You are on page 1of 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

HIV AIDS

HALAMAN JUDUL

Oleh:

Maria Ulva
NIM.14201.09.17146

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN
ZAINUL HASAN GENGGONG
PROBOLINGGO
2019
BAB I

PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired


ImmunodeficiencySyndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit
mematikan di dunia yangmenjadi wabah internasional sejak
pertama kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk,2011). Penyakit ini
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksivirus
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem
kekebalan tubuh (Kemenkes, 2015).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab
penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dengan
cara menyerang sel darah putih sehingga dapat merusak sistem
kekebalan tubuh manusia. Kasus HIV/AIDS merupakan fenomena
gunung es, dengan jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan yang sebenarnya. Hal ini terlihat dari jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat
secara signifikan. Di seluruh dunia, setiap hari diperkirakan sekitar
2000 anak di bawah 15 tahun tertular HIV dan sekitar 1400 anak di
bawah usia 15 tahun meninggal dunia, serta menginfeksi lebih dari
6000 orang berusia produktif (Purwaningsih, 2008).

Penyakit AIDS diartikan sebagai sekumpulan gejala yang


menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang
diakibatkan oleh faktor luardan sebagai bentuk paling hebat dari
infeksi HIV, mulai dari kelainan ringandalam respon imun dan tanpa
gejala yang nyata, hingga keadaan imunosupresi yang berkaitan
dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian
(Padila,2012).
Proporsi orang yang terinfeksi HIV, tetapi tidak mendapat
pengobatan anti HIV dan akhirnya akan berkembang menjadi AIDS
diperkirakan mencapai lebih dari90%. Karena tidak adanya
pengobatan anti HIV yang efektif, Case Fatality Ratedari AIDS
menjadi sangat tinggi, kebanyakan penderita di negara
berkembang (80-90%) mati dalam 3 sampai 5 tahun sesudah di
diagnosa terkena AIDS (Kunoloji,2012).
Penyebaran HIV/AIDS tidak mengenal umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan daerah
tempat tinggal penderitanya (Tangadi,1996 & Budiharto,1997 dalam
Desima,2013). Laporan dari Joint United Nations Programme on
HIV and AIDS atau UNAIDS pada tahun 2015 terdapat 2,1 juta
infeksi HIV baru diseluruh dunia, yang banyak tersebar di wilayah
afrika dan asia. Data ini menambah total penderita HIV menjadi
36.7 juta dan penderita AIDS sebanyak 1,1 juta orang (UNAIDS,
2016).
Infeksi HIV/AIDS menular melalui cairan genitalia (sperma dan
cairan vagina) penderita dan masuk ke orang lain melalui jaringan
epitel sekitar uretra, vagina dan anus akibat hubungan seks bebas
tanpa kondom, heteroseksual atau homoseksual. Ibu yang
menderita HIV/AIDS sangat beresiko menularkan HIV ke bayi yang
dikandung jika tidak ditangani dengan kompeten (Nursalam.2011).
Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap AIDS biasa disebut
dengan ODHA. Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko
mengalami Infeksi Oportunistik atau IO. Infeksi Oportunistik adalah
infeksi yang terjadi karena menurunnya kekebalan tubuh seseorang
akibat virus HIV. Infeksi ini umumnya menyerang ODHA dengan
HIV stadium lanjut. Infeksi Oportunistik yang dialami ODHA dengan
HIV stadium lanjut menyebabkan gangguan berbagai aspek
kebutuhan dasar, diantaranya gangguan kebutuhan oksigenisasi,
nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas kulit dan sosial
spritual. Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi
diare, nyeri kronis pada beberapa anggota tubuh, penurunan berat
badan, kelemahan, infeksi jamur, hingga distres dan depresi
(Nursalam,2011).
Penyakit HIV AIDS juga memunculkan berbagai masalah
psikologis seperti ketakutan, keputusasaan yang disertai dengan
prasangka buruk dan diskriminasi dari orang lain, yang kemudian
dapat menimbulkan tekanan psikologis (Green Setyowati 2004
dalam Arriza, Dkk. 2013). Menurut Nursalam (2011) jika ditambah
dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada
pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS,
bahkan meningkatkan angka kematian.
Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV AIDS
untuk memperthankan kekuatan tubuh, mengganti kehilangan
vitamin dan mineral, meningkatkan fungsi sistem imun dan
kemampuan tubuh untuk memerangi penyakit dan juga
meningkatkan respon terhadap pengobatan. Namun pasien HIV
dan AIDS seringkali tidak mengkonsumsi makanan dalam jumlah
yang cukup karena beberapa sebab diantaranya adanya lesi oral,
mual, muntah kelelahan dan depresi membuat ODHA menurun
nafsu makannya (Nursalam, 2011).

