 mg 2 – 6 mg
Atipikal Olanzapine 2,25 – 5,0 mg/hr 5,0 – 7,5 mg 12,5 – 15 mg
Quetiapine 12,5 – 25 mg/hr 50 – 100 mg 150 – 300 mg
Tipikal Haloperidol 0,5 – 1 mg/hr 1,5 – 2 mg 2 – 7 mg

Tabel 2.1 menyajikan pengobatan pada demensia dengan gangguan perilaku.


Stuart (2013) menyampaikan bahwa demensia dengan Alzheimer diberikan
pengobatan yaitu Cholinentrase inhibitor (target gejala apatis, psikosis seperti
delusi dan halusinasi, agitasi, ansietas, positif efek pada kognitif, ADL dan fungsi
global), Namenda Metil d-Aspartartate Antagonis atau NMDA Antagonis (target
demensia berat), Antipsikotik (target gejala delusi, halusinasi, agresi, agitasi,
perilaku kekerasan, sikap bermusuhan), Antidepresan (target gejala depresi,
ansietas, insomnia), β-Blocker (target gejala agitasi), Benzodiazepim (target
gejala agitasi dan ansietas), Estrogen (agitasi), Antikonvulsan (target gejala
agitasi, agresi, perubahan mood), Serotonin (psikosis dan agitasi).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


22

2.2 Model Adaptasi Stres Stuart


Model adaptasi stres Stuart terdiri dari input, proses dan output. Input merupakan
data awal atau data dasar pada lansia demensia dengan konfusi kronis. Proses
merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang ditemukan
pada input. Aktivitas pada proses merupakan peristiwa esensial dalam mengatasi
masalah yang ditemukan. Output merupakan hasil yang diharapkan atau
pencapaian dari pelaksanaan kegiatan atau proses, khususnya asuhan keperawatan
lansia dengan konfusi kronis.

FAKTOR PREDISPOSISI
Penuaan Neurobiologi Genetik

STRESOR PRESIPITASI
Hipoxia Metabolik Toxik Infeksi Struktural Sensori

PENILAIAN TERHADAP STRESSOR

SUMBER KOPING

FAKTOR PREDISPOSISI
MEKANISME KOPING
Intelektualisasi Rasionalisasi Denial Regresi

Konstruktif Destruktif
RENTANG RESPON EMOSIONAL

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Tegas Bimbang secara periodic Tidakmampu membuat putusan


Memori utuh Lupa sama sekali Kerusakan memori & berpendapat
Orientasi lengkap Kebingungan ringan sementara Disorientasi
Perhatian focus Kadang-kadang mispersepsi Serius mispersepsi
Koheren, Berpikir logis Mudah beralih perhatinnya Ketidakmampuan perhatian fokus
Kadang-kadang berpikir tidak jelas Gangguan berpikir logis&rasional
Sumber : Stuart, 2013

Skema 2.1
Model Stress Adaptasi Stuart Berhubungan dengan Respon Kognitif

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


23

Gambaran Model Adaptasi Stress Stuart terkait dengan kognitif secara umum
yaitu dapat dilihat pada Gambar 2.1. Model Adaptasi Stress Stuart (2013)
dijelaskan bahwa seseorang mengalami masalah kognitif diawali adanya interaksi
antara faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi terdiri dari
penuaan, neurobiologi dan genetik.

Faktor presipitasi adalah faktor yang mencetus terjadinya masalah kognitif pada
lansia yang mengalami demensia yaitu hipoksia, metabolik, toxik, infeksi,
struktural dan sensori. Hipoxia adalah kurangnya suplai oksigen di otak karena
dari anemia, yang diakibatkan oleh beberapa stressor seperti penyerapan aspirin
yang menimbulkan pendarahan, kondisi yang menimbulkan seseorang kehilangan
darah, defisiensi zat besi, folic acid atau vitamin B12, dehidrasi, hipertermia,
hipotermia dan meningkatnya tekanan intrakranial (hasil dari adanya tumor,
subdural hematoma atau tekanan hindrosefalus.

Faktor presipitasi lainnya yaitu metabolik terkait nutrisi merupakan faktor umum
berperan dalam fungsi kognitif. Penyakit secara sistemik seperti penyalahgunaan
obat-obatan, alkohol atau penggunaan obat psikiatri yang berefek pada fungsi
kognitif akan menjadi stressor yang bersifat toxic pada lansia yang memiliki
tingkat sensitivitas dibanding kelompok usia lainnya. Toksik dan infeksi dapat
mengakibatkan perubahan perilaku dan respon kognitif maladaptif. Struktur
terkait struktur dan fungsi organ pada lansia yang mengalami penurunan.
Rendahnya stimulus mempengaruhi fungsi kognitif seseorang sehingga terjadi
penurunan demikian juga sebaliknya apabila stimulus diberikan secara berlebihan.
Apabila lansia memiliki penilaian stressor secara positif ditambah adekuatnya
sumber koping maka lansia cenderung menggunakan koping adaptif yaitu
intelektualisasi dan rasionalisasi maka ia akan berada pada rentang respon kognitif
adaptif yaitu mengambil keputusan tegas, memori utuh, orientasi lengkap,
perhatian fokus, mispersepsi, koheren dan berpikir logis.

Kondisi tersebut diatas akan berbeda pada lansia lainnya, apabila memiliki
penilaian yang negatif terhadap berbagai stressor ditambah kurang adekuatnya

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


24

sumber koping maka lansia cenderung menggunakan koping yang maladaptif


seperti denial (penolakan) dan regresi (kemunduran perilaku ke tingkat
perkembangan yang lebih rendah misalnya berperilaku seperti anak kecil) maka
kemungkinan besar mengarah pada rentang respon kognitif pertengahan
(bimbang, lupa, kebingungan ringan sementara, kadang-kadang mispersepsi,
perhatian mudah beralih, kadang-kadang berpikir tidak jelas) atau respon kognitif
maladaptif (tidak mampu membuat keputusan, kerusakan memori, disorientasi,
mispersepsi yang serius, perhatian tidak focus, gangguan berpikir logis dan
rasional).

Pengkajian secara khusus pada lansia demensia dengan masalah keperawatan


konfusi kronis dijabarkan sebagai berikut :

2.2.1. Input
2.2.1.1 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi pada lansia demensia mengacu pada model adaptasi stres
Stuart terdiri dari 3 bagian yaitu biologi, psikologis dan sosial.
a. Biologi
1) Penuaan
Penuaan pada dasarnya adalah proses normal namun karena adanya penuaan
struktur dan fungsi otak ditambahkan faktor pendukung lainnya yaitu
neurobiologi ( seperti pada tipe Alzheimer adanya plak neuritik dan kekusutan
pada neurofibrilari sehingga ada masalah dalam protein otak) (Stuart, 2013).

Prevalensi demensia diperkirakan akan mengalami kenaikan sehubungan dengan


perubahan struktur usia yaitu lebih banyak yang berusia lanjut 60 tahun atau lebih
( Smith, 2008 dalam Videbeck 2011). Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 4,6
juta kasus baru setiap tahun Lebih dari 5 juta orang di Amerika Serikat memiliki
demensia. Pada usia 65 sekitar 7% mengalami demensia, antara usia 75 dan 85
jumlah dua kali lipat menjadi sekitar 16% lansia, di atas usia 85 setidaknya
setengah dari populasi memiliki demensia, selanjutnya diperkirakan akan
meningkat secara dramatis dalam 10 sampai 20 tahun mendatang (Steele, 2010).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


25

Negara berkembang seperti China, India dan Amerika latin akan didominasi oleh
usia lanjut sehingga berisiko tinggi mengalami demensia, diprediksikan Tahun
2040 bahwa salah satu negara yaitu China akan meningkat angka kejadian
demensia seiring peningkatan dunia (Downs & Bowers, 2008).

Penuaan berisiko terhadap demensia terkait adanya peningkatan tekanan darah


pada usia pertengahan, meningkat bersamaan dengan kejadian penyakit,
perubahan sel saraf dan struktur sel, perubahan daya tahan tubuh
(Alzheimer’society, 2014). Lansia yang berusia 75 sampai 85 tahun lebih
cenderung mengalami demensia, khususnya demensia tipe Alzheimer (Stanley &
Beare, 2006). Hasil penelitian WHO (2013) menunjukkan bahwa peningkatan
kasus demensia di wilayah Asia tenggara tertinggi pada usia 75 – 79 tahun dengan
estimasi prevalensi 6,4 % (termasuk tinggi sesuai standar internasional 6 – 9 %).

2) Neurobiologi
Hubungan antara area otak dengan patologis perubahan perilaku pada demensia
menurut Stuart (2013) sebagai berikut:
- Lobus oksipital, berfungsi sebagai proses visual, disfungsi menyebabkan
kebutaan, hilangnya kedalaman persepsi, warna, agnosia (kurangnya
pengakuan).
- Lobus frontal berfungsi sebagai pengorganisasi dalam berkata-kata, apabila
terjadi disfungsi maka kesulitan menggunakan "kata-kata kecil" (misalnya,
dalam, di, dia, dia, atau), perubahan kepribadian, penilaian, dan perilaku.
- Lobus pariental berfungsi sebagai area yang menghubungkan input sensori,
disfungsinya menyebabkan alexia (ketidakmampuan untuk membaca),
agraphia (ketidakmampuan untuk menulis), sindrom kelalaian,
ketidakmampuan untuk merasakan nyeri, agnosia, apraxia, afasia, gangguan
visual-spasial, kehilangan fungsi eksekutif, psikosis.
- Lobus temporal berfungsi pengakuan dan pemahaman input sensorik,
mendengar; konsolidasi memori, asosiasi memori, berpikir, persepsi,
danemosi. Disfungsi menyebabkan agnosia, apraxia, afasia, gangguan visual-
spasial, hilangnya fungsi eksekutif, disorientasi dalam ruang dan waktu,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


26

psikosis, kehilangan memori, salah tafsir peristiwa emosional, salah tafsir


hubungan.
- Sistem limbik berfungsi mengatur emosi, penyimpanan memori jangka
pendek, memori, suasana hati. Disfungsi menyebabkan disfungsi memori,
tidak ada dimensi afektif ke memori, apatis, tidak stabil mempengaruhi,
perubahan kepribadian, kemampuan belajar yang buruk, kehilangan memori.

Sumber : http://www.infobarrel.com/Symptoms_and_treatment_of_Dementia
Gambar 2.1 Gambar otak

3) Genetik
Kelainan secara gentik pada kromoson 3, 19 dan 12 memicu terjadinya demensia
alzheimer pada tahap akhir hidup atau usia lanjut (Stuart, 2013).

4) Jenis Kelamin
Wanita cenderung mengalami demensia dibanding laki-laki (Stanley dan Beare,
2006). Wanita lebih berisiko dibanding laki-laki, diduga karena menurunnya
kadar esterogen setelah menopouse (Alzheimer’society, 2014). Demensia tipe
Alzheimer lebih sering terjadi pada perempuan; demensia vaskular lebih sering
terjadi pada laki-laki (Videbeck, 2011).

5) Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan lain yang mendukung terjadinya masalah kognitif seperti
gangguan mental secara umum, lesi otak, penyakit degeneratif (Stuart, 2013).
Demensia vaskuler secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebovaskuler

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


27

yang berkisar antara 15-30% dari semua kasus demensia pada usia 60-70 tahun
terutama pada laki-laki dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan masalah
pada jantung ((Downs &.Bowers, 2008; Steele, 2010).

6) Gaya hidup tidak sehat


Merokok merupakan kebiasaan yang berisiko yang menyebabkan masalah
kognitif demensia karena adanya deposit amyloid-β sehingga adanya plak yang
mempengaruhi proses pikir, selain itu kandungan bahan kimia dalam rokok
menimbulkan masalah kesehatan lain yang dapat berlanjut pada demensia.
Penyakit kardiovaskuler berdasarkan hasil meta analysis pada 26.374 partisipan
mengalami peningkatan dan dilaporkan 70% lebih kejadian demensia meningkat
pada perokok dibanding mereka yang tidak merokok, karena pada tembakau
rokok terkandung ratusan neurotoxin yang berkontribusi terhadap oxidasi stress,
proses inflamasi. Merokok dapat menyebabkan penyakit diabetes karena
kandungan nikotin pada rokok meningkatkan resisten insulin dan tidak mampu
bekerja maksimal, selanjutnya secara progresif menimbulkan kerusakan kognitif
ringan secara bertahap. Penyakit stroke berkaitan erat dengan masalah demensia
vaskular, diperikirakan 1 dari 10 klien mengalami demensia pada serangan awal
stroke dan kejadiannya meningkat pada perokok karena terganggunya vaskular
(ASH-Scotland, 2013).

b. Psikologi
Pengamalan hidup yang tidak baik di masa lalu dapat menimbulkan penilaian
negatif terhadap situasi dan kejadian yang pada akhirnya akan menimbukan
perasaan negatif (Varcarolis, 2010). Perasaan negatif dapat berlanjut pada
gangguan afektif sehingga rentang perhatian yang pendek. Depresi juga dapat
menyebabkan gangguan memori, meskipun belum pasti apakah masalah tersebut
terkait dengan kehilangan memori atau kurangnya sebuah motivasi (Stuart, 2013).
Pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak terselesaikan dengan baik maka
pada suatu saat akan mendukung frustasi yang menimbulkan depresi pada
seseorang sehingga tanpa disadari menimbulkan masalah kognitif karena lebih
motivasi menggunakan kemampuan kognitif berkurang.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


28

c. Sosial
1) Masalah Ekonomi
Malnutrisi sering terjadi pada lansia karena menurunnya kondisi fisik dan sumber
penghasilan untuk membeli makanan bernutrisi yang adekuat (Stuart, 2013). Total
jumlah kasus demensia baru setiap tahun di seluruh dunia hampir 7,7 juta, dimana
58 % tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Greenblat,
2012).

2) Pendidikan
Seseorang dengan dengan taraf pendidikan yang lebih baik akan memiliki
pengetahuan lebih untuk melakukan tindakan pencegahan sehingga awitan lambat
dari gejala neuropatologis. Lansia yang berpendidikan rendah berisiko tinggi
mengalami demensia (Stanley dan Beare, 2006). Semakin banyak kita
menggunakan otak maka semakin banyak sinaps yang terbentuk di antara sel saraf
(Ide, 2008). Hasil meta analisis Caamaño-Isorna, Corral, Montes-Martínez, Bahi
(2006) pada penelitian yang dipublikasi Tahun 2005 menunjukkan bahwa
pendidikan yang rendah merupakan faktor risiko demensia terutama untuk
demensia tipe alzhaeimer.

3) Pekerjaan dan Aktivitas


Seseorang yang aktif bekerja menggunakan kemampuan kognitif memiliki risiko
minimal mengalami demensia (Stanley dan Beare, 2006). Keaktifan seseorang
dalam kegiatan sosial menurunkan risiko masalah kognitif, kegiatan sosial yang
dapat dilakukan bersama teman dan keluarga serta termasuk kegiatan spiritual
(Alzheimer’society, 2014). Hasil penelitian Hill et all (2006) menunjukkan bahwa
aktivitas spiritual yang rutin diikuti akan mengurangi risiko penurunan kognitif
dibanding yang mereka yang tidak aktif dalam aktifitas keagamaan.

2.2.1.2 Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi masalah memiliki faktor-faktor yang sama dengan faktor
predisposisi, tetapi presipitasi menyorot pada kondisi kesehatan saat ini seperti
lansia dengan diagnosa medis demensia. Faktor presipitasi merupakan stimulus
yang merubah / menekan sehingga menimbulkan gejala saat ini (Stuart, 2013).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


29

Faktor presipitasi akan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu kesempatan atau
ancaman/tuntutan. Faktor presipitasi ini terdiri dari 4 bagian yaitu sifat stresor,
asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan jumlahstresor yang dihadapi oleh
seseorang (Stuart, 2013).

Sifat stresor terjadinya konfusi kronis meliputi stressor biologis, psikologis, dan
sosial budaya. Sifat stresor biologis, misalnya penyakit/kondisi yang
mempengaruhi fungsi dan struktur otak (seperti penyakit vaskuler, alzheimer,
trauma kepala), kelemahan fisik, penyakit infeksi dan penyakit kronis. Stressor
psikologis dapat berupa kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan,
kegagalan mencapai sesuatu. Stressor sosiokultural dapat berupa konflik
eksternal, status sosial ekonomi, pola aktivitas, interaksi sosial yang provokatif,
dan perubahan lingkungan.

Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri
sendiri seperti gangguan neurotransmitter pada otak, abnormal struk dan fungsi
otak, ketidakberdayaan, hilangnya kepercayaan diri, merasa tidak mampu, dll.
Stresor eksternal berasal dari luar individu. Stressor ini dapat berupa kehilangan
(orang yang dicintai, barang/object, pekerjaan), perubahan lingkungan yang tidak
nyaman, konflik dengan keluarga atau orang lain, dll

Banyak jumlah stressor yang dialami individu dalam suatu waktu, baik berupa
stressor biologis, psikologis dan sosialkultural akan mempengaruhi kondisi
kesehatan lansia. Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu
dalam berespon terhadap stressor. Waktu menggambarkan kapan, berapa lama,
dan berapa kali individu terpapar stressor (Stuart, 2013).

2.2.1.3 Penilaian Terhadap Stressor


Penilaian terhadap stressor menjadi menurut model adaptasi stres Stuart terdiri
dari 5 (lima) aspek yakni respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon
perilaku dan respon sosial (Stuart, 2013) sebagai berikut.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


30

a. Respon Kognitif
Respon kognitif konfusi kronis seperti mudah lupa, mudah lelah, sulit konsentrasi,
tidak mampu mengambil keputusan, tampak bingung, disorientasi (Doenges,
Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse Center, 2011; NANDA, 2012).
Seseorang yang mengalami konfusi berdampak pada kemampuan dalam orientasi
waktu sehingga setiap memulai perawatan dilakukan reorientasi, selain itu mereka
akan mengalami masalah disorientasi tempat dan orang akibat penurunan memori
(Golby et al dalam NRS, 2014).

b. Respon Afektif
Respon afektif gangguan kepribadian, bukti klinis gangguan organik, afek labil
(cepat marah dan atau sulit diatur) (Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; CPM
Resourse Center, 2011; NANDA, 2012).

c. Respon Fisiologis
Respon fisiologis pada lansia dengan konfusi kronis adalah kerusakan memori
jangka panjang, kerusakan memori jangka pendek, gangguan interpretasi, bukti
klinis gangguan organik, (Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse
Center, 2011; NANDA, 2012). Downs dan Bowers (2008) Demensia dengan
Penyakit Alzheimer berdasarkan hasil diagnostik adanya atrofi neuron otak,
adanya plak senilis dan pembesaran ventrikel ketiga dan keempat otak. Demensia
Vaskular berdasarkan hasil Computed tomography atau Magnetic Resonance
Imaging biasanya menunjukkan beberapa lesi vaskular dari korteks serebral dan
subkortikal struktur akibat suplai darah menurun di otak (Videbeck, 2011).

d. Respon Perilaku
Defisit kognitif ini mengakibatkan gangguan fungsi sosial atau okupasional dan
menunjukkan suatu penurunan dari tingkat fungsi individu sebelumnya,
melakukan tindakan yang berisiko pada suatu situasi tertentu (Videbeck, 2011).
Lansia yang mengalami demensia kesulitan bereaksi, membuat rencana dan
melakukan perawatan diri secara mandiri (Steele, 2010). Lansia demensia seperti

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


31

apraxia dapat menyebabkan klien kehilangan kemampuan untuk melakukan


aktivitas perawatan diri rutin seperti berpakaian atau memasak. Gangguan pada
eksekutif sehingga klien kehilangan kemampuan untuk belajar dengan rendahnya
kemampuan orientasi dan ketidakmampuan fokus (Stuart, 2011, Mauk, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 20 % orang dewasa berusia sama
dengan 60 tahun atau lebih menderita gangguan mental salah satunya demensia
yang menimbulkan dampak terhadap indikator DALY’s (Disability Adjusted Life
Years) yaitu ketidakmampuan lansia melakukan aktivitas sehari-hari (WHO,
2014).

e. Respon Sosial
Respon sosial pada klien konfusi kronis yaitu hambatan sosialisasi dan acuh
dengan lingkungan (Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse Center,
2011; NANDA, 2012). Interaksi sosial terhambat karena pada saat mereka
memulai interaksi dengan orang lain mereka tidak mampu menyampaikan sesuatu
dengan baik, ia sering mengulang kata-kata sehingga orang lain tidak mengerti
pesan yang disampaikan ( APA, 2000 dalam Videbeck, 2011).

2.2.2 Proses
2.2.2.1 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa konfusi kronis menurut NANDA (2012) termasuk dalam domain
kognitif dengan faktor yang berhubungan adalah Alzheimer, serangan stroke,
cedera kepala, psikosis korsakoff, demensia multiinfark. Konfusi kronis
merupakan diagnosa keperawatan yang memiliki kemiripan dengan diagnosa
keperawatan gangguan proses pikir yang ada pada NANDA 2009 tapi telah
dikeluarkan dari diagnosa keperawatan baru NANDA 2012 yaitu terkait
penurunan memori jangka panjang dan jangka pendek. Penulis
mengidentifikasikan bahwa diagnosa keperawatan konfusi kronis adalah diagnosa
keperawatan yang telah diselaraskan sesuai respon klien dan pembaharuan dari
diagnosa keperawatan gangguan proses pikir. Pengertian konfusi kronis adalah
penurunan irreversible jangka panjang atau progresif pada kemampuan intelektual

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


32

dan kepribadian yang dikarakteristikkan dengan penurunan kemampuan untuk


menterjemahkan stimulus lingkungan serta penurunan kapasitas proses pikir
intelektual serta dimanifestasikan dengan gangguan daya ingat, orientasi dan
perilaku (NANDA, 2012).

Pada gambar 3.2 digambarkan skema pohon diagnosa keperawatan konfusi kronis
terkait dengan diagnosa keperawatan lainnya pada klien demensia. Diagnosa
keperawatan defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan daya ingat
atau lupa dan ketidakmampuan mengambil keputusan kesehatan, Risiko cidera
berhubungan dengan penurunan orientasi, gangguan pola tidur berhubungan
dengan kebutuhan perawatan (wps, 2013). Penurunan daya ingat,
ketidakmampuan mengambil keputusan, penurunan orientasi dan kebutuhan
perawatan adalah tanda dan gejala konfusi kronis, berarti dapat disimpulkan
bahwa konfusi kronis dapat menimbulkan masalah keperawatan deficit perawatan
diri, risiko cidera, gangguan pola tidur.

Gangguan Pola tidur Penampilan peran Regiment Terapeutik


Risiko Jatuh
tidak efektif keluarga inefektif

Defisit Perawatan Diri Isolasi Sosial Koping keluarga tidak


efektif

Kerusakan komunikasi
verbal

Konfusi Kronis

Gangguan Perfusi Nutrisi kurang dari


Koping individu
jaringan kebutuhan tubuh
tidak efektif

Skema 2.2 Pohon Masalah Keperawatan Konfusi Kronis

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


33

Adapun dampak demensia pada keluarga secara umum termasuk masalah


keperawatan konfusi kronis yaitu kelelahan, stress emosional dan fisik,
ketegangan peran, anggota keluarga yang merawat merasa bekerja 24 jam nonstop
dan tidak dipedulikan oleh anggota keluarga yang lain, biaya perawatan yang
mahal (Stanley & Beare, 2006). Hasil penelitian Schulz dan Martire (2004)
menunjukkan bahwa keluarga yang mengasuh lansia demensia mengalami
masalah kesehatan karena adanya konflik dalam perawatan klien dalam jangka
waktu lama, seperti penurunan kesehatan secara fisik dan masalah psikologis.

2.2.2.2 Sumber Koping


Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon
terhadap berbagai stresor yang dihadapi. Sumber koping klien perlu diketahui
perawat untuk mengetahui sejaumana ketersediaan sumber pendukung yang
dapat dikelola menjadi stimulus positif sehingga dapat ditentukan tindakan dalam
melakukan asuhan keperawatan. Sumber koping yaitu kemampuan personal,
dukungan sosial, ketersediaan materi dan kepercayaan atau keyakinan (Stuart,
2013).

Kemampuan personal merupakan sumber daya individu dan interpersonal penting


dalam usaha mengatasi tanggapan kognitif yang maladaptif. Seseorang yang
memiliki banyak keterampilan akan memungkinkannya untuk menggantikan
kerugian fungsional (Huntley et al, 2011 dalam Stuart, 2013). Sumber daya
interpesonal salah satunya adalah wawasan dan pengetahuan mengatasi masalah.

Dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman klien khususnya yang menjadi
caregiver akan memberikan kesempatan lebih baik bagi klien dalam perawatan
(Stuart, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kemampuan
keluarga klien demensia di rumah mampu menunda perawatan lanjutan di institusi
perawatan (Andrén & Elmståhl, 2008).

Aset material merupakan sumber koping yang terdiri dari jaminan pelayanan
kesehatan, sumber dan ketersediaan finansial, akses dan pelayanan kesehatan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


34

Ketersediaan seluruh aset material mendukung klien dalam berespon adaptif saat
mengalamai konfusi kronis. Ketersediaan aset materi yang memadai menunjang
kemampuan klien menjangkau akses pengobatan yang lebih baik.
Keyakinan/kepercayaan positif merupakan cerminan cara pandang klien terhadap
diri, penyakit, pengobatan dan terapi yang dijalani. Keyakinan berupa motivasi
yang bersumber pada diri sendiri menunjang keterlibatan klien dalam proses
perawatan yang lebih baik. Keyakinan diri yang bersifat positif merupakan
potensi dalam mengelola stimulus negatif.

