Professional Documents
Culture Documents
Missesa
1106122644
Missesa
1106122644
Nama :MISSESA
NPM : 1106122644
Tanda Tangan
Tanggal
ii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal :'10 Juli 2014
iii
Nama :MISSESA
NPM : 1106122644
Mahasiswa Program : Spesialis Keperawatan Jiwa
Peminatan : Keperawatan Jiwa
Tahun Akademik : 2013/2014
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan karya
. ilmiah akhir saya yang berjudul :
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat, maka saya akan menerima
sangsi yang telah ditetapkan.
iv
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih
karuniaNya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir dengan Judul
“Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa pada Lansia Demensia
dengan Konfusi Kronis menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy di
Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor”. Karya Ilmiah Akhir
ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk meraih gelar Spesialis
Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Penyusunan Karya Ilmiah Akhir dibantu, dibimbing dan didukung oleh berbagai
pihak, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang
setulusnya kepada yang terhormat :
1. Dra. Juniati Sahar, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia beserta seluruh jajarannya
2. Henny Permatasari, M.Kep. Sp. Kep. Kom., selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N,Sc., selaku Koordinator mata ajar Karya
Ilmiah Akhir yang telah memberikan arahan.
4. Prof. DR. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc selaku Koordinator Residen III
dan motivator yang selalu memberikan support, memberikan ide cemerlang dan
mengajarkan kedisiplinan.
5. DR. Novy Helena Catharina Daulima, S.Kp, M.Sc selaku pembimbing I yang
telah membimbing penulis dengan sabar, bijaksana dan telaten memberikan
masukan serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
6. Yossie Susanti Eka Putri, S.Kp, M.N selaku pembimbing II yang membimbing
penulis dengan sabar, bijaksana dan juga sangat teliti memberikan masukan
serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
7. DR. Mustikasari, S.Kp., MARS selaku penguji yang memberikan masukan
untuk penyempurnaan Karya Ilmiah Akhir ini
v
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
8. dr. Priyanto, Sp.K.J selaku penguji yang memberikan masukan khususnya
dalam penatalaksanaan medis.
9. Ns. Ice Yulia Wardhani, S.Kep, M.Kep, Sp. Kep. J selaku pembimbing
akademik yang selalu mengarahkan dan membimbing dengan kasih sayang.
10. Dhini, M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
yang memberikan dukungan dan izin melanjutkan pendidikan.
11. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah membekali dengan ilmu, sehingga penulis mampu
menyusun tugas akhir.
12. Direktur Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan
izin untuk praktik klinik keperawatan jiwa 3.
13. Idayati Arif, AMK selaku kepala Ruangan Saraswati dan seluruh rekan perawat
ruangan khususnya ruang Saraswati, terima kasih atas kerjasama selama penulis
menjalani praktik klinik keperawatan jiwa 3.
14. Keluarga tercinta, Papah Demus S.K Penyang dan Almarhum Mamah
Marthania tersayang, Ibu tersayang, Mertua tersayang, serta mina mama pahari
samandi’ai. Terima kasih atas dukungan doa dan kasihnya.
15. Suami tercinta Hendrowanto Nibel, M.Pd dan Ananda Giovansho Nibel
tersayang. Terima kasih atas cinta, doa, dukungan dan pengorbanan waktu
bersama yang diberikan.
16. Sobatku Hasniah, Martina, Adelina, Lydia, Reni dan seluruh rekan-rekan
angkatan VII Program Studi Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia atas kekompakan dan kerjasama yang baik.
Bersama kita luar biasa dan penuh ekspresi.
17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
Penulis harapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan Karya
Ilmiah Akhir ini. Semoga hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bermanfaat dari
segi kelimuan untuk peningkatan kualitas layanan asuhan keperawatan jiwa
khususnya pada lansia sebagai wujud pengabdian dan kasih kepada orangtua.
Penulis
vi
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan hak bebas royalti nonekslusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/fonnatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database) merawat dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik
Hak Cipta.
Vll
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Missesa
Kata kunci : demensia, FPE, konfusi kronis, lansia, model adaptasi Roy,
reminiscence
viii
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
ABSTRACT
Missesa
Keywords: dementia, FPE, chronic confusion, the elderly, adaptation Roy model,
reminiscence
ix
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
Tabel 2.1 Pengobatan pada Lansia Demensia dengan Gangguan Perilaku ............. 21
Tabel 3.1 Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP Ruang Saraswati ................
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2014 .................................. 57
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Lansia dengan Konfusi Kronis di Saraswati .... 61
Tabel 4.2 Analisis Karakteristik Lansia berdasarkan MMSE ................................. 62
Tabel 4.3 Distribusi Faktor Predisposisi pada Lansia dengan Konfusi Kronis ....... 63
Tabel 4.4 Distribusi Faktor Presipitasi pada Lansia dengan Konfusi Kronis di
Saraswati ................................................................................................. 64
Tabel 4.5 Distribusi Penilaian terhadap Stressor pada Lansia Konfusi Kronis ......
Di Saraswati ............................................................................................ 65
Tabel 4.6 Distribusi Sumber Koping pada Lansia dengan Konfusi Kronis di ........
Saraswati ................................................................................................. 66
Tabel 4.7 Distribusi Mekanisme Koping pada Lansia dengan Konfusi Kronis ......
Di Saraswati ............................................................................................ 67
Tabel 4.8 Distribusi Diagnosa Keperawatan yang Menyertai Lansia ..................... 67
Tabel 4.9 Distribusi Diagnosa Medis dan Terapi Medis pada Lansia dengan
Konfusi Kronis di Saraswati ................................................................... 68
Tabel 4.10 Perencanaan Pelaksanaan pada Lansia dengan Konfusi Kronis .............
Di Saraswati ........................................................................................... 69
Tabel 4.11 Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan jiwa pada
Lansia dengan Konfusi Kronis Di Ruang Saraswati ........................... 69
Tabel 4.12 Evaluasi Tanda dan Gejala Konfusi Kronis pada Lansia di Ruang .......
Saraswati ............................................................................................... 72
Tabel 4.13 Rata-rata nilai MMSE pada Lansia dengan Konfusi Kronis di ............
Ruang Saraswati .................................................................................... 74
Tabel 4.14 Evaluasi Kemampuan Lansia mengatasi Konfusi Kronis di Ruang .....
Saraswati ............................................................................................... 75
Tabel 4.15 Evaluasi Kemampuan Keluarga Lansia mengatasi Konfusi Kronis di .
Ruang Saraswati .................................................................................... 76
xii
xiii
xiv
Kronis
xv
1 Universitas Indonesia
Perubahan pada lansia merupakan proses penuaan yang normal tetapi apabila
lansia tidak memiliki koping yang efektif dan belum mampu beradaptasi serta
memiliki penilaian negatif terhadap berbagai stressor tersebut maka muncullah
masalah psikologis yang memicu terjadinya gangguan mental emosional.
Demensia merupakan salah satu gangguan mental emosional yang sering terjadi
pada lansia selain depresi dan ansietas (WHO, 2014). Demensia merupakan suatu
Universitas Indonesia
Karel, Gatz dan Smyer (2012) menyampaikan bahwa ada peningkatan gangguan
mental seperti demensia seiring peningkatan usia yaitu sekitar 1 dari 5 lansia.
Jumlah orang dengan demensia di seluruh dunia pada tahun 2010 diperkirakan
mencapai 35,6 juta dan diperkirakan hampir dua kali lipat setiap 20 tahun menjadi
65,7 juta pada tahun 2030 dan 115.400.000 pada tahun 2050, dengan demikian
diproyeksikan meningkat menjadi 71 % pada tahun 2050 (WHO, 2013). Hasil
penelitian di Nigeria sebagai salah satu negara berkembang menunjukkan bahwa
prevalensi demensia adalah 2,79% (CI 1-4,58%) dengan 66,67% penyakit
Alzheimer dari seluruh kasus demensia, serta usia satu-satunya faktor demografis
yang terkait dengan demensia yaitu usia lanjut (mean subyek 75,5 tahun) (Yusuf
et al, 2011). Fakta ini memberi gambaran bahwa lansia berisiko mengalami
demensia dan jumlah kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
berdiri dalam waktu lama, sulit berjalan jauh). Berbagai dampak negatif tersebut
merupakan masalah keperawatan yang harus segera ditangani.
Respon yang menjadi ciri khas pada lansia yang mengalami demensia adalah
terjadinya penurunan daya ingat kronis yang membuatnya bingung melakukan
sesuatu, hal ini menjadi pertimbangan ditegakkannya diagnosa keperawatan
konfusi kronis pada lansia yang mengalami demensia (Doenges, Moorhouse &
Murr, 2006; Mosack, 2011; Videbeck, 2011; NANDA, 2012; Stuart, 2013;
Townsend, 2014). Konfusi kronis adalah penurunan irreversible jangka panjang
atau progresif pada kemampuan intelektual dan kepribadian yang
dikarakteristikkan dengan penurunan kemampuan untuk menterjemahkan stimulus
lingkungan serta penurunan kapasitas proses pikir intelektual serta
dimanifestasikan dengan gangguan daya ingat, orientasi dan perilaku (NANDA,
2012).
Tanda dan gejala konfusi kronis seperti mudah lupa, mudah lelah, sulit
konsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, tampak bingung, disorientasi
waktu, tempat dan orang, kerusakan memori jangka panjang, kerusakan memori
jangka pendek, gangguan interpretasi, hambatan sosialisasi, tidak bisa merawat
diri, gangguan kepribadian, bukti klinis gangguan organik, afek labil (cepat marah
dan atau sulit diatur), mondar-mandir / kurang koordinasi gerakan (Doenges,
Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse Center, 2011; NANDA, 2012).
Diagnosa keperawatan konfusi kronis ini harus ditangani karena kebingungan
yang lansia alami membuat mereka kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,
kurang mampu bersosialisasi dan mengambil keputusan dalam perawatan diri
dengan rendahnya daya orientasi serta penurunan daya ingat yang mereka alami
(Mauk, 2006). Kondisi ini tentunya secara tidak langsung menurunkan kualitas
hidup pada lansia, upaya kesehatan yang dapat dilakukan perawat jiwa
meminimalisir akibat konfusi kronis yaitu melalui intervensi keperawatan yang
tepat.
Universitas Indonesia
Intervensi keperawatan pada tingkat lanjut atau kita kenal sebagai tindakan
keperawatan spesialis jiwa salah satunya adalah psikoterapi (Videbeck, 2011).
Psikoterapi adalah proses terapi masalah psikologis melalui komunikasi
memperhatikan struktur, prinsip dan tehnik yang profesional (Herkov, 2006).
Psikoterapi mengatasi masalah kognitif lansia demensia diantaranya yaitu Terapi
Musik, Terapi Stimulasi Otak, Terapi Reminiscence (Innes & McCabe, 2007;
Jones & Miesen, 2007; Mosack, 2011). Psikoterapi mengatasi diagnosa
keperawatan konfusi kronis masih terbatas, namun terkait masalah kognitif pada
lansia demensia telah banyak diteliti, salah satunya yaitu terapi Reminiscence.
Terapi Reminiscence adalah terapi mengenang pada lansia secara spontan sejak
masa kanak-kanak sampai dewasa tanpa terikat urutan atau struktur yang baku,
dapat lakukan secara individu maupun kelompok (Mitchell, 2009). Hasil
penelitian Korte, Bohlmeijer, Cappeliez, Smit & Westerhof (2012) menunjukkan
bahwa terapi kelompok reminscence efektif untuk mencegah dan mengurangi
depresi, meningkatan tingkat kepuasan dalam hidup, meningkatkan perawatan
Universitas Indonesia
diri, meningkatkan harga diri, membantu lansia dalam krisis, kehilangan dan
transisi. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Schweitzer (2013) tentang
“Reminiscence in Dementia Care” menunjukkan terapi Reminiscence terbukti
efektif mengatasi masalah demensia pada lansia salah satunya kemampuan
kognitifnya, penelitian ini dimulai sejak Tahun 1997 sampai sekarang diawali dari
Inggris kemudian beberapa negara Eropa lainnya melalui program kegiatan yaitu
Remember Yesterday Caring Today (RYCT).
Tomey, 2014). Tiga konsep utama dalam proses model adaptasi Roy yaitu input,
proses kontrol dan umpan balik serta output. Input yang diterima manusia berupa
stimulus yang dihasilkan dari interaksi antara manusia dengan lingkungan terdiri
dari 3 tingkatan yaitu fokal, kontekstual dan residual. Stimulus fokal merupakan
stimulus yang langsung berkaitan dengan stressor utama, stimulus kontekstual
merupakan stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhi fokal, dapat
diukur dan dilaporkan secara subjektif. Stimulus tambahan namun sulit diukur
yaitu stimulus residual, contohnya nilai, kepercayaan, sikap dan sifat.
Penggunaan Model adaptasi ini dalam penanganan klien dalam konfusi kronis
adalah membantu klien belajar beradaptasi mengatasi masalah saat ini dengan
melalui stimulus – stimulus yang diberikan supaya klien mengenal keberadaannya
dan lingkungan sekitarnya kemudian memproses semua informasi tersebut
sebagai bahan belajar untuk meningkatkan kemampuan diri sehingga hasil
akhirnya ia mampu semaksimal mungkin memberikan umpan balik positif atau
berespon sesuai stimulus yang diterimanya.
Indonesia yaitu 1,7%, sedangkan rata-rata skor disabilitas mencapai 22,88 dan
rata-rata hari produktif yang hilang 5,5 hari selama sebulan. Hal ini menjadi
keprihatinan di Jawa Barat karena disabilitas dan hilangnya produktifitas ini
berefek pada aspek lainnya yaitu perekonomian di Jawa Barat.
Fakta dan beberapa hasil penelitian sebelumnya serta pertimbangan kondisi klinis
tentang lansia demensia dengan konfusi kronis, maka penulis tertarik untuk
membuat karya tulis ilmiah akhir dengan pendekatan Model adaptasi Roy
dilakukan di ruang rawat Saraswati RSMM Bogor. Hal ini sebagai upaya
peningkatan kemampuan adaptif lansia dengan konfusi kronis sehingga tercapai
integritas diri secara optimal.
Universitas Indonesia
1.3.3.2 Hasil penulisan ilmiah ini berguna sebagai data dasar aplikasi Model
adaptasi Roy dalam memberikan gambaran terapi yang efektif bagi klien
konfusi kronis.
Universitas Indonesia
Pada Bab ini penulis akan menguraikan konsep lansia, Model stres adaptasi
Stuart pada lansia demensia dengan konfusi kronis, konsep Model Adaptasi Roy,
penerapan Model Adaptasi Roy pada proses keperawatan lansia dengan konfusi
kronis. Berikut ini akan penulis uraikan berbagai konsep yang terkait.
12 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
potensial atau dengan kata lain harus ditingkatkan sehingga kondisi fisik, mental
dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar.
2.2.2 Demensia
2.2.2.1 Pengertian Demensia
Pengertian lainnya menurut WHO (2013) demensia adalah suatu sindrom
penyakit pada otak biasanya bersifat kronis dan progresif, dimana disebabkan oleh
kerusakan multifel kortikal termasuk memori, kemampuan berpikir, orientasi,
pemahaman, berhitung, kapasitas belajar, berbahasa dan pengambilan keputusan.
Kondisi ini kadang-kadang disertai kerusakan kontrol emosi, perilaku sosial atau
motivasi.
