You are on page 1of 15

AVM (Arteriovenous Malformations)

A. PENDAHULUAN

Malformasi vaskular merupakan hasil perkembangan abnormal yang terjadi selama proses
embriogenesis, seperti proses pensinyalan abnormal yang mengontrol apoptosis, maturasi, dan
pertumbuhan sel vaskular. Terdapat empat kategori utama dari malformasi vaskular berdasarkan
karakteristiknya, yaitu : slow-flow (malformasi kapiler, malformasi vena, malformasi limfatik)
dan fast-flow (malformasi arteriovena). Malformasi arteriovenosa merupakan jenis malformasi
vaskular yang dapat menyebabkan terjadinya kejang.

Malformasi arteriovenosa adalah lesi kongenital yang tersusun dari jalinan arteri dan vena
yang kompleks yang dihubungkan oleh satu atau lebih fistula. Hal ini disebut nidus, yaitu aliran
darah terjadi dari arteri ke vena karena tidak terdapat kapiler. Prevalensi malformasi
arteriovenosa asimtomatik yaitu 1 dalam 2000 populasi (0.05%), sedangkan malformasi
arteriovenosa asimtomatik adalah 0.89 dalam 100.000 populasi orang dewasa per tahun dengan
perbandingan 2:1 antara kejadian perdarahan dan kejang epilesi. Malformasi arteriovenosa
paling sering terjadi pada orang dewasa muda, dengan morbiditas 30-50% dan mortalitas 10-
15% .

B. TUJUAN
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami definisi dan epidemiologi Malformasi
Arteriovenosa
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami patofisiologi Malformasi Arteriovenosa
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami manifestasi klinis Malformasi Arteriovenosa
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami penegakan diagnosis Malformasi Arteriovenosa
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami tatalaksana Malformasi

C. DEFINISI

AVM (Arteriovenous Malformations) merupakankelainan vaskuler yang


dimanaterbentukjalinanataukumpulandaripembuluhdarah, bisasatuataulebihpembuluhdarah yang
dapatbervariasiukurannya.
Jalinantersebutmenghubungkansecaralangsungantarasistemsirkulasiarteridan vena
tanpaadasistemkapiler. Tanpaadanyakapilerpadajalinanini, memungkinkandarahmengalirmelalui
fistula abnormal. Hal iniakanmenghasilkanlajualiran yang sangattinggidanmenyebabkandilatasi
AVM sertadapatmempengaruhifungsi di sekitarjaringanotak.

D. EPIDEMIOLOGI
 Kejadian AVM diperkirakansatudalam 100.000.
 Insidenterjadipadalaki-lakidanperempuansama.
 Diperkirakanduapertigadari AVM terjadisebelumusia 40 tahun.
 Sekitar 2% AVM bersifatmultipeldansisanyasoliter.
 Setiaptahun, sekitarempatdarisetiap 100 orang dengan AVM akanmengalamipendarahan.
 Setiapperdarahanmemilikirisikokematianatau stroke 15-20 persen, morbiditasneurologis
30 persen, danmortalitas 10 persen.
 Ketikaperdarahanterjadi, haltersebutakanmempengaruhidaerahberikut, yaitu: intraserebral
(41 persen), subarachnoid (24 persen), intraventrikular (12 persen) maupunkombinasi (23
persen).
 AVM adalahpenyebabutamaperdarahanintraserebral non traumatic padausiakurangdari
35 tahun.
 AVM adalahpenyebabperdarahan subarachnoid kedua yang paling
dapatdiidentifikasisetelahaneurismaotak, terhitung 10
persendarisemuakasusperdarahansubaraknoid.
 Sekitarsatupersen orang dengan AVM
akanmengalamiseranganepilepsiuntukpertamakalinya.

E. PATOFISIOLOGI

Vascular Endothelial Growth Factor(VEGF) yang merangsang proliferasi endotel ditemukan


tinggi pada pasien dengan AVM. Brain AVM dapat terjadi di permukaan (korteks), bagian dalam
(thalamus, ganglia basalis, atau batang otak), dan di dalam dura (lapisan yang melindungi otak).
Selainintrakranial, AVM jugadapatterjadipadaekstrimitas, pelvis, dan organ viscera.
Meskipuntidakpernahdapatberinvolusisecaraspontan, terkadang AVM
tidakmemberikangejala. Dimanapunletak AVM, kadangkaladapatmenyebabkanperubahanklinis
yang patologis
berupaiskemia, ulserasi, nyeriintractable,danperdarahan yang intermiten.