I.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah penelitian


adalah bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan HIV
AIDS
I.3 TUJUAN

I.3.1 UMUM

Tujuan umum penelitian adalah mendeskripsikan asuhan


keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS

I.3.2 KHUSUS

a. Mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada pasien


dengan HIV AIDS

b. Mendeskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pada pasien


dengan HIV AIDS

c. Mendeskripsikan rencana keperawatan atau intervensi pada


pasien dengan HIV AIDS

d. Mendeskripsikan tindakan keperawatan atau implementasi pada


pasien dengan HIV AIDS

e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada pasien dengan HIV


AIDS

I.4 MANFAAT

1. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengalaman yang


berharga bagi peneliti dari aspek aplikatif dan sebagai wujud
aplikatif mata ajar riset keperawatan tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pustaka atau
referensi dalam pembuatan atau pengaplikasian asuhan
keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS

3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pembanding untuk


penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.I PENGERTIAN

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan


penyakit kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus
HIV tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi
HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-
sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan
sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya
infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang
dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu
yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine,
2012).

Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut


Sylvia dan Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun
2000 untuk pelaporan tingkat nasional, mengombinasikan infeksi
HIV dan AIDS dalam satu definisi kasus. Pada orang dewasa ,
remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih, definisi kasus
surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria
laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).

Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif


berulang terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi
dengan uji suplementer (misal,ELISA, dikonfirmasi dengan uji
Western blot) atau hasil positif atau laporan terdeteksinya salah
satu uji nonantibodi atau virologi HIV: uji antigen p24 HIV dengan
pemeriksaan netralisis, biakan virus HIV, deteksi asam nukleat
(RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase atau
RNA HIV-1 plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada masa
perinatal).

Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang


didasarkan pada daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam
rekam medis oleh dokter atau penyakit-penyakit yang memenuhi
kriteria yang tercakup dalam definisi kasus untuk AIDS. Kriteria
untuk definisi kasus AIDS adalah :

a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :

1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau

2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang


kategori klinis, simtomatik atau asimtomatik

b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :

1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru

2) Kondidiasis esofagus

3) Kanker serviks, invasif


4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu

5) Kriptokokus, ekstraparu

6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)

7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer


getah bening)

8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\

9) Ensafalopati, terkait HIV

10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau
bronkitis, pneumonitis, esofagitis

11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu

12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)

13) Sarkoma Kaposi (SK)

14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)

15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)

16) Limfoma, primer, otak

17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,


diseminata atau ektra paru

18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau


ekstraparu

19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum


teridentifikasi, diseminata atau ekstraparu

20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)

21) Pneumonia, rekuren


22) Leukoensefalopati multifokus progresif

23) Septikemia salmonela, rekuren

24) Toksoplasmosis otak

25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV

II.2 ETIOLOGI

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh


Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada
manusia yang termasuk dalam keluarga lentivirus (termasuk pula
virus imunodefisinsi pada kucing, virus imunodefisiensi pada kera,
visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada kuda).
Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan
secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi
dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1
berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang
padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari
membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid
utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA
genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan
integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV
mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf,
misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta
perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011) Menurut
Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam
cara penularan, yaitu :

a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS Hubungan sesual


secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsusng, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat
mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV
yang tedapa dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah
(PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ). Selama berhubungan
juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut
yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah
pasangan seksual

b. Ibu pada bayinya Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat
kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika,
prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai
7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan
mencapai 50% (PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi
dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.(Lili V, 2004
dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses melahirkan,
semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS
dan STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi
selam periode post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular
melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat


menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah
dan menyebar ke seluruh tubuh.

d.Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril Alat pemeriksaan


kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi
HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak
terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang
tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV

e. Alat-alat untuk menoreh kulit Alat tajam dan runcing seperti


jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato,
memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab
alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian Jarum suntik yang


digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh
para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat
berpotensi menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para
pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat
penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. HIV tidak menular
melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan
hubungan sosial yang lain.