Definisi demensia secara klinis yaitu gangguan jiwa yang meliputi defisit kognitif
multiple, kerusakan memori utama dan minimal salah satu gangguan kognitif
berikut: afasia (deteriorasi fungsi bahasa), aprasia (gangguan kemampuan dalam
melakukan fungsi motorik walaupun kemampuan motorik utuh), agnosia
(ketidakmampuan untuk mengenali atau menyebutkan nama benda walaupun
kemampuan sensori utuh atau gangguan fungsi eksekutif (kemampuan untuk
berpikir abstrak dan merencanakan, memulai, mengurutkan, memantau dan
menghentikan perilaku yang kompleks) (Stuart, 2013). Berdasarkan beberapa
pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa demensia suatu sindrom atau
sekumpulan gejala terkait dengan kerusakan kognitif, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, motorik, interpretasi sesuatu serta kepribadian yang umunya
bersifat kronis dan progresif tanpa adanya penurunan kesadaran yang
mempengaruhi fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas klien sehari-hari.
Universitas Indonesia
termasuk di dalamnya: daya ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap, berhitung,
kemampuan belajar, berbahasa dan daya nilai (judgment). Umumnya disertai dan
ada kalanya diawali dengan penurunan dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi hidup.
Demensia menurut PPDGJ terdiri dari 4 golongan utama yaitu F00 Demensia
pada penyakit Alzheimer, F01 Demensia Vaskular, F02 Demensia pada penyakit
lain dan F 03 Demensia yang tidak tergolongkan.
Penyebab demensia secara pasti belum diketahui. Pada klien yang mengalami
demensia terjadi penurunan metabolisme otak hal ini diduga menyebabkan
terjadinya demensia. Sebuah komponen genetik telah diidentifikasi untuk
beberapa demensia seperti penyakit Huntington. Sebuah gen apoE abnormal
diketahui dihubungkan dengan Penyakit Alzheimer. Penyebab lain demensia
terkait infeksi seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV) infeksi atau
penyakit Creutzfeldt – Jakob ( APA , 2000; Neugroschl et al, 2005 dalam
Videbeck, 2011). Presentase penyebab demensia yaitu 50% demensia disebabkan
oleh Penyakit Alzheimer, 15% demensia frontatemporal, 15% oleh penyakit Body
Lewy, 10% demensia vaskular dan 10% oleh penyebab lainnya (Steele, 2010).
Demensia tipe Alzheimer adalah jenis yang paling umum di Utara Amerika (60 %
dari semua demensia ), Skandinavia dan Eropa; demensia vaskular lebih umum
di Rusia dan Jepang. Tidak jauh berbeda dengan data WHO (2014) bahwa faktor
yang utama berkontribusi menyebabkan demensia adalah yaitu Penyakit
Alzheimer sekitar 60 – 70 %, kemudian diikuti penyakit lainnya.
Downs dan Bowers (2008) menyatakan bahwa ada sekitar 200 subtipe demensia,
namun pada kesempatan ini akan dibahas 3 subtipe yang paling sering dialami
oleh lansia. Demensia dengan Penyakit Alzheimer adalah gangguan otak progresif
yang memiliki onset bertahap tetapi menyebabkan penurunan fungsi, termasuk
hilangnya kemampuan wicara, kehilangan fungsi motorik dan gangguan
kepribadian. Perubahan yang terjadi seperti paranoia, delusi, halusinasi, kurang
Universitas Indonesia
memperhatikan kebersihan dan agresif. Hal ini dibuktikan oleh atrofi neuron otak,
adanya plak senilis dan pembesaran ventrikel ketiga dan keempat otak.
Demensia vaskular memiliki gejala yang mirip dengan penyakit Alzheimer, tetapi
onset biasanya mendadak, diikuti oleh perubahan yang cepat dalam fungsi.
Computed tomography atau Magnetic Resonance Imaging biasanya menunjukkan
beberapa lesi vaskular dari korteks serebral dan subkortikal struktur akibat suplai
darah menurun di otak (Videbeck, 2011). Demensia tipe ini dimasukkan kedalam
jenis demensia multi infark didapatkan sebagai akibat atau gejala sisa dari stroke
kortikal atau subkortikal yang berulang (Mujahidullah, 2012). Demensia dapat
menjadi konsekuensi patofisiologis langsung dari trauma kepala. Tingkat dan
jenis gangguan kognitif dan perilaku tergantung pada lokasi dan luasnya cedera
otak. Cedera kepala yang berulang-ulang (misalnya akibat tinju) dapat
menyebabkan demensia progresif.
Demensia tipe lainnya yaitu demensia psikotik umumnya berkaitan dengan obat
yang mereka gunakan. Sekitar 20% dari orang-orang yang mendapat pengobatan
dopaminergik agen melaporkan halusinasi visual orang atau hewan (Thorpe,
1997 dalam Melilo Houde, 2011). Prevalensi paronoid yang umumnya pada lansia
dilaporkan 4-6% dan diduga termasuk mereka dengan demensia (Henderson et al,
1998 dalam Melilo Houde, 2011).
Universitas Indonesia
Demensia secara umum ada 3 tahapan dengan tanda dan gejala di setiap tahapnya
(Stanley & Beare, 2006; Biernacki, 2007; Videbeck, 2011; WHO, 2013):
- Tahap ringan (Mild)
Kognitif : Gangguan ringan jangka pendek, kesulitan dengan bahasa dan
bacaan, kesulitan membuat kesulitan berkonsentrasi, kesulitan membuat
penilaian, halusinasi (jarang).
Perilaku : Pelupa (melupakan ulang tahun, peringatan, janji ), sering
kehilangan benda-benda atau sesuatu, tersesat saat mengemudi, lupa nama
orang lain, mencari orang lain untuk mengkonfirmasi
kebenaran kata-kata atau tindakan atau sebaliknya menolak bantuan yang
diberikan, confabulating ( mengarang informasi dalam ketiadaan kemampuan
untuk mengingat benar informasi.
Respon emosional : kuatir, malu secara sosial, ketakutan menjadi gangguan
jiwa, kecurigaan, gelisah, penyangkalan, frustrasi, sifat lekas marah, depresi,
tidak peduli.
Sosial : Pekerjaan dan kegiatan yang mereka lakukan sering tidak
menyenangkan sehingga mereka dihindari orang lain. Kebanyakan orang tetap
di masyarakat selama tahap ini.
- Tahap sedang (Moderate):
Kognitif : Adanya konfusi dan kehilangan memori progresif, kehilangan
memori jangka pendek, kesulitan mengingat memori jangka panjang,
disfagia, kesulitan perencanaan dan mempertimbangkan sesuatu, disorientasi
(waktu, tempat dan orang), masih mampu mengenali orang-orang terdekat,
hilangnya informasi seperti alamat dan nomor telepon.
Universitas Indonesia
Perilaku : Tidak lagi dapat melakukan tugas yang kompleks, tidak dapat
melakukan hobi, kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri, tidak dapat
mengemudi dengan aman, misidentifikasi anggota keluarga, tidur terganggu,
kesulitan melaksanakan kegiatan sehari-hari (mencuci, berpakaian,
menyiapkan makanan, belanja), berjalan dan hilang kontrol, menyakiti diri
(jarang).
Respon emosional : depresi, paranoia, agitasi / kecemasan apatis, kemarahan,
frustrasi, ketidaksesuaian / labilitas, agresi, reaksi dukacita, penerimaan,
menangis sedih, tidak peduli.
Sosial : membutuhkan orang lain, kehilangan persahabatan dan kontak sosial,
menarik diri.
- Tahap berat (severe):
Kognitif : kehilangan memori jangka pendek dan jangka panjang, kehilangan
pertimbangan, perencanaan dan mengambil keputusan, disfasia berat atau
afasia, disfagia, lupa nama kerabat dekat (suami atau istrinya atau anak-anak),
kehilangan kemampuan untuk merespon kebutuhan sendiri atau
mengekspresikan cara yang mudah dipahami, kemungkinan adanya delusi
sehingga berkeliaran di malam.
Perilaku : Tidak dapat mengantisipasi atau memenuhi kebutuhan sehari-hari
(seperti mencuci, pembalut, buang air), gerakan berjalan tidak konstan,
kesulitan minum dan makan sendiri, menarik diri, menolak bantuan bahkan
dengantindakan kekerasan, tindakan berulang-ulang dan berkata /
mengeluarkan suara berulang-ulang.
Respon emosional : ketenangan, agitasi, kemarahan, agresi, kecemasan dan
panik, depresi, menarik diri dari interaksi dengan orang lain.
Sosial : menarik diri, acuh dengan lingkungan.
Universitas Indonesia
2) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yang dilakukan perawat yaitu melakukan pengkajian,
menurunkan tekanan lingkungan, melakukan intervensi keperawatan,
berkolaborasi dalam pengobatan. Pengkajian tidak hanya wawancara namun
ditunjang pula dengan diagnostik medis. Pengkajian kognitif lansia dapat
menggunakan Mini Mental State Exam (MMSE). Ujicoba instrumen MMSE di
Universitas Indonesia
Indonesia dengan oleh Tedjasukmana R., Wendra., Sutji H., Sidiarto. (1998)
memiliki sensivitas 100% dan spesifitas 90%. Kategori hasil MMSE yaitu 24 - 30
dinyatakan kognitif baik, skor 18 – 23 kategori gangguan kognitif ringan, skor 11
- 17 gangguan kognitif sedang, skor 0 – 10 kategori gangguan kognitif berat.
Universitas Indonesia
3) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ini dilakukan perawat dengan kerjasama dengan caregiver.
Keluarga memegang peranan dalam perawatan demensia, sekitar 70% lansia
dirawat dirumah dan menimbulkan permasalahan pada keluarga seperti isolasi
sosial, keletihan dan masalah keuangan serta banyak menghabiskan waktu mereka
Sehingga anggota keluarga menunjukkan gangguan mental. Pelayanan daycare
dapat menjadi pilihan bagi keluarga sehingga keluarga lebih leluasa dalam
pengaturan perawatan. Pilihan perawatan berikutnya adalah Panti Jompo dengan
unit perawatan khusus Special Care Unit (SCU), namun tidak semua panti
memiliki SCU.
a. Upaya Medis
Penanganan upaya kesehatan mengatasi masalah demensia secara medis yaitu
pemberian obat oleh dokter dengan pendekatan penyebab yang menimbulkan
gangguan demensia.
Tabel 2.1
Pengobatan pada Klien Lansia dengan Gangguan Perilaku
Golongan Agen Dosis awal Rata-rata Dosis tinggi yang
target dosis direkomendasikan
Risperidone 0,25 – 0,5 mg/hr 0,5 – 1,5 mg 2 – 6 mg
Atipikal Olanzapine 2,25 – 5,0 mg/hr 5,0 – 7,5 mg 12,5 – 15 mg
Quetiapine 12,5 – 25 mg/hr 50 – 100 mg 150 – 300 mg
Tipikal Haloperidol 0,5 – 1 mg/hr 1,5 – 2 mg 2 – 7 mg
Universitas Indonesia
FAKTOR PREDISPOSISI
Penuaan Neurobiologi Genetik
STRESOR PRESIPITASI
Hipoxia Metabolik Toxik Infeksi Struktural Sensori
SUMBER KOPING
FAKTOR PREDISPOSISI
MEKANISME KOPING
Intelektualisasi Rasionalisasi Denial Regresi
Konstruktif Destruktif
RENTANG RESPON EMOSIONAL
Skema 2.1
Model Stress Adaptasi Stuart Berhubungan dengan Respon Kognitif
Universitas Indonesia
Gambaran Model Adaptasi Stress Stuart terkait dengan kognitif secara umum
yaitu dapat dilihat pada Gambar 2.1. Model Adaptasi Stress Stuart (2013)
dijelaskan bahwa seseorang mengalami masalah kognitif diawali adanya interaksi
antara faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi terdiri dari
penuaan, neurobiologi dan genetik.
Faktor presipitasi adalah faktor yang mencetus terjadinya masalah kognitif pada
lansia yang mengalami demensia yaitu hipoksia, metabolik, toxik, infeksi,
struktural dan sensori. Hipoxia adalah kurangnya suplai oksigen di otak karena
dari anemia, yang diakibatkan oleh beberapa stressor seperti penyerapan aspirin
yang menimbulkan pendarahan, kondisi yang menimbulkan seseorang kehilangan
darah, defisiensi zat besi, folic acid atau vitamin B12, dehidrasi, hipertermia,
hipotermia dan meningkatnya tekanan intrakranial (hasil dari adanya tumor,
subdural hematoma atau tekanan hindrosefalus.
Faktor presipitasi lainnya yaitu metabolik terkait nutrisi merupakan faktor umum
berperan dalam fungsi kognitif. Penyakit secara sistemik seperti penyalahgunaan
obat-obatan, alkohol atau penggunaan obat psikiatri yang berefek pada fungsi
kognitif akan menjadi stressor yang bersifat toxic pada lansia yang memiliki
tingkat sensitivitas dibanding kelompok usia lainnya. Toksik dan infeksi dapat
mengakibatkan perubahan perilaku dan respon kognitif maladaptif. Struktur
terkait struktur dan fungsi organ pada lansia yang mengalami penurunan.
Rendahnya stimulus mempengaruhi fungsi kognitif seseorang sehingga terjadi
penurunan demikian juga sebaliknya apabila stimulus diberikan secara berlebihan.
Apabila lansia memiliki penilaian stressor secara positif ditambah adekuatnya
sumber koping maka lansia cenderung menggunakan koping adaptif yaitu
intelektualisasi dan rasionalisasi maka ia akan berada pada rentang respon kognitif
adaptif yaitu mengambil keputusan tegas, memori utuh, orientasi lengkap,
perhatian fokus, mispersepsi, koheren dan berpikir logis.
Kondisi tersebut diatas akan berbeda pada lansia lainnya, apabila memiliki
penilaian yang negatif terhadap berbagai stressor ditambah kurang adekuatnya
Universitas Indonesia
2.2.1. Input
2.2.1.1 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi pada lansia demensia mengacu pada model adaptasi stres
Stuart terdiri dari 3 bagian yaitu biologi, psikologis dan sosial.
a. Biologi
1) Penuaan
Penuaan pada dasarnya adalah proses normal namun karena adanya penuaan
struktur dan fungsi otak ditambahkan faktor pendukung lainnya yaitu
neurobiologi ( seperti pada tipe Alzheimer adanya plak neuritik dan kekusutan
pada neurofibrilari sehingga ada masalah dalam protein otak) (Stuart, 2013).
Universitas Indonesia
Negara berkembang seperti China, India dan Amerika latin akan didominasi oleh
usia lanjut sehingga berisiko tinggi mengalami demensia, diprediksikan Tahun
2040 bahwa salah satu negara yaitu China akan meningkat angka kejadian
demensia seiring peningkatan dunia (Downs & Bowers, 2008).
2) Neurobiologi
Hubungan antara area otak dengan patologis perubahan perilaku pada demensia
menurut Stuart (2013) sebagai berikut:
- Lobus oksipital, berfungsi sebagai proses visual, disfungsi menyebabkan
kebutaan, hilangnya kedalaman persepsi, warna, agnosia (kurangnya
pengakuan).
- Lobus frontal berfungsi sebagai pengorganisasi dalam berkata-kata, apabila
terjadi disfungsi maka kesulitan menggunakan "kata-kata kecil" (misalnya,
dalam, di, dia, dia, atau), perubahan kepribadian, penilaian, dan perilaku.