Kerusakanneurologistersebutdisebabkanoleh AVM melalui beberapa mekanisme, yaitu:


1. Dilatasi vena, terutama vena yang berukuran kecil (<3mm),akibat peningkatan
kecepatan aliran darah dari arteri dapat ruptur. Jika ruptur atau pendarahan terjadi,
darah mungkin berpenetrasi ke jaringan otak (cerebral hemorrhage) atau ruang
subarachnoid (subarachnoid hemorrhage) yang terletak di antara meninges yang
menyelaputi otak. Perdarahan tersebut menimbulkan desakan pada otak yang
berdampak pada peningkatan tekanan intrakranial.Sekali pendarahan AVM terjadi,
kemungkinan terjadinya pendarahan berulang menjadi lebih besar. Perdarahan
umumnya muncul pada usia 55 tahun. Kira-kira 40% kasus dengan AVM cerebral
diketahui melalui gejala pendarahan yang mengarah ke kerapuhan struktur pembuluh
darah yang abnormal di dalam otak.
2. AVM yang tidak mengalami pendarahan menyebabkan gejala langsung dengan
menekan jaringan otak dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Biasanya
terjadi pada vena yang berukuran lebih besar.
3. Aliran darah langsung dari arteri ke vena tanpa melalui sistem kapiler menyebabkan
penurunan suplai oksigen ke jaringan otaksehinggaterjadiiskemia otak dan nekrosis
sel-sel saraf pusat. Hal tersebut menimbulkan gejala klinis berupa defisit neurologis,
seperti gangguan bahasa, berbicara, motorik, sensorik, dan sebagainya tergantung
pada lokasi kerusakan otak. Apabila kerusakan ini terjadi secara terus-menerus, maka
akan berujung pada kematian.

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Perdarahan Intrakranial

Insiden perdarahan intrakranial pada pasien dengan AVM adalah sekitar 38% hingga 71%
pasien. Presentasi awal perdarahan paling sering terjadi pada pasien berusia antara 20 dan 40
tahun. Brown Jr. dalam penelitiannya menemukan bahwa risiko untuk terjadinya perdarahan
intrakranial berikutnya turun dari 32,9% selama tahun pertama menjadi 11,3% per tahun pada
tahun-tahun berikutnya di antara pasien dengan perdarahan intrakranial sebagai presentasi awal.
Faktor-faktor risiko potensial lainnya untuk perdarahan intrakranial yaitu :
1) AVM dengan drainase vena yang eksklusif dalam (biasanya didefinisikan sebagai
drainase melalui jalur periventrikular, galenik, atau serebelar),
2) AVM yang terkait dengan aneurisma,
3) AVM yang lokasinya dangkal atau dalam, dan
4) AVM yang lokasinya di infratentorial.

2. Kejang

Kejang terjadi sekitar 18% hingga 40% pada penderita dengan AVM yang berespons baik
terhadap pengobatan dengan obat antiepilepsi. Jenis kejang yang paling sering dikaitkan dengan
AVM adalah kejang umum (30%).

3. Nyeri Kepala

Nyeri kepala terjadi pada sekitar 5% hingga 14% pada pasien dengan AVM otak. Nyeri
kepala bisa dirasakan unilateral atau bilateral dan dapat memiliki fitur migrain dengan dan tanpa
aura.

4. Focal Neurologic Deficits (FNDs).


Defisit fokal neurologis (FND) terjadi sekitar 1% hingga 40% pada pasien dengan AVM
otak. Patofisiologi dari defisit ini bersifat multifaktorial dan mencakup fenomena vascular steal
dan / atau hipertensi vena. Fenomena ini berpusat pada perinidal arterial steal, yang dihasilkan
dari peningkatan kecepatan aliran darah yang tinggi dari arteri ke vena otak dan menyebabkan
tekanan darah rendah pada arteri dan jaringan otak di sekitarnya. Penurunan perfusi serebral
berakibat langsung terjadinya iskemia otak dan nekrosis sel-sel saraf pusat. Hal tersebut
menimbulkan gejala klinis berupa defisit neurologis.Selain itu, dilatasi vena dapat menyebabkan
desakan pada otak.(mass effect) dan kompresi jaringan otak sehingga menghasilkan FND.