2.2.2.3 Mekanisme Koping


Mekanisme koping adalah cara lansia untuk mengatasi masalah. Mekanisme
koping yaitu koping mekanisme yang berfokus pada masalah, koping mekanisme
yang berfokus pada kognitif dan koping mekanisme yang berfokus pada emosi
(Stuart, 2013). Lansia dengan keterbatasan intelektual cenderung menggunakan
koping yang sama dengan koping yang digunakan sebelum sakit. Seseorang yang
biasa bereaksi terhadap stress dengan kemarahan terhadap orang lain dan
lingkungan akan menggunakan reaksi yang sama saat mengalami penurunan
kognitif demikian juga seseorang yang cenderung berperilaku depresif. Hal ini
berbeda pada seseorang yang menggunakan koping intelektualisasi, ia akan
mengalami kesulitan bila terjadi penurunan kognitif. Koping yang biasa
digunakan seseorang dengan demensia yaitu denial (sering digunakan pada tahap
awal demensia) dan regresi (Stuart, 2013).

2.2.2.4 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan bertujuan untuk mengelola rangsangan sehingga
meningkatkan adaptasi seseorang (Alligood & Tomey, 2014). Intervensi
keperawatan terdiri dari tindakan generalis keperawatan jiwa (individu, kelompok
dan keluarga) dan spesialis keperawatan jiwa.

a. Tindakan Generalis Keperawatan Jiwa pada Lansia Demensia dengan


Konfusi Kronis.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


35

Penderita demensia mengalami gangguan persepsi visual maka dihindari cahaya


yang menyilaukan, penggunaan warna yang tepat (warna redup dan monokrop
pada latar belakang seperti dinding, lantai, meja; warna kontras dan terang pada
barang sehari-hari yang digunakan seperti piring dan cangkir, tidak menggunakan
piring berbunga-bunga karena lansia akan kesulita membedakan makanannya
dengan motif piring). Hindari ruangan terlalu besar dan terdiri dari banyak
barang, untuk perawatan jangka panjang idealnya memiliki tempat duduk tidak
lebih dari 12 sampai 16. Penggunaan sentuhan yang tepat, lambat, lembut dan
menyakinkan karena beberapa penderita demensia sensitive terhadap sentuhan
dan bereaksi negatif terhadap invasi ruang tubuh pribadi tetapi lainnya merasa
nyaman dengan masase, pelukan dan kontak erat dengan pemberi perawatan.
Masase tangan terbukti efektif mengurangi perilaku agitasi pada penyakit
Alzheimer.

Intervensi lainnya perawat dapat membantu dan memfasilitasi kebutuhan fisik


lainnya karena lansia demensia tidak mampu melakukan tugas dengan mandiri.
Lansia terkadang tidak dapat mengungkapkan rasa nyamannya secara verbal biasa
yang ia lakukan adalah keluyuran, cemas dan menarik diri maka perawat harus
mengorientasikan terhadap tempat seperti kamar mandi dan diberikan petunjuk
visual serta memfasilitasi mereka melakukan secara bertahap. Pemberian obat
harus dikonsultasikan dengan pihak medis karena terkait diagnosa medis yang
ditegakkan dan pertimbangan keadaan kesehatan lainnya.

Intervensi keperawatan generalis jiwa pada klien dirangkum sebagai berikut


(Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; Wilkinson & Ahern, 2012).
 Memperkenalkan diri pada awal kontrak
 Mempersiapkan diri untuk interaksi dengan kontak mata, sentuhan dengan
tepat,
 Mengkaji derajat kerusakan kognitif (misal perubahan orientasi pada orang,
tempat, rentang perhatian dan kemampuan berpikir),
 Membantu klien orientasi realita (misalnya sediakan jam, kalender, barang
pribadi dan dekorasi sesuai musim).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


36

 Melatih klien memberi label pada photo keluarga.


 Melakukan pendekatan dengan pola lambat dan tenang; berhadapan dengan
individu ketika berbicara; memanggil klien sesuai namanya; berbicara dengan
nada suara rendah dan perlahan; selingi interaksi dengan humor,
 Menggunakan distraksi bukan konfrontasi untuk mengelola tingkah laku.
 Membantu klien melakukan perawatan diri sesuai kebutuhan.
 Menjelaskan efek penyakit terhadap alam perasaan klien
 Mempertahankan lingkungan yang nyaman (hindari lonceng, alarm dan
sistem panngilan di atas kepala)
 Menghindari dan meminimalkan perubahan sedapat mungkin (misal dalam
rutinitas, lingkungan dan pemberi asuhan).
 Memberi kesempatan klien mengumpulkan barang-barang milik pribadi;
 Memberi kesempatan melakukan aktivitas fisik
 Menciptakan aktivitas sederhana tanpa kompetitif sesuai kemampuan klien
seperti stimulasi kognitif dengan musik, menonton acara televisi; melakukan
hobi dan melakukan aktivitas harian sesuai kemampuan; melakukan kegiatan
spiritual. Perawatan pada lansia dengan pendekatan spiritual merupakan
salah satu cara yang tepat untuk menangani lansia yang mengalami masalah
kognitif seperti demensia (Shamy, 2003).
 Mengevaluasi pola istirahat yang adekuat. Menjadwalkan secara bergantian
waktu tenang atau istirahat dan waktu untuk beraktivitas (seperti satu jam
berbaring atau duduk di kursi mendengarakan musik tenang), setidaknya 2
kali sehari untuk memungkinkan resolusi ansietas dan ketegangan.
 Mengajarkan tentang medikasi klien
 Memantau efek samping obat, tanda dan kelebihan;
 Menghindari restrain fisik

Intervensi keperawatan generalis kepada keluarga mengacu pada tugas kesehatan


keluarga yaitu mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan yang tepat
mengatasi masalah kesehatan, merawat anggota keluarga, memodifikasi
lingkungan perawatan dan menggunakan pelayanan kesehatan (Friedman,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


37

Bowden & Jones, 2003). Intervensi kepada keluarga (Doenges, Moorhouse &
Murr, 2006; Wilkinson & Ahern, 2012) :
- Mengkaji caregiver keluarga terhadap ketegangan peran, memberikan
dukungan informasi dan dukungan emosi.
- Menjelaskan penyakit klien terkait alam perasaannya
- Menjelaskan kepada keluarga tidak melakukan tindakan pemaksaan untuk
memenuhi kebutuhan aktivitas harian klien karena memicu perilaku agresif.
- Melibatkan keluarga dalam perencanaan, penyediaan dan evaluasi perawatan
sesuai keinginan.
- Mengajarkan keluarga bagimana berkomunikasi dengan klien secara lebih
efektif misalnya memberikan satu intruksi sederhana dalam satu waktu,
selingi dengan humor ringan.
- Melatih keluarga membimbing orientasi secara umum tentang musim dalam
tahun dengan isyarat yang tepat (misalnya suasana hari libur, aktivitas
musiman).
- Melatih klien memberi label pada photo keluarga.
- Mengajarkan keluarga memberikan stimulasi lingkungan yang rendah
(misalnya lingkung tenang, musik lembut, tidak menggebu-gebu dan
sederhana, pola dekorasi yang familier, harapan penampilan perilaku tidak
melebihi kemampuan klien, makan malam dalam kelompok kecil).
- Menganjurkan keluarga membantu klien melakukan perawatan diri sesuai
kebutuhan.
- Mengajarkan keluarga tentang medikasi efek samping dan tanda-tanda
kelebihan obat.
- Menganjurkan keluarga menghindari restrain fisik

Intervensi keperawatan jiwa generalis pada kelompok dengan masalah


keperawatan konfusi kronis terdiri dari TAK Orientasi Realitas. TAK orientasi
realitas adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu
diri sendiri, orang lain, lingkungan/tempat dan waktu. Tujuannya yaitu klien
mampu mengenali orang, tempat dan waktu sesuai kenyataan. Aktivitas TAK
orientasi realita dilakukan dalam 3 sesi berupa aktivitas pengenalan orang , tempat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


38

dan waktu. Indikasi pemberian terapi kelompok ini adalah klien halusinasi,
demensia, kebingungan atau konfusi, tidak mengenal dirinya, salah mengenal
orang lain, waktu dan tempat (Keliat & Akemat, 2005). Modul pelaksanaan TAK
orientasi realitas terlampir.

b. Tindakan spesialis keperawatan jiwa pada lansia demensia dengan


konfusi kronis.
1) Terapi Reminiscence
Terapi Reminiscence merupakan suatu terapi yang menggunakan pengalaman
masa lalu, perasaan, pikiran menyenangkan untuk memfasilitasi kualitas hidup
atau kemampuan beradaptasi terhadap perubahan. Reminscence adalah terapi
mengenang pada lansia secara spontan sejak masa kanak-kanak sampai dewasa
tanpa terikat urutan atau struktur yang baku, dapat lakukan secara individu
maupun kelompok (Bulechek, Butcher & Dochterman, 2008). Pengertian lainnya,
Reminiscence adalah terapi yang memberikan perhatian terhadap kenangan
terapeutik pada lansia kemudian memori tersebut dapat sebagai kumpulan
pengalaman pribadi atau dibagikan dengan orang lain (Collins, 2006).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Terapi
Reminiscence merupakan terapi dengan cara memotivasi lansia untuk mengenang
atau mengingat kembali suatu kejadian atau pengalaman masa lalu secara spontan
serta kemampuan penyelesaian masalahnya kemudian disampaikan ke orang lain
dalam kelompok

Terapi yang sudah dikembangkan sebagai salah satu terapi spesialis oleh
keperawatan jiwa adalah Terapi Reminiscence. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa terapi ini menjadi pilihan terbanyak untuk mengatasi masalah kognitif
termasuk konfusi kronis. Hasil penelitian oleh Stueber dan Hassiotis (2012) dalam
studinya tentang “Reminiscence Therapy for Older Service Users” menyampaikan
bahwa Terapi Kelompok Reminiscence baik dikembangkan pada lansia yang
mengalami disabilitas, demensia dan depresi, serta terapi dalam kelompok
memberikan efek positif dibandingkan diberikan secara individu khususnya dalam
kemampuan sosial. hasil penelitian Korte, Bohlmeijer, Cappeliez, Smit dan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


39

Westerhof (2012) terapi ini efektif untuk mencegah dan mengurangi depresi,
meningkatkan tingkat kepuasan dalam hidup, meningkatkan perawatan diri,
meningkatkan harga diri, membantu lansia dalam krisis, kehilangan dan transisi.
Terapi Reminiscence dapat mengatasi demensia yang dialami lansia dengan
konsep Remember Yesterday Care Today (RYCT) (Schweitzer & Bruce, 2008).
Hasil penelitian Perese (2008) menunjukkan bahwa lansia yang mengalami isolasi
sosial karena kurangnya interaksi dengan orang lain dan adanya kesepian
mengalami peningkatan hubungan interaksi dengan orang lain melalui terapi
Reminiscence yang diberikan secara berkelompok.

Hasil penelitian lainnya oleh Lukow (2012) Terapi kelompok Reminiscence dapat
meningkatkan hubungan sosial antar peserta dan meningkatkan kesehatan
psikososial serta mengurangi kesepian dengan membagikan memory dengan
peserta lainnya. Pernyataan yang tidak jauh berbeda dari Jones (2003)
berdasarkan rangkuman beberapa ahli bahwa Terapi kelompok Reminiscence
dapat meningkatkan kepuasan dalam hidup, meningkatkan koping adaptif pada
masa transisi, meningkatkan integritas lansia, meningkatkan interaksi sosial,
meningkatkan rasa pecaya diri, membantu lansia yang mengalami demensia.

Schweitzer dan Bruce (2008) mengembangkan terapi Reminiscence pada lansia


yang mengalami demensia melalui program Remember Yesterday Care Today
(RYCT), RYCT inilah yang menjadi acuan karya tulis ilmiah ini karena
pendekatan terapi tiap sesinya sesuai life span. Implementasi terapi kelompok
Reminiscence terdiri dari 12 sesi dengan waktu 45 – 60 menit dengan jumlah
peserta 6 – 12 orang. Tema setiap sesi Reminiscence adalah mengenang daerah
tempat tinggal, mengenang masa kanak-kanak dan kehidupan keluarga, masa
sekolah, pekerjaan, kegiatan berumah tangga, berkebun, binatang peliharaan,
mengasuh anak, makanan, liburan, perayaan atau hari raya, diakhiri kesimpulan
dan evaluasi pengalaman yang paling berkesan. Hasil penelitian terapi
Reminiscence dengan pengembangan RYCT dalam keperawatan jiwa di Indonesia
oleh Missesa, Keliat, Wardhani, Putri (2013) menunjukkan secara significan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


40

mengatasi diagnosa keperawatan isolasi sosial, harga diri rendah,


ketidakberdayaan dan keputusasaan pada lansia.

Persiapan terapi Reminiscence menurut Bulechek, Butcher dan Dochterman


(2008) adalah persiapan (tempat yang nyaman, waktu yang tepat, identifikasi
peserta terapi Reminiscence masuk dalam kelompok kecil, pergunakan
kemampuan mendengar aktif), menentukan metode yang digunakan (rekaman
otografi, jurnal, menempel atau memasang memori pada buku, diskusi terbuka
dan mendongeng), pergunakan kemampuan kemampuan komunikasi seperti,
focusing, reflecting dan restating perkembangan suatu hubungan.

Aktivitas terapi Reminiscence yang dilakukan Bulechek, Butcher dan Dochterman


(2008) yaitu memperkenalkan alat peraga (seperti musik untuk didengar, album
photo untuk dilihat, parfume untuk rangsang penciuman), ditujukan untuk recall
stimulasi lima pancaindera; menganjurkan ekspresi secara verbal baik perasaan
positif maupun negatif pada kejadian di masa lalu.; observasi bahasa tubuh,
ekspresi wajah, dan nada suara untuk mengidentifikasi pentingnya ingatan pada
klien; beri pertanyaan terbuka tentang pengalaman masa lalu; menganjurkan
menulis kejadian di masa lalu; pertahankan tetap fokus pada setiap sesi, terutama
saat proses berlangsung dan hasil akhir; berikan semangat, dorongan dan empati
pada semua partisipan; gunakan alat peraga yang peka budaya, memiliki tema dan
tehnik yang tepat; membantu partisipan mengatasi masalah yang menyakitkan,
kemarahan, atau memori yang negatif; pergunakan album photo atau buku khusus
menempel untuk menstimulasi memori; membantu klien membuat riwayat silsilah
keluarga atau menulis pengalaman yang disampaikan; menganjurkan klien
menulis nama teman lama dan hubungannya; mengomentari kualitas suatu
kenangan dengan efektif; pergunakan pertanyaan langsung untuk memfokuskan
kembali pada kejadian di masa lalu apabila diperlukan.

Pelaksanaan Reminiscence adalah mendengar tanpa kritik, menganjurkan lansia


menyampaikan kenangan dengan memperhatikan privasi mereka menutupi usia
dan tahapannya, sabar dengan melakukan pengulangan apabila lansia kesulitan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


41

mengingat, jika ada hal yang tidak ingin dibahas sebaiknya ganti pembahasan
yang lain, ciptakan suasana yang menyenangkan bagi lansia untuk
mengungkapkan kenangan penting menurutnya, pertahankan kontak mata, tidak
memotong pembicaraan, berikan respon positif dan umpan balik dengan caring,
pergunakan alat peraga yang membantu individu mengingat memori seperti photo
serta pergunakan pertanyaan terbuka (Touhy, Jett & Ebersole, 2012) .

Kegiatan akhir terapi Reminiscence yang dilakukan Bulechek, Butcher dan


Dochterman (2008) yaitu menginformasikan anggota keluarga tentang manfaat
Reminiscence; mengukur penggunaan rentang waktu yang tepat sehingga klien
dapat mengikuti kegiatan dengan baik; umpan balik positif langsung diberikan
pada klien dengan gangguan kognitif; mengoreksi atau menyakinkan kemampuan
koping yang lama; mengulang sesi setiap minggu atau memperpanjang waktu
setiap sesuai kebutuhan; mengukur jumlah sesi pertemuan sesuai respon dan
kemauan klien untuk melanjutkan.

2) Terapi Family Psycoeducation (FPE)


Keluarga merupakan lingkungan yang selalu berinteraksi dengan klien selama
perawatan mengingat lansia demensia dengan konfusi kronis memiliki rentang
waktu perawatan yang cukup lama. Intervensi keperawatan menurut model
adaptasi Roy yaitu mengelola stimulus lingkungan, termasuk di dalamnya adalah
keluarga sebagai sumber pendukung perawatan klien. Hasil penelitian Schulz dan
Martire (2004) menunjukkan bahwa keluarga sebagai caregiver mengalami
masalah kesehatan karena adanya konflik dalam perawatan klien demensia dalam
jangka waktu yang cukup lama, misalnya penurunan kesehatan secara fisik dan
masalah psikologis seperti cemas dan depresi. Mengelola hal ini supaya tidak
berlanjut menjadi stimulus negatif tetapi sebaliknya menjadi stimulus positif pada
lansia demensia dengan konfusi kronis maka diberikan psikoterapi tepat yaitu
FPE.

FPE merupakan elemen perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan memberikan


informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik (Stuart, 2013). Tujuan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


42

terapi FPE adalah mengurangi dan mencegah kekambuhan klien serta


mempersiapkan klien kembali ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
dengan memberikan ketrampilan dan penghargaan terhadap fungsi sosial dan
ockupasi klien, memberikan dukungan terhadap anggota keluarga terutama beban
fisik dan mental dalam merawat klien dengan masalah kesehatan jiwa dalam
jangka waktu yang lama (Varcarolis, 2006). Penerapan FPE pada keluarga
menurut Carson (2000) yaitu 1) memberikan informasi dan latihan tentang area
khusus kehidupan keluarga, seperti latihan keterampilan komunikasi atau latihan
menjadi orang tua yang efektif; 2) memberikan informasi dan dukungan terhadap
kelompok keluarga khusus stress dan krisis, seperti pada kelompok keluarga
dengan penyakit Alzheimer; 3) mencegah terjadinya krisis pada keluarga.

Hasil penelitian Ostwald, Hepburn, Burns (2003) menunjukkan bahwa edukasi


pada keluarga selama 7 minggu dengan waktu 2 jam setiap pertemuan dengan
kegiatan pendidikan, dukungan keluarga, dan pelatihan keterampilan untuk
pengasuh utama (salah satu anggota keluarga) klien dengan demensia, dan
anggota keluarga lain berhasil mengurangi beban antara caregiver klien demensia
sehingga mereka mampu melakukan perawatan secara optimal. Penelitian terkait
lainnya yaitu Nurbani, Keliat, Yusron dan Susanti (2009) menunjukkan bahwa
FPE efektif mengatsi masalah psikososial ansietas dan beban keluarga (caregiver)
dalam merawat klien yang membutuhkan perawatan dalam jangka waktu lama
seperti demensia yaitu stroke. Beberapa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
FPE efektif mengatasi masalah keluarga dalam perawatan klien sehingga keluarga
memiliki kemampuan mendukung perawatan lanjutan pada klien.

2.2.3 Output
Ouput adalah kelanjutan dari proses input, proses kontrol yang melibatkan
mekanisme koping regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor.
Pada proses output perawat mengevaluasi apakah tujuan adaptif telah dipenuhi
dengan melihat penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan
mengatasi masalah konfusi kronis. Model adaptasi Roy menjelaskan bahwa ada 2
ouput dari hasil evaluasi yaitu respon adaptif dan respon inefektif (Alligood &

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


43

Tomey, 2014). Respon adaptif yaitu meningkatnya integritas dalam pencapaian


tujuan dari sistem manusia, sedangkan respon inefektif adalah tidak adanya
kontribusi pencapaian integritas dalam sistem manusia.
2.3 Konsep Model Adaptasi Roy
Model Adaptasi Roy (Suster Callista Roy dalam Mosack, 2011) ada lima elemen
penting dari model:
1. Setiap orang adalah sistem adaptif dengan input, proses internal, mode,
adaptif, dan output.
a. Stimulus input-internal atau eksternal.
b. Mekanisme internal proses koping
 Regulator subsistem-kimia, saraf, dan pemancar endokrin
 Kognator subsistem-persepsi, pengolahan informasi, penilaian, emosi.
c. Mode adaptif atau efektor sistem
 Mode fisiologis mengidentifikasi pola fungsi fisik.
 Mode konsep diri mengidentifikasi nilai-nilai, keyakinan, dan emosi.
 Mode fungsi peran mengidentifikasi pola interaksi sosial.
 Mode Interdependensi mengidentifikasi pola nilai kemanusiaan, kasih
sayang, cinta, dan penegasan.
d. Output: Respon adaptif atau respon yang inefektif
2. Tujuan keperawatan adalah peningkatan tanggapan adaptif berhubungan
dengan mode adaptif.
3. Kesehatan merupakan proses interaksi terpandua antara terpadu dengan
kondisi lingkungan.
4. Keadaan dan tumbuh kembang serta perilaku seseorang saling mempengaruhi
5. Proses Keperawatan

Tiga konsep utama dalam proses adaptasi Roy yaitu input, proses kontrol dan
umpan balik serta output. Input yang diterima manusia berupa stimulus yang
dihasilkan dari interaksi antara manusia dengan lingkungan terdiri dari 3 tingkatan
yaitu fokal, konstektual dan residual (Alligood & Tomey, 2014). Stimulus fokal
merupakan stimulus yang langsung berkaitan dengan stressor utama, stimulus
kontekstual merupakan stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhi fokal,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


44

dapat diukur dan dilaporkan secara subjektif. Stimulus tambahan namun sulit
diukur yaitu stimulus residual, contohnya nilai, kepercayaan, sikap dan sifat.
Diantara stimulus fokal, kontekstual dan residual input internal yang penting
adalah tingkat adaptasi. Tiga tingkat adaptasi dalam proses kehidupan sistem
manusia terdiri dari integrasi, compensatory dan kompromi. Integrasi
digambarkan sebagai struktur dan fungsi kehidupan yang bekerja untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Compesantory akan diaktifkan ketika terdapat
tantangan pada proses integrasi. Tingkatan selanjutnya yaitu kompromi terjadi
apabila proses integrasi dan compesantory tidak adekuat sehingga menghasilkan
masalah adaptasi.

Proses adaptasi kedua menjelaskan tentang proses kontrol yang digambarkan


dalam bentuk mekanisme koping yaitu regulator dan kognator. Regulator
merupakan proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator
berhubungan dengan kimia, neural atau endokrin. Subsistem regulator
berhubungan dengan mode fungsi fisiologis. Proses kontrol selanjutnya
berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, melakukan
penilaian dan emosi adalah proses kognator. Subsistem kognator berhubungan
dengan 3 mode yaitu konsep diri, fungsi peran dan interdepemdensi. Subsistem
regulator dan kognator saling bekerjasama memelihara integritas diri manusia.

Proses ketiga yaitu ouput berupa perilaku yang dapat diamati berupa respon
adaptif dan maladaptif atau respon inefektif. Respon yang adaptif akan
mendukung seseorang dalam pencapaian tujuan hidupnya sedangkan respon
maladaptif akan menghambat sesorang mencapai tujuannnya. Munculnya proses
persepsi pada subsistem regulator dan kognator sebagai proses penghubung
dimana input bagi regulator ditrasnformasikan dalam persepsi. Persepsi adalah
proses dari kognator. Umpan balik terhadap subsistem regulator dan kognator
adalah respon dari persepsi.

2.4 Proses Keperawatan pada Lansia Demensia dengan Konfusi Kronis


Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


45

Proses keperawatan menurut Model Adaptasi Roy (Suster Callista Roy dalam
Mosack, 2011; Alligood & Tomey, 2014) terdiri dari 5 (lima) proses keperawatan.
Adapun proses keperawatan tersebut sebagai berikut :
1. Penilaian atau pengkajian perilaku tingkat pertama; penilaian empat mode
adaptif
2. Penilaian tingkat kedua
 Identifikasi fokal, kontekstual, dan stimuli residual
 Identifikasi respon tidak efektif, Identifikasi diagnosis keperawatan
3. Penentuan tujuan dengan klien
4. Implementasi yaitu memanipulasi fokal, kontekstual, atau residual stimuli
5. Evaluasi yaitu penilaian perilaku, tujuan dan kemungkinan penyesuaian tujuan
intervensi.

Mengacu pada pada hal tersebut di atas proses keperawatan jiwa pada lansia
demensia dengan konfusi kronis terdiri dari 5 (lima) langkah kegiatan, yaitu
proses pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi keperawatan. Model Adaptasi Roy memandang
manusia sebagai sistem yang adaptif dan holistik maka pengkajian yang dilakukan
harus konfrehensif diawali pengkajian stimulus, baik dari lingkungan internal dan
eksternal, proses koping sesuai dengan adaptasi mode. Perilaku dapat diobservasi
maupun tidak dapat diobservasi. Pada lansia yang mengalami konfusi kronis
perilaku yang tidak dapat terobservasi mereka sampaikan secara langsung.
Sedangkan perilaku yang terobservasi dapat dilihat oleh orang lain. Keluyuran,
gerakan berayun adalah perilaku yang dapat terobservasi.