- Lobus pariental berfungsi sebagai area yang menghubungkan input sensori,
disfungsinya menyebabkan alexia (ketidakmampuan untuk membaca),
agraphia (ketidakmampuan untuk menulis), sindrom kelalaian,
ketidakmampuan untuk merasakan nyeri, agnosia, apraxia, afasia, gangguan
visual-spasial, kehilangan fungsi eksekutif, psikosis.
- Lobus temporal berfungsi pengakuan dan pemahaman input sensorik,
mendengar; konsolidasi memori, asosiasi memori, berpikir, persepsi,
danemosi. Disfungsi menyebabkan agnosia, apraxia, afasia, gangguan visual-
spasial, hilangnya fungsi eksekutif, disorientasi dalam ruang dan waktu,
Universitas Indonesia
Sumber : http://www.infobarrel.com/Symptoms_and_treatment_of_Dementia
Gambar 2.1 Gambar otak
3) Genetik
Kelainan secara gentik pada kromoson 3, 19 dan 12 memicu terjadinya demensia
alzheimer pada tahap akhir hidup atau usia lanjut (Stuart, 2013).
4) Jenis Kelamin
Wanita cenderung mengalami demensia dibanding laki-laki (Stanley dan Beare,
2006). Wanita lebih berisiko dibanding laki-laki, diduga karena menurunnya
kadar esterogen setelah menopouse (Alzheimer’society, 2014). Demensia tipe
Alzheimer lebih sering terjadi pada perempuan; demensia vaskular lebih sering
terjadi pada laki-laki (Videbeck, 2011).
5) Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan lain yang mendukung terjadinya masalah kognitif seperti
gangguan mental secara umum, lesi otak, penyakit degeneratif (Stuart, 2013).
Demensia vaskuler secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebovaskuler
Universitas Indonesia
yang berkisar antara 15-30% dari semua kasus demensia pada usia 60-70 tahun
terutama pada laki-laki dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan masalah
pada jantung ((Downs &.Bowers, 2008; Steele, 2010).
b. Psikologi
Pengamalan hidup yang tidak baik di masa lalu dapat menimbulkan penilaian
negatif terhadap situasi dan kejadian yang pada akhirnya akan menimbukan
perasaan negatif (Varcarolis, 2010). Perasaan negatif dapat berlanjut pada
gangguan afektif sehingga rentang perhatian yang pendek. Depresi juga dapat
menyebabkan gangguan memori, meskipun belum pasti apakah masalah tersebut
terkait dengan kehilangan memori atau kurangnya sebuah motivasi (Stuart, 2013).
Pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak terselesaikan dengan baik maka
pada suatu saat akan mendukung frustasi yang menimbulkan depresi pada
seseorang sehingga tanpa disadari menimbulkan masalah kognitif karena lebih
motivasi menggunakan kemampuan kognitif berkurang.
Universitas Indonesia
c. Sosial
1) Masalah Ekonomi
Malnutrisi sering terjadi pada lansia karena menurunnya kondisi fisik dan sumber
penghasilan untuk membeli makanan bernutrisi yang adekuat (Stuart, 2013). Total
jumlah kasus demensia baru setiap tahun di seluruh dunia hampir 7,7 juta, dimana
58 % tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Greenblat,
2012).
2) Pendidikan
Seseorang dengan dengan taraf pendidikan yang lebih baik akan memiliki
pengetahuan lebih untuk melakukan tindakan pencegahan sehingga awitan lambat
dari gejala neuropatologis. Lansia yang berpendidikan rendah berisiko tinggi
mengalami demensia (Stanley dan Beare, 2006). Semakin banyak kita
menggunakan otak maka semakin banyak sinaps yang terbentuk di antara sel saraf
(Ide, 2008). Hasil meta analisis Caamaño-Isorna, Corral, Montes-Martínez, Bahi
(2006) pada penelitian yang dipublikasi Tahun 2005 menunjukkan bahwa
pendidikan yang rendah merupakan faktor risiko demensia terutama untuk
demensia tipe alzhaeimer.
Universitas Indonesia
Faktor presipitasi akan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu kesempatan atau
ancaman/tuntutan. Faktor presipitasi ini terdiri dari 4 bagian yaitu sifat stresor,
asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan jumlahstresor yang dihadapi oleh
seseorang (Stuart, 2013).
Sifat stresor terjadinya konfusi kronis meliputi stressor biologis, psikologis, dan
sosial budaya. Sifat stresor biologis, misalnya penyakit/kondisi yang
mempengaruhi fungsi dan struktur otak (seperti penyakit vaskuler, alzheimer,
trauma kepala), kelemahan fisik, penyakit infeksi dan penyakit kronis. Stressor
psikologis dapat berupa kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan,
kegagalan mencapai sesuatu. Stressor sosiokultural dapat berupa konflik
eksternal, status sosial ekonomi, pola aktivitas, interaksi sosial yang provokatif,
dan perubahan lingkungan.
Asal stresor terdiri dari internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari diri
sendiri seperti gangguan neurotransmitter pada otak, abnormal struk dan fungsi
otak, ketidakberdayaan, hilangnya kepercayaan diri, merasa tidak mampu, dll.
Stresor eksternal berasal dari luar individu. Stressor ini dapat berupa kehilangan
(orang yang dicintai, barang/object, pekerjaan), perubahan lingkungan yang tidak
nyaman, konflik dengan keluarga atau orang lain, dll
Banyak jumlah stressor yang dialami individu dalam suatu waktu, baik berupa
stressor biologis, psikologis dan sosialkultural akan mempengaruhi kondisi
kesehatan lansia. Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu
dalam berespon terhadap stressor. Waktu menggambarkan kapan, berapa lama,
dan berapa kali individu terpapar stressor (Stuart, 2013).
Universitas Indonesia
a. Respon Kognitif
Respon kognitif konfusi kronis seperti mudah lupa, mudah lelah, sulit konsentrasi,
tidak mampu mengambil keputusan, tampak bingung, disorientasi (Doenges,
Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse Center, 2011; NANDA, 2012).
Seseorang yang mengalami konfusi berdampak pada kemampuan dalam orientasi
waktu sehingga setiap memulai perawatan dilakukan reorientasi, selain itu mereka
akan mengalami masalah disorientasi tempat dan orang akibat penurunan memori
(Golby et al dalam NRS, 2014).
b. Respon Afektif
Respon afektif gangguan kepribadian, bukti klinis gangguan organik, afek labil
(cepat marah dan atau sulit diatur) (Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; CPM
Resourse Center, 2011; NANDA, 2012).
c. Respon Fisiologis
Respon fisiologis pada lansia dengan konfusi kronis adalah kerusakan memori
jangka panjang, kerusakan memori jangka pendek, gangguan interpretasi, bukti
klinis gangguan organik, (Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse
Center, 2011; NANDA, 2012). Downs dan Bowers (2008) Demensia dengan
Penyakit Alzheimer berdasarkan hasil diagnostik adanya atrofi neuron otak,
adanya plak senilis dan pembesaran ventrikel ketiga dan keempat otak. Demensia
Vaskular berdasarkan hasil Computed tomography atau Magnetic Resonance
Imaging biasanya menunjukkan beberapa lesi vaskular dari korteks serebral dan
subkortikal struktur akibat suplai darah menurun di otak (Videbeck, 2011).
d. Respon Perilaku
Defisit kognitif ini mengakibatkan gangguan fungsi sosial atau okupasional dan
menunjukkan suatu penurunan dari tingkat fungsi individu sebelumnya,
melakukan tindakan yang berisiko pada suatu situasi tertentu (Videbeck, 2011).
Lansia yang mengalami demensia kesulitan bereaksi, membuat rencana dan
melakukan perawatan diri secara mandiri (Steele, 2010). Lansia demensia seperti
Universitas Indonesia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 20 % orang dewasa berusia sama
dengan 60 tahun atau lebih menderita gangguan mental salah satunya demensia
yang menimbulkan dampak terhadap indikator DALY’s (Disability Adjusted Life
Years) yaitu ketidakmampuan lansia melakukan aktivitas sehari-hari (WHO,
2014).
e. Respon Sosial
Respon sosial pada klien konfusi kronis yaitu hambatan sosialisasi dan acuh
dengan lingkungan (Doenges, Moorhouse & Murr, 2006; CPM Resourse Center,
2011; NANDA, 2012). Interaksi sosial terhambat karena pada saat mereka
memulai interaksi dengan orang lain mereka tidak mampu menyampaikan sesuatu
dengan baik, ia sering mengulang kata-kata sehingga orang lain tidak mengerti
pesan yang disampaikan ( APA, 2000 dalam Videbeck, 2011).
2.2.2 Proses
2.2.2.1 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa konfusi kronis menurut NANDA (2012) termasuk dalam domain
kognitif dengan faktor yang berhubungan adalah Alzheimer, serangan stroke,
cedera kepala, psikosis korsakoff, demensia multiinfark. Konfusi kronis
merupakan diagnosa keperawatan yang memiliki kemiripan dengan diagnosa
keperawatan gangguan proses pikir yang ada pada NANDA 2009 tapi telah
dikeluarkan dari diagnosa keperawatan baru NANDA 2012 yaitu terkait
penurunan memori jangka panjang dan jangka pendek. Penulis
mengidentifikasikan bahwa diagnosa keperawatan konfusi kronis adalah diagnosa
keperawatan yang telah diselaraskan sesuai respon klien dan pembaharuan dari
diagnosa keperawatan gangguan proses pikir. Pengertian konfusi kronis adalah
penurunan irreversible jangka panjang atau progresif pada kemampuan intelektual
Universitas Indonesia
Pada gambar 3.2 digambarkan skema pohon diagnosa keperawatan konfusi kronis
terkait dengan diagnosa keperawatan lainnya pada klien demensia. Diagnosa
keperawatan defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan daya ingat
atau lupa dan ketidakmampuan mengambil keputusan kesehatan, Risiko cidera
berhubungan dengan penurunan orientasi, gangguan pola tidur berhubungan
dengan kebutuhan perawatan (wps, 2013). Penurunan daya ingat,
ketidakmampuan mengambil keputusan, penurunan orientasi dan kebutuhan
perawatan adalah tanda dan gejala konfusi kronis, berarti dapat disimpulkan
bahwa konfusi kronis dapat menimbulkan masalah keperawatan deficit perawatan
diri, risiko cidera, gangguan pola tidur.
Kerusakan komunikasi
verbal
Konfusi Kronis
Universitas Indonesia
Dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman klien khususnya yang menjadi
caregiver akan memberikan kesempatan lebih baik bagi klien dalam perawatan
(Stuart, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kemampuan
keluarga klien demensia di rumah mampu menunda perawatan lanjutan di institusi
perawatan (Andrén & Elmståhl, 2008).
Aset material merupakan sumber koping yang terdiri dari jaminan pelayanan
kesehatan, sumber dan ketersediaan finansial, akses dan pelayanan kesehatan.
Universitas Indonesia
Ketersediaan seluruh aset material mendukung klien dalam berespon adaptif saat
mengalamai konfusi kronis. Ketersediaan aset materi yang memadai menunjang
kemampuan klien menjangkau akses pengobatan yang lebih baik.
Keyakinan/kepercayaan positif merupakan cerminan cara pandang klien terhadap
diri, penyakit, pengobatan dan terapi yang dijalani. Keyakinan berupa motivasi
yang bersumber pada diri sendiri menunjang keterlibatan klien dalam proses
perawatan yang lebih baik. Keyakinan diri yang bersifat positif merupakan
potensi dalam mengelola stimulus negatif.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bowden & Jones, 2003). Intervensi kepada keluarga (Doenges, Moorhouse &
Murr, 2006; Wilkinson & Ahern, 2012) :
- Mengkaji caregiver keluarga terhadap ketegangan peran, memberikan
dukungan informasi dan dukungan emosi.
- Menjelaskan penyakit klien terkait alam perasaannya
- Menjelaskan kepada keluarga tidak melakukan tindakan pemaksaan untuk
memenuhi kebutuhan aktivitas harian klien karena memicu perilaku agresif.
- Melibatkan keluarga dalam perencanaan, penyediaan dan evaluasi perawatan
sesuai keinginan.
- Mengajarkan keluarga bagimana berkomunikasi dengan klien secara lebih
efektif misalnya memberikan satu intruksi sederhana dalam satu waktu,
selingi dengan humor ringan.
- Melatih keluarga membimbing orientasi secara umum tentang musim dalam
tahun dengan isyarat yang tepat (misalnya suasana hari libur, aktivitas
musiman).
- Melatih klien memberi label pada photo keluarga.
- Mengajarkan keluarga memberikan stimulasi lingkungan yang rendah
(misalnya lingkung tenang, musik lembut, tidak menggebu-gebu dan
sederhana, pola dekorasi yang familier, harapan penampilan perilaku tidak
melebihi kemampuan klien, makan malam dalam kelompok kecil).
- Menganjurkan keluarga membantu klien melakukan perawatan diri sesuai
kebutuhan.
- Mengajarkan keluarga tentang medikasi efek samping dan tanda-tanda
kelebihan obat.
- Menganjurkan keluarga menghindari restrain fisik
Universitas Indonesia
dan waktu. Indikasi pemberian terapi kelompok ini adalah klien halusinasi,
demensia, kebingungan atau konfusi, tidak mengenal dirinya, salah mengenal
orang lain, waktu dan tempat (Keliat & Akemat, 2005). Modul pelaksanaan TAK
orientasi realitas terlampir.
Terapi yang sudah dikembangkan sebagai salah satu terapi spesialis oleh
keperawatan jiwa adalah Terapi Reminiscence. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa terapi ini menjadi pilihan terbanyak untuk mengatasi masalah kognitif
termasuk konfusi kronis. Hasil penelitian oleh Stueber dan Hassiotis (2012) dalam
studinya tentang “Reminiscence Therapy for Older Service Users” menyampaikan
bahwa Terapi Kelompok Reminiscence baik dikembangkan pada lansia yang
mengalami disabilitas, demensia dan depresi, serta terapi dalam kelompok
memberikan efek positif dibandingkan diberikan secara individu khususnya dalam
kemampuan sosial. hasil penelitian Korte, Bohlmeijer, Cappeliez, Smit dan
Universitas Indonesia
Westerhof (2012) terapi ini efektif untuk mencegah dan mengurangi depresi,
meningkatkan tingkat kepuasan dalam hidup, meningkatkan perawatan diri,
meningkatkan harga diri, membantu lansia dalam krisis, kehilangan dan transisi.
Terapi Reminiscence dapat mengatasi demensia yang dialami lansia dengan
konsep Remember Yesterday Care Today (RYCT) (Schweitzer & Bruce, 2008).
Hasil penelitian Perese (2008) menunjukkan bahwa lansia yang mengalami isolasi
sosial karena kurangnya interaksi dengan orang lain dan adanya kesepian
mengalami peningkatan hubungan interaksi dengan orang lain melalui terapi
Reminiscence yang diberikan secara berkelompok.
Hasil penelitian lainnya oleh Lukow (2012) Terapi kelompok Reminiscence dapat
meningkatkan hubungan sosial antar peserta dan meningkatkan kesehatan
psikososial serta mengurangi kesepian dengan membagikan memory dengan
peserta lainnya. Pernyataan yang tidak jauh berbeda dari Jones (2003)
berdasarkan rangkuman beberapa ahli bahwa Terapi kelompok Reminiscence
dapat meningkatkan kepuasan dalam hidup, meningkatkan koping adaptif pada
masa transisi, meningkatkan integritas lansia, meningkatkan interaksi sosial,
meningkatkan rasa pecaya diri, membantu lansia yang mengalami demensia.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
mengingat, jika ada hal yang tidak ingin dibahas sebaiknya ganti pembahasan
yang lain, ciptakan suasana yang menyenangkan bagi lansia untuk
mengungkapkan kenangan penting menurutnya, pertahankan kontak mata, tidak
memotong pembicaraan, berikan respon positif dan umpan balik dengan caring,
pergunakan alat peraga yang membantu individu mengingat memori seperti photo
serta pergunakan pertanyaan terbuka (Touhy, Jett & Ebersole, 2012) .