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Metode non invasif seperti Doppler danpencatatan volume pulsasi sangat


bergunabagipenegakan diagnosis AVM.Dengan angiografi, CT scan atau MRI makaukuran
feeding arteries dan ukuran shuntsdapat diukur berdasarkan waktu munculnyamedium kontras
pada vena-vena.USG dapat menjadi skrining untukmenunjukkan asal vaskuler dari massa
softtissue. MRI akan menunjukkan hubungan lesidengan struktur jaringan sekitarnya
samabaiknya dengan vaskuler yang normal. Karenakelebihan itulah MRI adalah first-
linediagnostic tool. Angiografi baik untukmembatu menegakkan diagnosis dan terapipada AVM
dibanding pada hemangioma.Kadang perlu dilakukan biopsi untukmeyakinkan tidak ada
keganasan karena secaraimaging AVM dapat menyerupai malignancyvaskuler seperti
angiosarcoma danrhabdomyosarcoma.

Stadium AVM dapat dilihat dari sistemclinical staging oleh Schobinger , yaitu :

 Stadium I (Quiescence) : warnamerah muda kebiruan, teraba hangat,AV shunting dari


continousDoppler atau 20-MHz color Doppler
 Stadium II (Expansion): Samadengan stadium I, namun telah adapembesaran, pulsasi,
thrill dan bruitserta tottuous/tense veins
 Stadium III (Destruction): Samadengan diatas ditambah adanyadystrophic changes,
ulserasi,perdarahan dan nyeri menetap sertaekspansi dan destruksi
 Stadium IV (Decompensation):Sama dengan stadium II ditambahgagal jantung.

H. TATALAKSANA

Tujuan utama penatalaksanaan AVM untuk mencegah terjadinya perdarahan, mengontrol


kejang dan mencegah adanya defisit neurologi progresif lainnya serta meningkatkan
kelangsungan hidup dengan morbiditas paling rendah. Meskipun demikian resiko terapi
konservatif versustindakan invasif juga perlu dipertimbangkan. Dari beberapa studi acak,
penatalaksanaan AVM dengan partial treatment justru tidak bermanfaat, justru akan
meningkatkan resiko perdarahan.Kadang-kadang partial treatmentsangat bermanfaat pada kasus :

1. Ukuran AVM yang besar (giant AVM) dengan faktor resiko aneurisma intranidal,
2. Defisit neurologi progresif yang berhubungan dengan efek sekunder dari high flow
fistula,
3. Nyeri kepala yang hebat.

Sebelum menentukan modalitas terapi nonfarmakologi, terlebih dahulu menentukan


karateristik struktur AVM. Indikasi tindakan bedah pada kasus AVM terutama tergantung pada
ukuran, lokasi, perlekatan, dengan daerah sekitarnya, serta konfigurasi vaskular menentukan
pertimbangan perlunya intervensi bedah.Suatu studi tentang angioarsitektur AVM (ukuran nidus,
lokasi AVM dan venous drainage) menyatakan bahwa ukuran nidus yang kecil, letak lesi yang
dalam dan deep seated venous drainagememilki resiko besar terjadinya perdarahan intrakranial.
Ukuran nidus kecil 2,7 kali beresiko terjadinya perdarahan intrakranial dibandingkan dengan
ukuran nidus besar dan lokasi AVM yang dalam ( deep location )memiliki resiko 0,2 kali
terjadinya resiko perdarahan intrakranial Modalitas terapi pasien dengan AVM yaitu:
1. Surgical treatment,
Surgical treatment adalah gold standar pada terapi definitif untuk AVMs. Microsurgical
eksisi yang bisa dilakukan contohnya craniotomy, yaitu dengan membuka bagian dura dari otak
hingga reseksi komplit dari AVM tercapai. Tercapainya eksisi AVM yang komplit dapat
diketahui dengan melakukan angiografi. Kelebihan dari metode ini adalah AVM bisa
dihilangkan secara total, namun kekurangannya yaitu dapat memicu edema pada otak, ruptur
intraoperatif, dan resiko reseksi pada jaringan otak yang normal. Tahun 1986, Spetzler dan
Martin membuat klasifikasi AVM berdasarkan ukuran nidus, lokasi, hubungan dengan korteks
dan pola drainase vena. Skala Spetzler-Martin ini digunakan untuk memprediksi resiko yang
terjadi saat dilakukan microsurgery. Semakin tinggi point yang ada makan tingkat morbiditas
dan mortalitas saat dilakukan microsurgery eksisi ini akan semakin tinggi pula