II.3 PATOFISIOLOGI

Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik


dipahami dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara
HIV dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang
mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1)
fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap menengah;
dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang
imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang
secara khas merupakan penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi
pada 50% hingga 70% dari orang deawasa selama 3-6 minggu
setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu
nyeri tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang
meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus
dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada
jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan
berkurangnya sel T CD4+. Namum segera setelah hal itu terjadi,
akan muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang
dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3
hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T
sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia
mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun,
berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam
makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.

Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap


penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun
masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun.
Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita
limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami
infeksi oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes
zoster selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus
berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan
kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan
regenerasi sistem imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam
jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan sel CD4+ dalam
darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati
periode yang panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai
berkurang, jumlah sel CD4+ mulai menurun, dan jumlah sel CD4+
hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat. Limfadenopati
persisten yang disertai dengan kemunculan gejala konstitusional
yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset
adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus,
dan onset fase “krisis”.

Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran


ppertahanan penjamu yang sangat merugikan peningkatan viremia
yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan
mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan
berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500
sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien
mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder,
dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang
menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah
menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim
yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang
digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi
HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL
sebagai pengidap AIDS.

II.4 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit


AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai setiap
sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan
penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek
langsung HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi
pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV berat yang paling
sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek,
sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan
menyertai berbagai infeksi oportunistik seperti yang disebabkan
oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI), sitomegalovirus
(CMV) dan Legionella.

b. Gastrointerstinal

Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup


hilagnya selera makan, mual, vomitus, kondisiasis oral, serta
esofagus, dan diare kronis

c. Kanker

Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan


HIV yang paling sering ditemukan merupakan penyakit yang
melibatkan lapisan endotel pembuluh darah dan limfe.

d. Neurologik

Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS.


Hiv ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak maupun
cairan serebrospinal pasien-pasien ADC (AIDS dementia
complex). Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif,
pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.

e. Struktur integrumen

Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik


serta malignansi yang mendampinginya, Infeksi oportunistik
seperti harpes zoster dan harpes simpleks akan disertai dengan
pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit

II.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi
HIV dibagidalam dua kelompok yaitu :
1). Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1
dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme
immunoassays atau enzyme –linked immunosorbent assay
(ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot
atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk
memperkuat hasil reaktif dari test krining.Uji yang menentukan
perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan
persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang
tidak digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk
evaluasi.
Deteksi antibodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah
terinfeksi HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang
dengan sampel darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan
dengan Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence
Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada
masa jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti
dengan dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil
negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-
1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua
tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut.
Positif palsu dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi
atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer maternal
imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang
anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji
virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG
antibodi terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan
aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau
imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif
harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil
serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji
Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan
protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang
(ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan
bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil
positif palsudan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil
Western blot positifmenunjukkan keberadaan antibodi HIV-1
pada individu dengan usia lebih dari 18bulan.
Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan
lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot.
Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan
berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide
menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif
(reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan
penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk
perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara
bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya
dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.
2). Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus,
tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test
(NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti
DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji
untuk protein kapsid virus (antigen p24)).
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi
dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan
virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan
setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau
untuk antigen spesifik virus.
NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan
untuk diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena
asam nuklet virus mungkin
berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel.
Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR,
menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA
HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif penting dari
progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk
memantau efektivitas terapi antivirus.
Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi
p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu
yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang
digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV
karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen
p24 dari antibodi anti-p24 (Read, 2007).
II.6 PENATALAKSANAAN