Pengkajian perilaku harus dilakukan oleh perawat dengan mengelompokkan


respon berdasarkan 4 mode adaptif yaitu fisik, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi. Hal selaras dengan pendekatan adaptasi Stuart dimana perawat
mengkaji respon lansia dengan konfusi kronis melalui tanda dan gejala klien.
Selanjutnya dilakukan pengkajian stimulus baik internal maupun eksternal serta
seluruh kondisi yang mempengaruhi perkembangan. Stimulus terdiri dari stimulus
fokal , kontekstual dan residual.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


46

Faktor presipitasi pada konsep adaptasi stress Stuart merupakan stimulus fokal
yang dapat langsung mempengaruhi sistem adaptif manusia. Contoh dari faktor
presipitasi tersebut adalah kondisi kesehatan lansia saat ini yang mengalami
demensia disebabkan adanya hypoxia, gangguan metabolic, infeksi, toxik,
gangguan struktur otak atau masalah sensori. Fungsi fisiologis pada adaptasi Roy
sejajar dengan dengan faktor biologi pada Model adaptasi stress Stuart, konsep
diri sejajar dengan kondisi psikologis, sedangkan fungsi peran dan
interdependensi sejajar faktor sosial.

Faktor predisposisi pada Model Adaptasi stress sejajar dengan stimulus


kontekstual dari Model Adaptasi Roy yang terdiri dari stimulus internal dan
eksternal, dengan demikian komponen faktor predisposisi pada lansia demensia
dengan masalah kognitif yang terdiri dari penuaan, neurobiology dan genetik
merupakan bagian dari stimulus kontekstual. Stimulus residual sejajar dengan
faktor predisposisi sosial pada Model adaptasi stress Stuart yaitu terkait nilai,
kepercayaan, sikap dan sifat.

Stimulus lainnya yang mempengaruhi adaptasi adalah budaya, keluarga, tahapan


perkembangan integritas mode adaptif, tingkatan adaptasi, kognator dan
lingkungan. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi pada Model Roy ini
teridentifikasi melalui penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme
koping pada Model adaptasi stress Stuart. Model adaptasi Roy
mengidentifikasikan ada 2 bentuk mekanisme koping yaitu regulator dan
kognator. Bagian dari regulator selaras dengan penilaian stressor dan sumber
koping yang berhubungan dengan fungsi fisiologis pada pendekatan adaptasi
stress Stuart. Sedangkan kognator yang terdiri dari konsep diri ,fungsi peran dan
interdependensi selaras dengan kemampuan koping personal, sumber koping,
asset material dan kenyakinan.

Proses keperawatan kedua dalam keperawatan jiwa yaitu penegakan diagnosa,


mengacu pada Model adaptasi Roy maka proses pengambilan keputusan dengan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


47

menilai hasil identifikasi stimulus fokal, kontekstual dan residual serta respon
seseorang kemudian dilanjutkan dengan diagnosis keperawatan. Proses ini selaras
dengan penegakan diagnosa keperawatan NANDA (2012) dengan menganalisa
data hasil pengkajian secara holistik dan komprehensif pada lansia demensia maka
ditegakkan diagnosa keperawatan konfusi kronis.

Rencana keperawatan adalah tahap ketiga dalam proses keperawatan jiwa dimana
perawat menentukan tujuan dan merancang intervensi keperawatan yang tepat, hal
ini sesuai dengan proses keperawatan menurut Model Adaptasi Roy tentang
pentingnya penetapan tujuan dan membuat rencana tindakan untuk meningkatkan
adaptasi dengan mengubah stimulus dan memperkuat proses adaptasi. Intervensi
keperawatan pada lansia demensia dengan konfusi kronis disusun sesuai Model
adaptasi Roy yaitu tidak hanya ditujukan pada individu saja namun lingkungan
sekitar yang berpengaruh seperti lingkungan fisik perawatan, keluarga, kelompok
klien yang saling berinteraksi. Intervensi keperawatan yang dirancang terdiri dari
2 bagian yaitu pada tingkat dasar atau kita kenal sebagai intervensi keperawatan
generalis dan tingkat lanjut atau intervensi keperawatan spesialis (Townend,
2014).

Intervensi keperawatan pada tingkat lanjut atau intervensi keperawatan spesialis


jiwa salah satunya adalah psikoterapi (Videbeck, 2011). Psikoterapi adalah proses
terapi masalah psikologis melalui komunikasi memperhatikan struktur, prinsip
dan tehnik yang profesional (Herkov, 2006). Salah satu psikoterapi pada lansia
demensia yaitu Terapi Reminiscence (Jones & Miesen, 2004; Innes & McCabe,
2007). Psikoterapi kepada keluarga adalah FPE, dengan adanya dukungan
psikologis dan informasi kepada keluarga diharapkan mereka memberikan
stimulus positif pada lansia demensia dengan konfusi kronis.

Implementasi keperawatan dalam keperawatan jiwa adalah upaya realisasi


rencana keperawatan, menurut Model Adaptasi Roy implementasi merupakan
kegiatan memanipulasi stimulus fokal, kontekstual, atau residual. Mengacu pada
hal tersebut maka lansia demensia yang mengalami konfusi kronis akan diberikan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


48

stimulus yang tepat dan proporsional melalui pancaindera sehingga stimulus yang
diterima adekuat, stimulus tersebut dapat diberikan secara langsung atau melalui
lingkungan sekitar klien (lingkungan perawatan, keluarga, orang lain). Stimulus
yang adekuat tersebut diberikan secara bertahap sehingga lansia lebih adaptif.

Evaluasi keperawatan menurut model adaptasi Roy adalah sebagai penilaian


efektifitas intervensi keperawatan terhadap sistem perilaku lansia sehingga
dilakukan penilaian perilaku, tujuan dan kemungkinan penyesuaian tujuan
intervensi. Penilaian pada asuhan keperawtan lansia dengan konfusi kronis adalah
dengan menilai penurunan tanda dan gejala kemudian penilaian peningkatan
kemampuan mengatasi konfusi kronis. Hasil akhir dari evaluasi ini terdiri dari 2
kemungkinan yaitu respon adaptif atau respon inefektif, kemudian diberikan
umpan balik pada level stimulus adaptasi, sehingga proses keperawatan menjadi
siklus yang menghasilkan respon adaptif pada lansia.

Gambaran secara jelas tentang tentang kerangka konep penerapan manajemen


asuhan keperawatan pada lansia demensia dengan konfusi kronis dengan paduan
antara psikodinamika Stuart terkait masalah kognitif dengan Model adaptasi Roy
dapat dilihat pada skema 2.3. Pada kerangka konsep ini digambarkan Input dalam
bentuk stimulus internal dan eksternal, proses kontrol (mekanisme koping berupa
regulator dan kognator) dan efektor yang digunakan untuk mempertahankan 4
mode adaftif pada lansia demensia dengan konfusi kronis serta bagaimana
keterkaitan semua proses tersebut dengan proses keperawatan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


49 48

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


INPUT PROSES OUTPUT

LEVEL STIMULUS EFEKTOR


ADAPTASI PROSES KONTROL RESPON ADAPTIF
1. Fisiologis (biologis) atau
Pengkajian Keperawatan 2. Konsep diri (psikologis) RESPON INEFEKTIF
Pengkajian Keperawatan
3. Fungsi peran, sosial budaya
1. FOKAL Mekanisme koping : 4. Peran interdependensi
Kondisi kesehatan lansia 1. Regulator
saat ini Penilaian stressor
Presipitasi : Hipoxia, (fisiologis), sumber koping
metabolik, Toxic, Infeksi dan kemampuan personal
Struktural san Sensori 2. Kognator
Penilaian stressor kognitif, Rencana & Implementasi
2. KONTEKSTUAL afektif,perilaku sosial Keperawatan Evaluasi Keperawatan
Predisposisi : 1. Perubahan Tanda dan Gejala
Penuaan, neurobiology, Sumber koping:asset, materi, 1. Generalis Konfusi kronis Konfusi Kronis
genetic dll. dukungan sosial, Individu : Sp 1-4 klien
2. Perubahan Kemampuan
Keluarga : Sp 1-4 keluarga
Kelompok : TAK Orientasi Realitas Lansia Konfusi Kronis
3. RESIDUAL sesi 1-3
Predisposisi :
 Nilai 2. Spesialis Konfusi kronis
 Kepercayaan Terapi Reminiscence sesi 1 – 12
 Sikap FPE sesi 1 – 5
 Sifat

TERAPI MEDIS:
Psikofarmaka (Sesuai penyebab dan
gejala yang muncul), Antipsikotik tipikal
Diagnosa Keperawatan dan atipikal, Cholinesterase inhibitor,
NMDA antagonis, antidepresan, β-
Konfusi Kronis Blocker, Benzodiazepines, Estrogen,
Antikonvulsan, Serotonergic agen)

Umpan balik

Skema 2.3 Integrasi Aplikasi Model Adaptasi Stres Stuart dan Model Adaptasi
16 Roy pada Proses Keperawatan
Universitas Indonesia
Lansia Demensia dengan Konfusi
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014 Kronis
BAB 3
MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN DI
RS DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR

Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien Konfusi Kronis ini
dilakukan pada tanggal 17 Februari – 18 April 2014 di Ruang Saraswati RSMM
Bogor. Berikut akan di uraikan mengenai gambaran umum RSMM Bogor,
ruangan Saraswati dan manajemen ruangan tempat praktik klinik keperawatan
jiwa III.

3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor


Rumah Sakit Jiwa Bogor adalah Rumah Sakit Jiwa pertama di Indonesia yang
didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda secara resmi pada tanggal 1 Juli 1882,
kemudian tahun 2009 berganti nama menjadi RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
(RSMM). RSMM bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia (FIK-UI) telah mengembangkan bentuk pelayanan keperawatan
profesional yang dikenal dengan Model Praktik Keperawatan Profesional
(MPKP).

RSMM Bogor memiliki struktur organisasi mengacu pada keputusan Menteri


Kesehatan RI ditetapkan menjadi 15 UPT Depkes dengan menerapkan PPK-BLU
berdasarkan SK Menkes No. 756/Menkes/SK/VI/2007 tanggal 26 Juni 2007 dan
berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Struktur organisasi RSMM
terdiri dari Direktur Utama dengan membawahi 3 Direktorat yaitu Medik dan
Keperawatan, SDM dan Pendidikan, Keuangan dan Administrasi Umum. Selain
itu, terdapat Dewan Pengawas, Komite Medik yang membawahi staf medik
fungsional, Komite Etik dan Hukum, serta Satuan Pemeriksaan Interen. Budaya
Organisasi yang ada di RSMM adalah belajar dan berkembang profesionalisme;
bekerja seimbang kebersamaan; saling menghargai; melayani dengan baik dan
tulus; motivasi dan kemitraan.

50 Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
51

Visi dari RSMM Bogor adalah “Terwujudnya Rumah Sakit mandiri melalui
profesionalisme dan pelayanan yang bermutu dengan mengutamakan kepuasan
pelangan dan terjangkau oleh rakyat miskin”. Misi antara lain Melaksanakan
pelayanan dengan unggulan kesehatan jiwa dan NAPZA; Memberdayakan seluruh
potensi yang ada di rumah sakit; Mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa
menjadi pusat rujukan nasional; Mengembangkan pendidikan kesehatan dan
penelitian serta kemitraan yang seluas-luasnya; Mencapai kesejahteraan bersama.

RSMM memiliki berbagai jenis pelayanan yaitu: 1) Pelayanan kesehatan jiwa:


Pelayanan Gawat Darurat Psikiatri, Pelayanan Rawat Jalan Psikiatri, Pelayanan
Rawat Inap Psikiatri, 2) Pelayanan khusus NAPZA: Rawat Jalan, Rawat Jalan
Spesialistik, Detoksifikasi, Rawap Inap, Gawat Darurat, 3) Pelayanan umum, 4)
Pelayanan Penunjang, 5) Pelayanan Hotline Service. Tujuan RSMM adalah
tercapainya jasa layanan kesehatan jiwa dengan kualitas prima, tercapainya
produk unggulan dalam bidang kesehatan jiwa, tersedianya sumber daya manusia
bidang kesehatan jiwa yang professional dan kemitraan. Mencapai tujuan tersebut
RSMM didukung fasilitas pelayanan kesehatan meliputi layanan kesehatan umum,
pelayanan gawat darurat umum dan psikiatri, pelayanan Rawat Inap Psikiatri.

Unit Rawat jalan terdiri dari Poliklinik Umum, Poliknik Jiwa dan Poliklinik
psikogeriatri. Poliklinik umum melayani masyarakat dengan masalah kesehatan
secara fisik, sedangkan poliklinik jiwa dikhususkan kepada pasien masalah
kejiwaan. Poliklinik psikogeriatrik adalah unit baru khusus lansia dengan masalah
jiwa dengan batasan usia 60 tahun ke atas, unit ini baru saja dibuka pada Bulan
Januari 2014.

Pelayanan rawat inap psikiatri terdiri dari: Ruang Akut (Ruang Kresna Pria dan
Wanita), ruang Intermediate (Ruang Gatot kaca, Utari), Ruang Rehabilitasi :
Ruang Bratasena, Antareja, Arimbi, Nakula, Drupadi, Yudistira, ruang khusus
Anak dan Remaja (Dewi Amba), Mental Organik (Ruang Abimanyu), dan
Psikogeriatrik (Ruang Saraswati). Ruang psikiatri lain yang dapat menerima klien
langsung dari IGD atau Poli Psikiatri adalah ruang Sadewa dan Srikandi. RSMM

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
52

juga menyediakan 1 ruangan khusus yaitu ruangan Consultation Laisson


Psychiatric (CLP) yang dibuka untuk umum April 2013. Ruangan CLP
mengintegrasikan pelayanan kesehatan fisik dengan kebutuhan psikososial klien
berdasarkan konsep Consultation Laisson Mental Health Nursing (CLMHN).

3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional


(MPKP) RSMM Bogor
Manajemen keperawatan dikembangkan oleh RSMM Bogor yaitu Manajemen
Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP). merupakan langkah strategik dalam
pencapaian visi RSMM pada tahun 2001, yakni profesionalisme dan layanan
bermutu. Langkah selanjutnya adalah kerjasama dengan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) dalam pengembangan secara
operasional. MPKP pertama kali diterapkan di tiga ruang perawatan yaitu
Srikandi, Kresna dan Sadewa.

Pada tahun 2006 dijalin kerjasama antara FIK-UI dan RSMM yaitu menempatkan
mahasiswa magister keperawatan Jiwa di ruang rawat inap RSMM. Tujuan
kerjasama ini yaitu menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa di 4 ruang
fisik dan 13 ruang psikiatri. Selain itu, mahasiswa juga ditempatkan di ruang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Psikiatri dan Poliklinik Jiwa dengan tujuan
pencapaian kompetensi dalam menangani kasus gangguan jiwa akut dengan
tujuan mengenalkan dan menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan
perkembangan MPKP pada tahun 2014 ini yaitu 4 ruangan fisik, 14 ruangan
psikiatri, dan IGD telah melaksanakan MPKP.

Penerapan manajemen pelayanan yang dikembangkan bertujuan untuk menunjang


pemberian pelayanan keperawatan yang paripurna, khususnya keperawatan jiwa
bagi masyarakat. Selain itu, penerapan tersebut sebagai upaya untuk
mengintergrasikan antara pemberian terapi generalis keperawatan jiwa dan terapi
spesialis keperawatan jiwa serta pelaksanaan praktik berdasarkan bukti

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
53

pelaksanaan praktik atau evidence based parantice. Harapan ke depan yaitu


adanya peningkatan mutu asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa.

3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Saraswati


Ruangan saraswati merupakan Ruang Kelas III Khusus untuk klien gangguan jiwa
lansia dengan keluhan fisik dan psikiatrik yang terdiri dari laki laki dan
perempuan. Jumlah perawat di Ruang saraswati sebanyak 14 orang yang terdiri
dari 1 orang lulusan S1, 13 orang dengan latar belakang pendidikan D3
Keperawatan. Perawat yang telah mengikuti pelatihan MPKP sebanyak 6 orang
(60 %). Tenaga non keperawatan ada 4 orang, meliputi 1 tenaga pramuhusada, 1
tenaga administrasi dan 2 tenaga cleaning service. Tenaga kesehatan lainnya yang
ada di ruang Saraswati adalah dokter ruangan (dokter umum), psikiater dan
psikolog.

Ruang Saraswati masih berada pada level MPKP pemula. Kapasitas tempat tidur
ruang saraswati 40 dengan indikator mutu bulan bulan Maret 44,35%, data ini
menunjukkan bahwa indikator mutu BOR belum sesuai standar nasional yaitu 70-
80%. ALOS bulan maret 33 hari, berarti perlu peningkatan perawatan. TOI bulan
bulan Maret 57,5 hari. Hal ini menjadi pertimbangan untuk peningkatan
pelayanan keperawatan selanjutnya.

Indikator mutu bulan maret khusus jiwa Ruang Saraswati berdasarkan cukup baik
berdasarkan evaluasi 4 kompenan yaitu angka lari, angka cidera, angka fiksasi
dan angka infeksi nasokomial (Keliat & Akemat, 2012). Angka lari 1 berarti
belum sesuai standar yaitu 0 (zero defect), hal ini mengindikasikan perlunys
peningkatan keamanan dan kenyamanan klien selama dirawat baik. Angka cidera
2 berati belum memenuhi standar ideal yaitu 0 (zero defect), sehingga diperlukan
peningkatan keamanan dan pencegahan cidera. Angka fiksasi 4 berarti harus
ditingkatkan pelayanan perawatan dengan meminimalkan fiksasi. Angka infeksi
nosokomial 0, berarti sudah sesuai standar perawatan yang diberikan tidak
menimbulkan infeksi silang khususnya pada klien. Tingkat kepuasan klien pada
bulan Februari 2014 sebesar 67% sangat setuju dan 33 setuju%. Data ini

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
54

menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan pelayanan keperawatan yang


mengedepankan tingkat kepuasan klien.

Diagnosa keperawatan selama praktik residensi 3 dari 17 Februari sampai 18


April 2014 sesuai dengan urutannya adalah Isolasi sosial 30 (83,3%), Defisit
perawatan diri 28 (77,78%), harga diri rendah kronik 16 (44,44%), halusinasi 18
(50%), Resiko perilaku kekerasan 11 (30,56%), Waham 2 (5,56%) dan Risiko
bunuh diri 1 (2,78%), pola tidur 3 (8,3%), konfusi kronis 12 (33,33%), Data ini
menunjukkan bahwa diagnosa keperawatan terbanyak yaitu isolasi sosial,
sedangkan konfusi kronis menempati urutan kelima. Diagnosa keperawatan
konfusi kronis diangkat oleh penulis karena diagnosa ini merupakan salah satu
diagnosa keperawatan yang dapat mengakibatkan masalah isolasi sosial akibat
kebingungan yang dialami oleh lansia dalam bersosialisasi dengan orang lain.
Selain itu, konfusi kronis belum memiliki standar khusus dalam perawatan lansia
sedangkan diagnosa ini diprediksi akan meningkat seiring meningkatnya kasus
demensia khususnya setelah dibukanya klinik rawat jalan psikogeriatrik di RSMM
Bogor.

Pelaksanaan manajemen kasus spesialis merupakan bagian dari manajemen


pelayanan yang telah di terapkan di ruang Saraswati selama ini. Manajemen
pelayanan yang dikembangkan adalah pengembangan ruang rawat menggunakan
MPKP berdasarkan empat pilar profesional yaitu pendekatan manajemen, sistem
kompensasi dan penghargaan, hubungan profesional, dan sistem pemberian
asuhan keperawatan (Keliat & Akemat, 2010). Metode penugasan yang diterapkan
di ruang MPKP adalah metode penugasan metode tim. Tenaga keperawatan yang
ada di ruangan terdiri dari Kepala Ruangan, katim, dan perawat pelaksana dengan
latar pendidikan S1 Keperawatan dan D3 Keperawatan.

Kepala ruangan Saraswati sudah mempunyai 32 kemampuan MPKP, pilar


perencanaan mampu membuat perencanaan terdiri dari kegiatan penentuan visi,
misi, filosofi dan pembuatan rencana jangka pendek (tahunan, bulanan, dan
harian); melakukan evaluasi struktur organisasi dan membuat pembagian alokasi

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
55

klien. Selain itu kepala ruangan telah mampu melakukan fungsi pengarahan terdiri
dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi, pendelegasian, dan
penciptaan iklim motivasi. Secara periodik yaitu sebulan sekali membuat
penghitungan indikator mutu, survei diagnosa medis dan keperawatan, survei
kepuasan dan audit dokumentasi. Pembudayaan yang perlu ditingkatkan pada
pilar ini adalah kemampuan penyampaian visi, misi dan filosofi minimal
seminggu sekali.

Kemampuan kepala ruangan pada pilar kompensasi dan penghargaan ini terdiri
dari dua kegiatan yaitu penilaian kinerja dan pengembangan staf. Kepala ruangan
secara periodik melaksanakan, rapat tim keperawatan, case conference, dan
kolaborasi saat visit dokter. Pembudayaan yang perlu ditingkatkan adalah rapat
tim kesehatan. Pilar sistem pemberian asuhan keperawatan mengatur tentang
kompetensi yang harus dimiliki perawat ruang MPKP dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dan keluarganya. Kegiatan yang tercakup dalam pilar ini
adalah pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan diagnosa
halusinasi, risiko perilaku kekerasan diri, harga diri rendah, isolasi sosial, defisit
perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri. Asuhan keperawatan klien terkait
konfusi kronis pada lansia dilakukan pendampingan mengingat ini adalah
diagnosa baru, karena ada peningkatan klien demensia sejak dibukanya klinik
psikogeriatrik.

Ketua tim memiliki kompetensi 19 kegiatan MPKP, yaitu pembuatan rencana


bulanan dan harian, alokasi klien, pre dan post conference, supervisi, iklim
motivasi, pendelegasian, penilaian kinerja, kolaborasi saat visit dokter, case
conference dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada
tujuh diagnosa keperawatan yang sudah ditetapkan. Kegiatan yang menjadi
kompetensi perawat pelaksana berjumlah 8 kegiatan yaitu pembuatan rencana
kerja harian dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada
tujuh diagnosa keperawatan. Kemampuan yang perlu ditingkatkan
pembudayaannya adalah pembuatan rencana bulanan, penyampaian visi, misi dan
filosofi serta pelaksanaan case conference. Pelaksanaan MPKP khususnya pilar

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
56

pemberian asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan pelaksanaan manajemen


kasus spesialis yang dilakukan oleh residen. Perawat ruang Saraswati sudah
mempunyai kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada tujuh
diagnosa keperawatan jiwa.

Berdasarkan studi dokumentasi di Ruang Saraswati telah terpampang visi, misi,


filosofi, struktur organisasi, daftar alokasi pasien, daftar indikator mutu dan hasil
survey kesehatan. Selain itu juga telah tersedia daftar dinas, buku visit dokter,
format pengkajian dan berbagai format dokumentasi asuhan keperawatan.
Hardware yang ada di ruang Saraswati sebagian besar telah memenuhi standar
hard ware di MPKP.

Ruang Saraswati memberikan asuhan keperawatan tidak hanya pada klien namun
juga pada keluarga baik secara individu maupun kelompok. Pemberian asuhan
keperawatan untuk kelompok klien, diberikan dalam bentuk terapi aktivitas
kelompok (TAK). Ruang Saraswati mengadakan terapi aktivitas kelompok
sebanyak satu kali sehari. Terapi aktivitas kelompok dipimpin oleh perawat ruang
Saraswati secara bergantian. Jenis TAK yang dilakukan adalah sosialisasi,
stimulasi persepsi, orientasi realita, dan stimulasi sensori. Pencatatan pelaksanaan
kegiatan dan pencapaian klien TAK dicatat dalam buku laporan TAK.

Kendala dalam pelaksanaan MPKP di Ruang Saraswati berdasarkan hasil praktik


Residen 3 keperawatan jiwa yaitu Ketua Tim 2 belum mampu melaksanakan
tugasnya secara optimal karena masa pemulihan setelah mengalami penyakit
kronis sehingga tugasnya secara bergantian dilaksanakan oleh Kepala Ruangan
dan Ketua Tim 1. Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi kinerja perawat oleh
Kepala Ruangan ada 3 perawat pelaksana belum mampu melaksanakan tugas
secara optimal karena masalah kesehatan. Pada Tabel 3.1 ditampilkan kemampuan
MPKP Kepala Ruangan dan Ketua Tim 1.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
57

Tabel 3.1 Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP


Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2014

No Kegiatan Karu Katim 1


SE EK SE EK
PERENCANAAN 30 18
1 Visi 90 95
2 Misi 90 95
3 Filosofi 90 95
4 Rencana Kegiatan
Rencana Harian 90 100 80 90
Rencana Bulanan 90 100 90 100
Rencana Tahunan 90 100
PENGORGANISASIAN
1 Struktur organisasi 100 100
2 Daftar Dinas 100 100 100 100
3 Daftar Alokasi Pasien 100 100 100 100
PENGARAHAN
1 Operan 100 100
2 Supervisi 80 90 85 90
3 Pre conference 90 100 85 90
4 Post conference 90 100 85 90
5 Iklim motivasi 100 100 100 100
6 Pendelegasian 100 100 90 100
PENGENDALIAN
1 Audit Dokumentasi 100 100
2 Indikator Mutu 100 100
3 Survey Kepuasan 100 100
4 Survey Masalah 100 100
COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja 80 90 90 100
2 Pengembangan Staf 80 90
PROFESIONAL RELATIONSHIP
1 Case conference 80 100 80 85
2 Visite dokter 100 100 100 100
3 Rapat Keperawatan 100 100
4 Rapat TIM Kesehatan 100 100
PATIENT CARE DELIVERY
1 Harga diri rendah 100 100 100 100
2 Resiko perilaku kekerasan 100 100 100 100
3 Isolasi sosial 100 100 100 100
4 Halusinasi 100 100 100 100
5 Waham 100 100 90 100
6 Resiko bunuh diri 100 100 100 100
7 Defisit perawatan diri 100 100 100 100
TOTAL LULUS >75 32 32 19 19

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
58

3.4 Penatalaksanaan Konfusi Kronis di Ruang Saraswati


3.4.1 Penatalaksanaan Keperawatan
Konfusi kronis merupakan diagnosa keperawatan yang baru dirancang oleh
penulis dengan memperhatikan kondisi klinis di ruang perawatan psikogeriatrik
dan masukan dari pembimbing. Klien dengan demensia yang mengalami
kebingungan awalnya ditegakkan diagnosa keperawatan gangguan orientasi realita
kemudian berkembang menjadi gangguan proses pikir namun belum memiliki
standar asuhan keperawatan yang baku untuk asuhan secara invidu dan keluarga
kecuali terapi aktivitas kelompok yang sudah ada yaitu Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) Orientasi Realita. Berdasarkan acuan penegakan diagnosa
NANDA (2012) dan beberapa sumber referensi terkait maka dirumuskan diagnosa
konfusi kronis dan dirancang intervensi keperawatan generalis untuk klien,
keluarga dan kelompok.