Universitas Indonesia
2.2.3 Output
Ouput adalah kelanjutan dari proses input, proses kontrol yang melibatkan
mekanisme koping regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor.
Pada proses output perawat mengevaluasi apakah tujuan adaptif telah dipenuhi
dengan melihat penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan
mengatasi masalah konfusi kronis. Model adaptasi Roy menjelaskan bahwa ada 2
ouput dari hasil evaluasi yaitu respon adaptif dan respon inefektif (Alligood &
Universitas Indonesia
Tiga konsep utama dalam proses adaptasi Roy yaitu input, proses kontrol dan
umpan balik serta output. Input yang diterima manusia berupa stimulus yang
dihasilkan dari interaksi antara manusia dengan lingkungan terdiri dari 3 tingkatan
yaitu fokal, konstektual dan residual (Alligood & Tomey, 2014). Stimulus fokal
merupakan stimulus yang langsung berkaitan dengan stressor utama, stimulus
kontekstual merupakan stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhi fokal,
Universitas Indonesia
dapat diukur dan dilaporkan secara subjektif. Stimulus tambahan namun sulit
diukur yaitu stimulus residual, contohnya nilai, kepercayaan, sikap dan sifat.
Diantara stimulus fokal, kontekstual dan residual input internal yang penting
adalah tingkat adaptasi. Tiga tingkat adaptasi dalam proses kehidupan sistem
manusia terdiri dari integrasi, compensatory dan kompromi. Integrasi
digambarkan sebagai struktur dan fungsi kehidupan yang bekerja untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Compesantory akan diaktifkan ketika terdapat
tantangan pada proses integrasi. Tingkatan selanjutnya yaitu kompromi terjadi
apabila proses integrasi dan compesantory tidak adekuat sehingga menghasilkan
masalah adaptasi.
Proses ketiga yaitu ouput berupa perilaku yang dapat diamati berupa respon
adaptif dan maladaptif atau respon inefektif. Respon yang adaptif akan
mendukung seseorang dalam pencapaian tujuan hidupnya sedangkan respon
maladaptif akan menghambat sesorang mencapai tujuannnya. Munculnya proses
persepsi pada subsistem regulator dan kognator sebagai proses penghubung
dimana input bagi regulator ditrasnformasikan dalam persepsi. Persepsi adalah
proses dari kognator. Umpan balik terhadap subsistem regulator dan kognator
adalah respon dari persepsi.
Universitas Indonesia
Proses keperawatan menurut Model Adaptasi Roy (Suster Callista Roy dalam
Mosack, 2011; Alligood & Tomey, 2014) terdiri dari 5 (lima) proses keperawatan.
Adapun proses keperawatan tersebut sebagai berikut :
1. Penilaian atau pengkajian perilaku tingkat pertama; penilaian empat mode
adaptif
2. Penilaian tingkat kedua
Identifikasi fokal, kontekstual, dan stimuli residual
Identifikasi respon tidak efektif, Identifikasi diagnosis keperawatan
3. Penentuan tujuan dengan klien
4. Implementasi yaitu memanipulasi fokal, kontekstual, atau residual stimuli
5. Evaluasi yaitu penilaian perilaku, tujuan dan kemungkinan penyesuaian tujuan
intervensi.
Mengacu pada pada hal tersebut di atas proses keperawatan jiwa pada lansia
demensia dengan konfusi kronis terdiri dari 5 (lima) langkah kegiatan, yaitu
proses pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi keperawatan. Model Adaptasi Roy memandang
manusia sebagai sistem yang adaptif dan holistik maka pengkajian yang dilakukan
harus konfrehensif diawali pengkajian stimulus, baik dari lingkungan internal dan
eksternal, proses koping sesuai dengan adaptasi mode. Perilaku dapat diobservasi
maupun tidak dapat diobservasi. Pada lansia yang mengalami konfusi kronis
perilaku yang tidak dapat terobservasi mereka sampaikan secara langsung.
Sedangkan perilaku yang terobservasi dapat dilihat oleh orang lain. Keluyuran,
gerakan berayun adalah perilaku yang dapat terobservasi.
Universitas Indonesia
Faktor presipitasi pada konsep adaptasi stress Stuart merupakan stimulus fokal
yang dapat langsung mempengaruhi sistem adaptif manusia. Contoh dari faktor
presipitasi tersebut adalah kondisi kesehatan lansia saat ini yang mengalami
demensia disebabkan adanya hypoxia, gangguan metabolic, infeksi, toxik,
gangguan struktur otak atau masalah sensori. Fungsi fisiologis pada adaptasi Roy
sejajar dengan dengan faktor biologi pada Model adaptasi stress Stuart, konsep
diri sejajar dengan kondisi psikologis, sedangkan fungsi peran dan
interdependensi sejajar faktor sosial.
Universitas Indonesia
menilai hasil identifikasi stimulus fokal, kontekstual dan residual serta respon
seseorang kemudian dilanjutkan dengan diagnosis keperawatan. Proses ini selaras
dengan penegakan diagnosa keperawatan NANDA (2012) dengan menganalisa
data hasil pengkajian secara holistik dan komprehensif pada lansia demensia maka
ditegakkan diagnosa keperawatan konfusi kronis.
Rencana keperawatan adalah tahap ketiga dalam proses keperawatan jiwa dimana
perawat menentukan tujuan dan merancang intervensi keperawatan yang tepat, hal
ini sesuai dengan proses keperawatan menurut Model Adaptasi Roy tentang
pentingnya penetapan tujuan dan membuat rencana tindakan untuk meningkatkan
adaptasi dengan mengubah stimulus dan memperkuat proses adaptasi. Intervensi
keperawatan pada lansia demensia dengan konfusi kronis disusun sesuai Model
adaptasi Roy yaitu tidak hanya ditujukan pada individu saja namun lingkungan
sekitar yang berpengaruh seperti lingkungan fisik perawatan, keluarga, kelompok
klien yang saling berinteraksi. Intervensi keperawatan yang dirancang terdiri dari
2 bagian yaitu pada tingkat dasar atau kita kenal sebagai intervensi keperawatan
generalis dan tingkat lanjut atau intervensi keperawatan spesialis (Townend,
2014).
Universitas Indonesia
stimulus yang tepat dan proporsional melalui pancaindera sehingga stimulus yang
diterima adekuat, stimulus tersebut dapat diberikan secara langsung atau melalui
lingkungan sekitar klien (lingkungan perawatan, keluarga, orang lain). Stimulus
yang adekuat tersebut diberikan secara bertahap sehingga lansia lebih adaptif.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
TERAPI MEDIS:
Psikofarmaka (Sesuai penyebab dan
gejala yang muncul), Antipsikotik tipikal
Diagnosa Keperawatan dan atipikal, Cholinesterase inhibitor,
NMDA antagonis, antidepresan, β-
Konfusi Kronis Blocker, Benzodiazepines, Estrogen,
Antikonvulsan, Serotonergic agen)
Umpan balik
Skema 2.3 Integrasi Aplikasi Model Adaptasi Stres Stuart dan Model Adaptasi
16 Roy pada Proses Keperawatan
Universitas Indonesia
Lansia Demensia dengan Konfusi
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014 Kronis
BAB 3
MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN DI
RS DR. MARZOEKI MAHDI BOGOR
Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien Konfusi Kronis ini
dilakukan pada tanggal 17 Februari – 18 April 2014 di Ruang Saraswati RSMM
Bogor. Berikut akan di uraikan mengenai gambaran umum RSMM Bogor,
ruangan Saraswati dan manajemen ruangan tempat praktik klinik keperawatan
jiwa III.
50 Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
51
Visi dari RSMM Bogor adalah “Terwujudnya Rumah Sakit mandiri melalui
profesionalisme dan pelayanan yang bermutu dengan mengutamakan kepuasan
pelangan dan terjangkau oleh rakyat miskin”. Misi antara lain Melaksanakan
pelayanan dengan unggulan kesehatan jiwa dan NAPZA; Memberdayakan seluruh
potensi yang ada di rumah sakit; Mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa
menjadi pusat rujukan nasional; Mengembangkan pendidikan kesehatan dan
penelitian serta kemitraan yang seluas-luasnya; Mencapai kesejahteraan bersama.
Unit Rawat jalan terdiri dari Poliklinik Umum, Poliknik Jiwa dan Poliklinik
psikogeriatri. Poliklinik umum melayani masyarakat dengan masalah kesehatan
secara fisik, sedangkan poliklinik jiwa dikhususkan kepada pasien masalah
kejiwaan. Poliklinik psikogeriatrik adalah unit baru khusus lansia dengan masalah
jiwa dengan batasan usia 60 tahun ke atas, unit ini baru saja dibuka pada Bulan
Januari 2014.
Pelayanan rawat inap psikiatri terdiri dari: Ruang Akut (Ruang Kresna Pria dan
Wanita), ruang Intermediate (Ruang Gatot kaca, Utari), Ruang Rehabilitasi :
Ruang Bratasena, Antareja, Arimbi, Nakula, Drupadi, Yudistira, ruang khusus
Anak dan Remaja (Dewi Amba), Mental Organik (Ruang Abimanyu), dan
Psikogeriatrik (Ruang Saraswati). Ruang psikiatri lain yang dapat menerima klien
langsung dari IGD atau Poli Psikiatri adalah ruang Sadewa dan Srikandi. RSMM
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
52
Pada tahun 2006 dijalin kerjasama antara FIK-UI dan RSMM yaitu menempatkan
mahasiswa magister keperawatan Jiwa di ruang rawat inap RSMM. Tujuan
kerjasama ini yaitu menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa di 4 ruang
fisik dan 13 ruang psikiatri. Selain itu, mahasiswa juga ditempatkan di ruang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Psikiatri dan Poliklinik Jiwa dengan tujuan
pencapaian kompetensi dalam menangani kasus gangguan jiwa akut dengan
tujuan mengenalkan dan menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan
perkembangan MPKP pada tahun 2014 ini yaitu 4 ruangan fisik, 14 ruangan
psikiatri, dan IGD telah melaksanakan MPKP.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
53
Ruang Saraswati masih berada pada level MPKP pemula. Kapasitas tempat tidur
ruang saraswati 40 dengan indikator mutu bulan bulan Maret 44,35%, data ini
menunjukkan bahwa indikator mutu BOR belum sesuai standar nasional yaitu 70-
80%. ALOS bulan maret 33 hari, berarti perlu peningkatan perawatan. TOI bulan
bulan Maret 57,5 hari. Hal ini menjadi pertimbangan untuk peningkatan
pelayanan keperawatan selanjutnya.
Indikator mutu bulan maret khusus jiwa Ruang Saraswati berdasarkan cukup baik
berdasarkan evaluasi 4 kompenan yaitu angka lari, angka cidera, angka fiksasi
dan angka infeksi nasokomial (Keliat & Akemat, 2012). Angka lari 1 berarti
belum sesuai standar yaitu 0 (zero defect), hal ini mengindikasikan perlunys
peningkatan keamanan dan kenyamanan klien selama dirawat baik. Angka cidera
2 berati belum memenuhi standar ideal yaitu 0 (zero defect), sehingga diperlukan
peningkatan keamanan dan pencegahan cidera. Angka fiksasi 4 berarti harus
ditingkatkan pelayanan perawatan dengan meminimalkan fiksasi. Angka infeksi
nosokomial 0, berarti sudah sesuai standar perawatan yang diberikan tidak
menimbulkan infeksi silang khususnya pada klien. Tingkat kepuasan klien pada
bulan Februari 2014 sebesar 67% sangat setuju dan 33 setuju%. Data ini
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
54
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
55
klien. Selain itu kepala ruangan telah mampu melakukan fungsi pengarahan terdiri
dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi, pendelegasian, dan
penciptaan iklim motivasi. Secara periodik yaitu sebulan sekali membuat
penghitungan indikator mutu, survei diagnosa medis dan keperawatan, survei
kepuasan dan audit dokumentasi. Pembudayaan yang perlu ditingkatkan pada
pilar ini adalah kemampuan penyampaian visi, misi dan filosofi minimal
seminggu sekali.
Kemampuan kepala ruangan pada pilar kompensasi dan penghargaan ini terdiri
dari dua kegiatan yaitu penilaian kinerja dan pengembangan staf. Kepala ruangan
secara periodik melaksanakan, rapat tim keperawatan, case conference, dan
kolaborasi saat visit dokter. Pembudayaan yang perlu ditingkatkan adalah rapat
tim kesehatan. Pilar sistem pemberian asuhan keperawatan mengatur tentang
kompetensi yang harus dimiliki perawat ruang MPKP dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dan keluarganya. Kegiatan yang tercakup dalam pilar ini
adalah pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan diagnosa
halusinasi, risiko perilaku kekerasan diri, harga diri rendah, isolasi sosial, defisit
perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri. Asuhan keperawatan klien terkait
konfusi kronis pada lansia dilakukan pendampingan mengingat ini adalah
diagnosa baru, karena ada peningkatan klien demensia sejak dibukanya klinik
psikogeriatrik.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
56
Ruang Saraswati memberikan asuhan keperawatan tidak hanya pada klien namun
juga pada keluarga baik secara individu maupun kelompok. Pemberian asuhan
keperawatan untuk kelompok klien, diberikan dalam bentuk terapi aktivitas
kelompok (TAK). Ruang Saraswati mengadakan terapi aktivitas kelompok
sebanyak satu kali sehari. Terapi aktivitas kelompok dipimpin oleh perawat ruang
Saraswati secara bergantian. Jenis TAK yang dilakukan adalah sosialisasi,
stimulasi persepsi, orientasi realita, dan stimulasi sensori. Pencatatan pelaksanaan
kegiatan dan pencapaian klien TAK dicatat dalam buku laporan TAK.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
57
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
58
Intervensi keperawatan generalis pada lansia dengan konfusi kronis secara umum
adalah menjelaskan masalah konfusi kronis, membantu klien orientasi,
mengajarkan klien patuh minum obat, melakukan stimulasi kognitif sederhana
dengan bermain puzzle dan tebak benda, mengajarkan kegiatan positif sederhana
sesuai kemampuannya. Intervensi generalis kepada keluarga yaitu menjelaskan
tentang masalah konfusi kronis, mendiskusikan perawatan, mengajarkan keluarga
membimbing klien melakukan latihan stimulasi kognitif, mengajurkan keluarga
memodifikasi lingkungan dan menjelaskan follow up kesehatan klien. Selanjutnya
intervensi kelompok yaitu TAK Orientasi Realita terdiri dari 3 sesi yaitu
pengenalan orang, pengenalan tempat dan pengenalan waktu. (Standar Asuhan
Keperawatan dan Strategi Pelaksanaan Konfusi Kronis terlampir).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
59
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain seperti dokter atau psikolog dilakukan
dalam pemberian terapi psikofarmaka (pilar ke-3). Kesinambungan akan tindakan
keperawatan dilakukan melalui operan, pre dan post conference (pilar ke-1) serta
untuk menjamin pelayanan tetap baik dan bermutu maka dilakukan evaluasi mutu
serta pemberian reward (pilar ke-2).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
BAB 4
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA
LANSIA DEMENSIA DENGAN KONFUSI KRONIS
DI RUANG SARASWATI
Pada Bab ini dijelaskan mengenai pelaksanaan asuhan keperawatan pada 12 lansia
yang mengalami konfusi kronis di Ruang Saraswati Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor. Pelaksanaan asuhan keperawatan melalui proses keperawatan dengan
pendekatan model Stuart yaitu pengkajian faktor predisposisi, presipitasi,
penilaian terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping. Penegakan
diagnosa keperawatan dirumuskan dari data yang ditemukan.