2. Endovascular therapy,
Metode ini melibatkan pemberian cairan embolik seperti n-butyl cyanocrylate dan ethylene
vinyl alcohol copolymer (Onyx) melalui kateter. Metode ini sering digunakan sebelum dilakukan
surgical reseksi. Embolisasi preoperatif ini dapat mengurangi ukuran dari AVM saat
microsurgical eksisi. Metode ini hanya dapat digunakan pada kasus khusus yang bertujuan untuk
menstabilkan defisit neurologis pada pasien atau untuk mengontrol terjadinya kejang, misalnya
pada keadaan AVM yang tidak bisa dilakukan microsurgical eksisi atau radioterapi. Dalam
pemilihan modalitas terapi, perlu juga dipertimbangkan derajat lesi AVM.

3. Radiosurgery.
Dalam metode ini, diberikan radiasi lokal pada AVM dengan dosis tinggi yang bertujuan
untuk menginduksi terjadinya kerusakan pada pembuluh darah yang selanjutnya akan memicu
terjadinya sklerosis pada pembuluh darah yang akan hilang dengan sempurna dalam waktu 2
sampai 3 tahun. Keberhasilan metode ini tergantung pada ukuran AVM, grade, lokasi, densiti
dari nidus dan dosis radiasi yang diberikan. AVM yang kurang dari 3,5 cm adalah ukuran yang
ideal untuk dieksisi maksimal. Metode ini tidak lebih baik dibanding dengan microsurgical
reseksi karena adanya resiko perdarahan yang lebih banyak sektiar 5% dalam 2 sampai 5 tahun
setelah radiosurgery. Kelebihan dari metode ini termasuk kedalam terapi noninvasive, sedangkan
kekurangannya adalah adanya risiko perdarahan dan nekrosis jaringan otak yang normal.

Dalam penentuan keakuratan hasil radiosurgery, dapat digunakan skala Virginia


Radiosurgery AVM (VRAS), yang menunjukkan 5 derajat keparahan, dimana grade 1 AVM
memiliki 0 poin, dan grade 5 memiliki 4 poin, meliputi:

a. Ukuran volume (<2 cm3 [0 poin], 2-4 cm3 [1 poin], atau >4 cm3 [2 poin]),
b. Lokasi yang eloquent (1 point), dan
c. Riwayat perdarahan serebral (1 point).

I. KESIMPULAN

Malformasi arteriovenosus merupakan kelainan pembuluh intrakranial berupa


terbentuknyakoneksi antara sistem arteri dan vena dan tidak memiliki sistem kapiler. Penyakit ini
memiliki prevalensi sebesar 400-600/100.000 yang 2% nya bersifat malformasi multiple dan
sisanya soliter dengan insiden terbanyak pada usia 40an (perdarahan terjadi pada 75% kasus
sebelum usia 50 tahun). Gejala klinis yang sering terlihat pada pasien ini berupa perdarahan,
kejang, nyeri kepala dan defisit fokal neurologis.
Cavernous Angioma

A. PENDAHULUAN

Cavernous Angioma juga disebut sebagai malformasi cavernous, cavernous hemangioma,


atau cavernoma adalah jenis malformasi vaskular intrakranial. Istilah 'hemangioma' dan
'cavernoma' kurang tepat karena ini cavernous angioma merupakan lesi nonneoplastik.