Intervensi keperawatan generalis pada lansia dengan konfusi kronis secara umum
adalah menjelaskan masalah konfusi kronis, membantu klien orientasi,
mengajarkan klien patuh minum obat, melakukan stimulasi kognitif sederhana
dengan bermain puzzle dan tebak benda, mengajarkan kegiatan positif sederhana
sesuai kemampuannya. Intervensi generalis kepada keluarga yaitu menjelaskan
tentang masalah konfusi kronis, mendiskusikan perawatan, mengajarkan keluarga
membimbing klien melakukan latihan stimulasi kognitif, mengajurkan keluarga
memodifikasi lingkungan dan menjelaskan follow up kesehatan klien. Selanjutnya
intervensi kelompok yaitu TAK Orientasi Realita terdiri dari 3 sesi yaitu
pengenalan orang, pengenalan tempat dan pengenalan waktu. (Standar Asuhan
Keperawatan dan Strategi Pelaksanaan Konfusi Kronis terlampir).

Sosialisasi standar asuhan keperawatam konfusi kronis dilaksanakan pada rapat


perawat pada bulan Februari 2014, selanjutnya dilakukan pendampingan
khususnya pelaksanaan intervensi ke individu dan keluarga, sedangkan TAK
Orientasi Realita dapat dilakukan perawat Ruang Saraswati secara mandiri dan
penulis hanya melakukan supervisi isidentil mengingat kemampuan melaksanakan
TAK ini telah membudaya bagi perawat Ruang Saraswati.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
59

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain seperti dokter atau psikolog dilakukan
dalam pemberian terapi psikofarmaka (pilar ke-3). Kesinambungan akan tindakan
keperawatan dilakukan melalui operan, pre dan post conference (pilar ke-1) serta
untuk menjamin pelayanan tetap baik dan bermutu maka dilakukan evaluasi mutu
serta pemberian reward (pilar ke-2).

Penatalaksanaan keperawatan masalah konfusi kronis di ruangan Saraswati


menggunakan pendekatan proses keperawatan, mulai dengan kegiatan pengkajian
tanda dan gejala klien dengan menggunakan format pengkajian keperawatan yang
telah tersedia di ruangan, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan
berdasarkan standar asuhan keperawatan untuk masalah konfusi kronis,
implementasi dan evaluasi yang dilanjutkan dengan pendokumentasian tindakan
dan kemampuan klien dan keluarga pada catatan perkembangan klien.

Perawat mampu menggunakan komunikasi terapeutik yang efektif pada lansia


konfusi baik terintegrasi dalam terapi generalis dan TAK Orientasi Realitas.
Strategi lingkungan belum dapat dilakukan secara maksimal, terkait dengan faktor
lain yang tidak bisa dikontrol yaitu lingkungan belum nyaman dan aman untuk
klien demensia yang mengalami konfusi misalnya tidak ada handrail atau
pegangan susur di ruangan khusunya kamar mandi, lantai dari bahan yang licin.

3.4.2 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan medis lansia dengan masalah konfusi kronis di ruangan
Saraswati diberikan berdasarkan diagnosa medis klien yaitu demensia.
Pengobatan yang diberikan adalah Antipsikotik atipikal (Risperidone),
Antipsikotik tipikal (Haloperidol, Chlorpromazin), antiansietas (Clobazam),
Antiparkinson (Thrixelphenidyl), Antidepresan (Merlopam, Piracetam, Kalxetin,
Simvastatin), obat antihipertensi (Captopril).

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
BAB 4
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA
LANSIA DEMENSIA DENGAN KONFUSI KRONIS
DI RUANG SARASWATI

Pada Bab ini dijelaskan mengenai pelaksanaan asuhan keperawatan pada 12 lansia
yang mengalami konfusi kronis di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor. Pelaksanaan asuhan keperawatan melalui proses keperawatan dengan
pendekatan model Stuart yaitu pengkajian faktor predisposisi, presipitasi,
penilaian terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping. Penegakan
diagnosa keperawatan dirumuskan dari data yang ditemukan.

Intervensi dan pelaksanaan terapi keperawatan berdasarkan pengkajian dan


perumusan diagnosa yang ditegakan yaitu dari intervensi generalis hingga terapi
spesialis. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan pada lansia demensia dengan konfusi kronis yang
meliputi karakteritik klien, hasil pengkajian, diagnosa keperawatan dan diagnosa
medik, penatalaksanaan, hasil, kendala serta rencana tindak lanjut.

4.1 Hasil Pengkajian Lansia dengan Konfusi Kronis di Ruang Saraswati

Kegiatan pelaksanaan manajemen kasus spesialis diawali dengan pengkajian.


Pengkajian klien dengan konfusi kronis terdiri dari pengkajian karakteristik klien
(data demografi) dan pengkajian kondisi klinis klien. Pengkajian kondisi klinis
klien dilakukan menggunakan model stress adaptasi Stuart. Model ini terdiri dari
pengkajian faktor presdisposisi, presipitasi, peniliaian terhadap stressor, sumber
koping dan mekanisme koping.

4.1.1 Karakteristik Klien


Karakteristik klien konfusi kronis di Ruang Saraswati dikelompokkan berdasarkan
usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, tingkat perawatan,
frekuensi dirawat, caregiver, agama, suku bangsa (tabel 4.1).

Universitas Indonesia

60
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
61

Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Klien dengan Konfusi Kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)

No Variabel Jumlah Presentase


1. Usia
a. 60 – 74 tahun 6 50
b. 75 – 85 tahun 5 41,7
c. > 85 tahun 1 8,3
2. Jenis Kelamin
a. Laki-laki 4 33,3
b. Perempuan 8 66,7
3. Pendidikan
a. Rendah (SD) 6 50
b. Menengah (SMP) 3 25
c. Tinggi (SMA & PT) 3 25
4. Pengalaman Pekerjaan
a. PNS 4 33,3
b. Pedagang 1 8,3
c. Petani 2 16,7
d. Tidak bekerja 5 41,7
5. Status Perkawinan
a. Menikah 3 25
b. Belum menikah 2 16,7
c. Janda/duda 7 58,3
6 Tingkat perawatan
a. Total care 2 16,7
b. Partial care 10 83,3
c. Self care 0 0
7 Frekuensi masuk RS
a. 1 kali 5 41,7
b. 2 – 5 kali 7 58,3
8 Caregiver
a. Ada 10 83,3
b. Tidak ada 2 16,7
9 Agama
a. Islam 10 83,3
b. Kristen 2 16,7
10 Suku Bangsa
a. Sunda 8 66,7
b. Jawa 2 16,7
c. Padang 1 8,3
d. Ambon 1 8,3

Distribusi karakteristik lansia dengan konfusi kronis yang memiliki usia 60 – 64


tahun lebih banyak yakni 6 orang (50%), berjenis kelamin perempuan 8 orang
(66,7%), tingkat pendidikan rendah setara SD memiliki jumlah yang lebih banyak
yaitu 6 orang (50%). Klien sebagian besar riwayat pekerjaaan yaitu tidak bekerja
(ibu rumah tangga dan geladangan) 5 orang (41,7%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


62

Sebagian besar status perkawinan klien yaitu janda/duda 7 orang (58,3%),belum


menikah yaitu 2 orang (16,7%). Frekuensi masuk RS (dirawat) 1 x adalah 7 orang
(58,3%). Lansia yang tidak memiliki pengasuh (caregiver) ada 2 orang (16,7%),
sebagian besar menganut agama Islam yaitu 10 orang (83,3%) dan Sunda adalah
suku bangsa terbanyak yaitu 9 (75%).

Karakteristik lansia dengan konfusi kronis berdasarkan hasil pengukuran MMSE


pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa kategori gangguan kognitif ringan 58,3% dan
gangguan kognitif sedang 41,7%.

Tabel 4.2
Distribusi Karakteristik Lansia berdasarkan MMSE
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)

No Kategori MMSE Rentang n %


skor
1. Gangguan kognitif 18 - 23 7 58,3
Ringan
2. Gangguan kognitif 11 - 17 5 41,7
Sedang

4.1.2 Faktor Predisposisi


Stuart (2013) menyatakan faktor predisposisi adalah faktor yang melatarbelakangi
masalah yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi
stres baik biologis, psikososial dan sosial kultural. Pada tabel 4.3 menunjukkan
bahwa faktor biologis yang dialami lansia dengan masalah konfusi kronis adalah
penuaan 12 orang (100%), selanjutnya tidak pernah /jarang olahraga 10 orang
(83,3), suka makanan asin 8 orang (66,7%) dimana 4 orang (33,3%) diantaranya
mengalami penyakit hipertensi 4 orang (33,3). Kebiasaan merokok 4 orang
(33,3) semunya berjenis kelamin laki-laki, riwayat gangguan jiwa 3 orang (25%).

Faktor psikologis yang paling banyak ditemukan yaitu ada 10 orang (83,3%)
dengan kepribadian tertutup, selanjutnya 8 orang (66,7%) dengan pengalaman
kehilangan dan keinginan tidak tercapai 6 orang (50%). Faktor sosial budaya yang
melatarbelakangi lansia dengan konfusi kronis adalah masalah ekonomi 9 orang

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


63

(75%), selanjutnya konflik keluarga 8 orang (66,7%) dan jarang terlibat kegiatan
sosial 7 orang (58,3%).
Tabel 4.3
Distribusi Faktor Predisposisi pada Lansia dengan Konfusi Kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)

No Faktor Predisposisi Jumlah Persentase


1. Biologis
a. Penuaan 12 100
b. Trauma kepala 2 16,7
c. Genetik 2 16,7
d. Penyakit Hipertensi 4 33,3
e. Suka makanan asin 8 66,7
f. Riwayat gangguan jiwa 3 25
g. Merokok 4 33,3
h. Tidak pernah/jarang olahraga 10 83,3
2. Psikologis
a. Kepribadian tertutup 10 83,3
b. Pengalaman kehilangan 8 66,7
c. Keinginan tidak tercapai 6 50
d. Belajar ilmu kebatinan 2 16,7
3. Sosial
a. Masalah pekerjaan 5 41,7
b. Konflik dalam keluarga 8 66,7
c. Ekonomi rendah 9 75
d. Pendidikan rendah 7 58,3
e. Tidak Rutin ikut kegiatan 5 41,7
keagamaan
f. Jarang terlibat kegiatan sosial 7 58,3

4.1.3 Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi merupakan faktor pencetus berupa stressor yang dihadapi klien
yang mencetuskan konfusi kronis (Stuart,2013). Faktor presipitasi yang
dipaparkan berupa sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan
banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang.

Tabel 4.4 memaparkan berdasarkan sifat stressor ditemukan bahwa faktor


presipitasi biologis karena putus obat sebanyak 5 orang (41,7%), kemudian
penyakit hipertensi dan gizi kurang (IMT kurang dari 18,5) masing-masing 4
orang (33,3 %). Stresor psikologis disebabkan paling banyak adalah adanya
kekecewaan dengan lingkungan (teman, tetangga, perubahan lingkungan tempat
tinggal) ada 10 orang (83,3) dan kekecewaan terhadap konflik keluarga (gagal
membina hubungan suami istri, konflik dengan pasangan, konflik dengan saudara,
konflik dengan anak) ada 8 orang (66,7%). Stresor sosial budaya sebagian karena

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


64

adanya masalah ekonomi ada 10 orang (83,3%) dan perubahan lingkungan ada 8
orang (66,7%). Sumber permasalahan pada klien seluruhnya merupakan
kombinasi internal dan eksternal yaitu 12 orang (100%). Lama klien terpapar
stresor sebagian besar lebih yaitu 6 bulan atau lebih ada 7 orang (58,3%). Jumlah
stressor seluruhnya lebih dari 2 (100%).

Tabel 4.4
Distribusi Faktor Presipitasi pada Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari - 18 April 2014 (n = 12)

No Faktor Presipitasi Jumlah Persentase


1. Sifat
a. Biologis
- Putus obat 5 41,7
- Gizi kurang 4 33,3
- Penyakit hipertensi 4 33,3
b. Psikologis
- Keinginan tidak terpenuhi 4 33,3
- Kekecewaan terhadap konflik keluarga 8 66,7
- Kekecewaan terhadap lingkungan 10 83,3
c. Sosial budaya
- Masalah ekonomi 10 66,7
- Masalah pekerjaan 2 16,7
- Perubahan lingkungan 8 66,7
- Perpisahan dengan anggota keluarga 2 2,4
- Menggelandang 2 16,7
2. Asal Stresor
a. Internal 12 100
b. Eksternal 12 100
3. Waktu
a. < 6 bulan 5 41,7
b. > 6 bulan 7 58,3
4. Jumlah Stresor
a. 1 - 2 Stresor 0 0
b. > 2 Stresor 12 100

4.1.4 Penilaian Terhadap Stresor


Respon klien terhadap stressor dapat terdiri dari aspek kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku, sosial (Stuart, 2013). Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses
evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan individu terhadap stressor.
Berdasarkan tabel 4.5 respon kognitif yang dialami oleh seluruh lansia dengan
konfusi kronis adalah mudah lupa, tampak bingung, disorientasi waktu, kosentrasi
menurun yaitu 100%, selanjutnya disorientasi tempat dan orang ada 10 orang
(83,35), tidak mampu mengambil keputusan ada 9 orang (75%), daya ingat jangka
panjang terganggu 50%, tidak mampu mengenali orang terdekat 1 orang (8,3%)

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


65

Respon afektif yang dialami oleh seluruh lansia adalah afek labil ada 100%,
respon mudah cemas dan mudah marah ada 10 orang (83,3%). Respon fisiologis
pada lansia yaitu penampilan tidak rapi 11 orang (91,7%), mudah lelah 10 orang
(83,3%).

Tabel 4.5
Distribusi Penilaian Terhadap Stresor pada Lansia Konfusi Kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)

No Penilaian Terhadap Stresor Jumlah Persentase


1. Respon Kognitif
a. Mudah lupa 12 100
b. Tampak Bingung 12 100
c. Disorientasi waktu 12 100
d. Disorientasi orang 10 83,3
e. Disorientasi tempat 10 83,3
f. Tidak mampu mengenali orang terdekat 1 8,3
g. Kosentrasi menurun 12 100
h. Daya ingat jangka panjang terganggu 6 50
i. Tidak mengenali identitasnya 0 0
j. Tidak mampu mengambil keputusan 9 75
2. Respon Afektif
a. Mudah cemas 8 66,7
b. Afek labil 12 100
c. Mudah marah 8 66,7
3. Respon Fisiologis
a. Penampilan tidak rapi 11 91,7
b. Mudah lelah 10 83,3
4. Respon Perilaku
a. Pekerjaan tidak tuntas 12 100
b. Tergantung dengan orang lain 12 100
c. Tidak mampu merawatan diri 11 91,7
d. Sering mengeluh 12 100
e. Mondar-mandir/kurang koordinasi gerakan 8 66,7
f. Sulit diatur 11 91,7
5. Respon Sosial
a. Menarik diri 11 91,7
b. Acuh dengan lingkungan 11 91,7

Respon perilaku yang dialami oleh seluruh lansia (100%) adalah pekerjaan tidak
tuntas, tergantung dengan orang lain, sering mengeluh, respon berikutnya tidak
mampu merawat diri dan sulit diatur 11 orang (91,7%), mondar-mandir/kurang
koordinasi gerakan ada 9 orang (75%). Respon sosial paling banyak yaitu menarik
diri dan acuh dengan lingkungan 11 orang (91,7%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


66

4.1.5 Sumber Koping


Sumber koping merupakan kemampuan lansia dalam mengatasi masalahnya
terdiri dari kemampuan individu, dukungan sosial, ketersediaan materi, dan
keyakinan positif (Tabel 4.6).

Tabel 4.6
Distribusi Sumber Koping pada Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 12)

No Sumber Koping Jumlah Persentase


1. Kemampuan Personal
a. Mengetahui cara mengatasi konfusi kronis 0 0
b. Tidak mengetahui cara mengatasi konfusi kronis 12 100
2. Dukungan Sosial
a. Dukungan keluarga
- Ada, mampu merawat 0 0
- Ada, tidak mampu merawat 8 66,7
- Tidak ada 4 33,3
b. Dukungan kelompok
- Tidak ada 12 100
c. Dukungan masyarakat
- Tidak ada 12 100
3. Ketersediaan Aset Mareril
a. Dana kesehatan
- Jamkesmas/Jamkesda 12 100
- Pribadi 2 16,7
- Tabungan 4 33,3
b. Jangkauan ke Pelayanan Kesehatan
- Jauh 2 16,7
- Dekat/Terjangkau 10 83,3
4. Keyakinan Positif
a. Yakin akan sembuh 2 16,7
b. Tidak ada kenyakinan sembuh 2 16,7
c. Tidak mampu mengungkapkan kenyakinan 8 83,3

Berdasarkan tabel 4.6 seluruh lansia (100%) tidak mengetahui cara mengatasi
masalah konfusi kronis. Dukungan sosial yang didapatkan pada lansia dengan
konfusi kronis diantaranya sebagian besar memiliki dukungan keluarga tetapi
tidak mengetahui perawatan klien yaitu ada 8 orang (66,7%) dan tidak ada
dukungan keluarga 4 orang (33,3%); seluruh lansia (100%) tidak mendapat
dukungan kelompok dan dukungan masyarakat. Seluruh klien (100%) memiliki
asuransi kesehatan (Jamkesda/Jamkesmas), ada 4 orang (33,3%) memiliki
tabungan, 2 orang menggunakan uang pribadi untuk tambahan biaya perawatan
dalam pemeriksaan CT Scan. Jarak rumah dan pelayanan kesehatan sebagian
besar terjangkau ada 10 orang (83,3%) Keyakinan positif yang dimiliki oleh

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


67

lansia sebagian besar tidak mampu mengungkapkan kenyakinannya ada 8 orang


(66,7%) karena merasa dirinya tidak ada masalah dan bingung dengan
keadaannya, 2 orang (16,7%) yakin akan sembuh dan 2 orang (16,7%) tidak yakin
sembuh karena merasa sudah tua.

4.1.6 Koping mekanisme


Koping mekanisme merupakan cara yang dilakukan klien saat menghadapi
masalah (Tabel 4.7). Koping mekanisme yang digunakan lansia dengan konfusi
kronis sebagian besar klien menggunakan koping mekanisme memendam
masalah, diam (supresi) 83,3%dan berperilaku seperti perkembangan masa kecil
ketika menghadapi masalah (regresi) ada 10 orang (83,3%), selanjutnya
melakukan penolakan (denial) bahwa dirinya sakit ada 8 orang 66,67%.

Tabel 4.7
Distribusi Mekanisme Koping pada Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)

No Koping Mekanisme Jumlah Persentase


1. Denial 8 66,7
2. Regresi 10 83,3
3 Supresi 10 83,3

4.1.7 Diagnosa Keperawatan dan Medik


4.1.7.1 Diagnosa keperawatan
Lansia yang dikelola penulis memiliki diagnosa yang lain selain diagnosa Konfusi
Kronis (Tabel 4.8), diketahui bahwa diagnosa penyerta yang paling banyak
ditemukan adalah isolasi sosial, defisit perawatan diri, risiko jatuh.

Tabel 4.8
Distribusi Diagnosa Keperawatan yang Menyertai pada Lansia dengan
Konfusi Kronis, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 12)

Diagnosis Utama Diagnosis penyerta Jumlah Persentase


Isolasi social 11 91,7
Defisit Perawatan Diri 11 91,7
Risiko Jatuh 8 66,7
Konfusi Kronis Pola tidur tidak efektif 3 25
Kerusakan komunikasi 2 2,4
verbal
Halusinasi 3 25
Koping keluarga inefektif 10 83,3

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


68

4.1.7.2 Diagnosa dan Terapi Medis


Diagnosis medis dan terapi pada lansia dengan konfusi kronis di Ruang Saraswati
RSMM Bogor dapat dilihat pada tabel 4. 9

Tabel 4.10
Distribusi Terapi Medis Pada Klien Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Diagnosa medis
Paket terapi Dosis Demensia Demensia Demensia N
Psikotik Vaskuler
Risperidone 2 x 2 mg
2 2
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg
Haloperidol 2 x 1,5 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg 1 2 3
Risperidone 2 x 2 mg
Risperodone 2 x 1 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg
3 3
Captopril 2 x 12,5 mg
Merlopam 1x 1 mg
Haloperidol 2 x 1,5 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg
1 1
Risperidone 2 x 2 mg
Chlorpromazine 1 x 50 mg
Haloperidol 1 x 1 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 1 mg
Kalsetin 1x1 1 1
Merlopam 1 x ½ mg (k/p)
Piracetam 1 x 400 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 1 mg
Risperidon 2 x 1 mg
1 1
Merlopam 1x ½ mg (k/p)
Kalxetin 1 x 10 mg
Haloperidol 1 x 1,25 mg
Thrihexilphenidyl 3 x 2mg
Risperidone 1/2 – 0 – 1 1 1
Sizoril 1 x 2 mg
Clobazam 1 x 5 mg
Total 6 3 3
12
( 50%) (25%) (25%)

Diagnosis medis pada lansia dengan konfusi kronis di Ruang Saraswati RSMM
Bogor. Pada tabel 4.9 Seluruh lansia yang mengalami konfusi kronis dengan
diagnosis medis demensia, demensia ada 6 orang (50%), demensia vaskuler ada 3
orang (25%) dan demensia psikotik ada 3 orang (25%). Pengobatan yang
diberikan adalah Antipsikotik atipikal (Risperidone), Antipsikotik tipikal
(Haloperidol, Chlorpromazin), Antiparkinson (Thrixelphenidyl), Antidepresan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


69

(Merlopam, Piracetam, Kalxetin, Simvastatin), obat antihipertensi (Captopril),


Clobazam (antiansietas).

4.2 Penatalaksanaan Lansia dengan Diagnosa Keperawatan Konfusi Kronis


4.2.1 Rencana Keperawatan
Rencana manajemen asuhan keperawatan pada lansia dengan konfusi kronis di
Saraswati ditunjukkan pada tabel 4.10.

Tabel 4.10
Perencanaan Penatalaksanaan pada Lansia dengan Konfusi kronis di Ruang
Saraswati RSMM Bogor

No Terapi TAK Orientasi Terapi Reminiscence Family Psikoedukasi (FPE)


generalis Realita Kelompok

1 12 12 12 10

4.2.2 Implementasi Keperawatan


Tindakan keperawatan yang diberikan meliputi terapi generalis dan terapi
spesialis yang keduanya dilakukan oleh mahasiswa serta bekerja sama dengan
perawat di Saraswati RSMM (tabel 4.11).

Tabel 4.11
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada Konfusi
Kronis di Ruang Saraswati Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
No Terapi Keperawatan Jumlah
1. Terapi Generalis 12
2. Terapi Spesialis
a. Terapi Reminiscence 12
b. Terapi Family 7
Psycoeducation

Terapi generalis dilakukan kepada dengan 12 klien, rata-rata dilakukan sebanyak


4-6 kali. Terapi generalis yang diberikan kepada klien dan keluarga dengan
strategi pelaksanaan minimal 4 kali pertemuan dan diulang apabila klien dan
keluarga belum mampu mencapainya. Tindakan generalis pada klien pada
pertemuaan pertama mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah konfusi
kronis dan melatih klien orientasi waktu, tempat dan orang; pertemuan kedua
melatih klien minum obat; pertemuan ketiga melatih klien memberi label pada

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


70

photo/gambar dan bermain puzzle sederhana; pertemuan keempat melatih klien


melakukan aktivitas positif dan kegiatan spiritual. Terapi generalis pada keluarga
klien dengan konfusi kronis yaitu pada pertemuan pertama mendiskusikan
masalah klien, menjelaskan masalah konfusi kronis dan menganjurkan melakukan
perawatan, menjelaskan cara memodifikasi lingkungan yang terapeutik untuk
klien serta melatih keluarga membantu klien berorientasi; pertemuan kedua
melatih keluarga membimbing klien minum obat; pertemuan ketiga melatih
keluarga membimbing klien latihan memberi label photo dan stimulasi kognitif
dengan merangkai puzzle; pertemuan ketiga melatih keluarga membimbing klien
melakukan aktivitas positif dan kegiatan spiritual serta melatih keluarga
melakukan follow up kesehatan klien dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang ada. Tindakan generalis dilakukan oleh mahasiswa residen dan beberapa
perawat ruangan saraswati. Tindakan generalis dalam bentuk Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) Orientasi Realitas dilakukan oleh perawat ruang Saraswati.

