Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
GILANG DEKA HAYUNA
1808012
4. Manifestasi Klinik
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam
ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih
atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s sign Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif
Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan
tiba-tiba
5. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum
lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,
2010) .
6. Pathway
2010
7. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis
meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke
rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi
komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang
tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan
orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis,
omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh
darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
e. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini
mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum
f. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga
bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12
jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
g. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan
komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi,
dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat,
muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP
adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6
jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP
yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi
USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan
92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan
96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan
kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut
bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk
memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan
pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan
Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis.
1) Sebelum operasi
Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis sering kali masih belum jelas. Dalam keadaan ini
observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah
baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila
dicurigai adanya appendisitis atau bentuk peritonitis lainnya.
Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah
( leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto
abdomen tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya
penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis dilakukan
dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam
setelah timbulnya keluhan.
Intubasi bila perlu
Berikan Antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau
klindomisin)
2) Operasi appendiktomi
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah
ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Apendiktomi dapat dilakukan sesegera mungkin
untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat
dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal dengan insisi
abdomen bawah atau dengan laparoskopi yang merupakan
metode terbaru yang sangat efektif.
3) Pasca operasi Perlu dilakukan:
Observasi TTV dan tanda – tanda syok.
Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan dan selama itu pasien dipuasakan.
Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu
naikkan menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan
makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan
lunak.
Satu hari post operasi pasien dianjurkan miring kiri / kanan
dan secara bertahap duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30
menit.
Pada hari kedua pasien dapat diberdirikan dan duduk di luar
kamar.
Pada hari ke tiga rawat luka dengan teknik aseptic
Hari berikutnya diberikan makanan lunak dan anjurkan
berdiri tegak dan berjalan di luar kamar
Hingga hari ketujuh luka jahitan diangkat, dan jika tidak ada
keluhan delegasikan kepada dokter agar pasien dapat
dipulangkan.
b. Penatalaksanaan keperawatan
Adapun tindakan non medis yang diberikan adalah persiapan pasien
untuk apendiktomi diantaranya: perawat memastikan kepada dokter
bahwa pasien melakukan tes darah,cek urin, rontgen, dan puasa sudah
dilaksanakan. Kemudian tindakan keperawatan yang dapat diberikan
post-op adalah perawatan luka jahitan dan mobilisasi pasien secara
teratur untuk mencegah dekubitus.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan
untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu
pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis
keperawatan.
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status
kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya,
spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan
fungsi dan gaya hidup klien.
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, diagnose medis, dan status pernikahan.
2) Identitas penanggung jawab klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, status pernikahan, dan hub. Dengan klen.
b. Riwayat kesehatan
1) Alasan utama masuk rumah sakit
Pasien mengeluh mual, nyeri hilang timbul pada abdomen bagian
kanan bawah, dan pasien merasa lemas.
2) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah
3) Riwayat kesehatan sekarang
Pre operasi: pasien mengeluh nyeri pada abdomen bagian kanan
bawah
Post operasi: Pasien mengeuh nyeri pada luka post operasi
apendektomi, mual muntah, lemas dan badan terasa panas.
4) Riwayat kesehatan dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan
konstipasi sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang
menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan
meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga menjadi
appendisitis akut.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita oleh keluarga
pasien.
6) Riwayat alergi
Riwayat alergi merupakan apakah pasien ada alergi terhadap
makanan dan obat tertentu atau tidak.
c. Genogram
Adanya genogram untuk mengetahui garis keturunan dari pasien, agar
mengetahui informasi bilamana ada penyakit keturunan pada keluarga
pasien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan menurut Gordon
1) Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pre operasi dan Post operasi
Mengkaji apakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan,
alkohol dan kebiasaan olah raga (lama frekuensinya),dan bagaimana
cara pasien selama ini memelihara kesehatannya.
2) Nutrisi dan metabolic
Pre operasi
Biasanya pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh
adanya nyeri di daerah abdomen bagian kanan bawah. Umumnya
pola minum pasien tidak mengalami gangguan.
Post operasi
Biasanya pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh
adanya nyeri di daerah abdomen yang disertai pengaruh anastesi.
Umumnya pola minum pasien tidak mengalami gangguan.
3) Aktivitas dan latihan
Pre operasi
Umumnya pasien masih bisa melakukan aktivitas namun masih
dibantu orang lain, hal ini disebabkan karena adanya nyeri pada
daerah abdomen bagian kanan bawah.
Post operasi
Umumnya pada pasien operasi apendiktomy pola aktivitas
mengalami gangguan karena disebabkan nyeri pada daerah bekas
insisi. aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu
lamanya setelah pembedahan.
4) Tidur istirahat
Pre operasi
Pada umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan
nyeri pada abdomen bagian kanan bawah.
Post operasi
Pada umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan
nyeri pada luka insisi.
5) Eliminasi
Pre operasi
Pada pola eliminasi urine akan terjadi penurunan akibat rasa nyeri
pada abdomen. Pola eliminasi alvi umumnya akan mengalami
gangguan akibat terjadinya konstipasi, sehingga terjadi penurunan
fungsi.
Post operasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung
kemih akibat efek dari obat anastesi, rasa nyeri atau karena tidak
biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine.
Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya
sementara karena efek obat anastesi dapat menurunkan peristaltik
lambung
3) Post operasi
Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan
tanda adanya infeksi dan pendarahan.
Sistem gastrointestinal: Distensi abdomen dan adanya penurunan
bising usus dapat terjadi pada pasien post appendiktomi karena
pasien dalam efek anastesi sehingga aliran vena dan gerakan
peristaltik usus menjadi menurun.
Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
post operasi
Sistem Persyarafan: Terdapat nyeri pada luka insisi pembedahan.
Sistem Integumen : adanya luka bekas operasi pada kulit bagian
abdomen kanan bawah.
Abdomen :
Inspeksi : Akan tampak adanya luka bekas operasi pada
abdomen kanan bawah.
Auskultrasi: Umumnya terjadi penurunan paristaltik usus
akibat dari pengaruh sisa obat anastesi
Perkusi: Perkusi pada seluruh kuadran kecuali pada kuadran
ke-4 suara normal (timpani)
Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa
nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri
(Blumberg sign) dan Dengan tindakan tungkai kanan dan
paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa
nyeri di perut semakin parah (psoas sign), bila tekanan
dilepaskan juga akan terasa nyeri.
Bulechek, Gloria M., dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi
Keenam Bahasa Indonesia. Elsevier