Malformasi vaskular melibatkan setiap organ tubuh dan dikelompokkan ke dalam empat tipe
berikut ini berdasarkan karakteristiknya secara umum dan histopatologis:

- Malformasi kapiler (atau telangiectasias)


- Malformasi kavernosa (angioma kavernosa / hemangioma)
- Malformasi vena
- Malformasi shunting arteriovenosa
- Semua tipe yang disebutkan melibatkan otak dengan berbagai manifestasi

Cavernous Angioma dari otak dan sumsum tulang belakang terjadi pada semua usia, tetapi
pasien simptomatik biasanya terjadi pada dekade ke tiga hingga ke enam. Tidak ada
kecenderungan genetik pria atau wanita. Survei menunjukkan bahwa cerebral cavernous
malformation (CCM) terjadi pada 0,5% populasi.

B. TUJUAN
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami definisi dan epidemiologi Cavernous Angioma
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami patofisiologi Cavernous Angioma
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami manifestasi klinis Cavernous Angioma
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami penegakan diagnosisCavernous Angioma
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami tatalaksana Cavernous Angioma
C. DEFINISI

Sebuah hemartoma vaskular jinak yang terdiri dari saluran pembuluh darah sinusoidal
berdinding tebal dan tipis yang terletak di dalam otak, tetapi tidak memiliki parenkim saraf
neural, arteri dan vena besar. Biasanya berukuran 1-5 cm. Kemungkinan bisa mengalami
pendarahan, kalsifikasi, atau trombosis. Kejadian jarang di sumsum tulang belakang. Kavernosa
terisi dengan darah dalam bentuk trombus. Telangiectasis kapiler dapat ditemukan berdekatan
dengan lesi dan dapat mewakili prekursor. Lesi dapat timbul secara de novo dan dapat tumbuh
menyusut, atau tetap tidak berubah dari waktu ke waktu.

D. EPIDEMIOLOGI
 Kejadian cavernous hemangioma meliput 5-13% dari malformasi vaskular SSP dan
berkembang pada 0,02-0,13% populasi.
 Sekitar 48-86% adalah supratentorial, 4-35% batang otak, 5-10% basal ganglia dan
multipel dapat terjadi pada 23-50% kasus. Kasus multipel kemungkinan sering terjadi
pada kasus keturunan.
 XRT atau X-Ray Therapy (radiation)(misal, mengikuti XRT craniospinal untuk
medulloblastoma) menjadi faktor risiko terutama untuk cavernous hemangioma spinal.
 42% pasien dengan cavernous hemangioma spinal juga memiliki ≥ 1 cavernous
hemangioma intrakranial.

E. PATOFISIOLOGI

Cavernous hemangioma terdiridaripembuluhdarahberdindingtebaldanjaringan sinusoid


yang dibatasiolehlapisanendothel. Capillary hemangioma
biasanyaterjadipadabayibarulahirsedangkan cavernous hemangioma biasanyaterjadipada
orang dewasadankebanyakanintraosseuss hemangioma terjadipadatulangtengkorak. Selainitu,
cavernous hemangioma jugadapatterjadi di tulang vertebra dan di area kalvarimaksilo-
fasialyaitutulangmandibula, maksila, dantulang nasal.

Patogenesisterjadinya cavernous hemangioma masihbelumdiketahui. Namun,


dicurigaibahwa cavernous hemangioma disebabkanoleh trauma lokal,
karenakebanyakanpasiendengan cavernous hemangioma mengalami trauma sebelumnya.
Pertumbuhanpenyakitinisangatlambandanprogresifsehinggaseringmenyebabkanketerlambata
n diagnosis.

F. MANIFESTASI KLINIS

Cavernoma dapat mempengaruhi bagian otak mana pun dan manifestasi klinisnya terutama
tergantung pada lokalisasinya.
Kavernoma supratentorial adalah yang paling umum terjadi, yaitu sekitar 80% dari kasus.
Cavernoma terutama mempengaruhi wilayah subkortikal, dimana lobus frontal dan temporal
adalah yang paling sering terkena. Manifestasi klinis dapat berupa :

 Kejang, merupakan manifestasi klinis paling umum dari kavernoma


 Perdarahan, terutama jika terjadi di batang otak bisa mengancam jiwa penderita
 Sakit kepala
 Defisit neurologis fokal, seperti kelemahan pada lengan atau kaki, masalah penglihatan,
masalah keseimbangan, atau masalah ingatan (memory) dan perhatian (attention)