Terapi spesialis merupakan terapi lanjutan yang diberikan terhadap 12 lansia oleh
mahasiswa residen dibantu fasilitator 2-3 perawat ruang Saraswati yang sudah
dilatih sebelumnya, fasilitator membantu untuk menterjemahkan bahasa Indonesia
ke bahasa Sunda demikian juga sebaliknya, memperjelas komunikasi klien yang
memiliki volume dan nada suara yang kecil, membantu memotivasi keterlibatan
lansia, membantu klien yang tidak bisa membaca dan menulis, membantu menulis
evaluasi respon lansia saat terapi. Alat bantu terapi 25% milik ruangan dan 75%
difasilitasi mahasiswa residen. Tempat pelaksanaan yaitu ruang multifungsi
(ruang makan, ruang hiburan dan ruang tamu). Terapi kelompok Reminiscence
dalam 12 sesi, kegiatan ini dilakukan dalam 2 kelompok yaitu klien yang dirawat
minggu 1-4 selanjutnya kelompok kedua yaitu lansia yang dirawat minggu ke 5
dan 8. Tiap sesinya rata-rata diulang dalam 2-3 kali pertemuan karena lansia
mengalami penurunan konsentrasi. Ada 2 orang yang mendapat perhatian khusus
dan selalu diulang secara individu karena sering meninggalkan kegiatan terapi
sebelum terapi selesai, kurang kosentrasi, perhatian mudah beralih dan sulit diatur.
Tujuan dari terapi ini adalah memfasilitasi klien mengingat pengalaman yang
menyenangkan (seperti prestasi, kemampuan mengatasi masalah, kesan positif)

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


71

melalui trigger (berupa photo, gambar, benda kenangan, dan lain-lain) dan
membagikannya (melalui diskusi kelompok dan atau praktek bersama) sehingga
secara tidak langsung menstimulasi kognitif klien khusnya memori jangka
panjang, meningkatkan kepercayaan diri, menstimulasi sosialisasi dan
kemampuan kerjasama serta kemampuan psikomotor saat mempraktekkan
kenangan yang berkesan tersebut.

Terapi spesialis lainnya yaitu Terapi Family Psychoeducation (FPE) yang


direncanakan pada 10 klien yang memiliki keluarga sebagai caregivernya. Namun
dalam pelaksanaanya hanya 7 keluarga yang dapat diberikan, 3 keluarga hanya
diberikan terapi generalis pada awal dan akhir perawatan dengan alasan jarak
rumah dengan rumah sakit jauh dan memiliki kesibukan terkait pekerjaan serta
rumah tangga. Terapi bertujuan mengatasi masalah psikologis yang dialami
keluarga selama merawat klien dan mempersiapkan melakukan manajemen stress
serta manajemen sehingga nantinya mereka siap melakukan perawatan yang
mendukung pemulihan perawatan lanjutan di rumah menggunakan sumber
pendukung yang ada.

4.2.3 Evaluasi Hasil


Evaluasi hasil terdiri dari 2 bagian yaitu 1) Mengukur tanda dan gejala konfusi
kronis ; 2) mengukur kemampuan klien dan keluarga mengatasi masalah konfusi
kronis. Pengukuran konfusi kronis pada klien diperoleh dengan menggunakan
kuesioner penilaian tanda dan gejala konfusi kronis. Kuesioner ini merupakan
rancangan mahasswa residen yang mengacu pada beberapa sumber utama
khususnya NANDA, NIC dan NOC. Kuesioner ini terdiri dari 23 item, meliputi 4
aspek konfusi kronis, pada aspek kognitif (10 pernyataan), afektif (3 pernyataan),
perilaku (6 pernyataan), aspek fisiologis (2 pernyataaan) dan sosial (2
pernyataan). Pengukuran ini dilakukan saat pengkajian dan setelah pemberian
terapi ( cara pengkuran lampiran 1).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


72

Tabel 4.12
Evaluasi Tanda dan Gejala Konfusi Kronis pada Lansia di Ruang Saraswati,
Periode 17 Februari-18April 2013 (n = 12)

N Tanda & Gejala Terapi generalis dan Terapi generalis, Reminiscence &
o Konfusi Kronis Reminiscence (n=5) FPE (n=7)
(23 point) Pre Post Selisih Pre Post Selisih
n Mean n Mean n Mean n Mean
A Kognitif (10 point)
1 Mudah lupa 5 1 3 0,6 7 1 3 0,42
2 Tampak Bingung 5 1 3 0,6 7 1 2 0,28
3 Disorientasi waktu 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
4 Disorientasi orang 5 1 2 0,4 5 0,71 1 0,14
5 Disorientasi tempat 5 1 1 0,2 5 0,71 2 0,28
6 Tidak mampu mengenali 0 0 0 0 1 0,14 0 0
orang terdekat
7 Kosentrasi menurun 5 1 3 0,6 7 1 2 0,28
8 Gangguan memori jangka 3 0,6 2 0,4 3 0,42 2 0,28
panjang
9 Tidak kenal identitasnya 0 0 0 0 0 0 0 0
1 Tidak mampu mengambil 4 0,8 2 0,4 5 0,71 2 0,28
0 keputusan
Total skor 7,4 3,6 3,8 7,4 2,2 5,2
74% 36% 51,35% 74% 22% 70,27%
B Afektif (3 point)
1 Mudah cemas 3 0,6 1 0,2 5 0,71 0 0
2 Afek labil 5 1 2 0,4 7 1 1 0,14
3 Mudah marah 4 0,8 1 0,2 4 0,57 0 0
Total skor 2,4 0,8 1,6 2,3 0,29 2,01
80% 26,7% 66,67% 76,3% 9,7% 87,39%
C Perilaku (6 point)
1 Pekerjaan tidak tuntas 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
2 Tergantung penuh dengan
orang lain 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
3 Tidak mampu merawat diri
4 0,8 2 0,4 7 1 2 0,28
4 Sering mengeluh 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
5 Mondar-mandir 3 0,6 1 0,2 4 0,57 2 0,28
6 Sulit diatur 4 0,8 1 0,2 7 1 2 0,28
Total skor 5,2 2,6 2,6 5,57 1,6 3,97
86,7% 43,3 % 50 % 95,2% 38,6% 71,27%
D Fisiologis
1 Penampilan tidak rapi 5 1 2 0,4 6 0,71 2 0,28
2 Mudah lelah 5 1 2 0,4 5 0,86 1 0,14
Total skor 2 0,8 1 1,57 0,42 1,15
100% 43,3 % 60 % 78,5% 21% 73,25%
E Sosial (2 point)
1 Menarik diri 4 0,8 1 0,2 7 1 1 0,14
2 Acuh dengan lingkungan 5 1 1 0,2 7 1 1 0,14
Total skor 1,8 0,4 1.4 2 0,28 1,72
90% 60% 77,78% 100% 13% 86%
Total seluruh aspek 18,8 8,2 10 18,97 4,79 14,18
81,74% 37,39% 53,19% 82,48% 20,83% 74,75%

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


73

Cara perhitungan persentase masing-masing aspek tanda dan gejala konfusi kronis
dan selisih setiap aspek adalah sebagai berikut :
Persentase tiap aspek = total skor x 100
Jumlah item (sesuai aspek tanda dan gejala)

Persentase selisih = skor selisih x 100


Total skor pre (sesuai aspek tanda dan gejala)

Berdasarkan Tabel 4.12 penurunan tanda dan gejala konfusi kronis pada lansia
cukup signifikan setelah diberikan terapi generalis dan terapi spesialis. Pada
kelompok lansia yang menerima terapi generalis dan Terapi Reminiscence ada
penurunan skor tanda dan gejala 10 (53,19%). Aspek sosial mengalami penurunan
yang lebih baik dibanding aspek lainnya yaitu skor 1,4 (77,78%), kemudian aspek
afektif yaitu skor 1,6 (66,67%), skor aspek fisiologis 1 (60%), skor aspek kognitif
3,8 (51,35%) dan terakhir skor aspek perilaku 2,6 (50%). Lansia yang menerima
terapi generalis, Terapi Reminiscence dan Terapi FPE ada penurunan skor tanda
dan gejala konfusi kronis 14,18 (74,75%), aspek afektif mengalami penurunan
yang lebih baik dibanding aspek lainnya yaitu 2,01 (87,39%), kemudian skor
aspek sosial 1,72 (86%), skor aspek fisiologis 1,15 (73,25%), skor aspek perilaku
4 (71,43%) dan terakhir skor aspek kognitif 5,2 (70,27%).

Cara pengukuran MMSE pada lansia yang mengalami konfusi kronis Penilaian
mini mental status terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan respon fokal
meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian dengan jumlah skor 21.
Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan nama, mengikuti
perintah. verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan menggambar polygon berupa
Bender-Gestalt dengan jumlah skor 9 (sembilan). Skor maksimal seluruhnya
adalah 30 (tiga puluh).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


74

Tabel 4.13
Rata-rata Nilai MMSE pada Lansia dengan Konfusi Kronis
di Ruang Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)

No Variabel Nilai Nilai Mean SD Selisih


MMSE minimum maximum Mean
1. Lansia yang diberi
terapi Reminiscence
(n=5)
a. Pre 16,00 19,00 17,60 1,14
b. Post 19,00 22,00 20,80 1,09
3,20
2. Lansia yang diberi
terapi Reminiscence
dan FPE (n=7)
a. Pre 11,00 19,00 16,43 3,15
b. Post 12,00 23,00 19,86 4,22
3,43

Pada Tabel 4.13, hasil pengukuran MMSE sebelum dan sesudah terapi
menunjukkan peningkatan, lansia yang menerima Reminiscence ada peningkatan
3,20 point sedangkan lansia yang menerima terapi Reminiscence dan FPE ada
peningkatan 3,43 point.

Cara perhitungan persentase kemampuan lansia mengatasi konfusi kronis dan


selisih kemampuan adalah sebagai berikut :
Persentase kemampuan= total skor x 100
24 item kemampuan

Persentase selisih = skor selisih x 100


24 item kemampuan
Berdasarkan Tabel 4.14 kemampuan lansia untuk mengatasi masalah konfusi
kronis meningkat baik lansia yang menerima terapi generalis dan terapi
Reminiscence maupun kelompok yang menerima terapi generalis, terapi
Reminiscence dan Terapi FPE. Peningkatan kemampuan lansia pada kelompok
yang menerima terapi generalis dan terapi Reminiscence meningkat skor dari 2,6
(10,8%) menjadi 15 (62,5%) berarti ada selisih skor 12,4 (51,7%), sedangkan
pada kelompok yang menerima terapi generalis, Terapi Reminiscence dan Terapi
FPE meningkat dari 2,8 (12,8%) menjadi 19,01 (74,5%), berarti ada selisih skor
16,21 (67,5%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


75

Tabel 4.14
Evaluasi Kemampuan Lansia mengatasi Konfusi Kronis di Ruang
Saraswati, Periode 17 Februari - 18 April 2014 (n = 12)
N Kemampuan Terapi generalis dan Terapi generalis, Reminiscence &
o Konfusi Kronis Reminiscence (n=5) FPE (n=7)
(24 point) Pre Post Selisih Pre Post Selisih
n Mean n Mean n Mean n Mean
A Generalis
1 Mengenal konfusi 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
2 Mampu minum obat teratur 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
3 Mampu interpretasi benda 2 0,4 3 0,6 0 0 5 0,71
4 Mampu mengenal photo 0 0 3 0,6 0 0 6 0,85
5 Mampu melakukan 2 aktivitas
0 0 2 0,4 0 0 5 0,71
positif
6 Mampu beribadah 0 0 2 0,4 0 0 5 0,71
7 Mampu orientasi waktu 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
8 Mampu orientasi orang 0 0 4 0,8 2 0,28 6 0,85
9 Mampu orientasi tempat 0 0 4 0,8 2 0,28 6 0,85
B Spesialis
10 Mampu memperkenalkan diri di
2 0,4 5 1 1 0,14 7 1
kelompok
11 Bekerjasama dalam kelompok 1 0,2 3 0,6 1 0,14 6 0,85
12 Menunjukkan ekspresi senang
2 0,4 3 0,6 2 0,28 5 0,71
saat membagi pengalaman
13 Mampu menceritakan kenangan
2 0,4 3 0,6 2 0,28 6 0,85
berkesan daerah asal
14 Mampu menceritakan kenangan
berkesan masa kecil dan 2 0,4 3 0,6 2 0,28 6 0,85
keluarga
15 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 2 0,28 5 0,71
berkesan masa sekolah
16 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
berkesan masa bekerja
17 Mampu menceritakan kenangan
berkesan masa bertemu 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
pasangan
18 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 1 0,14 5 0,71
berkesan masa pernikahan
19 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 0 0 6 0,85
berkesan masa berumahtangga
20 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 0 0 6 0,85
berkesan masa mengasuh anak
21 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 1 0,14 6 0,85
berkesan tentang masakan
22 Mampu menceritakan kenangan
1 0,2 3 0,6 1 0,14 6 0,85
berkesan tentang liburan
23 Mampu menceritakan kenangan
1 0,14 6 0,85
berkesan hari raya / perayaan 1 0,2 3 0,6
24 Mampu menyebutkan
pengalaman paling berkesan dan 0 0 4 0,8 0 0 6 0,85
manfaatnya
TOTAL 2,6 15 12,4 2,8 19,01 16,21
10,8% 62,5% 51,7% 12,8% 74,5% 67,5%

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


76

Cara perhitungan persentase kemampuan keluarga lansia mengatasi konfusi kronis


dan selisih kemampuan adalah sebagai berikut :
Persentase kemampuan= total skor x 100
18 item kemampuan

Persentase selisih = skor selisih x 100


18 item kemampuan

Tabel 4.15
Evaluasi Kemampuan Keluarga Lansia mengatasi Konfusi Kronis di Ruang
Saraswati, Periode 17 Februari - 18April 2014 (n = 10)

N Kemampuan Keluarga lansia Terapi generalis dan Terapi generalis, Reminiscence


o dengan Konfusi Kronis Reminiscence (n=3) & FPE (n=7)
(18 point) Pre Post Selisih Pre Post Selisih
n Mean n Mean n Mean n Mean
A Generalis
1 Mengenal konfusi 0 0 3 1 0 0 7 1
2 Membimbing minum obat 0 0 3 1 0 0 7 1
3 Membimbing lansia interpretasi 0 0 3 1 0 0 7 1
benda
4 Membimbing lansia mengenal 0 0 3 1 0 0 7 1
gambar
5 Membimbing lansia melakukan dua 0 0 3 1 0 0 7 1
aktivitas positif
6 Membimbing lansia beribadah 0 0 3 1 0 0 7 1

7 Membimbing klien orientasi waktu 0 0 3 1 0 0 7 1


8 Membimbing klien orientasi orang 0 0 3 1 0 0 7 1
9 Membimbing klien orientasi tempat 0 0 3 1 0 0 7 1
10 Menentukan perawatan klien 0 0 3 1 0 0 7 1
11 Menyebutkan cara modifikasi 0 0 3 1 0 0 7 1
lingkungan
12 Menyebutkan cara rujukan 0 0 3 1 0 0 7 1
B. Spesialis
13 Menyebutkan masalah dalam 0 0 0 0 3 0,42 7 1
merawat klien
14 Menyebutkan masalah pribadi dalam 0 0 0 0 3 0,42 7 1
merawat klien
15 Menyebutkan perawatan klien 0 0 0 0 3 0,42 7 1
16 Mendemostrasikan cara manajemen 0 0 0 0 2 0,28 7 1
stress
17 Mendemostrasikan cara manajemen 0 0 0 0 2 0,28 7 1
beban
18 Menyebutkan cara pemberdayaan 0 0 0 0 2 0,42 7 1
komunitas
Total skor 0 12 12 2,29 12,72 18 100 15,7
66,7% 66,7% 87,2%

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


77

Berdasarkan Tabel 4.15 evaluasi kemampuan keluarga lansia untuk mengatasi


masalah konfusi kronis meningkat, peningkatan kemampuan keluarga pada
kelompok yang menerima terapi generalis dan Reminiscence meningkat dari skor
0 (0%) menjadi 12 (66,67%) berarti ada selisih skor 12 (66,7%), sedangkan pada
kelompok yang menerima terapi generalis, Terapi Reminiscence dan Terapi FPE
ada peningkatan skor dari 2,24 (12,4%) menjadi 18 (100%) berarti ada
peningkatan skor 15,76 (87,2%).

4.3 Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan


Kendala yang ditemukan pada pelaksanaan terapi adalah mahasiswa belum
memahami bahasa daerah yang sering digunakan lansia maupun keluarga saat
berkomunikasi sehingga harus menunggu perawat ruangan menyelesaikan
kegiatan perawatan lainnya untuk membantu menterjemahkan, kurangnya
beberapa sarana pendukung seperti mikrofon untuk kegiatan kelompok, beberapa
keluarga belum memfasilitasi beberapa benda kenangan klien sesuai kontrak
sehingga mahasiswa memodifikasi trigger dengan benda lainnya. Pada sesi
mengenang pasangan, pernikahan, kegiatan rumah tangga, mengasuh anak
dilakukan modifikasi topik karena ada 2 klien yang belum menikah. Pada sesi
memasak dan makanan dilakukan modifikasi sesuai kondisi ruangan dan
kemampuan klien yang belum memungkinkan. Kondisi klien yang fluktuatif, dan
perhatian yang mudah beralih dan penurunan kosentrasi maka dilakukan
pengulangan secara pribadi pada beberapa klien. Kondisi ruangan sering tidak
kondusif dalam pelaksanaan terapi. Tidak ada ruangan khusus tempat pelaksanaan
terapi sehingga kadang-kadang terinterupsi dengan klien lain atau peristiwa lain di
ruangan.

4.4 Rencana Tindak Lanjut


4.4.1 Klien : meneruskan latihan yang sudah dijadualkan dengan difasilitasi
oleh perawat ruangan.
4.4.2 Keluarga: keluarga sebaiknya rutin mengunjungi klien agar terpelihara
dukungan sosial bagi klien. Selain itu keluarga juga dapat melakukan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


78

perawatan klien di Rumah Sakit sehingga meningkatkan pengetahuan


keluarga dalam merawat klien.
4.4.3 Lingkungan perawatan: memfasilitasi ruangan yang nyaman, mudah
dijangkau dan tidak beresiko buat klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


BAB 5
PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien
konfusi kronis. Pembahasan diawali mengacu pada kerangka konsep yang
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Stuart meliputi predisposisi,
presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme koping serta
aplikasi Model adaptasi Roy.

Model adaptasi Roy memandang manusia sebagai sistem adaptif dalam interaksi
konstan dengan lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan adalah sumber dari
berbagai stimulus yang baik mengancam atau mempromosikan keutuhan unik
seseorang. Tugas utama seseorang adalah untuk menjaga integritas dalam
menghadapi rangsangan-rangsangan lingkungan. Integritas adalah tingkat
keutuhan dicapai dengan beradaptasi dengan perubahan kebutuhan "(Roy &
Andrews, 1999, dalam Alligood & Tomey, 2014). Konsep model ini tepat
diterapkan pada perawatan lansia dimana fase hidupnya memiliki tugas mencapai
integritas yang utuh sehingga kehidupan sejahtera di masa tua.

Asuhan keperawatan jiwa pada lansia dengan konfusi kronis menggunakan


konsep Model adaptasi Roy dianggap sesuai karena Roy melihat manusia sebagai
suatu sistem adaptasi yang terdiri dari masukan (input), kontrol internal (internal
control), proses timbal balik (feedback proccess) dan keluaran (output), dan
kekuatan dari model tersebut adalah kemampuannya untuk memahimi mengenai
bagaimana suatu keluarga dapat beradaptasi terhadap isu kesehatan (Kaakinen,
Duff, Cloehlo, Hanson, 2010).

5.1 Input
Model adaptasi Roy membagi stimulus menjadi tiga kelas yaitu stimulus fokal,
stimulus kontekstual dan stimulus residual. Ketiga jenis rangsangan bertindak

79 Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


80

bersama-sama dan mempengaruhi tingkat adaptasi, yaitu "kemampuan seseorang


untuk merespon secara positif dalam setiap situasi.

5.1.1. Stimulus fokal


Stimulus fokal didefinisikan sebagai stimulus internal maupun eksternal yang
lansung mempengaruhi sistem kesadaran manusia baik objek atau peristiwa saat
ini yang disadari penuh oleh manusia. Berdasarkan pengkajian diketahui bahwa
seluruh mengalami masalah kognitif yang mengganggu integritasnya, kondisi ini
mempengaruhi seluruh aspek biologis, psikologis dan sosial klien. Hasil
pengkajian didapatkan bahwa lansia yang mengalami konfusi kronis semuanya
dengan diagnosa medis Demensia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stuart (2013)
bahwa seseorang yang mengalami demensia secara klinis menunjukkan defisit
kognitif dan kerusakan memori utama yang merupakan ciri karakteristik diagnosa
keperawatan konfusi kronis.

Stressor berikutnya yaitu penyakit hipertensi 33,3% yang berkontribusi terhadap


kejadian demensia vaskuler, hal ini sesuai dengan pernyataan tentang penyakit
serebovaskuler sekitar 15-30% dari semua kasus demensia pada usia 60-70%
tahun terutama pada laki-laki dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan
masalah pada jantung mengakibatkan penyakit demensia vaskuler (Downs
&.Bowers, 2008; Steele, 2010; Videbeck, 2013). Hasil sistematis review dan
metaanalisis Pendlebury dan Rothwell (2009) pada 7511 pasien menunjukkan
bahwa demensia yang terjadi pada pre stroke dengan salah satu gejala hipertensi
memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu 14,4%, adapun karakteristiknya yaitu
adanya atropi lobus media temporal. Kondisi ini relevan dengan pernyataan Stuart
(2013) apabila seseorang mengalami masalah pada area lobus temporal maka akan
terjadi disorientasi dalam ruang dan waktu, kehilangan memori, salah tafsir
peristiwa emosional. Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah
disampaikan maka penulis menarik kesimpulan bahwa tepatlah kiranya diagnosa
keperawatan konfusi kronis ditegakkan pada lansia yang mengalami demensia
vaskuler karena adanya tanda dan gejala seperti disorientasi tempat, waktu,
gangguan daya ingat dan emosi yang labil.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
81

Ada 4 lansia (33,3 %) mengalami konfusi kronis terkait dengan asupan nutrisi
yang kurang adekuat, kondisi ini diukur menggunakan perhitungan Index Massa
Tubuh (IMT) kurang dari 18,5. Fakta ini sesuai dengan pernyataan Stuart (2013);
Downs dan Bowers (2008) bahwa masalah metabolisme nutrisi merupakan faktor
umum berperan dalam fungsi kognitif, apabila seseorang mengalami malnutrisi
maka secara tidak langsung mempengaruhi fungsi dan kerja otak. Salah satu zat
nutrisi yang diperlukan otak dalam fungsinya adalah protein, zat nutrisi ini
berkaitan erat pada masalah kognitif pada klien demensia tipe alzheimer. Hasil
penelitian retrospektif Knopman dalam Nicholson (2007) dari 481 orang (73%
perempuan, 27% laki-laki) selama 21 – 31 tahun diidentifikasi melalui catatan
medis sebagai pasien demensia, wanita yang mengalami penurunan berat badan
cenderung mengalami demensia karena asupan nutrisi yang kurang mengingat
wanita lebih banyak menyiapkan makan pada keluarga tanpa memperhatikan
dietnya. Penurunan produktifitas pada lansia sehingga berimplikasi pada
menurunnya ketersedian nutrisi yang adekuat untuk pemeliharaan kesehatan.

Stresor psikologis yang menjadi stressor bagi lansia dengan konfusi kronis yaitu
adanya kekecewaan dengan lingkungan (teman, tetangga, perubahan lingkungan
tempat tinggal) 83,3%. Perubahan lingkungan membuat seseorang tidak nyaman
membutuhkan waktu penyesuaian ditambah masalah kesehatan saat ini yang
belum mampu menilai stimulus dengan baik maka perubahan lingkungan tersebut
menurut konsep Model Adaptasi Roy akan mempengaruhi manusia sebagai sistem
adaptif. Apabila penyesuaian yang dilakukan gagal dilakukan maka hal ini akan
menjadi input salah satu stimulus negatif. Lingkungan terdekat pada klien adalah
keluarga, keluarga memiliki fungsi kuat pembentukan karakter seseorang pada
tahap awal perkembangan yang menjadi bagian support sistem.