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi


Human Immunodeficiency Virus (HIV) (DepKes, 2006). Pengobatan
infeksi HIV dengan anti retroviral digunakan untuk memelihara
fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah
perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan
memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi virus
HIV. Karena replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan progresif
sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi oportunistik,
keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan
yang akhirnya mendorong ke arah kematian (McEvoy, 2004).
Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam 6
golongan berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari :
 Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI)
NRTIs bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse
transcriptase HIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA
virus yang sedang aktif dan menyebabkan terminasi. Obat
golongan ini memerlukan aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi
oleh enzim menjadi bentuk trifosfat. Golongan ini terdiri dari :
Analog deoksitimidin (Zidovudin), analog timidin (Stavudin),
analog deoksiadenosin (Didanosin), analog adenosisn (Tenovir
disoproxil fumarat/TDF), analog sitosin (Lamivudin dan
Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir) (Katzung, 2004).
 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)
NNRTIs bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung pada
situs aktif enzim reverse transcriptase yang menyebabkan
aktivitas polimerase DNA terhambat. Golongan ini tidak bersaing
dengan trifosfat nukleosida dan tidak memerlukan fosforilasi
untuk menjadi aktif. Golongan ini terdiri dari: Nevirapin,
Efavirenz, Delavirdine (Katzung, 2004).
 Protease inhibitors (PIs)
Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-produk gen
Gag-Pol dan Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan
kemudian menjadi partikel yang belum matang . Protease
bertanggung jawab pada pembelahan molekul sebelumnya untuk
menghasilkan protein bentuk akhir dari inti virion matang dan
protease penting untuk produksi virion infeksius matang selama
replikasi. Obat golongan ini menghambat kerja enzim protease
sehingga mencegah pembentukan virion baru yang infeksius.
Golongan ini terdiri dari : Saquinavir, Ritonavir, Nelfinavir,
Amprenavir (Katzung, 2004).
 Fusion inhibitors (FIs)
FIs menghambat masuknya virus ke dalam sel, dengan cara
berikatan dengan subunit gp 41 selubung glikoprotein virus
sehingga fusi virus ke sel target dihambat. Obat golongan ini
terdiri dari : Enfuvirtide (T-20 atau pentafuside).
 Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di
permukaan sel CD4 dan mencegah perlekatan virus HIV dengan
sel pejamu. Golongan ini terdiri dari : Maraviroc, Aplaviroc,
Vicrivirox (Tsibris, 2007).
 Integrase strand transfer inhibitors (INSTI)
Bekerja dengan cara menghambat penggabungan sirkular DNA
(cDNA) virus dengan DNA sel inang (hospes). Golongan ini
terdiri dari : Raltegravir dan elvitegravir (Evering H, 2008).

Terapi tunggal ARV menyebabkan kemunculan cepat mutan HIV


yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat antiretroviral
merupakan strategi yang menjanjikan secara klinik, ditunjuk
sebagai terapi antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi
ini mempunyai target multi langkah pada reflikasi virus sehingga
memperlambat seleksi mutan HIV. Tetapi HAART tidak dapat
menyembuhkan infeksi HIV, karena virus menetap pada reservoir
yang berumur panjang pada sel-sel yang terinfeksi, termasuk sel T
CD4 memori, sehingga ketika HAART dihentikan atau terdapat
kegagalan terapi , produksi virus kembali meningkat (Jawetz,
2005).
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

III.I PENGKAJIAN

1.Pengkajian

a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status
kawin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis,
No. MR
b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi
respiratori ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama
lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu, demam yang
berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu
bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan
lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut
dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida Albicans,
pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh,
munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien
HIV AIDS adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak
(dispnea) bagi pasien yang memiliki manifestasi respiratori,
batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan mengeluhkan
mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama.
Adanya riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan seks
bebas atau berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS,
terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya
orang tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih lanjut juga
dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga
bekerja di tempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja
Seks Komersial).
2. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi,
ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang
lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien
biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.
c. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan
mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu
singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
d. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus
berdarah.
e. Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur
mengalami gangguan karena adanya gejala seperi demam dan
keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga
didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
f. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan
aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang
menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan
kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi
tubuh yang lemah.
g. Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah,
cemas, depresi, dan stres.
h. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan
pengecapan, dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya
mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi,
kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
i. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran
yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien
merasa malu atau harga diri rendah.
j. Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas,
gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya
waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang kronik, perasaan
tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi
psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang kontruksif dan
adaptif.
k. Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya
terganggu karena penyebab utama penularan penyakit adalah
melalui hubungan seksual.
l. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan
berubah, karena mereka menggap hal menimpa mereka sebagai
balasan akan perbuatan mereka. Adanya perubahan status
kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai dan
kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama
merupakan hal penting dalam hidup pasien.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi
penurunan tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan
coma.
c. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan :Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan
Meningkat
Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena
demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena
dermatitis seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak
ikhterik, pupil isokor, reflek pupil terganggu,
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-
bercakputih seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi
jamur Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran
kelenjer getah bening,
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding
dada pada pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek
(cusmaul), sesak nafas (dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-
tanda lesi (lesi sarkoma kaposi).
n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot
menurun, akral dingin.