Pada fossa posterior, kavernoma sebagian besar mempengaruhi protuberance and cerebellar
hemispheres dan manifestasi umumnya berupa defisit neurologis fokal. Manifestasi klinis
pertama dari kavernoma intraventrikular (sangat jarang) biasanya melibatkan hipertensi
intrakranial yang disebabkan oleh adanya obstruksi cairan serebrospinal akibat perdarahan
berulang.
Namun, dalam penelitian disebutkan bahwa sekitar 40% cavernoma tidak menunjukkan
gejala dan secara tidak sengaja ditemukan selama pemeriksaan radiologis.

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS

MRI adalahmodalitaspilihandalammendiagnosis Cavernous Angiomalantaran paling sensitif.


Pada MRI, lesitampakkhasyaituseperti popcorn atau mulberry. Pemindaian CT Scan
bukanmetode sensitive danspesifikuntukmendiagnosis Cavernous ANgioma.
Angiografibiasanyatidakdiperlukan, kecualiuntukmenyingkirkan diagnosis lain. Selainitu, biopsy
terkadangdiperlukanuntukmemastikanlesibukanbersifatganas.

H. TATALAKSANA
1. Observasi
Kebanyakan hemangioma infantil tidak memerlukan konsultasi ke dokter spesialis.
Tumor kecil yang tidak berbahaya ini dapat dibiarkan untuk berproliferasi dan berinvolusi
dengan pengawasan ketat dari dokter karena dapat meninggalkan cacat pada kulit meskipun ada
yang hasilnya normal. Bayi dengan hemangioma biasanya dirujuk karena merupakan indikasi
untuk dilakukan terapi. Namun jika tindakan khusus tidak diperlukan, tidak berarti tidak ada
yang bisa dilakukan. Orangtua berhak mengetahui perjalanan alamiah dari hemangioma, bisa
dibantu dengan foto atau gambar untuk mengilustrasikan evolusi hemangioma ini.
Follow up terjadwal sangat penting untuk dilakukan. Orangtua membutuhkan jaminan
mengenai sifat jinak tumor dan antisipasi hasil setelah involusi spontan atau intervensi.
Frekuensi pemeriksaan ditambah jika hemangioma besar, mengalami ulserasi, multipel, atau
terdapat di lokasi penting pada tubuh.

2. Penyekat Beta
Lebreze pertama kali melaporkan efek kebetulan dari propranolol pada anak dengan
hemangioma infantil. Setelah itu banyak penelitian yang ingin membuktikan manfaat penyekat
beta (propranolol) dalam tatalaksana hemangioma infantil. Awalnya, mekanisme penyekat beta
dalam hemangioma dianggap sebagai agen vasokonstriksi, namun penelitian terbaru menemukan
penurunan ekspresi gen VEGF dan FGFβ melalui penghambatan dari jalur RAF-mitogen-
activated protein kinase dan memicu apoptosis sel endotel. Dosis propranolol yang diberikan
antara 2-3 mg/kg/hari, atau Acebutolol 10 mg/kg/hari. Penggunaan penyekat beta dalam
hemangioma masih banyak diteliti dan dikatakan akan menjadi terapi pilihan lini pertama karena
efek sampingnya yang minimal