Keluarga dapat menjadi sumber pendukung positif tetapi bisa juga sebaliknya bila
tidak terjalin keharmonisan dalam pemeliharaan kesehatan untuk anggotanya,
seperti fakta dari hasil pengkajian bahwa kekecewaan terhadap konflik keluarga
(gagal membina hubungan suami istri, konflik dengan pasangan, konflik dengan
saudara, konflik dengan anak) ada 66,7% dan ini selaras dengan stressor sosial

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
82

yaitu perubahan lingkungan ada 66,7%. Ketidakpuasan psikologis lansia terhadap


konflik yang timbul di keluarga ini akan menjadi perhatian perawat sehingga ke
depan dirancang asuhan keperawatan yang tidak hanya menyentuh langsung pada
lansia namun mempersiapkan lingkungan keluarga sebagai caregiver lansia.

Sumber permasalahan pada lansia seluruhnya (100%) merupakan kombinasi


faktor internal dan eksternal. Lama klien terpapar stressor sebagian besar lebih
dari 6 bulan (58,3%), dengan demikian berlangsung secara progresif. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi ini berjalan secara progresif dan tanpa disadari oleh
beberapa dari mereka dimana hasil pengkajian pada klien ditemukan bahwa 100%
lansia tidak mengetahui konfusi kronis bahkan sampai dirawat di rumah sakit
mereka abaikan hal tersebut dan menganggap bagian dari penuaan, hanya keluhan
fisik saja yang mereka perhatikan. Hasil penelitian Vickland, Mcdonnell, Werner,
Draper, Low, et al (2010) menunjukkan bahwa onset demensia terkait penuaan
pada lansia sekitar 2 sampai 5 tahun lebih.

Lansia yang mengalami konfusi kronis di Ruang Saraswati seluruhnya tidak dapat
melakukan perawatan secara mandiri berdasarkan hasil analisa kasus asuhan
keperawatan ada 83,3% parsial care dan ada 16,7% total care. Hasil ini relevan
dengan laporan WHO (2013) bahwa demensia termasuk di dalamnya masalah
keperawatan konfusi kronis meruapakan penyebab meningkatnya angka disabilitas
yang secara tidak langsung membuat mereka lebih banyak tergantung dengan orang
lain. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Melilo dan Houde (2011) bahwa
seseorang yang mengalami demensia menimbulkan masalah ketergantungan yang
signifikan sehingga membutuhkan perawatan jangka panjang mahal di terakhir
tahun kehidupan. Fakta analisis kasus memaparkan bahwa frekuesi menjalani
perawatan di Rumah sakit 2-5 kali ada 41,7%, dengan demikian mengindikasikan
lansia konfusi kronis yang dirawat pada umumnya pernah memiliki pengalaman
rawat walaupun dengan masalah yang berbeda tetapikondisi di masa lalu yang
tidak terkoreksi dan tertang dan secara tidak langsung biaya perawatanpun
meniani dengan baik akhirnya menjadir stressor saat ini.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
83

5.1.2. Stimulus Kontekstual


Stimulus kontekstual pada lansia dengan konfusi kronis antara lain demografik
(jenis kelamin, usia, pendidikan, pengalaman bekerja, status pernikahan, agama,
suku bangsa, adanya caregiver), status kesehatan sebelumnya, dan kondisi sosial.

5.1.2.1.Demografi
Hasil penelitian Hamid, T. A., Krishnaswamy, S., Abdullah, S. S., Momtaz, Y. A.
(2011) terkait faktor risiko demensia pada 2.980 orang responden yang berusia
sama dengan 60 tahun atau lebih menunjukkan tingkat prevalensi demensia
14,3%. Prevalensi demensia lebih tinggi ditemukan pada usia tertua (26,3%),
perempuan (19,7%), pendidikan formal (24,1%), Bumiputera (32,2%), belum
menikah (19,4%), pengangguran (31,3%) dan sangat miskin pada diri-dinilai
kesehatan (33,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan karakteristik demografi
yang menjadi perhatian penulis pada lansia demensia dengan konfusi kronis
berikut ini.

a. Usia
Masalah konfusi kronis adalah usia 60 tahun ke atas hal ini sesuai dengan teori
yang disampaikan Stuart (2013) bahwa penuaan merupakan salah satu faktor
pendukung seseorang mengalami masalah terkait kognitif, hal ini selaras dengan
pernyataan Mauk (2006) bahwa lansia rentan mengalami gangguan mental
emosional terkait perubahan berbagai aspek baik dari segi biologis, psikologis dan
social. Namun berdasarkan kelompok usia ada sedikit perbedaan dengan Smith,
2008 dalam Videbeck 2011; Steele, 2010 bahwa kejadian demensia meningkat
pada usia 85 tahun ke atas sedangkan hasil analisa ditemukan lebih banyak pada
kelompok usia 60-74 tahun (50%), berarti pada kelompok usia elderly menurut
WHO, hal ini selaras dengan pernyataan Stanley dan Beare (2006) bahwa lansia
usia 75-85 tahun berisiko demensia yaitu 41,7%.

Hasil pengkajian ini tidak jauh berbeda dengan estimasi hasil penelitian WHO
(2013) tentang kelompok usia lansia yang paling banyak mengalami demensia di
regional Asia tenggara yaitu kelompok usia 70-74 tahun dan kelompok usia 75-79

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
84

tahun, selanjutnya semakin menurun seiring setelah usia 80 tahun. Penulis


berpendapat bahwa estimasi kelompok usia yang dipaparkan WHO (2013) lebih
tepat karena perbedaan karakteristik penduduk Indonesia dengan wilayah
Amerika dan Eropa, seperti ketersediaan pelayanan kesehatan dan taraf ekonomi
Indonesia masih kurang dibanding negara tersebut sehingga berpengaruh pada
usia harapan hidup yang belum mencapai 80 tahun lebih. Hal ini tentunya
berdampak pada jumlah lansia pada kelompok tersebut juga rendah dan rendah
pula angka kejadian demensia.

b. Jenis kelamin
Jenis kelamin perempuan pada hasil analisa kasus yang mengalami konfusi kronis
lebih banyak yaitu 66,7% dimana hasil ini relevan dengan pernyataan Stanley dan
Beare (2006) bahwa perempuan cenderung mengalami masalah gangguan mental
emosional terkait kognitif seperti demensia dibanding laki-laki. Hal ini terkait
juga dengan penyakit demensia tipe Alzheimer yang sering dialami lansia
perempuan (Videbeck, 2011), hal ini selaras dengan jumlah demensia tipe ini
yang dianggap juga sebagai demensia murni atau senilis pada analisis kasus ada
41,7%. Wanita cenderung mengalami demensia karena wanita lebih panjang
umur, selain itu hasil penelitian dari Women’s Health Initiative Memory
menunjukan peningkatan demensia pada wanita yang mendapat estrogen di atas
usia 65 tahun (Ide, 2008).

Hasil penelitian lainnya oleh Ravaglia, Forti, Maioli, Bastagli, Montesi, et al


(2007) menunjukkan bahwa peningkatan serum estradiol ( serum estradiol ≥ 10 pg
/ mL), pada wanita 433 responden dengan usia rata-rata 74 tahun menunjukkan
bahwa 1,75 kali lebih berisiko demensia (95% confidence interval [CI], 1,06-
2,89), khususnya demensia tipe Alzheimer. Hasil ini bertentangan dengan
pernyataan Alzheimer’society (2014) yang menyatakan bahwa wanita lebih
berisiko dibanding laki-laki karena menurunnya kadar esterogen setelah
menapouse. Penulis menyimpulkan bahwa wanita lebih berisiko mengalami
demensia karena wanita lebih banyak populasinya dibanding laki-laki pada usia
lanjut dan kemungkinan peningkatan hormon estrogen karena ini sudah

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
85

dibuktikan oleh banyak penelitian, sedangkan pendapat karena penurunan


estrogen adalah proses penuaan yang normal setelah menopause.

c. Pengalaman bekerja
Seseorang yang jarang menggunakan otaknya berpikir saat bekerja atau tidak
bekerja (pengangguran atau geladangan) akan berisiko mengalami masalah
kognitif (Stanley &Beare, 2006), hal ini dibuktikan bahwa dari 12 lansia yang
mengalami konfusi kronis yaitu mereka dengan latar belakang pengalaman tidak
bekerja yaitu 41,7%. Sel-sel neuron pada lansia tidak ada perkembangan seperti
usia pada tahapan sebelumnya, apabila pada usia produktif tidak diberikan
stimulus maka pada usia lansia mengalami penyusutan, diperkira berat otak akan
berkurang 10-20% seiring penyusutan tersebut (Mauk, 2010). Hasil penelitian
Karp, Andel, Parker, Wang, Winblad, et al (2009) menunjukkan bahwa stimulasi
mental dalam periode kehidupan sebelumnya dapat melindungi seseorang
terhadap demensia atau penyakit onset delay. Selain itu, penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor-faktor kompleksitas kerja pada usia paruh baya
dengan latar belakang pendidikan rendah berisiko mengalami demensia. Fakta
yang ada menjelaskan bahwa pendidikan rendah dan beban kerja tinggi berisiko
mengalami demensia pada saat lansia.

d. Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir, menganalisa suatu masalah,
membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara
penilaian klien terhadap stresor. Stanley & Beare (2006) menyatakan pengetahuan
dan pola pikir seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, taraf pendidikan
yang lebih baik akan memiliki pengetahuan lebih untuk melakukan tindakan
pencegahan sehingga awitan lambat dari gejala neuropatologis. Lansia yang
berpendidikan rendah berisiko tinggi mengalami demensia, tentunya akan
mengalami konfusi kronis sesuai hasil analisis kasus yaitu ada 50% lansia dengan
latar belakang pendidikan rendah (SD atau sederajat) dan ada 25% lansai dengan
pendidikan menengah (SMP atau sederajat).

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
86

Hasil penelitian Bickel, H., Kurz, A. (2009) pada 517 responden teridentifikasi
104 orang mengalami demensia dengan latar belakang pendidikan rendah, tidak
memiliki menerima pelatihan kejuruan, dan tidak pernah diangkat ke posisi
terdepan. Selanjutnya hasil meta analisis Caamaño-Isorna, Corral, Montes-
Martínez, Bahi (2006) pada penelitian yang dipublikasi Tahun 2005
menunjukkan bahwa pendidikan yang rendah merupakan faktor risiko demensia
terutama untuk demensia tipe alzhaeimer. Penulis menyimpulkan bahwa
karakteristik pendidikan pada lansia demensia dan beberapa hasil penelitian
tentang faktor risiko demensia relevan yaitu pendidikan rendah.

e. Status Perkawinan
Lansia dengan status pernikahan duda/janda sebanyak 66,7% di Saraswati, hasil
analisis asuhan ini relevan dengan pernyataan Stuart (2013) bahwa lansia yang
kehilangan pasangan atau dengan kata lain menjadi duda/janda akan kehilangan
salah satu bagian dari sistem support seseorang saat menghadapi suatu masalah
yang dialami, apabila hal tersebut tidak adekuat maka lansia akan berada rentang
respon kognitif yang maladaptif karena kurang sumber koping yang dimiliki.
Seseorang yang memasuki masa tua membutuhkan dukungan secara psikologis
dari orang terdekat khususnya pasangan (suami/istri) karena apabila mereka
menghadapi suatu masalah maka pasangan adalah teman terdekat yang dapat
berbagi beban masalah bahkan membantu menemukan solusi. Hilangnya salah
satu pasangan berarti hilangnya dukungan bagi lansia menghadapi konfusi ronis
yang dialami.

f. Agama
Lansia yang mengalami Konfusi kronis dan dirawat di Ruang Saraswati
seluruhnya memiliki kenyakinan yaitu Islam dan Kristen, agama yang paling
banyak dinyakini adalah agama Islam yaitu 83,3%. Perkembangan spiritual pada
lansia sesuai dengan Teori Maryam (2008) disampaikan semakin terintegrasi dan
hal ini menjadi bagian dari support sistem dan bagian koping seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan. Perubahan kondisi fisik, status
sosial, ekonomi dan sebagainya akan dialami lansia, tetapi bila mereka

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
87

menggunakan koping konstruktif untuk menghadapinya perubahan tersebut maka


konfusi kronis dapat dihindari. Kenyakinan dalam Stuart (2013) selaras dengan
elemen kognator pada model adaptasi Roy yang mempengaruhi seseorang
bereaksi terhadap suatu stressor.

Hasil pengkajian menunjukkan seluruh lansia memiliki kenyakinan terhadap


agamanya masing-masing namun ada 41,7% diantaranya tidak menjalankan
kegiatan keagamaan secara rutin. Hal ini relevan pernyataan Alzheimer’society
(2014) tentang penurunan kegiatan spiritual akan meningkatkan risiko demensia.
Hasil penelitian Hill et all (2006) menunjukkan bahwa aktivitas spiritual yang
rutin diikuti akan mengurangi risiko penurunan kognitif dibanding yang mereka
yang aktif dalam aktifitas keagamaan. Spiritual yang baik akan menurunkan risiko
demensia yaitu lansia rutin menjalankan kegiatan spiritual sesuai agamanya.

g. Suku Bangsa
Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budayanya, faktor budaya
berpengaruh pada pola pikir dan cara seseorang bersikap, serta cara
berkomunikasi. Model adaptasi mengindetifikasikan bahwa budaya merupakan
lingkungan yang berpengaruh pada perilaku seseorang beradaptasi. Lansia yang
mengalami konfusi kronis di Ruang Saraswati lebih banyak dari suku budaya
Sunda yaitu 66,7%, ini sesuai dengan letak geografis Ruang Saraswati RSMM
Bogor di wilayah Jawa Barat dengan suku asli Sunda. Yuliati (2008) bahwa
budaya sunda memiliki pandangan tersendiri tentang lansia yaitu “Indung anu
ngandung, bapa anu ngayuga artinya adalah seorang ibu yang telah mengandung kita
sembilan bulan lamanya dengan susah payah dan setelah lahir maka ayah yang
membimbing, menjaga dan menghidupi. Dengan demikian penghargaan masyarakat
sunda pada orangtua begitu besar sehingga sebagai anak, cucu dan kerabat harus
memberi dukungan kepada orang tua dan menjadikan orangtua sebagai pusat tempat
kembali atau peribahasa sundanya “indung anu dijunjung, bapa anu dipuja”. Hal ini
terbukti dengan adanya caregiver lansia 83,3 % adalah keluarga. Pelaksanaan asuhan
keperawatan pada lansia dengan konfusi kronis juga melalui pendekatan budaya
khususnya pada terapi kelompok Reminiscence (Lee et al, 2007), tentunya lansia
akan lebih mudah menerima dan beradaptasi dengan budaya yang familiar. Budaya

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
88

menurut model adaptasi Roy merupakan nilai atau sifat pencirian seseorang pada
level adaptasi. Hasil penelitian Wood, Giuliano, Bignell, Pritham, Whitney (2006)
menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara ras terhadap kognitif setelah
diukur menggunakan MMSE terkait usia dan pendidikan. Budaya dan ras
berkaitan erat dengan pola asuh, didikan yang diwariskan ke generasi berikutnya,
beberapa penelitian tersebut menjeaskan bahwa apabila budaya poitif yang
diwariskan maka seseorang akan memiliki sumber koping yang cukup untuk
menghadapi berbagai perubahan saat lansia.

5.1.2.2. Status kesehatan sebelumnya


Penuaan pada lansia merupakan faktor biologis yang tidak dapat dihindari dimana
terjadi penuaan pada berbagai sistem tubuh, penuaan pada sistem neurologis
seperti penyusutan neuron hingga 10%, tidak seimbangnya distribusi neuron
kolinergik, norefinefrin dan dopamin yang tidak seimbang dikompensasi oleh
hilangnya sel-sel sehingga mempengruhi penurunan intelektual (Stanley & Beare,
2006).

Pola makan dengan diet tidak seimbang seperti lebih banyak konsumsi makan
makanan asin akan memicu masalah vaskuler, kandung natrium pada makanan
asin bersifat merentensi cairan sehingga jantung berusaha menyeleraskan beban
tersebut dengan meningkatkan aktivitas pompa jantung yang akhirnya
menimbulkan meningkatnya tekanan darah. Hasil pengkajian ditemukan 66,7%
lansia memiliki pola makan suka makanan asin dimana 33,3% diantaranya
hipertensi. Kondisi ini harus ditangani dengan baik sejak awal karena tanpa
kebiasaan pola makan tersebutpun lansia akan mengalami peningkatan tekanan
darah akibat penuaan salah satunya tidak elastisnya pembuluh darah (Mauk,
2010). Apabila kondisi ini tidak ditangani segera maka akan menimbulkan
masalah berikutnya, yaitu hipertensi yang dapat memicu terjadinya demensia
vaskuler (Downs &.Bowers, 2008; Steele, 2010; Videbeck, 2013). Pemeliharaan
kesehatan secara dini merupakan pencegahan yang tepat untuk mengatasi masalah
kognitif.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
89

5.1.2.3. Kondisi sosial


Riwayat permasalahan ekonomi ada 75% yang menggambarkan bahwa masalah
ini memiliki kontribusi cukup besar dalam kesehatan mental emosional seseorang.
Hasil pengkajian ini sesuai dengan teori yang disampaikan Stuart (2013) bahwa
masalah ekonomi menjadi faktor risiko. Hasil studi yang mendukung pernyataan
tersebut adalah studi kohort longitudinal oleh De Deyn, Goeman, Vervaet,
Dourcy-Belle-Rose, Van Dam, et al (2011) pada 825 lansia dengan masa tindak
lanjut 3 tahun menunjukkan bahwa demensia tipe Alzheimer (DAT) adalah yang
paling umum menyebabkan kerusakan kognitif dan lebih menonjol di daerah
dengan status sosial ekonomi rendah.

Kondisi tersebut di atas bertentangan dengan hasil survey WHO (2013) pada 41
negara menunjukkan bahwa kasus demensia lebih banyak pada wilayah dengan
pendapatan menengah ke atas kemudian menengah ke bawah dan pendapatan
tinggi. Penulis berpendapat bahwa kedua pendapat ini benar karena ekonomi yang
rendah menimbulkan masalah ketidakadekuatan nutrisi ke otak sehingga
menimbulkan masalah kognitif, tetapi lansia dengan kecukupan gizi akan
memiliki usia harapan hidup lebih lama sehingga proses penuaan pada sistem
neurobiologi tidak dapat terhindari dan menjadi faktor risiko masalah kognitif.

5.1.3. Stimulus Residual


Pada pengkajian pada faktor psikologis ditemukan bahwa 16,7% lansia
mempelajari ilmu kebatinan seperti halnya perdukunan, faktor ini belum secara
jelas dapat dijelaskan bagaimana bisa mengakibatkan masalah kognitif namun
keluarga kedua klien menyampaikan bahwa sejak mempelajari hal tersebut terjadi
perubahan perilaku dan mereka mengaitkannya sebagai efek negatif kekuatan
supranatural yang merusak kejiwaan klien. Lansia yang mempelajari ilmu
kebatinan ini belum mampu menyampaikan secara jelas kronologis kejadian
tersebut. Ilmu kebatinan atau perdukunan erat kaitannya dengan penurunan
kepercayaan diri seseorang atau ketidakpuasan dalam suatu pencapaian target
tertentu dalam kehidupannya, ketika hal tersebut tidak terwujud muncul frustasi
yang nantinya lebih mngedepankan pikiran tidak rasional.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
90

Pemeliharaan kesehatan yang masih diabaikan yaitu olahraga, berdasarkan hasil


pengkajian 83,3% lansia tidak pernah atau jarang melakukan olahraga. Hasil
penelitian Turana (2013) dalam Kementerian Kesehatan R.I (2013) menunjukkan
bahwa pada lansia yang melakukan olahrahraga terjadi peningkatan Brain Derived
Neurotropic Factor (BDNF) sedangkan lansia yang jarang melakukan aktivitas
seperti olahraga terjadi penurunan kadar BDNF yang memiliki peran penting
dalam fungsi kognnitif seseorang.

Hasil pengkajian ada 33,3% lansia memiliki riwayat merokok, hal ini merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya masalah kognitif seperti konfusi kronis pada
lansia demensia. Merokok pada lansia dapat mengakibatkan kerusakan kognitif
dan berisiko mengalami demensia karena adanya deposit amyloid-β sehingga
adanya plak yang mempengaruhi proses pikir, selain itu kandungan bahan kimia
dalam rokok menimbulkan masalah kesehatan lain yang dapat berlanjut pada
demensia seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, stroke. Hasil meta analysis
pada 26.374 partisipan dilaporkan 70% lebih kejadian demensia meningkat pada
perokok dibanding mereka yang tidak merokok, hal ini terjadi karena pada
tembakau rokok terkandung ratusan neurotoxin yang berkontribusi terhadap
oxidasi strss, proses inflamasi. Kandungan nikotin pada rokok meningkatkan
resisten insulin dan tidak mampu bekerja maksimal sehingga menimbulkan
masalah diabetes dan secara progresif menimbulkan kerusakan kognitif ringan
secara bertahap. Merokok dapat meningkatkan kejadian stroke karena
terganggunya vaskular, diperikirakan 1 dari 10 pasien mengalami demensia pada
serangan awal stroke (ASH-Scotland, 2013).

Faktor psikologis yang paling banyak ditemukan berdasarkan hasil pengkajian


adalah 83,3% dengan kepribadian tertutup, selanjutnya 8 orang (66,7%) dengan
pengalaman kehilangan. Pada usia lansia adalah tahapan dimana seseorang
memiliki berbagai pengalaman kehilangan lebih banyak dibanding perkembangan
sebelumnya baik dari segi fisik seperti penuaan struktur dan fungsi organ,
ditambahkan lagi kehilangan anggota keluarga karena perpisahan sementara atau
meninggalnya salah satu pasangan serta secara sosial kemampuan finansial juga

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
91

menurun. Kehilangan yang ada tersebut merupakan proses alamiah yang harus
dihadapi oleh lansia, namun apabila lansia memiliki kepribadian maka ia tidak
cukup kuat menghadapi semua akumulasi kehilangan tersebut sehingga dapat
menimbulkan frustasi yang berujung pada depresi. Penanganan depresi yang
kurang tepat pada akhirnya lansia berisiko mengalami masalah kognitif
(Alzheimer’society, 2014).

5.2 Proses
Proses keperawatan yang dilaksanakan mengacu pada model adaptasi Roy adalah
sebagai berikut :
5.2.1. Proses Kontrol
5.2.1.1 Regulator
Respon fisiologis pada lansia yang mengalami konfusi kronis yaitu tidak ada
penurunan kesadaran,hal inilah yang membedakan antara konfusi kronis dan
konfusi akut (NANDA, 2012). Mudah lelah 83,3% hal ini sesuai dengan
pernyataan bahwa lansia demensia akan merasa mudah lelah CPM Resourse
Center, 2011). Respon lainnya berdasarkan hasil pengkajian adalah penampilan
tidak rapi 11 orang (91,7%) hal ini relevan dengan teori yang disampaikan Steele
(2010) bahwa lansia yang mengalami masalah kognitif akan kesulitan melakukan
perawatan diri secara mandiri (Steele, 2010). Lansia demensia yang mengalami
kebingungan akan mengalami hambatan dalam mengambil keputusan perawatan
diri sehari-hari yang akan dilakukan sehingga tampak jelas penampilan klien tidak
rapih seperti biasanya.

Modus adaptif secara fisiologis ini menggambarkan bagaimana konfusi yang


dialami seseorang telah membuat mereka bingung dengan keberadaan mereka saat
ini dimana hal ini relevan dengan data hasil pengkajian sumber koping khususnya
aspek personal yakni 100% lansia tidak mengetahui penyakit yang mereka alami
dan cara mengatasinya.. Sifat konfusi yang kronis merujuk bagaimana masalah
kognitif yang dialami bersifat irreversibel terlebih pada mereka yang mengalami
trauma kepala (NANDA, 2012; Stanley & Beare, 2006).

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
92

5.2.1.2 Kognator
Mekanisme koping menggunakan pendekatan modus, yaitu modus konsep diri,
interdependensi dan fungsi peran.

1). Konsep Diri


Berdasarkan hasil pengkajian respon kognitif yang dialami oleh seluruh lansia
dengan konfusi kronis adalah mudah lupa, tampak bingung, disorientasi waktu,
kosentrasi menurun yaitu 100%, selanjutnya disorientasi tempat dan orang ada
83,35%, perhatian mudah beralih 58,3%. Respon kognitif ini menunjukkan bahwa
rendahnya kemampuan kognitif yang membuat lansia kesulitan beradaptasi
dengan lingkungannya dan terkadang menjadi masalah buat orang lain apabila
tidak memahami keadaan klien. Adanya gangguan memori jangka panjang ada 6
orang (50%). Fakta ini relevan dengan hasil penelitian De Deyn, Goeman,
Vervaet, Dourcy-Belle-Rose, Van Dam, D et al (2011) menunjukkan bahwa lansia
demensia akan mengalami gangguan memori karena adanya kerusakan kognitif.