Universitas Indonesia
60
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
61
Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Klien dengan Konfusi Kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Universitas Indonesia
Tabel 4.2
Distribusi Karakteristik Lansia berdasarkan MMSE
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Faktor psikologis yang paling banyak ditemukan yaitu ada 10 orang (83,3%)
dengan kepribadian tertutup, selanjutnya 8 orang (66,7%) dengan pengalaman
kehilangan dan keinginan tidak tercapai 6 orang (50%). Faktor sosial budaya yang
melatarbelakangi lansia dengan konfusi kronis adalah masalah ekonomi 9 orang
Universitas Indonesia
(75%), selanjutnya konflik keluarga 8 orang (66,7%) dan jarang terlibat kegiatan
sosial 7 orang (58,3%).
Tabel 4.3
Distribusi Faktor Predisposisi pada Lansia dengan Konfusi Kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Universitas Indonesia
adanya masalah ekonomi ada 10 orang (83,3%) dan perubahan lingkungan ada 8
orang (66,7%). Sumber permasalahan pada klien seluruhnya merupakan
kombinasi internal dan eksternal yaitu 12 orang (100%). Lama klien terpapar
stresor sebagian besar lebih yaitu 6 bulan atau lebih ada 7 orang (58,3%). Jumlah
stressor seluruhnya lebih dari 2 (100%).
Tabel 4.4
Distribusi Faktor Presipitasi pada Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari - 18 April 2014 (n = 12)
Universitas Indonesia
Respon afektif yang dialami oleh seluruh lansia adalah afek labil ada 100%,
respon mudah cemas dan mudah marah ada 10 orang (83,3%). Respon fisiologis
pada lansia yaitu penampilan tidak rapi 11 orang (91,7%), mudah lelah 10 orang
(83,3%).
Tabel 4.5
Distribusi Penilaian Terhadap Stresor pada Lansia Konfusi Kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Respon perilaku yang dialami oleh seluruh lansia (100%) adalah pekerjaan tidak
tuntas, tergantung dengan orang lain, sering mengeluh, respon berikutnya tidak
mampu merawat diri dan sulit diatur 11 orang (91,7%), mondar-mandir/kurang
koordinasi gerakan ada 9 orang (75%). Respon sosial paling banyak yaitu menarik
diri dan acuh dengan lingkungan 11 orang (91,7%).
Universitas Indonesia
Tabel 4.6
Distribusi Sumber Koping pada Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 12)
Berdasarkan tabel 4.6 seluruh lansia (100%) tidak mengetahui cara mengatasi
masalah konfusi kronis. Dukungan sosial yang didapatkan pada lansia dengan
konfusi kronis diantaranya sebagian besar memiliki dukungan keluarga tetapi
tidak mengetahui perawatan klien yaitu ada 8 orang (66,7%) dan tidak ada
dukungan keluarga 4 orang (33,3%); seluruh lansia (100%) tidak mendapat
dukungan kelompok dan dukungan masyarakat. Seluruh klien (100%) memiliki
asuransi kesehatan (Jamkesda/Jamkesmas), ada 4 orang (33,3%) memiliki
tabungan, 2 orang menggunakan uang pribadi untuk tambahan biaya perawatan
dalam pemeriksaan CT Scan. Jarak rumah dan pelayanan kesehatan sebagian
besar terjangkau ada 10 orang (83,3%) Keyakinan positif yang dimiliki oleh
Universitas Indonesia
Tabel 4.7
Distribusi Mekanisme Koping pada Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Tabel 4.8
Distribusi Diagnosa Keperawatan yang Menyertai pada Lansia dengan
Konfusi Kronis, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 12)
Universitas Indonesia
Tabel 4.10
Distribusi Terapi Medis Pada Klien Lansia dengan konfusi kronis
di Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Diagnosa medis
Paket terapi Dosis Demensia Demensia Demensia N
Psikotik Vaskuler
Risperidone 2 x 2 mg
2 2
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg
Haloperidol 2 x 1,5 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg 1 2 3
Risperidone 2 x 2 mg
Risperodone 2 x 1 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg
3 3
Captopril 2 x 12,5 mg
Merlopam 1x 1 mg
Haloperidol 2 x 1,5 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 2 mg
1 1
Risperidone 2 x 2 mg
Chlorpromazine 1 x 50 mg
Haloperidol 1 x 1 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 1 mg
Kalsetin 1x1 1 1
Merlopam 1 x ½ mg (k/p)
Piracetam 1 x 400 mg
Thrihexilphenidyl 2 x 1 mg
Risperidon 2 x 1 mg
1 1
Merlopam 1x ½ mg (k/p)
Kalxetin 1 x 10 mg
Haloperidol 1 x 1,25 mg
Thrihexilphenidyl 3 x 2mg
Risperidone 1/2 – 0 – 1 1 1
Sizoril 1 x 2 mg
Clobazam 1 x 5 mg
Total 6 3 3
12
( 50%) (25%) (25%)
Diagnosis medis pada lansia dengan konfusi kronis di Ruang Saraswati RSMM
Bogor. Pada tabel 4.9 Seluruh lansia yang mengalami konfusi kronis dengan
diagnosis medis demensia, demensia ada 6 orang (50%), demensia vaskuler ada 3
orang (25%) dan demensia psikotik ada 3 orang (25%). Pengobatan yang
diberikan adalah Antipsikotik atipikal (Risperidone), Antipsikotik tipikal
(Haloperidol, Chlorpromazin), Antiparkinson (Thrixelphenidyl), Antidepresan
Universitas Indonesia
Tabel 4.10
Perencanaan Penatalaksanaan pada Lansia dengan Konfusi kronis di Ruang
Saraswati RSMM Bogor
1 12 12 12 10
Tabel 4.11
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada Konfusi
Kronis di Ruang Saraswati Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
No Terapi Keperawatan Jumlah
1. Terapi Generalis 12
2. Terapi Spesialis
a. Terapi Reminiscence 12
b. Terapi Family 7
Psycoeducation
Universitas Indonesia
Terapi spesialis merupakan terapi lanjutan yang diberikan terhadap 12 lansia oleh
mahasiswa residen dibantu fasilitator 2-3 perawat ruang Saraswati yang sudah
dilatih sebelumnya, fasilitator membantu untuk menterjemahkan bahasa Indonesia
ke bahasa Sunda demikian juga sebaliknya, memperjelas komunikasi klien yang
memiliki volume dan nada suara yang kecil, membantu memotivasi keterlibatan
lansia, membantu klien yang tidak bisa membaca dan menulis, membantu menulis
evaluasi respon lansia saat terapi. Alat bantu terapi 25% milik ruangan dan 75%
difasilitasi mahasiswa residen. Tempat pelaksanaan yaitu ruang multifungsi
(ruang makan, ruang hiburan dan ruang tamu). Terapi kelompok Reminiscence
dalam 12 sesi, kegiatan ini dilakukan dalam 2 kelompok yaitu klien yang dirawat
minggu 1-4 selanjutnya kelompok kedua yaitu lansia yang dirawat minggu ke 5
dan 8. Tiap sesinya rata-rata diulang dalam 2-3 kali pertemuan karena lansia
mengalami penurunan konsentrasi. Ada 2 orang yang mendapat perhatian khusus
dan selalu diulang secara individu karena sering meninggalkan kegiatan terapi
sebelum terapi selesai, kurang kosentrasi, perhatian mudah beralih dan sulit diatur.
Tujuan dari terapi ini adalah memfasilitasi klien mengingat pengalaman yang
menyenangkan (seperti prestasi, kemampuan mengatasi masalah, kesan positif)
Universitas Indonesia
melalui trigger (berupa photo, gambar, benda kenangan, dan lain-lain) dan
membagikannya (melalui diskusi kelompok dan atau praktek bersama) sehingga
secara tidak langsung menstimulasi kognitif klien khusnya memori jangka
panjang, meningkatkan kepercayaan diri, menstimulasi sosialisasi dan
kemampuan kerjasama serta kemampuan psikomotor saat mempraktekkan
kenangan yang berkesan tersebut.
Universitas Indonesia
Tabel 4.12
Evaluasi Tanda dan Gejala Konfusi Kronis pada Lansia di Ruang Saraswati,
Periode 17 Februari-18April 2013 (n = 12)
N Tanda & Gejala Terapi generalis dan Terapi generalis, Reminiscence &
o Konfusi Kronis Reminiscence (n=5) FPE (n=7)
(23 point) Pre Post Selisih Pre Post Selisih
n Mean n Mean n Mean n Mean
A Kognitif (10 point)
1 Mudah lupa 5 1 3 0,6 7 1 3 0,42
2 Tampak Bingung 5 1 3 0,6 7 1 2 0,28
3 Disorientasi waktu 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
4 Disorientasi orang 5 1 2 0,4 5 0,71 1 0,14
5 Disorientasi tempat 5 1 1 0,2 5 0,71 2 0,28
6 Tidak mampu mengenali 0 0 0 0 1 0,14 0 0
orang terdekat
7 Kosentrasi menurun 5 1 3 0,6 7 1 2 0,28
8 Gangguan memori jangka 3 0,6 2 0,4 3 0,42 2 0,28
panjang
9 Tidak kenal identitasnya 0 0 0 0 0 0 0 0
1 Tidak mampu mengambil 4 0,8 2 0,4 5 0,71 2 0,28
0 keputusan
Total skor 7,4 3,6 3,8 7,4 2,2 5,2
74% 36% 51,35% 74% 22% 70,27%
B Afektif (3 point)
1 Mudah cemas 3 0,6 1 0,2 5 0,71 0 0
2 Afek labil 5 1 2 0,4 7 1 1 0,14
3 Mudah marah 4 0,8 1 0,2 4 0,57 0 0
Total skor 2,4 0,8 1,6 2,3 0,29 2,01
80% 26,7% 66,67% 76,3% 9,7% 87,39%
C Perilaku (6 point)
1 Pekerjaan tidak tuntas 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
2 Tergantung penuh dengan
orang lain 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
3 Tidak mampu merawat diri
4 0,8 2 0,4 7 1 2 0,28
4 Sering mengeluh 5 1 2 0,4 7 1 2 0,28
5 Mondar-mandir 3 0,6 1 0,2 4 0,57 2 0,28
6 Sulit diatur 4 0,8 1 0,2 7 1 2 0,28
Total skor 5,2 2,6 2,6 5,57 1,6 3,97
86,7% 43,3 % 50 % 95,2% 38,6% 71,27%
D Fisiologis
1 Penampilan tidak rapi 5 1 2 0,4 6 0,71 2 0,28
2 Mudah lelah 5 1 2 0,4 5 0,86 1 0,14
Total skor 2 0,8 1 1,57 0,42 1,15
100% 43,3 % 60 % 78,5% 21% 73,25%
E Sosial (2 point)
1 Menarik diri 4 0,8 1 0,2 7 1 1 0,14
2 Acuh dengan lingkungan 5 1 1 0,2 7 1 1 0,14
Total skor 1,8 0,4 1.4 2 0,28 1,72
90% 60% 77,78% 100% 13% 86%
Total seluruh aspek 18,8 8,2 10 18,97 4,79 14,18
81,74% 37,39% 53,19% 82,48% 20,83% 74,75%
Universitas Indonesia
Cara perhitungan persentase masing-masing aspek tanda dan gejala konfusi kronis
dan selisih setiap aspek adalah sebagai berikut :
Persentase tiap aspek = total skor x 100
Jumlah item (sesuai aspek tanda dan gejala)
Berdasarkan Tabel 4.12 penurunan tanda dan gejala konfusi kronis pada lansia
cukup signifikan setelah diberikan terapi generalis dan terapi spesialis. Pada
kelompok lansia yang menerima terapi generalis dan Terapi Reminiscence ada
penurunan skor tanda dan gejala 10 (53,19%). Aspek sosial mengalami penurunan
yang lebih baik dibanding aspek lainnya yaitu skor 1,4 (77,78%), kemudian aspek
afektif yaitu skor 1,6 (66,67%), skor aspek fisiologis 1 (60%), skor aspek kognitif
3,8 (51,35%) dan terakhir skor aspek perilaku 2,6 (50%). Lansia yang menerima
terapi generalis, Terapi Reminiscence dan Terapi FPE ada penurunan skor tanda
dan gejala konfusi kronis 14,18 (74,75%), aspek afektif mengalami penurunan
yang lebih baik dibanding aspek lainnya yaitu 2,01 (87,39%), kemudian skor
aspek sosial 1,72 (86%), skor aspek fisiologis 1,15 (73,25%), skor aspek perilaku
4 (71,43%) dan terakhir skor aspek kognitif 5,2 (70,27%).
Cara pengukuran MMSE pada lansia yang mengalami konfusi kronis Penilaian
mini mental status terdiri atas dua bagian, bagian pertama merupakan respon fokal
meliputi pemeriksaan orientasi, daya ingat dan perhatian dengan jumlah skor 21.
Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan nama, mengikuti
perintah. verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan menggambar polygon berupa
Bender-Gestalt dengan jumlah skor 9 (sembilan). Skor maksimal seluruhnya
adalah 30 (tiga puluh).
Universitas Indonesia
Tabel 4.13
Rata-rata Nilai MMSE pada Lansia dengan Konfusi Kronis
di Ruang Saraswati, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 12)
Pada Tabel 4.13, hasil pengukuran MMSE sebelum dan sesudah terapi
menunjukkan peningkatan, lansia yang menerima Reminiscence ada peningkatan
3,20 point sedangkan lansia yang menerima terapi Reminiscence dan FPE ada
peningkatan 3,43 point.