3. Kortikosteroid
Hemangioma kutaneus yang terlokalisasi dengan baik (<2,5 cm diameternya) diberikan
kortikosteroid intralesi. Triamcinolone (25 mg/mL) diinjeksikan perlahan dengan tekanan rendah
(3 mL syringe, 30 gauge needle), diberikan tidak lebih dari 3-5 mg/kg tiap prosedur. Biasanya 3-
5 injeksi diperlukan, diberikan dalam interval 6-8 minggu. Respon yang terjadi hampir mirip
dengan pemberian kortikosteroid sistemik. Terdapat pengecualian pada kasus hemangioma
eyelid/kelopak mata karena injeksi kortikosteroid pada area ini dapat menyebabkan oklusi
embolik pada arteri retina.
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan untuk hemangioma yang besar, berbahaya, atau
mengancam nyawa. Prednisolone oral 2-3 mg/kg/hari diberikan secara dosis tunggal di pagi hari
selama 4-6 minggu, lalu dosisnya dikurangi secara perlahan selama beberapa bulan dan
dihentikan pada usia 10-11 bulan. Karena kortikosteroid menyebabkan iritasi gaster jadi
diberikan pula H2 reseptor inhibitor. Hemangioma yang sensitif akan menunjukkan respon
sekitar beberapa hari sampai 1 minggu. Dengan terapi kortikosteroid oral, parenteral, maupun
intralesi, tingkat responnya kira-kira 85%, baik regresi yang lebih cepat maupun
pertumbuhannya yang stabil. Pemberian kortikosteroid harus dihentikan jika tidak terjadi
perubahan seperti warnanya lebih terang, menjadi halus, atau pertumbuhannya hilang/tidak
berlanjut. Tumor dapat tumbuh kembali jika pengurangan dosis kortikosteroid terlalu
tajam/cepat. Pemberian vaksin ditahan selama terapi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada
pemberiankortikosteroid adalah miopati, kardiomiopati, premature thelarche, dan hirsutism
Mekanisme bagaimana kortikosteroid dalam mengobati hemangioma belum sepenuhnya
jelas. Namun terdapat bukti yang mengarahkan kita kepada mekanisme yang mendasarinya,
yaitu meningkatkan sensitifitas hemangioma untuk secara fisiologis mengalami vasokontriksi
(interaksi dengan agen vasokontriksi), memblok reseptor estradiol-17b pada hemangioma, dan
berfungsi sebagai angiogenic-inhibitor jika terdapat heparin.

4. Kemoterapi
Vincristine merupakan terapi lini kedua lain pada hemangioma yang tidak merespon
terapi kortikosteroid, atau kontraindikasi lain pemberian kortikosteroid. Terapi ini juga efektif
untuk kaposiform endothelioma (dengan trombositopenia) dan untuk hemangioendothelioma
lain. Dosis yang diberikan adalah 0,05 mg/kg intravena untuk bayi dengan berat <10 kg dan 1,5
mg/m2 untuk bayi dengan berat >10 kg.
Vinca alkaloid harus diberikan melalui central intravenous line. Tingkat responnya
>80%. Efek samping yang terjadi misalnya neuropati perifer, konstipasi, minor hair loss, sepsis
dan komplikasi lain yang berhubungan dengan central line.

5. Terapi laser
Terdapat keyakinan bahwa bedah laser jika digunakan lebih awal pada hemangioma yang
mulai timbul akan menghentikan penyebaran tumor dan mencegah komplikasi. Flashlamp
pulsed-dye laser hanya mempenetrasi 0,75 sampai 1,2 mm ke lapisan dermis. Laser
fotokoagulasi dapat memperterang kulit yang terkena, walaupun tidak ada bukti bahwa hal ini
dapat menghilangkan pembesaran atau mempercpat involusi dari hemangioma yang letaknya
lebih dalam. Pemberian terapi dengan laser yang terlalu sering/giat dapat menyebabkan ulserasi,
hipopigmentasi, dll. Potassium-Titanyl-Phosphate (KTP) Laser merupakan salah satu terapi laser
yang lumayan aman dan efektif pada terapi hemangioma dengan obstruksi jalan nafas

6. Terapi pembedahan
Hemangioma yang tumbuh biasanya diiringi penonjolan dan terdapat kulis ekstra.
Ditentukan tindakan misalnya dengan eksisi sirkular dan purse-string closure sebagai prosedur
primer yang menghasilkan bekas luka minimal. Transverse lenticular excision dapat dilakukan
pada lokasi tertentu seperti kelopak mata, bibir, leher, atau sebagaibabak/tahap final dari eksisi
sirkular. Tindakan bedah yang dilakukan disesuaikan dengan umur penderita dan fase dari
hemangioma seperti pada penjelasan berikut: Infancy (Fase Proliferasi)
Indikasi untuk reseksi dari tumor dengan lokalisasi jelas pada tahun pertama kelahiran
adalah: obstruksi yang biasanya pada tumor yang terdapat di kelopak mata atau subglotis,
deformasi (misalnya tumor periorbital yang menyebabkan ambliopi), pendarahan, ulserasi (yang
tidak berespon terhadap terapi intralesional, topikal, atau sistemik), atau bekas luka atau rambut
rontok yang terprediksi (misalnya pasien akanmenjalani general anesthetic untuk alasan lain).
 Early childhood (Fase Involusi)
Indikasi untuk pembedahan sebelum masuk sekolah adalah: reseksi yang tidak
dapatdielakkan (misalnya postulcerative scarring), kesamaan panjang/penampakan jika eksisi
ditunda, parut mudah disembunyikan pada cutaneous tension line atau tepi dari unit estetik
wajah, atau perlunya rekonstruksi.
 Late childhood (Fase Involuted)
Reseksi hemangioma pada fase ini biasanya dilakukan untuk: kulit yang rusak,
konturyang abnormal, distorsi atau destruksi struktur anatomis, atau perlunya rekonstruksi/
penghilangan bertahap.