III.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penyakit paru obstruksi kronis
b.Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan
neorologis,nansietas, nyeri, keletihan
c. Diare berhubungan dengan infeksi
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan aktif
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan volume cairan aktif, kehilangan berlebihan melalui
diare, berat badan ekstrem, faktor yang mempengaruhi kebutuhan
status cairan: hipermetabolik,
f. Ketidak seimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan diare
g. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan diare,
muntah
h. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor biologis, ketidak mampuan menelan.
s. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra
tubuh
t. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma, gangguan harga diri.
(Nanda Internasional, 2014)

III.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Menajemen jalan nafas
bersihan jalan tindakan keperawatan 1) Posisikan pasien
nafas diharapkan status untuk
Definisi : ketidak pernafasan tidak memaksimalkan ventilasi
mampuan untuk terganggu dengan 2) Buang secret dengan
membersihkan kriteria hasil : memotivasi pasien untuk
sekresi atau 1) Deviasi ringan dari melakukan batuk atau
obstruksi dari kisaran normal frekuensi menyedot lendir
saluran nafas pernafasan 3) Motifasi pasien untuk
untuk 2) Deviasi ringan dari bernafas pelan, dalam,
mempertahankan kisaran normal Irama berputar dan batuk
bersihan jalan pernafasan 4) Instruksikan
nafas 3) Deviasi ringan dari bagaimana agar bisa
Batasan kisaran normal suara melakukan batuk efektif
Karakteristik : auskultasi nafas 5) Auskultasi suara
4) Deviasi ringan dari nafas, catat area yang
1) Suara nafas
kisaran normal kepatenan ventilasinya menurun
tambahan
jalan nafas atau tidak dan adanya
2) Perubahan
5) Deviasi ringan dari suara nafas tambahan
frekuensi kisaran normal saturasi 6) Monitor status
nafasan oksigen pernafasan dan
3) Perubahan 6) Tidak ada retraksi oksigenisasi
iraman nafas dinding dada sebagaimana mestinya
4) Penurunan
bunyi nafas
5) Sputum dalam
jumlah
berlebihan
6) Batuk tidak
efektif
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Menajemen Jalan
Pola Nafas asuhan keperawatan Nafas :
diharapkan status 1) Posisikan pasien
Definisi :
pernafasan tidak untuk
Inspirasi
terganggu dengan memaksimalkan ventilasi
dan atau
kriteria hasil : 2) Lakukan fisioterapi
ekspirasi
1) Frekuensi pernafasan dada, sebagimana
yang tidak
Tidak ada deviasi dari semestinya
memberi ventilasi
kisaran normal 3) Buang secret dengan
adekuat
2) Irama pernafasan Tidak memotivasi klien untuk
Faktor Resiko :
ada deviasi dari kisaran melakukan batuk atau
1) Perubahan
normal menyedot lendir
kedalamam
3) Suara Auskultasi nafas 4) Motivasi pasien untuk
pernafasan
Tidak ada deviasi dari bernafas pelan, dalam,
2) Bradipneu
kisaran normal berputar dan
3) Dipsnea
4) Saturasi oksigen Tidak batuk.
4) Pernafasan
ada deviasi dari kisaran 5) Auskutasi suara
cuping hidung
normal nafas, catat area yang
5) Takipnea
5) Tidak ada retraksi ventilasinya menurun
Faktor yang
dinding dada atau tidak ada dan
berhubungan :
6) Tidak ada suara nafas adanya suara nafas
1) Kerusakan
tambahan tambahan
Neurologis
7) Tidak ada pernafasan 6) Kelola nebulizer
2) Imunitas
cuping hidung ultrasonik, sebgaimana
Neurologis
mestinya
7) Posisikan untuk
meringankan sesak
nafas
8) Monito status
pernafasan dan oksigen,
sebagaimana mestinya
3 Diare Setelah dilakukan Menajemen Saluran
Definisi : Pasase tindakan keperawatan Cerna
fases yang lunak diharapkan eliminasi 1) Monitor buang air
dan tidak usus tidak terganggu besar
berbentuk dengan kriteria hasil : termasuk frekuensi,
Batasan 1) Pola eliminasi tidak konsistensi, bentuk,
Karakteristik : terganggu volume dan warna,
1) Nyeri 2) Suara bising usus tidak dengan cara yang tepat
abdomen terganggu 2) Monitor bising usus
2) Sedikitnya 3) Diare tidak ada Menajemen Diare
tiga kali Setelah dilakukan 1) Tentukan riwayat
defekasi per hari tindakan keperawatan diare
3) Bising usus diharapkan tidak 2) Ambil tinja untuk
hiperaktif terjadi keparahan pemeriksaan kultur dan
Situasional : infeksi dengan kriteria sensitifitas bila diare
1) Penyalahguna hasil : berlanjut
an alkohol 1) Malaise tidak ada 3) Instruksikan pasien
Fisiologis 2) Nyeri tidak ada atau
1) Proses Infeksi 3) Depresi jumlah sel anggota keluarga utuk
darah putih mencatat warna, volume,
frekuensi, dan
konsistensi tinja 4)
Identivikasi faktor yang
bisa menyebabkan diare
(misalnya medikasi,
bakteri, dan pemberian
makan lewat selang)
5) Amati turgor kulit
secara
berkala
6) Monitor kulit perineum
terhadap adanya iritasi
dan
ulserasi
7) Konsultasikan dengan
dokter
jika tanda dan gejala
diare
menetap