Universitas Indonesia
Tabel 4.14
Evaluasi Kemampuan Lansia mengatasi Konfusi Kronis di Ruang
Saraswati, Periode 17 Februari - 18 April 2014 (n = 12)
N Kemampuan Terapi generalis dan Terapi generalis, Reminiscence &
o Konfusi Kronis Reminiscence (n=5) FPE (n=7)
(24 point) Pre Post Selisih Pre Post Selisih
n Mean n Mean n Mean n Mean
A Generalis
1 Mengenal konfusi 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
2 Mampu minum obat teratur 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
3 Mampu interpretasi benda 2 0,4 3 0,6 0 0 5 0,71
4 Mampu mengenal photo 0 0 3 0,6 0 0 6 0,85
5 Mampu melakukan 2 aktivitas
0 0 2 0,4 0 0 5 0,71
positif
6 Mampu beribadah 0 0 2 0,4 0 0 5 0,71
7 Mampu orientasi waktu 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
8 Mampu orientasi orang 0 0 4 0,8 2 0,28 6 0,85
9 Mampu orientasi tempat 0 0 4 0,8 2 0,28 6 0,85
B Spesialis
10 Mampu memperkenalkan diri di
2 0,4 5 1 1 0,14 7 1
kelompok
11 Bekerjasama dalam kelompok 1 0,2 3 0,6 1 0,14 6 0,85
12 Menunjukkan ekspresi senang
2 0,4 3 0,6 2 0,28 5 0,71
saat membagi pengalaman
13 Mampu menceritakan kenangan
2 0,4 3 0,6 2 0,28 6 0,85
berkesan daerah asal
14 Mampu menceritakan kenangan
berkesan masa kecil dan 2 0,4 3 0,6 2 0,28 6 0,85
keluarga
15 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 2 0,28 5 0,71
berkesan masa sekolah
16 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
berkesan masa bekerja
17 Mampu menceritakan kenangan
berkesan masa bertemu 0 0 3 0,6 0 0 5 0,71
pasangan
18 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 1 0,14 5 0,71
berkesan masa pernikahan
19 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 0 0 6 0,85
berkesan masa berumahtangga
20 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 0 0 6 0,85
berkesan masa mengasuh anak
21 Mampu menceritakan kenangan
0 0 3 0,6 1 0,14 6 0,85
berkesan tentang masakan
22 Mampu menceritakan kenangan
1 0,2 3 0,6 1 0,14 6 0,85
berkesan tentang liburan
23 Mampu menceritakan kenangan
1 0,14 6 0,85
berkesan hari raya / perayaan 1 0,2 3 0,6
24 Mampu menyebutkan
pengalaman paling berkesan dan 0 0 4 0,8 0 0 6 0,85
manfaatnya
TOTAL 2,6 15 12,4 2,8 19,01 16,21
10,8% 62,5% 51,7% 12,8% 74,5% 67,5%
Universitas Indonesia
Tabel 4.15
Evaluasi Kemampuan Keluarga Lansia mengatasi Konfusi Kronis di Ruang
Saraswati, Periode 17 Februari - 18April 2014 (n = 10)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bab ini membahas tentang hasil asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien
konfusi kronis. Pembahasan diawali mengacu pada kerangka konsep yang
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Stuart meliputi predisposisi,
presipitasi, penilaian stressor, sumber koping dan mekanisme koping serta
aplikasi Model adaptasi Roy.
Model adaptasi Roy memandang manusia sebagai sistem adaptif dalam interaksi
konstan dengan lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan adalah sumber dari
berbagai stimulus yang baik mengancam atau mempromosikan keutuhan unik
seseorang. Tugas utama seseorang adalah untuk menjaga integritas dalam
menghadapi rangsangan-rangsangan lingkungan. Integritas adalah tingkat
keutuhan dicapai dengan beradaptasi dengan perubahan kebutuhan "(Roy &
Andrews, 1999, dalam Alligood & Tomey, 2014). Konsep model ini tepat
diterapkan pada perawatan lansia dimana fase hidupnya memiliki tugas mencapai
integritas yang utuh sehingga kehidupan sejahtera di masa tua.
5.1 Input
Model adaptasi Roy membagi stimulus menjadi tiga kelas yaitu stimulus fokal,
stimulus kontekstual dan stimulus residual. Ketiga jenis rangsangan bertindak
79 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
81
Ada 4 lansia (33,3 %) mengalami konfusi kronis terkait dengan asupan nutrisi
yang kurang adekuat, kondisi ini diukur menggunakan perhitungan Index Massa
Tubuh (IMT) kurang dari 18,5. Fakta ini sesuai dengan pernyataan Stuart (2013);
Downs dan Bowers (2008) bahwa masalah metabolisme nutrisi merupakan faktor
umum berperan dalam fungsi kognitif, apabila seseorang mengalami malnutrisi
maka secara tidak langsung mempengaruhi fungsi dan kerja otak. Salah satu zat
nutrisi yang diperlukan otak dalam fungsinya adalah protein, zat nutrisi ini
berkaitan erat pada masalah kognitif pada klien demensia tipe alzheimer. Hasil
penelitian retrospektif Knopman dalam Nicholson (2007) dari 481 orang (73%
perempuan, 27% laki-laki) selama 21 – 31 tahun diidentifikasi melalui catatan
medis sebagai pasien demensia, wanita yang mengalami penurunan berat badan
cenderung mengalami demensia karena asupan nutrisi yang kurang mengingat
wanita lebih banyak menyiapkan makan pada keluarga tanpa memperhatikan
dietnya. Penurunan produktifitas pada lansia sehingga berimplikasi pada
menurunnya ketersedian nutrisi yang adekuat untuk pemeliharaan kesehatan.
Stresor psikologis yang menjadi stressor bagi lansia dengan konfusi kronis yaitu
adanya kekecewaan dengan lingkungan (teman, tetangga, perubahan lingkungan
tempat tinggal) 83,3%. Perubahan lingkungan membuat seseorang tidak nyaman
membutuhkan waktu penyesuaian ditambah masalah kesehatan saat ini yang
belum mampu menilai stimulus dengan baik maka perubahan lingkungan tersebut
menurut konsep Model Adaptasi Roy akan mempengaruhi manusia sebagai sistem
adaptif. Apabila penyesuaian yang dilakukan gagal dilakukan maka hal ini akan
menjadi input salah satu stimulus negatif. Lingkungan terdekat pada klien adalah
keluarga, keluarga memiliki fungsi kuat pembentukan karakter seseorang pada
tahap awal perkembangan yang menjadi bagian support sistem.
Keluarga dapat menjadi sumber pendukung positif tetapi bisa juga sebaliknya bila
tidak terjalin keharmonisan dalam pemeliharaan kesehatan untuk anggotanya,
seperti fakta dari hasil pengkajian bahwa kekecewaan terhadap konflik keluarga
(gagal membina hubungan suami istri, konflik dengan pasangan, konflik dengan
saudara, konflik dengan anak) ada 66,7% dan ini selaras dengan stressor sosial
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
82
Lansia yang mengalami konfusi kronis di Ruang Saraswati seluruhnya tidak dapat
melakukan perawatan secara mandiri berdasarkan hasil analisa kasus asuhan
keperawatan ada 83,3% parsial care dan ada 16,7% total care. Hasil ini relevan
dengan laporan WHO (2013) bahwa demensia termasuk di dalamnya masalah
keperawatan konfusi kronis meruapakan penyebab meningkatnya angka disabilitas
yang secara tidak langsung membuat mereka lebih banyak tergantung dengan orang
lain. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Melilo dan Houde (2011) bahwa
seseorang yang mengalami demensia menimbulkan masalah ketergantungan yang
signifikan sehingga membutuhkan perawatan jangka panjang mahal di terakhir
tahun kehidupan. Fakta analisis kasus memaparkan bahwa frekuesi menjalani
perawatan di Rumah sakit 2-5 kali ada 41,7%, dengan demikian mengindikasikan
lansia konfusi kronis yang dirawat pada umumnya pernah memiliki pengalaman
rawat walaupun dengan masalah yang berbeda tetapikondisi di masa lalu yang
tidak terkoreksi dan tertang dan secara tidak langsung biaya perawatanpun
meniani dengan baik akhirnya menjadir stressor saat ini.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
83
5.1.2.1.Demografi
Hasil penelitian Hamid, T. A., Krishnaswamy, S., Abdullah, S. S., Momtaz, Y. A.
(2011) terkait faktor risiko demensia pada 2.980 orang responden yang berusia
sama dengan 60 tahun atau lebih menunjukkan tingkat prevalensi demensia
14,3%. Prevalensi demensia lebih tinggi ditemukan pada usia tertua (26,3%),
perempuan (19,7%), pendidikan formal (24,1%), Bumiputera (32,2%), belum
menikah (19,4%), pengangguran (31,3%) dan sangat miskin pada diri-dinilai
kesehatan (33,3%). Hasil penelitian ini sesuai dengan karakteristik demografi
yang menjadi perhatian penulis pada lansia demensia dengan konfusi kronis
berikut ini.
a. Usia
Masalah konfusi kronis adalah usia 60 tahun ke atas hal ini sesuai dengan teori
yang disampaikan Stuart (2013) bahwa penuaan merupakan salah satu faktor
pendukung seseorang mengalami masalah terkait kognitif, hal ini selaras dengan
pernyataan Mauk (2006) bahwa lansia rentan mengalami gangguan mental
emosional terkait perubahan berbagai aspek baik dari segi biologis, psikologis dan
social. Namun berdasarkan kelompok usia ada sedikit perbedaan dengan Smith,
2008 dalam Videbeck 2011; Steele, 2010 bahwa kejadian demensia meningkat
pada usia 85 tahun ke atas sedangkan hasil analisa ditemukan lebih banyak pada
kelompok usia 60-74 tahun (50%), berarti pada kelompok usia elderly menurut
WHO, hal ini selaras dengan pernyataan Stanley dan Beare (2006) bahwa lansia
usia 75-85 tahun berisiko demensia yaitu 41,7%.
Hasil pengkajian ini tidak jauh berbeda dengan estimasi hasil penelitian WHO
(2013) tentang kelompok usia lansia yang paling banyak mengalami demensia di
regional Asia tenggara yaitu kelompok usia 70-74 tahun dan kelompok usia 75-79
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
84
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin perempuan pada hasil analisa kasus yang mengalami konfusi kronis
lebih banyak yaitu 66,7% dimana hasil ini relevan dengan pernyataan Stanley dan
Beare (2006) bahwa perempuan cenderung mengalami masalah gangguan mental
emosional terkait kognitif seperti demensia dibanding laki-laki. Hal ini terkait
juga dengan penyakit demensia tipe Alzheimer yang sering dialami lansia
perempuan (Videbeck, 2011), hal ini selaras dengan jumlah demensia tipe ini
yang dianggap juga sebagai demensia murni atau senilis pada analisis kasus ada
41,7%. Wanita cenderung mengalami demensia karena wanita lebih panjang
umur, selain itu hasil penelitian dari Women’s Health Initiative Memory
menunjukan peningkatan demensia pada wanita yang mendapat estrogen di atas
usia 65 tahun (Ide, 2008).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
85
c. Pengalaman bekerja
Seseorang yang jarang menggunakan otaknya berpikir saat bekerja atau tidak
bekerja (pengangguran atau geladangan) akan berisiko mengalami masalah
kognitif (Stanley &Beare, 2006), hal ini dibuktikan bahwa dari 12 lansia yang
mengalami konfusi kronis yaitu mereka dengan latar belakang pengalaman tidak
bekerja yaitu 41,7%. Sel-sel neuron pada lansia tidak ada perkembangan seperti
usia pada tahapan sebelumnya, apabila pada usia produktif tidak diberikan
stimulus maka pada usia lansia mengalami penyusutan, diperkira berat otak akan
berkurang 10-20% seiring penyusutan tersebut (Mauk, 2010). Hasil penelitian
Karp, Andel, Parker, Wang, Winblad, et al (2009) menunjukkan bahwa stimulasi
mental dalam periode kehidupan sebelumnya dapat melindungi seseorang
terhadap demensia atau penyakit onset delay. Selain itu, penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor-faktor kompleksitas kerja pada usia paruh baya
dengan latar belakang pendidikan rendah berisiko mengalami demensia. Fakta
yang ada menjelaskan bahwa pendidikan rendah dan beban kerja tinggi berisiko
mengalami demensia pada saat lansia.
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir, menganalisa suatu masalah,
membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara
penilaian klien terhadap stresor. Stanley & Beare (2006) menyatakan pengetahuan
dan pola pikir seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, taraf pendidikan
yang lebih baik akan memiliki pengetahuan lebih untuk melakukan tindakan
pencegahan sehingga awitan lambat dari gejala neuropatologis. Lansia yang
berpendidikan rendah berisiko tinggi mengalami demensia, tentunya akan
mengalami konfusi kronis sesuai hasil analisis kasus yaitu ada 50% lansia dengan
latar belakang pendidikan rendah (SD atau sederajat) dan ada 25% lansai dengan
pendidikan menengah (SMP atau sederajat).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
86
Hasil penelitian Bickel, H., Kurz, A. (2009) pada 517 responden teridentifikasi
104 orang mengalami demensia dengan latar belakang pendidikan rendah, tidak
memiliki menerima pelatihan kejuruan, dan tidak pernah diangkat ke posisi
terdepan. Selanjutnya hasil meta analisis Caamaño-Isorna, Corral, Montes-
Martínez, Bahi (2006) pada penelitian yang dipublikasi Tahun 2005
menunjukkan bahwa pendidikan yang rendah merupakan faktor risiko demensia
terutama untuk demensia tipe alzhaeimer. Penulis menyimpulkan bahwa
karakteristik pendidikan pada lansia demensia dan beberapa hasil penelitian
tentang faktor risiko demensia relevan yaitu pendidikan rendah.
e. Status Perkawinan
Lansia dengan status pernikahan duda/janda sebanyak 66,7% di Saraswati, hasil
analisis asuhan ini relevan dengan pernyataan Stuart (2013) bahwa lansia yang
kehilangan pasangan atau dengan kata lain menjadi duda/janda akan kehilangan
salah satu bagian dari sistem support seseorang saat menghadapi suatu masalah
yang dialami, apabila hal tersebut tidak adekuat maka lansia akan berada rentang
respon kognitif yang maladaptif karena kurang sumber koping yang dimiliki.
Seseorang yang memasuki masa tua membutuhkan dukungan secara psikologis
dari orang terdekat khususnya pasangan (suami/istri) karena apabila mereka
menghadapi suatu masalah maka pasangan adalah teman terdekat yang dapat
berbagi beban masalah bahkan membantu menemukan solusi. Hilangnya salah
satu pasangan berarti hilangnya dukungan bagi lansia menghadapi konfusi ronis
yang dialami.
f. Agama
Lansia yang mengalami Konfusi kronis dan dirawat di Ruang Saraswati
seluruhnya memiliki kenyakinan yaitu Islam dan Kristen, agama yang paling
banyak dinyakini adalah agama Islam yaitu 83,3%. Perkembangan spiritual pada
lansia sesuai dengan Teori Maryam (2008) disampaikan semakin terintegrasi dan
hal ini menjadi bagian dari support sistem dan bagian koping seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan. Perubahan kondisi fisik, status
sosial, ekonomi dan sebagainya akan dialami lansia, tetapi bila mereka
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
87
g. Suku Bangsa
Indonesia terkenal dengan keanekaragaman budayanya, faktor budaya
berpengaruh pada pola pikir dan cara seseorang bersikap, serta cara
berkomunikasi. Model adaptasi mengindetifikasikan bahwa budaya merupakan
lingkungan yang berpengaruh pada perilaku seseorang beradaptasi. Lansia yang
mengalami konfusi kronis di Ruang Saraswati lebih banyak dari suku budaya
Sunda yaitu 66,7%, ini sesuai dengan letak geografis Ruang Saraswati RSMM
Bogor di wilayah Jawa Barat dengan suku asli Sunda. Yuliati (2008) bahwa
budaya sunda memiliki pandangan tersendiri tentang lansia yaitu “Indung anu
ngandung, bapa anu ngayuga artinya adalah seorang ibu yang telah mengandung kita
sembilan bulan lamanya dengan susah payah dan setelah lahir maka ayah yang
membimbing, menjaga dan menghidupi. Dengan demikian penghargaan masyarakat
sunda pada orangtua begitu besar sehingga sebagai anak, cucu dan kerabat harus
memberi dukungan kepada orang tua dan menjadikan orangtua sebagai pusat tempat
kembali atau peribahasa sundanya “indung anu dijunjung, bapa anu dipuja”. Hal ini
terbukti dengan adanya caregiver lansia 83,3 % adalah keluarga. Pelaksanaan asuhan
keperawatan pada lansia dengan konfusi kronis juga melalui pendekatan budaya
khususnya pada terapi kelompok Reminiscence (Lee et al, 2007), tentunya lansia
akan lebih mudah menerima dan beradaptasi dengan budaya yang familiar. Budaya
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
88
menurut model adaptasi Roy merupakan nilai atau sifat pencirian seseorang pada
level adaptasi. Hasil penelitian Wood, Giuliano, Bignell, Pritham, Whitney (2006)
menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara ras terhadap kognitif setelah
diukur menggunakan MMSE terkait usia dan pendidikan. Budaya dan ras
berkaitan erat dengan pola asuh, didikan yang diwariskan ke generasi berikutnya,
beberapa penelitian tersebut menjeaskan bahwa apabila budaya poitif yang
diwariskan maka seseorang akan memiliki sumber koping yang cukup untuk
menghadapi berbagai perubahan saat lansia.