Respon lainnya lansia tidak mampu mengambil keputusan ada 75% sehingga ia
secara pribadi kesulitan menentukan kebutuhan perawatan yang diinginkan.
Kebingungan yang mereka alami ini dimanifestasikan juga melalui respon afektif
yaitu afek yang labil, mudah marah dan mudah cemas. Berdasarkan hasil
pengkajian pada lansia yang dirawat di Ruang Saraswati menunjukkan bahwa
seluruh lansia (100%) memiliki afek labil (fluktuasi emosi yang naik turun dan
berubah-ubah), respon mudah cemas dan mudah marah 83,3%. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Downs dan Bowers (2008) bahwa lansia demensia memiliki
emosi labil, sensitif sehingga mudah mengekspresikan kemarahan atau rasa
cemasnya terhadap sesuatu. Respon afektif ini terkadang tidak sesuai dengan
kepribadian klien sebelum sakit dan membuat keluarga menjadi kebingungan
menghadapi respon tersebut.Sedangkan sumber koping pada diri lansia sebagai
efektor mode adaptif dari respon kognitif dan afektif inipun kurang dimana
mereka 83,3% kebanyakan kebingungan mengungkapkan kenyakinan tentang
penyakit yang dialami karena daya tilik diri yang kurang.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
93

2) Fungsi peran
Fungsi peran erat kaitannya dengan respon sosial individu terhadap stessor yang
mereka hadapi. Berdasarkan hasil pengkajian respon sosial lansia yang mengalami
konfusi kronis yaitu menarik diri dan acuh terhadap lingkungan 91,7%. Keadaan
ini berkaitan erat dengan rendahnya kemampuan orientasi dan ketidakmampuan
fokus (Stuart, 2011, Mauk, 2006). Interaksi sosial terhambat karena pada saat
mereka memulai interaksi dengan orang lain mereka tidak mampu menyampaikan
sesuatu dengan baik, ia sering mengulang kata-kata sehingga orang lain tidak
mengerti pesan yang disampaikan ( APA, 2000 dalam Videbeck, 2011).
Mengatasi hal ini dibutuhkan mode efektor sosial berupa sumber koping sosial
baik dukungan dari keluarga, kelompok maupun masyarakat. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga cukup besar yaitu 66,7% tetapi
sayangnya mereka tidak mampu melakukan perawatan karena terbatasnya
pengetahuan tentang masalah konfusi kronis, sedangkan 33,3% tidak ada
dukungan. Berdasarkan fakta ini perawat akan memaksimalkan sumber dukungan
perawatan yang melibatkan keluarga supaya mereka berpartisipasi dan terlibat
perawatan sehingga nantinya dapat melakukan perawatan lanjutan di rumah.

Sumber koping lainnya yaitu ketersediaan aset materil seperti jaminan kesehatan
100% sudah dimiliki sehingga biaya perawatan nantinya tidak akan menambah
stressor klien dan keluarganya. Ketersediaan dukungan ekonomi ini membantu
klien dalam mendapatkan pengobatan yang baik. Penggunaan jaminan kesehatan
masyarakat seperti Jamkesmas/Jamkesda untuk biaya perawatan dan pengobatan
selama di RS terbukti sangat membantu klien dan keluarga. Perawatan dan
pengobatan yang gratis hendaknya meningkatkan motivasi klien dan keluarga
untuk menuntaskan pengobatan.

3) Interdependensi
Respon perilaku yang ditampilkan lansia dengan konfusi kronis yang dialami
seluruh lansia (100%) adalah pekerjaan tidak tuntas, tergantung dengan orang
lain, sering mengeluh. Fakta ini relevan dengan teori yang disampaikan oleh
WHO (2013) bahwa lansia dengan penurunan memori akan kesulitan melakukan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
94

suatu pekerjaan sehingga pada akhirnya meningkatnya disabilitas sebagai akibat


kurangnya kemandirian. Respon perilaku berikutnya ditemukan bahwa 91,7%
lansia tidak mampu merawat diri dan sulit diatur, keadaan ini relevan dengan
pernytaan Steele (2010) bahwa lansia akan mengalami kesulitan dalam perawatan
diri secara mandiri.

Respon perilaku diatas apabila dikaitkan dengan modus interdependensi untuk


mengontrol perilaku maladaptif pada lansia. Modus interdependensi ini mengacu
pada kemampuan atau koping yang timbul dari hubungan dekat untuk
menghasilkan, rasa hormat, nilai memberi dan cinta ( Roy & Andrews, 1999,
dalam Alligood & Tomey, 2014). Rancangan perawatan yang tepat pada respon
perilaku maladaptif lansia adalah bagaimana nantinya perawat menunjukkan sikap
caring dan melakukan pendekatan secara terapeutik.

5.2.2 Asuhan keperawatan konfusi kronis


Berdasarkan hasil pengkajian diketahui 66,7% lansia berasal dari suku Sunda, dan
lainnya dari suku jawa, padang dan ambon. Penulis berasal dari suku dan
kenyakinan agama yang berbeda dengan mayoritas lansia, namun hal ini tidak
menjadi halangan karena penulis memiliki pengalaman bersosialisasi dengan
orang dari suku tersebut sehingga memahami karakter khusus yang mereka miliki.
Oleh karena itu terapi yang penulis berikan baik generalis dan spesialis sedapat
mungkin melakukan pendekatan budaya. Khusus terapi spesialis Reminiscence
dalam konteks mengingat pengalaman di masa lalu akan lebih banyak bersentuhan
dengan hal-hal tersebut, maka trigger dalam setiap sesinya diupayakan
disesuaikan budaya yang dimiliki. Proses ini tentunya penulis berkonsultasi
dengan perawat ruangan yang sudah lama mengelola pasien dengan latar belakang
budaya sama dengan klien.

Peran penulis sebagai stabilizer meredam dan memodifikasi koping mekanisme


yang maladapatif pada klien dengan konfusi kronis. Berdasarkan pengkajian
sebagian besar klien menggunakan koping mekanisme memendam masalah, diam
(supresi) dan regresi sekitar 83,3%, selanjutnya melakukan penolakan (denial)

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
95

bahwa dirinya sakit ada 8 orang 34,78%. Supresi merupakan koping maladaptif
yang mengakibatkan klien selalu terbeban dengan setiap masalah yang selalu
terakumulasi tanpa ada penyelesaian yang menimbulkan frustasi maka dalam
intervensi keperawatan selalu mengawali dengan membina hubungan saling
percaya supaya nanti klien bersedia membuka diri dan mengkomunikasi masalah
yang dialami. Koping regresi dan denial relevan dengan teori yang disampaikan
dalam model adaptasi stres Stuart sebagai koping maladaptif dalam rentang
respon kognitif (Stuart, 2013). Klien berperilaku seperti perkembangan masa
kecil ketika menghadapi masalah dengan menangis sampai ngompol di celana saat
keinginannya tidak terpenuhi dan mereka menolak keadaan yang mereka alami,
dimana saat mereka sering lupa meletakkan suatu benda ia mengatakan bahwa
dirinya tidak apa-apa dan menolak bantuan orang lain untuk mengatsi
masalahnya. Oleh karena itu, perawat berusaha menumbuhkan kesadaran melalui
pendekatan persuasif dengan memberi kesemapatnlasia terlebih dahulu
menyampaikan potensi yang dimiliki kemudian mendiskusikan permasalahan dan
solusinya sehingga mereka merasa nyaman dan tidak didikte.

Inovator mengacu pada strategi kognitif dan emosional yang memungkinkan


seseorang untuk mengubah ke tingkat yang potensial lebih tinggi (Roy &
Andrews, 1999, dalam Alligood & Tomey, 2014). Berdasarkan keseluruhan
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa lansia yang memiliki masalah
keperawatan konfusi kronis yang diperlihatkan dengan berbagai karakteristik yang
menunjangnya. Maka penulis merancang suatu inovasi untuk mengatasi masalah
konfusi kronis yang dialami lansia yang pada umumnya dengan penyakit
demensia sesuai dengan hasil pengkajian yang telah dilakukan. Inovasi ini
tentunya tidak lepas dari acuan baku dalam penetapan diagnosa keperawatan
dengan pertimbangan karakteristik khususnya sesuai NANDA (2012), sedangkan
intervensinya mengacu pada konsep asuhan keperawatan psikiatri pada pasien
demensia (Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; Wilkinson & Ahern, 2012).
Inovasi intervensi tersebut diberikan kepada klien dan keluarganya mulai dari
mengenal masalah konfusi kronis, pendekatan dan pola komunikasi, kepatuhan
dalam pengobatan, upaya orientasi yang dialkukan (waktu, tempat dan orang),

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
96

uapaya stimulasi kognitif, memaksimalkan potensi positif yang dimiliki klien,


meningkatkan keutuhan pelaksanaan ibadah sesuai kenyakinan, serta bagaimana
keluarga menindaklanjuti perawatan lanjutan di rumah. Intervensi generalis juga
diberikan dalam kegiatan kelompok yang mengacu pada konsep Terapi Aktivitas
Kelompok atau TAK sesuai modul dengan 3 sesi orientasi yaitu waktu, tempat
dan orang (Keliat & Akemat, 2005).

Intervensi spesialis untuk mengatasi masalah klien adalah menggunakan


pendekatan konsep model adapati Roy dimulai dari input, proses dan hasil. Terapi
yang dipilih untuk mengatasi maslah konfusi kronis tersebut terdiri dari 2 paket
terapi yaitu Terapi kelompok Reminiscence dan Psikoedukasi keluarga. Kedua
terapi ini sebenarnya tidak asing lagi namun tidak pernah dilaksanakan secara
bersamaan untuk mengatsi masalah konfusi kronis di Indonesia maka penulis
melakukan inovasi dalam tehnik pelaksanaan tanpa mengurangi enesi dari terapi
tersebut, khusunya pada terapi kelompok Reminiscence .

Terapi Reminiscence memiliki esensi yaitu membangkitkan pengalaman yang


menyenangkan kemudian mengambil makna positif dan spirit dari kenangan
tersebut melalui trigger untuk mengatasi masalah saat ini dan beradaptasi terhadap
perubahan. Mengacu pada esensi tersebut tentunya tepat kiranya digunakan model
adaptasi Roy, input stimulus secara fisik diberikan seperti recall kenangan dengan
stimulasi lima pancaindera seperti musik untuk didengar, album photo untuk
dilihat, parfume untuk rangsang penciuman (Bulechek, Butcher & Dochterman
2008; Touhy, Jett & Ebersole, 2012). Inovasi stimulus yang diberikan dengan
sentuhan budaya misalnya alat permainan masa kecil, makanan, kegiatan hari
raya. Hal ini relevan dengan konsep Reminiscence yang disampaikan Bulechek,
Butcher dan Dochterman (2008) bahwa perlu digunakan alat peraga yang peka
budaya, memiliki tema dan tehnik yang tepat.

Stimulus yang digunakan saat Terapi Reminiscence adalah penggunaan musik,


hal ini mampu mereda kegelisahan lansia yang senang mondar-mandir sehingga
mereka secara motorik terlibat kegiatan dan mulai dapat diarahan. Hal ini relevan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
97

dengan hasil penelitian yang dilakukan Sung, Chang, S., Lee & Lee (2006) yang
menunjukkan bahwa intervensi musik 2 minggu sekali selama 4 minggu
perawatan bermanfaat dalam mengelola perilaku gelisah lansia demensia.

Proses selanjutnya mereka berproses dengan kegiatan saling bercerita, saling


bekerjasama. Menurut konsep Roy stimulus yang diberikan tidak hanya bersifat
fisik saja namun lingkungan bisa berupa perilaku orang sekitarnya oleh karena itu
pada saat pelaksanaan terapi Reminiscence ada beberapa lansia semakin
terstimulus bersosialisasi ketika melihat perilaku temannya praktek. Dengan
demikian semakin lengkaplah stimulus yang diberikan maka menurut konsep
adaptasi akan terjadi proses belajar pada lansia, apabila stmulus positif yang
diberikan maka lansia akan belajar dan mengadopsi hal positif juga. Tahapan
selanjutnya dari terapi Reminiscence adalah peserta terapi memperoleh manfaat
seperti terjalinnya kerjasama, meningkatkan mood, peningkatan kepercayaan diri,
peningkatan kosentrasi.

Selanjutnya pelaksanaan psikoedukasi keluarga diberikan kepada 7 keluarga klien


dan memberikan dampak positif dimana keluarga mengungkapkan wawasan
mereka lebih banyak, hal ini selaras dengan pernyataaan Stuart (2013) yang
menyampikan bahwa psikoedukasi keluarga merupakan elemen perawatan
kesehatan jiwa keluarga dengan memberikan informasi dan edukasi melalui
komunikasi yang terapeutik. Tergali informasi bahwa keluarga mempunyai
polemik tersendiri dalam merawat klien dan kadang timbul konflik bahkan ada
beberapa yang mengungkapkan keluhan secara fisik dan psikologis. Hasil
penelitian Schulz dan Martire (2004) menunjukkan bahwa keluarga sebagai
caregiver mengalami masalah kesehatan karena adanya konflik dalam perawatan
klien demensia dalam jangka waktu yang cukup lama, misalnya penurunan
kesehatan secara fisik dan masalah psikologis seperti cemas dan depresi.
Penelitian ini juga merekomendasikan pengembangan strategi untuk mendukung
perawatan lansia dan mengatasi masalah caregiver dengan program latihan
perawatan lansia dan memberikan pengetahuan kepada keluarga untuk mengatasi
masalah yang mereka alami selama merawat klien demensia. Hal ini relevan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
98

dengan pernyataan tentang dampak demensia pada keluarga secara umum


menimbulkan masalah kelelahan, stress emosional dan fisik, ketegangan peran,
anggota keluarga yang merawat merasa bekerja 24 jam nonstop dan tidak
dipedulikan oleh anggota keluarga yang lain, biaya perawatan yang mahal
(Stanley & Beare, 2006; Videbeck, 2011). Hasil penelitian kualitatif Vernooij-
Dassen, Joling, Van Hout, Mittelman (2010) menemukan tema terkait perawatan
lansia demensia salah satunya ada masalah keluarga terkait konflik yang dialami
keluarga dan masalah psikologis.

Mengatasi hal tersebut dilakukan psikoedukasi tidak hanya sekedar memberi


informasi kesehatan dan perawatan seperti pada intervensi generalis namun lebih
dalam lagi menyiapkan keluarga secara fisik dan mental dalam situasi krisis dalam
keterlibatan merawat klien. Hasil penelitian Ostwald, Hepburn, Burns, (2003)
menunjukkan bahwa edukasi keluarga selama 7 minggu dengan waktu 2 jam
setiap pertemuan dengan kegiatan pendidikan, dukungan keluarga, dan pelatihan
keterampilan untuk pengasuh utama (salah satu anggota keluarga) pasien dengan
demensia, dan anggota keluarga lain berhasil mengurangi beban antara caregiver
pasien demensia sehingga mereka mampu melakukan perawatan secara optimal.

Hasil penelitian laninnya oleh Andrén, dan Elmståhl (2008) menunjukkan bahwa
intervensi psikososial 5 sesi konseling setiap minggu selama 3 bulan pada 153
caregiver klien demensia menunjukkan bahwa meningkatnya dukungan
perawatan klien di rumah dan penundaan perawatan di institusi lansia selama 6
bulan. Oleh karena itu penerapan Psikoedukasi ini relevan dengan teori yang
disampaikan Carson (2000) bahwa melalui psikoedukasi ini keluarga mendapat
informasi dan berlatihan secara efektif mengatasi stress dan krisis yang dialami
sehingga mampu memberikan dukungan perawatan pada lansia dengan konfusi
kronis.

5.3 Output
Tahap selanjutnya dalam konsep Model Adaptasi Roy adalah output yaitu
kelanjutan dari proses input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
99

regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan


melihat model adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model atau juga beberapa
model bisa terganggu pada satu kesempatan. Jika yang muncul adalah respon
yang tidak efektif ini akan membuat siklus terulang kembali, respon inefektif
tersebut menjadi stimulus dan proses terjadi kembali sampai pada output.

Penurunan tanda dan gejala konfusi kronis pada lansia cukup signifikan setelah
diberikan terapi generalis dan terapi spesialis. Penurunan tanda dan gejala lansia
pada lansia yang mendapat Terapi generalis dan Reminiscence meningkat skor
10 (53,19%), sedangkan lansia yang mendapat Terapi generalis, Reminiscence
dan FPE adanya peningkatan yaitu 14,18 (74,75%). Lansia yang mendapat terapi
generalis, terapi kelompok Reminiscence dan FPE menunjukkan peningkatan
yang lebih baik dengan selisih skor 4,1 dibanding dengan lansia yang hanya
mendapat terapi generalis dan terapi kelompok Reminiscence. Hal ini relevan
dengan hasil penelitian Bharaty, Keliat, Besral (2011) bahwa lansia depresi yang
mendapat terapi Reminiscence dan FPE mengalami penurunan masalah
keperawatan lebih baik dibanding lansia yang hanya mendapat terapi kelompok
Reminiscence. Hal ini sesuai dengan konsep Teori adaptasi Roy bahwa
kemampuan adaptif seseorang tindakan hanya membutuhkan sumber internal pada
diri klien saja namun membutuhkan dukungan eksternal, dimana dalam hal ini
adalah keluarga.

Penurunan tanda dan gejala pada aspek sosial menurun lebih baik pada lansia
lansia yang mendapat terapi generalis dan Terapi Reminiscence maupun Terapi
generalis, Reminiscence dan FPE. Khusus pada lansia yang menerima terapi
generalis dan Reminiscence, aspek sosial menempati urutan pertama. Fakta ini
sesuai dengan hasil penelitian Missesa, Keliat, Wardhani, Putri (2013) yang
menunjukkan bahwa adanya peningkatan kemampuan sosialisasi pada lansia
depresi yang diberikan terapi Reminiscence karena adanya interaksi dalam
kelompok saat lansia membagikan pengalaman yang berkesan dan dibangunnya
suasana yang menyenangkan.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
100

Lansia yang mendapat Terapi Reminiscence menurun tanda dan gejala konfusi
kronis pada aspek sosial yaitu 1,4 (77,78%) sedangkan pada lansia yang mendapat
Terapi Reminiscence dan FPE adanya penurunan skor aspek sosial 1,72 (86%)
berarti lebih baik 0,32 point. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang
Schweitzer (2013) menunjukkan bahwa terapi Reminiscence dengan dukungan
caregiver merupakan program perawatan yang dapat meningkatkan kemampuan
lansia demensia salahsatunya peningkatan kemampuan sosial pada klien.

Aspek afektif pada diagnosa keperawatan konfusi kronis menurun pada kedua
kelompok lansia setelah aspek kognitif. Lansia yang mendapat terapi kelompok
Reminiscence terjadi penurunan 1,6 point (66,67%) sedangkan pada lansia yang
menerima terapi Reminiscence dan FPE menurun 2,01 point (87,39%) berarti ada
selisih perbaikan 0,41 point. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Stinson
(2009) Terapi kelompok Reminiscence efektif dilaksanakan kepada lansia yang
mengalami masalah gangguan alam perasaan karena suasana keceriaan dan lansia
dibuat senyaman mungkin menyampaikan pengalamannnya. Selanjutnya hasil
Penelitian Mitchell (2009) menunjukkan bahwa lansia merasakan kegembiraan
saat dilaksanakan terapi reminiscence, meningkatkan koping mengatasi masalah
saat ini serta peningkatan kepercayaan diri. Mengingat efek positif terapi ini
meningkatkan mood lansia maka sering juga digunakan pada lansia yang
mengalami depresi, sperti penelitian yang dilakukan Jones (2003) bahwa Terapi
kelompok Reminiscence dapat meningkatkan kepuasan pada lansia depresi dalam
hidup, meningkatkan koping efektif pada masa transisi, meningkatkan integritas
lansia, meningkatkan interaksi sosial, meningkatkan kepercayaan diri, membantu
lansia.

Tanda dan gejala konfusi kronis pada aspek afektif menempati urutan pertama
dibanding aspek lainnya pad lansia yang menerima terapi generalis, Reminiscence
dan FPE. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Patriyani (2009) bahwa dukungan
psikologis merupakan dukungan keluarga yang dominan berpengaruh terhadap lansia
demensia. Dukungan psikologis membuat klien merasa nyaman sehingga emosi yang

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
101

tadinya tidak terkontrol secara tidak langsung dapat diredam melalui stimulus
lingkungan positif berupa support keluarga selama lansia menajalani perawatan.

Tanda dan gejala pada aspek fisiologis pada diagnosa keperawatan konfusi kronis
menurun pada kedua kelompok lansia. Lansia yang mendapat terapi generalis dan
kelompok Reminiscence terjadi penurunan skor yaitu 1 (60%), sedangkan pada
lansia yang menerima terapi Reminiscence dan FPE menurun skor 1,15 (73,25%)
berarti ada selisih skor perbaikan 0,15. Hal ini relevan dengan pernyataan Downs,
dan Bowers (2008) bahwa kondisi fisik lansia akan lebih baik seiring dengan
perawatan yang melibatkan partisipasi keluarga. Konsep adaptasi Roy
menjelaskan bahwa manusia sebagai sistem akan berusaha mempertahan
homeostasis tubuh melalui stimulus positif yang diterimanya.

Aspek perilaku pada diagnosa keperawatan konfusi kronis menurun pada kedua
kelompok lansia. Lansia yang mendapat terapi kelompok Reminiscence terjadi
penurunan 4 point (66,67%), sedangkan pada lansia yang menerima terapi
Reminiscence dan FPE menurun 2,33 point (43,37%) berarti ada selisih perbaikan
1,67 point. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Bharaty, Keliat, Besral (2011)
yang menunjukkan bahwa pada lansia depresi yang diberikan terapi Reminiscence
dan FPE menunjukkan peningkatan kualitas hidup karena kemampuan klien
meningkat seperti kemampuan perawatan diri, ketergantungan penuh menurun
dan mampu melakukan pekerjaan sederhana sesuai kemampuannya.

Tanda dan gejala diagnosa keperawatan konfusi kronis pada aspek kognitif
mengalami penurunan setelah diberikan asuhan keperawatan. Pada lansia
mendapat Terapi Reminiscence menurun 3,8 point (38%), sedangkan pada lansia
yang menerima terapi Reminiscence dan FPE menurun 4,58 point (45,8%) berarti
ada selisih perbaikan 1,67 point. Selanjutnya hasil evaluasi MMSE pada lansia
mendapat asuhan keperawatan terjadi peningkatan dari kondisi sebelumnya. Pada
lansia yang mendapat Terapi Reminiscence dan FPE menunjukkan peningkatan
yaitu 3,43 point sedangkan pada lansia yang mendapat Terapi Reminiscence saja
meningkat 3,20 point, berarti ada selisih 0,23. Hal ini relevan dengan hasil

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
102

penelitian yang dilakukan Gibson, Haight dan Michel dalam Innes dan McCabe
(2007) menunjukkan bahwa 14 lansia dari 30 lansia yang diberikan intervensi
Terapi Reminiscence dengan kombinasi life review menggunakan storybook
(buku riwayat hidup) menunjukkan hasil yang signifikan yaitu peningkatan
MMSE 3,36 point. Hasil penelitian relevan dengan hasil asuhan yang penulis
lakukan bahwa Terapi Reminiscence dengan berbagai stimulus pancaindera
ditambah peran serta keluarga memberikan dampak positif pada perkembangan
kognitif lansia.

Nilai pengukuran MMSE pada kedua kelompok lansia apabila dicermati lebih
lanjut ada selisih lebih baik pada lansia yang menerima terapi generalis,
Reminiscence dan FPE, namun masih kurang signifikan karena selisih 0,23.
Penulis berpendapat bahwa hasil asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia
dengan kombinasi terapi keperawatan seharusnya memiliki nilai significan lebih
dari apa yang telah disajikan. Mean skor MMSE pada lansia yang menerima tiga
terapi keperawatan memiliki kesejangan data yang besar antara nilai minimum
dan nilai maksimum karena salah satu lansia hanya mampu progress 1 skor
mengingat kondisi fisiknya yang lemah dan adanya masalah organik otak yang
tidak bisa terkoreksi dengan baik.

Keberhasilan perawatan tidak hanya dinilai dari segi penurunan tanda dan gejala
karena hal tersebut dapat berubah secara fluktuatif mengingat kondisi klien yang
cukup rentan. Namun dinilai juga dari peningkatan kemampuan klien dan
keluarga. Peningkatan kemampuan klien meningkat dengan baik khususnya lansia
yang mendapat terapi kombinasi terapi kelompok Reminiscence dan FPE. Pada
hasilnya terjadi peningkatan kemampuan keluarga mencapai 100% pada 7
keluarga yang menjadi caregiver ini dimana ini menjadi bekal melakukan
perawatan lanjutan di rumah mengingat penyakit konfusi kronis ini membutuhkan
waktu perawatan yang tidak singkat, bahkan tidak hanya caregiver saja yang
bersemangat tapi anggota keluarga lainnya. Hal ini sesuai dengan budaya positif
di Indonesia yang masih mengedepan nilai pengadian terhadap orangtua. Penulis
menyimpulkan bahwa hasil yang diharapkan sudah efektif dan membuat klien dan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
103

keluarga lebih adaptif, walaupun demikian tetap harus dilakukan peningkatan


mengingat masih tanda dan gejala sisa yang harus tetap dikoreksi dan dipantau.
Hasil asuhan keperawatan untuk mengatasi diagnosa keperawatan konfusi kronis
dinilai telah berhasil menurunkan tanda dan gejala konfusi kronis berbagai aspek
secara signifikan dan peningkatan point MMSE. Namun demikian, upaya ini
harus terus ditingkatkan untuk meningkatkan kemampuan kognitif lansia secara
optimal misalnya melakukan kombinasi dengan terapi lainnya. Salah satu terapi
yang dapat dipertimbangkan menjadi pilihan yaitu senam vitalisasi otak karena
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan hasil penelitian Turana (2013) dalam
Kementerian Kesehatan R.I (2013) menunjukkan bahwa stimulasi otak dapat
meningkatkan kemampuan kognitif. Konsep perawatan ini tidak lepas dengan
konsep adaptasi Roy bahwa semakin banyak stimulus positif yang diberikan
diharapkan adanya proses adaptif baik dari aspek kognitif, afektif, perilaku dan
sosial.