I. KESIMPULAN

Cavernous hemangioma merupakan kelainan vaskular otak yang terdiri dari kelompok
kapiler hialin yang abnormal dan dikelilingi oleh endapan hemosiderin dan margin gliotik.
Insiden serebral cavernous hemangioma berkisar dari 0,4% hingga 0,8% pada populasi umum,
tetapi cavernous hemangioma merupakan kelainan vaskular yang paling umum terjadi yaitu
sekitar 10-25% dari semua malformasi vaskular. Cabvernous hemangioma dapat ditemukan di
beberapa lokasi di otak, tetapi sekitar 70-80% terjadi di supratentorial dan manifestasinya berupa
kejang, perdarahan dan sakit kepala, sedangkan jika terjadi di infratentorial biasanya
menyebabkan defisit neurologis fokal yang progresif. Cavernoma cukup umum dikaitkan dengan
perkembangan anomali vena, oleh sebab itu studi MRI diperlukan untuk visualisasi yang lebih
baik. Dalam kasus ini, tindak lanjut (follow-up) sangat berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Pengetahuan tentang fitur-fitur cavernous hemangioma sangat penting untuk membuat diagnosis
yang benar, yang memungkinkan optimalisasi berbagai strategi perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Ajiboye, N, Chalouhi, N , Starke, R. M, Mario, Z, and Bell, R. Cerebral Arteriovenous


Malformations: Evaluation and Management. The Scientific World Journal Volume 2016.
http://dx.doi.org/10.1155/2014/649036

American Association of Neurological Surgeons. 2019. Arteriovenous Malformations.


Availableat:<https://www.aans.org/Patients/Neurosurgical-Conditions-and-
Treatments/Arteriovenous-Malformations> Accessed on April, 17 2019

Bokhari, M.R., Al-Dhahir, M.A., 2019. Cavernous Brain Angiomas.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430871/#_article-18536_s1_
Cortés Vela JJ, et al. Malformaciones cavernosas intracraneales: espectro de manifestaciones
neurorradiológicas. Radiología. 2016. doi:10.1016/j.rx.2016.09.016.
Elif, B., Derya, Y., Gulperi, K., &Sevgi, B. 2017. Intraosseous cavernous hemangioma in
the mandible: a case report. Journal of clinical and experimental dentistry, 9(1), e153.
Greenberg, M. S. 2016. Handbook of Neurosurgery 8th edition. New York: Thieme Medical
Publishers, Inc
Grotta, J. C, Albers, G. W, Broderick, J.P, Kasner, S.E, Lo, E.H, Mendelow, A.D, Sacco,
R.L, Wong, L.K.S., 2016. Stroke E-Book: Pathophysiology, Diagnosis and Management, 6th
Edition. Elsevier.
Mouchtouris, N., Chalouhi, N., Chitale, A., Starke, R. M., Tjoumakaris, S. I., Rosenwasser,
R. H., & Jabbour, P. M. 2016. Management of cerebral cavernous malformations: from diagnosis
to treatment. TheScientificWorldJournal, 2016, 808314. doi:10.1155/2016/808314
National Organization for Rare Disorders. 2019. Arteriovenous Malformations. Available
at:<https://rarediseases.org/rare-diseases/arteriovenous-malformation/>Accessed on April, 17
2019

You might also like