Pola makan dengan diet tidak seimbang seperti lebih banyak konsumsi makan
makanan asin akan memicu masalah vaskuler, kandung natrium pada makanan
asin bersifat merentensi cairan sehingga jantung berusaha menyeleraskan beban
tersebut dengan meningkatkan aktivitas pompa jantung yang akhirnya
menimbulkan meningkatnya tekanan darah. Hasil pengkajian ditemukan 66,7%
lansia memiliki pola makan suka makanan asin dimana 33,3% diantaranya
hipertensi. Kondisi ini harus ditangani dengan baik sejak awal karena tanpa
kebiasaan pola makan tersebutpun lansia akan mengalami peningkatan tekanan
darah akibat penuaan salah satunya tidak elastisnya pembuluh darah (Mauk,
2010). Apabila kondisi ini tidak ditangani segera maka akan menimbulkan
masalah berikutnya, yaitu hipertensi yang dapat memicu terjadinya demensia
vaskuler (Downs &.Bowers, 2008; Steele, 2010; Videbeck, 2013). Pemeliharaan
kesehatan secara dini merupakan pencegahan yang tepat untuk mengatasi masalah
kognitif.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
89
Kondisi tersebut di atas bertentangan dengan hasil survey WHO (2013) pada 41
negara menunjukkan bahwa kasus demensia lebih banyak pada wilayah dengan
pendapatan menengah ke atas kemudian menengah ke bawah dan pendapatan
tinggi. Penulis berpendapat bahwa kedua pendapat ini benar karena ekonomi yang
rendah menimbulkan masalah ketidakadekuatan nutrisi ke otak sehingga
menimbulkan masalah kognitif, tetapi lansia dengan kecukupan gizi akan
memiliki usia harapan hidup lebih lama sehingga proses penuaan pada sistem
neurobiologi tidak dapat terhindari dan menjadi faktor risiko masalah kognitif.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
90
Hasil pengkajian ada 33,3% lansia memiliki riwayat merokok, hal ini merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya masalah kognitif seperti konfusi kronis pada
lansia demensia. Merokok pada lansia dapat mengakibatkan kerusakan kognitif
dan berisiko mengalami demensia karena adanya deposit amyloid-β sehingga
adanya plak yang mempengaruhi proses pikir, selain itu kandungan bahan kimia
dalam rokok menimbulkan masalah kesehatan lain yang dapat berlanjut pada
demensia seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, stroke. Hasil meta analysis
pada 26.374 partisipan dilaporkan 70% lebih kejadian demensia meningkat pada
perokok dibanding mereka yang tidak merokok, hal ini terjadi karena pada
tembakau rokok terkandung ratusan neurotoxin yang berkontribusi terhadap
oxidasi strss, proses inflamasi. Kandungan nikotin pada rokok meningkatkan
resisten insulin dan tidak mampu bekerja maksimal sehingga menimbulkan
masalah diabetes dan secara progresif menimbulkan kerusakan kognitif ringan
secara bertahap. Merokok dapat meningkatkan kejadian stroke karena
terganggunya vaskular, diperikirakan 1 dari 10 pasien mengalami demensia pada
serangan awal stroke (ASH-Scotland, 2013).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
91
menurun. Kehilangan yang ada tersebut merupakan proses alamiah yang harus
dihadapi oleh lansia, namun apabila lansia memiliki kepribadian maka ia tidak
cukup kuat menghadapi semua akumulasi kehilangan tersebut sehingga dapat
menimbulkan frustasi yang berujung pada depresi. Penanganan depresi yang
kurang tepat pada akhirnya lansia berisiko mengalami masalah kognitif
(Alzheimer’society, 2014).
5.2 Proses
Proses keperawatan yang dilaksanakan mengacu pada model adaptasi Roy adalah
sebagai berikut :
5.2.1. Proses Kontrol
5.2.1.1 Regulator
Respon fisiologis pada lansia yang mengalami konfusi kronis yaitu tidak ada
penurunan kesadaran,hal inilah yang membedakan antara konfusi kronis dan
konfusi akut (NANDA, 2012). Mudah lelah 83,3% hal ini sesuai dengan
pernyataan bahwa lansia demensia akan merasa mudah lelah CPM Resourse
Center, 2011). Respon lainnya berdasarkan hasil pengkajian adalah penampilan
tidak rapi 11 orang (91,7%) hal ini relevan dengan teori yang disampaikan Steele
(2010) bahwa lansia yang mengalami masalah kognitif akan kesulitan melakukan
perawatan diri secara mandiri (Steele, 2010). Lansia demensia yang mengalami
kebingungan akan mengalami hambatan dalam mengambil keputusan perawatan
diri sehari-hari yang akan dilakukan sehingga tampak jelas penampilan klien tidak
rapih seperti biasanya.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
92
5.2.1.2 Kognator
Mekanisme koping menggunakan pendekatan modus, yaitu modus konsep diri,
interdependensi dan fungsi peran.
Respon lainnya lansia tidak mampu mengambil keputusan ada 75% sehingga ia
secara pribadi kesulitan menentukan kebutuhan perawatan yang diinginkan.
Kebingungan yang mereka alami ini dimanifestasikan juga melalui respon afektif
yaitu afek yang labil, mudah marah dan mudah cemas. Berdasarkan hasil
pengkajian pada lansia yang dirawat di Ruang Saraswati menunjukkan bahwa
seluruh lansia (100%) memiliki afek labil (fluktuasi emosi yang naik turun dan
berubah-ubah), respon mudah cemas dan mudah marah 83,3%. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Downs dan Bowers (2008) bahwa lansia demensia memiliki
emosi labil, sensitif sehingga mudah mengekspresikan kemarahan atau rasa
cemasnya terhadap sesuatu. Respon afektif ini terkadang tidak sesuai dengan
kepribadian klien sebelum sakit dan membuat keluarga menjadi kebingungan
menghadapi respon tersebut.Sedangkan sumber koping pada diri lansia sebagai
efektor mode adaptif dari respon kognitif dan afektif inipun kurang dimana
mereka 83,3% kebanyakan kebingungan mengungkapkan kenyakinan tentang
penyakit yang dialami karena daya tilik diri yang kurang.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
93
2) Fungsi peran
Fungsi peran erat kaitannya dengan respon sosial individu terhadap stessor yang
mereka hadapi. Berdasarkan hasil pengkajian respon sosial lansia yang mengalami
konfusi kronis yaitu menarik diri dan acuh terhadap lingkungan 91,7%. Keadaan
ini berkaitan erat dengan rendahnya kemampuan orientasi dan ketidakmampuan
fokus (Stuart, 2011, Mauk, 2006). Interaksi sosial terhambat karena pada saat
mereka memulai interaksi dengan orang lain mereka tidak mampu menyampaikan
sesuatu dengan baik, ia sering mengulang kata-kata sehingga orang lain tidak
mengerti pesan yang disampaikan ( APA, 2000 dalam Videbeck, 2011).
Mengatasi hal ini dibutuhkan mode efektor sosial berupa sumber koping sosial
baik dukungan dari keluarga, kelompok maupun masyarakat. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga cukup besar yaitu 66,7% tetapi
sayangnya mereka tidak mampu melakukan perawatan karena terbatasnya
pengetahuan tentang masalah konfusi kronis, sedangkan 33,3% tidak ada
dukungan. Berdasarkan fakta ini perawat akan memaksimalkan sumber dukungan
perawatan yang melibatkan keluarga supaya mereka berpartisipasi dan terlibat
perawatan sehingga nantinya dapat melakukan perawatan lanjutan di rumah.
Sumber koping lainnya yaitu ketersediaan aset materil seperti jaminan kesehatan
100% sudah dimiliki sehingga biaya perawatan nantinya tidak akan menambah
stressor klien dan keluarganya. Ketersediaan dukungan ekonomi ini membantu
klien dalam mendapatkan pengobatan yang baik. Penggunaan jaminan kesehatan
masyarakat seperti Jamkesmas/Jamkesda untuk biaya perawatan dan pengobatan
selama di RS terbukti sangat membantu klien dan keluarga. Perawatan dan
pengobatan yang gratis hendaknya meningkatkan motivasi klien dan keluarga
untuk menuntaskan pengobatan.
3) Interdependensi
Respon perilaku yang ditampilkan lansia dengan konfusi kronis yang dialami
seluruh lansia (100%) adalah pekerjaan tidak tuntas, tergantung dengan orang
lain, sering mengeluh. Fakta ini relevan dengan teori yang disampaikan oleh
WHO (2013) bahwa lansia dengan penurunan memori akan kesulitan melakukan
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
94
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
95
bahwa dirinya sakit ada 8 orang 34,78%. Supresi merupakan koping maladaptif
yang mengakibatkan klien selalu terbeban dengan setiap masalah yang selalu
terakumulasi tanpa ada penyelesaian yang menimbulkan frustasi maka dalam
intervensi keperawatan selalu mengawali dengan membina hubungan saling
percaya supaya nanti klien bersedia membuka diri dan mengkomunikasi masalah
yang dialami. Koping regresi dan denial relevan dengan teori yang disampaikan
dalam model adaptasi stres Stuart sebagai koping maladaptif dalam rentang
respon kognitif (Stuart, 2013). Klien berperilaku seperti perkembangan masa
kecil ketika menghadapi masalah dengan menangis sampai ngompol di celana saat
keinginannya tidak terpenuhi dan mereka menolak keadaan yang mereka alami,
dimana saat mereka sering lupa meletakkan suatu benda ia mengatakan bahwa
dirinya tidak apa-apa dan menolak bantuan orang lain untuk mengatsi
masalahnya. Oleh karena itu, perawat berusaha menumbuhkan kesadaran melalui
pendekatan persuasif dengan memberi kesemapatnlasia terlebih dahulu
menyampaikan potensi yang dimiliki kemudian mendiskusikan permasalahan dan
solusinya sehingga mereka merasa nyaman dan tidak didikte.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
96
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
97
dengan hasil penelitian yang dilakukan Sung, Chang, S., Lee & Lee (2006) yang
menunjukkan bahwa intervensi musik 2 minggu sekali selama 4 minggu
perawatan bermanfaat dalam mengelola perilaku gelisah lansia demensia.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
98
Hasil penelitian laninnya oleh Andrén, dan Elmståhl (2008) menunjukkan bahwa
intervensi psikososial 5 sesi konseling setiap minggu selama 3 bulan pada 153
caregiver klien demensia menunjukkan bahwa meningkatnya dukungan
perawatan klien di rumah dan penundaan perawatan di institusi lansia selama 6
bulan. Oleh karena itu penerapan Psikoedukasi ini relevan dengan teori yang
disampaikan Carson (2000) bahwa melalui psikoedukasi ini keluarga mendapat
informasi dan berlatihan secara efektif mengatasi stress dan krisis yang dialami
sehingga mampu memberikan dukungan perawatan pada lansia dengan konfusi
kronis.
5.3 Output
Tahap selanjutnya dalam konsep Model Adaptasi Roy adalah output yaitu
kelanjutan dari proses input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
99
Penurunan tanda dan gejala konfusi kronis pada lansia cukup signifikan setelah
diberikan terapi generalis dan terapi spesialis. Penurunan tanda dan gejala lansia
pada lansia yang mendapat Terapi generalis dan Reminiscence meningkat skor
10 (53,19%), sedangkan lansia yang mendapat Terapi generalis, Reminiscence
dan FPE adanya peningkatan yaitu 14,18 (74,75%). Lansia yang mendapat terapi
generalis, terapi kelompok Reminiscence dan FPE menunjukkan peningkatan
yang lebih baik dengan selisih skor 4,1 dibanding dengan lansia yang hanya
mendapat terapi generalis dan terapi kelompok Reminiscence. Hal ini relevan
dengan hasil penelitian Bharaty, Keliat, Besral (2011) bahwa lansia depresi yang
mendapat terapi Reminiscence dan FPE mengalami penurunan masalah
keperawatan lebih baik dibanding lansia yang hanya mendapat terapi kelompok
Reminiscence. Hal ini sesuai dengan konsep Teori adaptasi Roy bahwa
kemampuan adaptif seseorang tindakan hanya membutuhkan sumber internal pada
diri klien saja namun membutuhkan dukungan eksternal, dimana dalam hal ini
adalah keluarga.
Penurunan tanda dan gejala pada aspek sosial menurun lebih baik pada lansia
lansia yang mendapat terapi generalis dan Terapi Reminiscence maupun Terapi
generalis, Reminiscence dan FPE. Khusus pada lansia yang menerima terapi
generalis dan Reminiscence, aspek sosial menempati urutan pertama. Fakta ini
sesuai dengan hasil penelitian Missesa, Keliat, Wardhani, Putri (2013) yang
menunjukkan bahwa adanya peningkatan kemampuan sosialisasi pada lansia
depresi yang diberikan terapi Reminiscence karena adanya interaksi dalam
kelompok saat lansia membagikan pengalaman yang berkesan dan dibangunnya
suasana yang menyenangkan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
100
Lansia yang mendapat Terapi Reminiscence menurun tanda dan gejala konfusi
kronis pada aspek sosial yaitu 1,4 (77,78%) sedangkan pada lansia yang mendapat
Terapi Reminiscence dan FPE adanya penurunan skor aspek sosial 1,72 (86%)
berarti lebih baik 0,32 point. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang
Schweitzer (2013) menunjukkan bahwa terapi Reminiscence dengan dukungan
caregiver merupakan program perawatan yang dapat meningkatkan kemampuan
lansia demensia salahsatunya peningkatan kemampuan sosial pada klien.
Aspek afektif pada diagnosa keperawatan konfusi kronis menurun pada kedua
kelompok lansia setelah aspek kognitif. Lansia yang mendapat terapi kelompok
Reminiscence terjadi penurunan 1,6 point (66,67%) sedangkan pada lansia yang
menerima terapi Reminiscence dan FPE menurun 2,01 point (87,39%) berarti ada
selisih perbaikan 0,41 point. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Stinson
(2009) Terapi kelompok Reminiscence efektif dilaksanakan kepada lansia yang
mengalami masalah gangguan alam perasaan karena suasana keceriaan dan lansia
dibuat senyaman mungkin menyampaikan pengalamannnya. Selanjutnya hasil
Penelitian Mitchell (2009) menunjukkan bahwa lansia merasakan kegembiraan
saat dilaksanakan terapi reminiscence, meningkatkan koping mengatasi masalah
saat ini serta peningkatan kepercayaan diri. Mengingat efek positif terapi ini
meningkatkan mood lansia maka sering juga digunakan pada lansia yang
mengalami depresi, sperti penelitian yang dilakukan Jones (2003) bahwa Terapi
kelompok Reminiscence dapat meningkatkan kepuasan pada lansia depresi dalam
hidup, meningkatkan koping efektif pada masa transisi, meningkatkan integritas
lansia, meningkatkan interaksi sosial, meningkatkan kepercayaan diri, membantu
lansia.