Diagnosa keperawatan konfusi kronis bersifat irreversibel maka tentunya


membutuhkan perawatan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama sehingga
klien dan keluarga membutuhkan sumber pendukung yang tepat. Oleh karena itu,
terapi kelompok suportif dan Self Help Group (SHG) dapat diterapkan. Kedua
terapi ini secara umum memiliki kesamaan yaitu adanya dukungan antar anggota
terkait berbagai permasalahan yang dihadapi oleh lansia dengan konfusi kronis,
namun keduanya berbeda dalam tehnis pelaksanaan. Terapi SHG lebih mandiri
tanpa harus ada terapis karena terapis hanya dijadikan narasumber saat mereka
menghadapi kebuntuan, sedangkan terapi suportif membutuhkan terapis sebagai
fasilitator sekaligus sebagai narasumber yang memberikan solusi dengan
menggali sumber-sumber pendukung yang dimiliki oleh peserta.

Kombinasi perawatan selanjutnya dapat dilakukan dengan Terapi kelompok


karena dukungan lingkungan tidak hanya dari keluarga saja tapi melalui kelompok
baik kelompok klien maupun kelompok keluarga klien, terapi spesialis kelompok
tersebut terdiri dari terapi kelompok Suportif dan terapi Self Helf Group (SHG).
Terapi Suportif adalah terapi yang berfokus kepada hubungan kelompok, interaksi

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
104

antara anggota kelompok, dan juga pertimbangan terhadap issue yang dipilih, juga
mencegah terjadinya krisis dimasa depan dengan mengajarkan peserta cara yang
efektif untuk mengatasi stress emosional yang timbul dari krisis situasional atau
krisis perkembangan(Townsend, 2014). Situasi krisis yang dialami klien dan
keluarga klien yang mengalami demensia khususnya diagnosa keperawatan
konfusi kronis dapat terbantu melalui terapi suportif ini.

Hasil penelitian pada klien yang memiliki masalah kesehatan jiwa yang bersifat
kronis menunjukkan bahwa Terapi suportif terbukti efektif yaitu hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hernawaty, Keliat, Hastono & Helena (2009) tentang
pengaruh terapi supportif keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat
klien gangguan jiwa. Selanjutnya hasil penelitian terkait terapi kelompok SHG
yaitu menunjukkan hasil yang bermakna terhadap peningkatan kemampuan
keluarga dengan dalam merawat nggota keluarga klien dengan gangguan jiwa di
Kelurahan Sindangbarang Bogor (Utami, Keliat & Farida, 2008). Penulis
menyimpulkan bahwa untuk pencapaian integritas diri lansia dengan konfusi
kronis dengan kemampuan adaptif optimal sesuai konsep adaptasi Roy maka
dilakukan umpan balik dan diberikan intervensi keperawatan berkelanjutan baik
terapi yang sama atau kombinasi terapi keperawatan jiwa yang terbukti efektif
seperti terapi supportif dan terapi SHG.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini penulis akan menyimpulkan hasil penyusunan Karya Imiah Akhir
beserta saran bagi berbagai pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan praktik
klinik keperawatan jiwa ditatanan pelayanan kesehatan jiwa.

6.1 Kesimpulan
Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan manajemen
kasus spesialis pada lansia dengan diagnosa keperawatan konfusi kronis di
Saraswati Rumah Sakit Jiwa DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor dengan
menggunakan pendekatan model adaptasi Roy. Kesimpulan yang diperoleh
adalah sebagai berikut:

6.1.1 Stimulus fokal merupakan kondisi kesehatan klien saat ini secara fisik
yaitu penuaan diagnosa medis Demensia, putus obat, penyakit hipertensi,
nutrisi tidak adekuat. Secara psikologis terbanyak adalah kekecewaan
dengan lingkungan (teman, tetangga, perubahan lingkungan tempat
tinggal). Sumber permasalahan pada lansia seluruhnya merupakan
kombinasi faktor internal dan eksternal. Lama klien terpapar stressor
sebagian besar lebih dari 6 bulan.

6.1.2 Stimulus kontekstual berupa data demografi yaitu usia 60 tahun ke atas
lebih banyak pada kelompok usia 60-74 tahun, jenis kelamin perempuan,
latar belakang pengalaman tidak bekerja, latar belakang pendidikan rendah
(SD atau sederajat) dan lansia dengan pendidikan menengah (SMP atau
sederajat). Status pernikahan duda/janda, suku budaya Sunda.

6.1.3 Stimulus kontekstual yang berupa status kesehatan sebelumnya ditemukan


lansia memiliki pola makan suka makanan asin dimana diantaranya

105 Universitas Indonesia

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


106

hipertensi, lansia tidak pernah atau jarang melakukan olahraga serta lansia
memiliki riwayat merokok.

6.1.4 Stimulus residual seperti masalah ekonomi, konflik keluarga. Faktor


pendukung lainnya yaitu pengalaman sebelumnya jarang terlibat kegiatan

6.1.5 Koping mekanisme yang digunakan lansia dengan konfusi kronis sebagian
besar klien memendam masalah, diam (supresi) dan regresi dan melakukan
penolakan (denial).

6.1.6 Pada subsistem inovator perawat mengembangkan intervensi keperawatan


pada diagnosa keperawatan konfusi kronis dengan tetap berada pada
koridor NANDA (2012), terapi generalis dan spesialis yang diberikan
dengan pendekatan konsep model adaptasi Roy menginspirasi dan
menantang perawat untuk mengeksplore berbagai cara untuk stimulus
pancaindera yang peka budaya dan komunikasi terapeutik mengingat klien
memiliki keterbatasan secara kognitif, menciptakan suasana yang
menyenangkan untuk menumbuhkan mood positif dan nyaman selama
proses terapi

6.1.7 Hasil evaluasi pelaksanaan terapi menunjukan bahwa terapi generalis,


Terapi Kelompok Reminiscence dan Family Psycoeducation (FPE) yang
memberikan efek positif pada klien dan keluarga yaitu penurunan tanda
dan gejala, peningkatan kemampuan klien dan kemampuan keluarga dalam
mengatasi masalah konfusi kronis.

6.1.8 Terapi generalis dan Reminiscence tepat diberikan pada lansia demensia
dengan diagnosa keperawatan konfusi kronis yang dominan tanda dan
gejala pada aspek sosial.

6.1.9 Terapi generalis, Reminiscence dan FPE tepat diberikan pada lansia
demensia dengan diagnosa keperawatan konfusi kronis yang dominan
tanda dan gejala pada aspek afektif.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
107

6.2 Saran
Saran bagi pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan
jiwa khususnya di ruang Saraswati antara lain adalah:

6.2.1 Departemen Kesehatan


6.2.1.1 Menyusun kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan jiwa
bagi lansia di tatanan rumah sakit yaitu pelatihan penerapan terapi
generalis konfusi kronis di unit psikogeriatri bagi perawat jiwa minimal
lulusan DIII Keperawatan.
6.2.1.2 Menyusun aturan pelaksanaan kompetensi spesialis perawatan lansia
dengan konfusi kronis yang dilakukan oleh perawat spesialis
keperawatan jiwa yaitu Terapi Reminiscence dan FPE.
6.2.1.3 Menetapkan dan mengatur kebijakan terkait dengan pelaksanaan fungsi
rujukan klien gangguan jiwa, khususnya yang telah kembali kepada
masyarakat agar kesinambungan penanganan lansia demensia dengan
konfusi kronis terus terkontrol.

6.2.2 Pelayanan Keperawatan


6.2.2.1 Direktur RSMM
a. Perlunya penempatan ners spesialis di ruangan rawat inap psikiatri khususnya
ruang psikogeritrik sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
klien khususnya pemberian terapi spesialis baik bagi klien maupun keluarga.
b. Menetapkan suatu kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan
spesialistik khususnya penerbitan standar asuhan keperawatan terkait dengan
pelaksanaan manajemen kasus spesialis pada lansia demensia dengan konfusi
kronis.
c. Perlunya pengembangan pelayanan kepada lansia demensia dengan
perawatan harian (day care) sehingga lansia dapat menjalani perawatan
secara optimal namun tetap bersama dalam lingkup keluarga sebagai salah
satu bagian support system.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
108

6.2.2.2 Kepala Bidang Keperawatan


a. Memfasilitasi penerapan pelayanan keperawatan yang bersifat spesialistik
melalui program perencanaan pengembangan tenaga perawat spesialis jiwa.
b. Memfasilitasi dan mensosialisasikan standar asuhan keperawatan spesialis
serta peranan perawat ruangan untuk manajemen kasus klien dengan konfusi
kronis.

6.2.2.3 Kepala Ruangan Saraswati


a. Mempertahankan dan meningkatkan peran sebagai teladan dalam menjalankan
kegiatan pelayanan MPKP dan asuhan keperawatan jiwa psikogeritari
khususnya pada lansia dengan konfusi kronis.
b. Menerapkan model adaptasi Roy yang sesuai dengan pelaksanaan terapi
keperawatan pada lansia dengan konfusi kronis khusunya terapi generalis
minimal pengulangan 3 kali setiap asuhan keperawatan.
c. Mengadakan pertemuan keluarga secara rutin minimal 2 hari sekali supaya
keluarga bisa berpartisipasi dalam perawatan lansia dengan konfusi kronis
sehingga memiliki kemampuan perawatan lanjutan di rumah.

6.2.3 Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI dan Kolegium


6.2.3.1 Melanjutkan kerjasama dengan pihak Rumah Sakit DR.H.Marzoeki Mahdi
Bogor, khususnya pengembangan berbagai terapi keperawatan spesialistik
guna untuk menangani masalah lansia di tatanan pelayanan psikogeriatrik.
6.2.3.2 Memfasilitasi praktik mandiri perawat spesialis jiwa melalui program
standarisasi dan lisensi khususnya psikogeriatri baik unit rawat jalan
maupun rawat inap.

6.2.4 Riset Keperawatan


6.2.4.1. Perlunya dikembangkan penelitian tentang terapi spesialis lainnya pada
klien lansia dengan masalah konfusi kronis terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi efektifitas pelaksanaan terapi generalis dan spesialis
keperawatan.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
109

6.2.4.2. Perlunya pengembangan penelitian untuk menguji efektifitas terapi


Reminiscence dan FPE pada lansia dengan konfusi kronis.
6.2.4.3. Perlu diidentifikasi berbagai masalah keperawatan jiwa pada lansia
demensia baik pada klien dan keluarga sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan lansia.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists And Their Work 8th Edition. St. Louis,
Missouri : Elsevier Mosby.

Alzheimer’s Society. (2014). Am I at risk of developing dementia?. http:


//www.alzheimer.org.uk

Andrén, S, Elmståhl, S. (2008). Effective psychosocial intervention for family


caregivers lengthens time elapsed before nursing home placement of
individuals with dementia: a five-year follow-up study. International
Psychogeriatrics 20.6 (Dec 2008): 1

ASH Scotland. (2014). Smoking and Dementia.


www.ashscotland.org.uk/media/.../dementia.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset


Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Bharaty, E.B.S.., Keliat, B.A., Besral. (2011). Pengaruh Terapi Remniscence Dan
Psikoedukasi Terhadap Kondisi Depresi Dan Kualitas Hidup Lansia Tahun
2011. Tesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.

Bickel, H., Kurz, A. (2009). Education, Occupation, and Dementia: The Bavarian
School Sisters Study. Dementia and Geriatric Cognitive Disorders 27.6 (Jul
2009): 548-56.

Biernacki, C. (2007). Dementia : Metamorphosis in Care. West Sussex, England :


John Wiley & Sons Ltd.

Caamaño-Isorna, F., Corral, M., Montes-Martínez, A., Bahi, T. (2006).


Education and Dementia: A Meta-Analytic Study.Neuroepidemiology 26.4
(Jun 2006): 226-32.

Carson, V.B (2000). Mental health nursing: the nurse-patient. Journey


Philadelphia: WB. Saunders Company

Cpm Elxavier. (2014). Clinical practice guideline: acute/chronic confusion.


www.mtpin.org/.../felix

Chien, W.T., Chan, S.W.C., and Thompson, D.R. (2006). Effect Of A Mutual
Support Group For Families Of Chinese People With Schizophrenia: 18
Months Follow Up. Http;//bip.rcpsych.org.

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


De Deyn, Goeman, Vervaet, Dourcy-Belle-Rose, Van Dam, D et al. (2011)
Prevalence and incidence of dementia among 75-80-year-old community-
dwelling elderly in different districts of Antwerp. Belgium: The Antwerp
Cognition (ANCOG) Study Clinical Neurology and Neurosurgery 113.9 :
736-45.

Doenges, M.E, Townsend, M.C dan Moorhouse, M.F. (2006). Nursing Care
Plans: Guidlines for Individualizing Client Care Across The Life Span.
Philadelphia: F.A Davis Company.

Downs, M and Bowers, B. (2008). Excellence in Dementia Care : Research into


Practice. New York: Bell and Bain Ltd, Glasgow.

Eliopoulos, C. (2010). Gerontological Nursing Seventh Edition. Philadelphia :


Lipincott Wiliams & Wilkins.

Friedman, M., Bowden, V.R., Jones, E.G. (2003). Family Nursing Research,
Teory and Practice. New Jersey : Prentice Hall.

Gorman, L.M., Anwar. R. (2006). Neeb’s Fundamental of Mental Health Nursing


4th Edition. Philadelphia : F.A Davis Company.

Greenblat, C. (2012). 10 Facts on Dementia.


www.who.int/features/factfiles/dementia/en/ - 21k.

Hamid, T. A., Krishnaswamy, S., Abdullah, S. S., Momtaz, Y. A. (2011).


Sociodemographic Risk Factors and Correlates of Dementia in Older
Malaysians. Dementia and Geriatric Cognitive Disorders 30.6 (Jan 2011)

Herkov, M. (2006). What Is Psychotherapy?. Psych Central. Retrieved on


February 1, 2013, from http://psychcentral.com/lib/2006/what-is-
psychotherapy/ diperoleh 20 Desember 2012.

Hernawaty, T., Keliat, B.A., Hastono, S.P., dan Helena, N.C.D. (2009). Pengaruh
Terapi Supportif Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga Merawat Klien
Gangguan Jiwa di Kelurahan Bubulak Bogor Utara. Tesis. Jakarta :
Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Hill, T.D., Burdette, A.M, Angel., J.L., (2006). Religious Attedance and Cognitive
Among Older Mexican Americans. Jurnal Gerontology B Psychol Sci Soc
Sci2006- 6191):P3-9.

Hunt. (2004). A Resourse Kit For Self Help Support Groups for People Affected
by An Eating Disorder. Http;//www.medhelp.org/njgroups/volunteer-
Guide.pdf.

Ide, P. (2008).Gaya Hidup Penghambat Alzheimer. Jakarta : PT. Elex Media


Komputindo.

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


Innes, A., McCabe. L., (2007). Evaluation in Dementia Care. Philadelphia:
Jessica Kingsley Publisher.

Jones, G. M. M. and Miesen, R.M.L. (2005). Care-Giving in Dementia : Research


and Aplications Volume 3. New York: Taylor & Francis e-Libary.

Jones, E.D. (2003). Reminiscence Therapy For Older Women With Depression:
Effects Of Nursing Intervention Classification In Assisted-Living Long-Term
Care. Journal of gerontological Nursing, Juli 2003.
http://proquest.nursing&allied health sourse.com.

Karp, A., Andel, R., Parker, M. G., Wang, H., Winblad, B et al. (2009). Mentally
Stimulating Activities at Work During Midlife and Dementia Risk After Age
75: Follow-Up Study From the Kungsholmen Project. The American
Journal of Geriatric Psychiatry 17.3 (Mar 2009): 227-36.

Keliat, B. A & Akemat. (2004). Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok.


Jakarta : EGC.

Keliat, B.A., Akemat, (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta: EGC.

Kementerian Kesehatan R.I. (2013). Buletin Jendela Semester I 2013 : Topik


Utama Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta : Pusat Data
dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan R.I

Korte, Jojanneke, Westerhof,G.J. and Bohlmeijer,E. T. (2012). Mediating


Processes In An Efective Life Review Intervention. Psychology and aging
Journal 2012 Vol 27, No.4 1172-1181.http://proquest.umi.com

Kurlowicz, L and Wallace, M. (1999). The mini mental State Examiniation


(MMSE). www.dhs.state.or.us/spd/tools/cm/aps/.../mini_mental.pdf.
Diperoleh 15 maret 2013.

LaBate, K. L., , (2012). The Effects of Dementia Education on the Quality of Care
in Nursing Homes. http://proquest.umi.com.

Lavretsky, H., Siddarth, P., Irwin, M.R. (2010). Improving Depression and
Enhancing Resilience in Family Dementia Caregivers: A Pilot Randomized
Placebo-Controlled Trial of Escitalopram. The American Journal of
Geriatric Psychiatry. 18.2 (Feb 2010): 154-62.

Lukow, H.R. Structuring Reminiscence Group Intervention for Older Adults


Using A Framework of Mattering To Promote Wellness.
http://proquest.umi.com, diperoleh 5 Juni 2013.

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


Patriyani, R.E.H. (2009). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tipe Demensia
Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo. Tesis. Jakarta :
Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Pendlebury, S.T and Rothwell, P.M. (2009). Prevalence, Incidence And Factors
Associated With Pre-Stroke And Post-Stroke Dementia : A Systematic
Review And Meta-Analysis. Http://www.thelancet.com/neurology vol 8.

Ostwald, S.K., Hepburn, K.W., Burns, T. (2003). Training family caregivers of


patients with dementia: A structured workshop approach. Journal of
Gerontological Nursing 29.1 (Jan 2003): 37-44; quiz 55-6.

Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Buletin
Lansia Edisi 1. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Martono, H. (2011). Lanjut Usia dan Dampak Sistematik Dalam Siklus


Kehidupan.http://www.komnaslansia.or.id diperoleh 11 Januari 2013.

Maryam dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Melillo, K.D. & Houde, S.C. (2011). Geropsychistric and Mental Health Nursing
Scond Edition. Sudbury: Jones & Barlett Learning.

Missesa, Keliat, B.A., Wardhani, I.Y. Putri, Y.S.E. (2013). Pengaruh Terapi
Kelompok Reminiscence dan Life Review terhadap Depresi pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Tangkiling Kota Palangka Raya. Tesis. Jakarta
: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Mujahidullah, K. (2012). Keperawatan Geriatrik: Merawat Lansian Dengan


Cinta Dan Kasih Sayang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Mosack, V. (2011). Phsyhiatric Nursing Certification Review Guide : For The


Generalist and Advanced Practice Psychiatric and Mental Health Nurse
Thirt Edition. Sudbury : Jones and Bartlett Publishers.

Mauk, K.L. (2010). Gerontological Nursing Competencies For Care Second


Edition. Sudbury, Massachusetts : Jones and Bartlett Publishers.

Mace, N. L., & Rabins, P. V. (2006). The 36-hour day: A family guide to caring
for people with Alzheimer's disease, other dementias, and memory loss in
later life (4th ed.). Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Mitchell, S.F. (2009). Life Review Theraphy: A Prevention Program For Elderly
Who Are Expereiencing Life Transitions. Proquest Dissertation & Theses
(PQDT). http://proquest.umi.com, diperoleh 20 Desember 2012.

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


Mulgrew, CL., Morgenstern, N., Shetterly, S.M., Baxter, J., Baron, A.E., &
Hamman, R.E (1999). Cognitive functioning and impairment among rural
elderly Híspanles and non-Hispanic whites as assessed by the Mini-Mental
State Examination. Journal of Gerontology, 54B(4), 223-230.

NANDA. (2012). NANDA International : Diagnosis Keperawatan (Definisi dan


Klasifikasi) 2012 – 2014. Jakarta : EGC.

Nicholson, P. (2007). Weight loss a precursor to dementia in women. Medical


Post 43.28 (Sep 11, 2007): 4.

NRS. (2014). Clinical Care Plan. www.esuci.edu/writing.ci/guide.com.

Nurbani, Keliat, B.A., Wardhani, I.Y. Putri, Y.S.E. (2013). Pengaruh Terapi
Kelompok Reminiscence dan Life Review terhadap Depresi pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Tangkiling Kota Palangka Raya. Tesis. Jakarta
: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Ravaglia, G., Forti, P., Maioli, F., Bastagli, L., Montesi, F., et al. (2007).
Endogenous Sex Hormones as Risk Factors for Dementia in Elderly Men
and Women. The Journals of Gerontology 62.9 (Sep 2007): 1035-41.

Schweitzer, P., Bruce, E. (2008). Remembering Yesterday, Caring Today :


Reminiscence in Dementia Care.A Guide to Good Practice. London :
Jessica Kingsley Publishers.

Schweitzer, P. (2013). Reminiscence in Dementia Care.A Guide to Good Practice.


The International Journal of Reminiscence and Life Review 2013, Volume
I, Issue 1, pp.42-47. Http://www.ijrlr.org/ojs/index.php/IJRLR.

Shamy, E. (2003). A Guide to The Spiritual Dimension of Care for People with
Alzheimers’s Disease and Related Dementia : More than Body, Brain and
Breath. London and New York : Jessica Kingsley Publishers.

Shives, L. R (2012). Basic Concepts Of Psychiatric – Mental Health Nursing


Eighth Edition Philadelphia : Lippincott William & Wilkins..

Stanley, M. dan Beare, P.G. (2006).Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.


Alih bahasa : Juniarti N., Kurnianingsih, S. Editor :Meylin E., Ester M.
Jakarta : EGC.

Steele, C. (2010). Nurse to Nures Dementia Care : Expert Intervention. USA: The
McGraw-Hill Companies.

Stinson, C.K (2009). Structured Group Reminiscence: an intervention for older


adults. The Journal of Contiuning Education in Nursing. November.Vol 40,
No.11 http://proquest.umi.com.

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


Stuart, G.W., (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. (Tenth
Edition). St Louis: Elsevier Mosby.

Stueber, K dan Hassiotis, A. (2012). Reminiscence Therapy for Older Service


Users.http://proquest.umi.com, diperoleh 15 Maret 2013.

Sung, H., Chang, S., Lee, W., Lee M. (2006). The Effects of Group Music in
Movement intervention on agitated behaviors of instituonalized elders with
dementia in Taiwan. Complementary Therapies in Medicine 14.2 (Jun
2006): 113-9.

Schulz, R; Martire, L. M. (2004). Family Caregiving of Persons With Dementia:


Prevalence, Health Effects, and Support Strategies. The American Journal
of Geriatric Psychiatry 12.3 (May/Jun 2004): 240-9.

Tomey, M.A (2010), Nursing Theories and Their Work, The C.V. Mosby
Company St. Louis: Mosby Years Book Inc.

Touhy, T.A and Jett, KF.. (2010). Ebersole And Hess’ Gerontological Nursing
Healthy Aging 3rd Edition. St Louis, Missouri :Saunders Elsevier.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing : Concepts of care in


Evidance-based Practice Sixth Edition. Philadelphia :F.A Davis Company.

Undang-Undang Kesejahteraan Lansia no.13 Tahun 1998.


http://www.dprgo.id/UU/UU1998/UU-1998_13.pdf.

Utami,T.W., Keliat, B. A., dan Farida , P. (2008). Pengaruh Self Help Group
Terhadap kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di
Kelurahan Sindangbarang, Bogor. Tesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Varcarolis, E.M. dan Halter. (2010). Foundation of psychiatris mental health


nursing A clinical Approach sixth edition. St Louis, Missouri :Saunders
Elsevier.

Vernooij-Dassen, M., Joling, K., Van Hout, H., Mittelman, M.S. (2010). The
process of family-centered counseling for caregivers of persons with
dementia: barriers, facilitators and benefits. International Psychogeriatrics
22.5 (Aug 2010): 769-77.

Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric Mental Health Nursing. (5th edition).


Philadhelpia: Lippincott. Williams & Wilkins.

Wallace, M. (2008). Essential of Gerontological Nursing. New York: Springer


Publisher, LLC.

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014


Wilson, R.S, Begeny, C.T, Boyle, P.A, Schneider, J.A., Bennett, D. (2011).
Vulnerability to Stress, Anxiety, and Development of Dementia in Old Age.
The American Journal of Geriatric Psychiatry 19.4 (Apr 2011): 327-34.

Wood, R.Y, Giuliano, K. K, Bignell, C.U, Pritham, Whitney W, (2006).


Assessing Cognitive Ability in Research: Use of MMSE with Minority
Populations and Elderly Adults with Low Education Levels. Journal of
Gerontological Nursing 32.4 (Apr 2006): 45-54.

Wps. (2014). Alzheimers Desease./media/objects/737/Wps.parenhall.com

Word Health Organization (WHO). (2013). Dementia : A Public Health Priority.


Http://site.ebrary.com/id/10718026?ppg=1

Word Health Organization (WHO). (2014). Mental Health Action Plan 2013-
2014.. Http://site.ebrary.com/id/10265303?ppg=6

Yuliati. (2008). Pendekatan Cultural Spiritual Dalam Konseling Bagi Lansia.


himcyoo.files.wordpress.com/.../pendekatan-cultural-s...Tran

Yusuf, A. J.,Baiyewu, O., Sheikh, T., Shehu, A.U. (2011). Prevalence of


dementia and dementia subtypes among community-dwelling elderly people
in northern Nigeria. International Psychogeriatrics 23.3 (Apr 2011): 379-
86.

Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014

You might also like