BAB IV

PENUTUP

IV.I KESIMPULAN

1. Hasil pengkajian di dapatkan data pasien HIV AIDS mengeluh


mengalami diare, nafsu makan menurun, berat badan berkurang,
sariawan di mulut, bibir kering, terdapat nyeri dan adanya gatal-
gatal pada kulit.
2. Masalah keperawatan yang di dapatkan antara lain kekurangan
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif,
diare berhubungan dengan proses infeksi, ketidak seimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor
biologis, nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis,
harga diri rendah situasionalberhubungan dengan gangguan
citra tubuh, resiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan faktor imunologis, ansietas berhubungan dengan kurang
pengetahuan.
3. Rencana keperawatan yang disusun tergantung kepada masalah
keperawatan yang ditemukan masing masing pasien rencana
keperawatan yang dilakukan pada pasien HIV AIDS rencana
tindakan yang pada pasien HIV AIDS antara lain, menajemen
cairan, monitor cairan, menajemen saluran cerna, menajemen
diare, monitor elektrolit, menajemen nutrisi monitor nutrisi ,terapi
nutrisi, pemberian nutrisi total parenteral, pemberian analgesik
menajemen nyeri, monitor tanda- tanda vital, peningkatan citra
tubuh, peningkatan koping, peningkatan harga diri, pengecekan
kulit, pemberian obat, bimbingan antisipatif, pengurangan
kecemasan.
4. Pada tahap pelaksanaan keperawatan tindakan yang dilakukan
pada pasien HIV AIDS antara lain mencatat Intake dan Output
pasien, menilai status hidrasi dan mukosa bibir, denyut nadi, dan
tekanan darah, mengukur TTV, pemberian cairan infus,
memeriksa turgor kulit, memonitor kadar albumin, melakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif, memberi obat analgesik,
mengajarkan teknik non farmakologi seperti teknik relaksasi,
menganjurkan pasien istirahat dan tidur, memonitor buang air
besar, memonitor bising usus, memonitor adanya mual muntah,
berikan infus, menentukan status gizi, mengkaji riwayat alergi,
monitor kalori dan asupan makanan, memonitor diet dan asupan
kalori, mengidentifikasi penurunan nafsu makan, menilai hasil
laboratorium.
5. Hasil evaluasi yang dilakukan selam 5 hari pada pasien terdapat
masalah keperawatan yang dapat teratasi dengan kriteria hasil
BAB normal, terdapat penerimaan terhadap keadaan diri,
ungkapan rasa cemas tidak ada lagi.

IV.2 SARAN

Dibutuhkan upaya yang kompre-hensive antara pemerintah dan


masyarakat dalam melakukan promosi kesehatan. Dan juga
diperlukan promosi kesehatan yang intensif tentang pentingnya
pola asuh yang seimbang antara ayah dan ibu dengan
memanfatkan media yang menarik seperti diskusi interaktif lewat
acara televisi atau radio pada masyarakat dan difokuskan para
orang tua yang memiliki anak. Sehingga akan menciptakan
generasi berkualitas di masa yang akan datang.

You might also like