Tanda dan gejala konfusi kronis pada aspek afektif menempati urutan pertama
dibanding aspek lainnya pad lansia yang menerima terapi generalis, Reminiscence
dan FPE. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Patriyani (2009) bahwa dukungan
psikologis merupakan dukungan keluarga yang dominan berpengaruh terhadap lansia
demensia. Dukungan psikologis membuat klien merasa nyaman sehingga emosi yang
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
101
tadinya tidak terkontrol secara tidak langsung dapat diredam melalui stimulus
lingkungan positif berupa support keluarga selama lansia menajalani perawatan.
Tanda dan gejala pada aspek fisiologis pada diagnosa keperawatan konfusi kronis
menurun pada kedua kelompok lansia. Lansia yang mendapat terapi generalis dan
kelompok Reminiscence terjadi penurunan skor yaitu 1 (60%), sedangkan pada
lansia yang menerima terapi Reminiscence dan FPE menurun skor 1,15 (73,25%)
berarti ada selisih skor perbaikan 0,15. Hal ini relevan dengan pernyataan Downs,
dan Bowers (2008) bahwa kondisi fisik lansia akan lebih baik seiring dengan
perawatan yang melibatkan partisipasi keluarga. Konsep adaptasi Roy
menjelaskan bahwa manusia sebagai sistem akan berusaha mempertahan
homeostasis tubuh melalui stimulus positif yang diterimanya.
Aspek perilaku pada diagnosa keperawatan konfusi kronis menurun pada kedua
kelompok lansia. Lansia yang mendapat terapi kelompok Reminiscence terjadi
penurunan 4 point (66,67%), sedangkan pada lansia yang menerima terapi
Reminiscence dan FPE menurun 2,33 point (43,37%) berarti ada selisih perbaikan
1,67 point. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Bharaty, Keliat, Besral (2011)
yang menunjukkan bahwa pada lansia depresi yang diberikan terapi Reminiscence
dan FPE menunjukkan peningkatan kualitas hidup karena kemampuan klien
meningkat seperti kemampuan perawatan diri, ketergantungan penuh menurun
dan mampu melakukan pekerjaan sederhana sesuai kemampuannya.
Tanda dan gejala diagnosa keperawatan konfusi kronis pada aspek kognitif
mengalami penurunan setelah diberikan asuhan keperawatan. Pada lansia
mendapat Terapi Reminiscence menurun 3,8 point (38%), sedangkan pada lansia
yang menerima terapi Reminiscence dan FPE menurun 4,58 point (45,8%) berarti
ada selisih perbaikan 1,67 point. Selanjutnya hasil evaluasi MMSE pada lansia
mendapat asuhan keperawatan terjadi peningkatan dari kondisi sebelumnya. Pada
lansia yang mendapat Terapi Reminiscence dan FPE menunjukkan peningkatan
yaitu 3,43 point sedangkan pada lansia yang mendapat Terapi Reminiscence saja
meningkat 3,20 point, berarti ada selisih 0,23. Hal ini relevan dengan hasil
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
102
penelitian yang dilakukan Gibson, Haight dan Michel dalam Innes dan McCabe
(2007) menunjukkan bahwa 14 lansia dari 30 lansia yang diberikan intervensi
Terapi Reminiscence dengan kombinasi life review menggunakan storybook
(buku riwayat hidup) menunjukkan hasil yang signifikan yaitu peningkatan
MMSE 3,36 point. Hasil penelitian relevan dengan hasil asuhan yang penulis
lakukan bahwa Terapi Reminiscence dengan berbagai stimulus pancaindera
ditambah peran serta keluarga memberikan dampak positif pada perkembangan
kognitif lansia.
Nilai pengukuran MMSE pada kedua kelompok lansia apabila dicermati lebih
lanjut ada selisih lebih baik pada lansia yang menerima terapi generalis,
Reminiscence dan FPE, namun masih kurang signifikan karena selisih 0,23.
Penulis berpendapat bahwa hasil asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia
dengan kombinasi terapi keperawatan seharusnya memiliki nilai significan lebih
dari apa yang telah disajikan. Mean skor MMSE pada lansia yang menerima tiga
terapi keperawatan memiliki kesejangan data yang besar antara nilai minimum
dan nilai maksimum karena salah satu lansia hanya mampu progress 1 skor
mengingat kondisi fisiknya yang lemah dan adanya masalah organik otak yang
tidak bisa terkoreksi dengan baik.
Keberhasilan perawatan tidak hanya dinilai dari segi penurunan tanda dan gejala
karena hal tersebut dapat berubah secara fluktuatif mengingat kondisi klien yang
cukup rentan. Namun dinilai juga dari peningkatan kemampuan klien dan
keluarga. Peningkatan kemampuan klien meningkat dengan baik khususnya lansia
yang mendapat terapi kombinasi terapi kelompok Reminiscence dan FPE. Pada
hasilnya terjadi peningkatan kemampuan keluarga mencapai 100% pada 7
keluarga yang menjadi caregiver ini dimana ini menjadi bekal melakukan
perawatan lanjutan di rumah mengingat penyakit konfusi kronis ini membutuhkan
waktu perawatan yang tidak singkat, bahkan tidak hanya caregiver saja yang
bersemangat tapi anggota keluarga lainnya. Hal ini sesuai dengan budaya positif
di Indonesia yang masih mengedepan nilai pengadian terhadap orangtua. Penulis
menyimpulkan bahwa hasil yang diharapkan sudah efektif dan membuat klien dan
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
103
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
104
antara anggota kelompok, dan juga pertimbangan terhadap issue yang dipilih, juga
mencegah terjadinya krisis dimasa depan dengan mengajarkan peserta cara yang
efektif untuk mengatasi stress emosional yang timbul dari krisis situasional atau
krisis perkembangan(Townsend, 2014). Situasi krisis yang dialami klien dan
keluarga klien yang mengalami demensia khususnya diagnosa keperawatan
konfusi kronis dapat terbantu melalui terapi suportif ini.
Hasil penelitian pada klien yang memiliki masalah kesehatan jiwa yang bersifat
kronis menunjukkan bahwa Terapi suportif terbukti efektif yaitu hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hernawaty, Keliat, Hastono & Helena (2009) tentang
pengaruh terapi supportif keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat
klien gangguan jiwa. Selanjutnya hasil penelitian terkait terapi kelompok SHG
yaitu menunjukkan hasil yang bermakna terhadap peningkatan kemampuan
keluarga dengan dalam merawat nggota keluarga klien dengan gangguan jiwa di
Kelurahan Sindangbarang Bogor (Utami, Keliat & Farida, 2008). Penulis
menyimpulkan bahwa untuk pencapaian integritas diri lansia dengan konfusi
kronis dengan kemampuan adaptif optimal sesuai konsep adaptasi Roy maka
dilakukan umpan balik dan diberikan intervensi keperawatan berkelanjutan baik
terapi yang sama atau kombinasi terapi keperawatan jiwa yang terbukti efektif
seperti terapi supportif dan terapi SHG.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis akan menyimpulkan hasil penyusunan Karya Imiah Akhir
beserta saran bagi berbagai pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan praktik
klinik keperawatan jiwa ditatanan pelayanan kesehatan jiwa.
6.1 Kesimpulan
Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan manajemen
kasus spesialis pada lansia dengan diagnosa keperawatan konfusi kronis di
Saraswati Rumah Sakit Jiwa DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor dengan
menggunakan pendekatan model adaptasi Roy. Kesimpulan yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
6.1.1 Stimulus fokal merupakan kondisi kesehatan klien saat ini secara fisik
yaitu penuaan diagnosa medis Demensia, putus obat, penyakit hipertensi,
nutrisi tidak adekuat. Secara psikologis terbanyak adalah kekecewaan
dengan lingkungan (teman, tetangga, perubahan lingkungan tempat
tinggal). Sumber permasalahan pada lansia seluruhnya merupakan
kombinasi faktor internal dan eksternal. Lama klien terpapar stressor
sebagian besar lebih dari 6 bulan.
6.1.2 Stimulus kontekstual berupa data demografi yaitu usia 60 tahun ke atas
lebih banyak pada kelompok usia 60-74 tahun, jenis kelamin perempuan,
latar belakang pengalaman tidak bekerja, latar belakang pendidikan rendah
(SD atau sederajat) dan lansia dengan pendidikan menengah (SMP atau
sederajat). Status pernikahan duda/janda, suku budaya Sunda.
hipertensi, lansia tidak pernah atau jarang melakukan olahraga serta lansia
memiliki riwayat merokok.
6.1.5 Koping mekanisme yang digunakan lansia dengan konfusi kronis sebagian
besar klien memendam masalah, diam (supresi) dan regresi dan melakukan
penolakan (denial).
6.1.8 Terapi generalis dan Reminiscence tepat diberikan pada lansia demensia
dengan diagnosa keperawatan konfusi kronis yang dominan tanda dan
gejala pada aspek sosial.
6.1.9 Terapi generalis, Reminiscence dan FPE tepat diberikan pada lansia
demensia dengan diagnosa keperawatan konfusi kronis yang dominan
tanda dan gejala pada aspek afektif.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
107
6.2 Saran
Saran bagi pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan
jiwa khususnya di ruang Saraswati antara lain adalah:
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
108
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
109
Universitas Indonesia
Manajemen kasus ..., Missesa, FIK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists And Their Work 8th Edition. St. Louis,
Missouri : Elsevier Mosby.
Bharaty, E.B.S.., Keliat, B.A., Besral. (2011). Pengaruh Terapi Remniscence Dan
Psikoedukasi Terhadap Kondisi Depresi Dan Kualitas Hidup Lansia Tahun
2011. Tesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
Bickel, H., Kurz, A. (2009). Education, Occupation, and Dementia: The Bavarian
School Sisters Study. Dementia and Geriatric Cognitive Disorders 27.6 (Jul
2009): 548-56.
Chien, W.T., Chan, S.W.C., and Thompson, D.R. (2006). Effect Of A Mutual
Support Group For Families Of Chinese People With Schizophrenia: 18
Months Follow Up. Http;//bip.rcpsych.org.
Doenges, M.E, Townsend, M.C dan Moorhouse, M.F. (2006). Nursing Care
Plans: Guidlines for Individualizing Client Care Across The Life Span.
Philadelphia: F.A Davis Company.
Friedman, M., Bowden, V.R., Jones, E.G. (2003). Family Nursing Research,
Teory and Practice. New Jersey : Prentice Hall.
Hernawaty, T., Keliat, B.A., Hastono, S.P., dan Helena, N.C.D. (2009). Pengaruh
Terapi Supportif Keluarga Terhadap Kemampuan Keluarga Merawat Klien
Gangguan Jiwa di Kelurahan Bubulak Bogor Utara. Tesis. Jakarta :
Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Hill, T.D., Burdette, A.M, Angel., J.L., (2006). Religious Attedance and Cognitive
Among Older Mexican Americans. Jurnal Gerontology B Psychol Sci Soc
Sci2006- 6191):P3-9.
Hunt. (2004). A Resourse Kit For Self Help Support Groups for People Affected
by An Eating Disorder. Http;//www.medhelp.org/njgroups/volunteer-
Guide.pdf.
Jones, E.D. (2003). Reminiscence Therapy For Older Women With Depression:
Effects Of Nursing Intervention Classification In Assisted-Living Long-Term
Care. Journal of gerontological Nursing, Juli 2003.
http://proquest.nursing&allied health sourse.com.
Karp, A., Andel, R., Parker, M. G., Wang, H., Winblad, B et al. (2009). Mentally
Stimulating Activities at Work During Midlife and Dementia Risk After Age
75: Follow-Up Study From the Kungsholmen Project. The American
Journal of Geriatric Psychiatry 17.3 (Mar 2009): 227-36.
LaBate, K. L., , (2012). The Effects of Dementia Education on the Quality of Care
in Nursing Homes. http://proquest.umi.com.
Lavretsky, H., Siddarth, P., Irwin, M.R. (2010). Improving Depression and
Enhancing Resilience in Family Dementia Caregivers: A Pilot Randomized
Placebo-Controlled Trial of Escitalopram. The American Journal of
Geriatric Psychiatry. 18.2 (Feb 2010): 154-62.
Pendlebury, S.T and Rothwell, P.M. (2009). Prevalence, Incidence And Factors
Associated With Pre-Stroke And Post-Stroke Dementia : A Systematic
Review And Meta-Analysis. Http://www.thelancet.com/neurology vol 8.
Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Buletin
Lansia Edisi 1. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Maryam dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Melillo, K.D. & Houde, S.C. (2011). Geropsychistric and Mental Health Nursing
Scond Edition. Sudbury: Jones & Barlett Learning.
Missesa, Keliat, B.A., Wardhani, I.Y. Putri, Y.S.E. (2013). Pengaruh Terapi
Kelompok Reminiscence dan Life Review terhadap Depresi pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Tangkiling Kota Palangka Raya. Tesis. Jakarta
: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Mace, N. L., & Rabins, P. V. (2006). The 36-hour day: A family guide to caring
for people with Alzheimer's disease, other dementias, and memory loss in
later life (4th ed.). Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.
Mitchell, S.F. (2009). Life Review Theraphy: A Prevention Program For Elderly
Who Are Expereiencing Life Transitions. Proquest Dissertation & Theses
(PQDT). http://proquest.umi.com, diperoleh 20 Desember 2012.
Nurbani, Keliat, B.A., Wardhani, I.Y. Putri, Y.S.E. (2013). Pengaruh Terapi
Kelompok Reminiscence dan Life Review terhadap Depresi pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Tangkiling Kota Palangka Raya. Tesis. Jakarta
: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Ravaglia, G., Forti, P., Maioli, F., Bastagli, L., Montesi, F., et al. (2007).
Endogenous Sex Hormones as Risk Factors for Dementia in Elderly Men
and Women. The Journals of Gerontology 62.9 (Sep 2007): 1035-41.
Shamy, E. (2003). A Guide to The Spiritual Dimension of Care for People with
Alzheimers’s Disease and Related Dementia : More than Body, Brain and
Breath. London and New York : Jessica Kingsley Publishers.
Steele, C. (2010). Nurse to Nures Dementia Care : Expert Intervention. USA: The
McGraw-Hill Companies.
Sung, H., Chang, S., Lee, W., Lee M. (2006). The Effects of Group Music in
Movement intervention on agitated behaviors of instituonalized elders with
dementia in Taiwan. Complementary Therapies in Medicine 14.2 (Jun
2006): 113-9.
Tomey, M.A (2010), Nursing Theories and Their Work, The C.V. Mosby
Company St. Louis: Mosby Years Book Inc.
Touhy, T.A and Jett, KF.. (2010). Ebersole And Hess’ Gerontological Nursing
Healthy Aging 3rd Edition. St Louis, Missouri :Saunders Elsevier.
Utami,T.W., Keliat, B. A., dan Farida , P. (2008). Pengaruh Self Help Group
Terhadap kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di
Kelurahan Sindangbarang, Bogor. Tesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Vernooij-Dassen, M., Joling, K., Van Hout, H., Mittelman, M.S. (2010). The
process of family-centered counseling for caregivers of persons with
dementia: barriers, facilitators and benefits. International Psychogeriatrics
22.5 (Aug 2010): 769-77.
Word Health Organization (WHO). (2014). Mental Health Action Plan 2013-
2014.. Http://site.ebrary.com/id/10265303?ppg=6