You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Fobia dalam arti klinis adalah bentuk paling umum dari gangguan
kecemasan.Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan
penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.
Adanya atau diperkirakan akan adanya situasi fobik menimbulkan ketegangan
hebat pada orang yang terkena, yang mengetahui bahwa reaksi yang ditimbulkan
berlebihan. Reaksi fobik menyebabkan suatu gangguan pada kemampuan
seseorang untuk berfungsi di dalam kehidupannya (1).

Fobia lebih sering dikaitkan dengan amigdala yaitu suatu wilayah otak yang
terletak di belakang hipofisis dalam sistem limbik. Amigdala mengeluarkan
hormon yang mengontrol ketakutan dan agresi. Ketika rasa takut atau respon
agresi dimulai, amigdala melepaskan hormon ke dalam tubuh untuk membuat
tubuh manusia menjadi suatu tanda dimana mereka siap untuk bergerak, berlari,
berkelahi, dan lain-lain. Hal ini merupakan mekanisme defensif dan respons
secara umum disebut dalam psikologi sebagai fight or flight response (1,2).

Sebuah studi di Amerika oleh National Institute of Mental Health (NIMH)


menemukan bahwa antara 8,7% sampai 18,1% dari orang Amerika menderita
fobia. Dilihat dari segi usia dan gender fobia merupakan penyakit mental yang
paling umum dikalangan wanita pada semua kelompok usia dan yang penyakit
kedua paling umum diantara pria yang lebih tua dari 25 tahun (2).

Selain agorafobia, menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders edisi keempat (DSM-IV) terdapat dua fobia lainnya yaitu fobia spesifik
dan fobia sosial. Fobia spesifik dinamakan fobia sederhana dalam DSM edisi
ketiga yang revisi (DSM-III-R). Fobia sosial juga disebut gangguan kecemasan
sosial, ditandai oleh ketakutan yang berlebihan terhadap penghinaan dan rasa
memalukan di dalam berbagai lingkungan sosial, seperti berbicara di depan
umum. Tipe umum fobia sosial seringkali suatu keadaan yang kronis dan
menimbulkan ketidakberdayaan yang ditandai oleh penghindaran fobik terhadap
masalah besar dalam situasi sosial. Jenis fobia sosial tersebut mungkin sulit
dibedakan dari gangguan kepribadian menghindar (1,4).
BAB II

ISI

2.1. Definisi Fobia

Fobia adalah rasa takut yang irasional, intens, terus menerus takut pada
situasi tertentu, kegiatan, benda atau orang. Gejala utama gangguan ini adalah
takut yang berlebihan, tidak masuk akal, dan keinginan untuk menghindari subjek
yang ditakuti. Ketika rasa takut berada di luar kendali seseorang dan jika rasa
takut tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari, maka diagnosis di bawah salah
satu gangguan kecemasan dapat dibuat (7).

Menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders, Fourth


Edition (DSM-IV), fobia sosial, fobia spesifik, dan agoraphobia adalah jenis
subkelompok gangguan kecemasan. Fobia spesifik adalah istilah umum untuk
semua jenis gangguan kecemasan yang jumlah untuk yang tidak masuk akal atau
ketakutan irasional yang berkaitan dengan pajanan terhadap objek atau situasi
tertentu. Akibatnya, orang-orang yang terpengaruh secara aktif cenderung
menghindari kontak langsung dengan objek atau situasi dan, dalam kasus yang
parah, penyebutan atau penggambaran dari mereka (8,9).

Fobia sosial merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya


kecemasan ketika berhadapan dengan situasi sosial atau melakukan performa di
depan umum. Ketika kondisi pemicu, orang secara fisik tidak dapat
mengosongkan kandung kemih. Agoraphobia – gangguan kecemasan, sering
dipicu oleh rasa takut akan mengalami serangan panik dalam lingkungan yang
tidak ada cara mudah melarikan diri (10).

2.2 Epidemiologi Fobia

Fobia sering terjadi pada masyarakat umum. Survei epidemiologi terbaru


memperkirakan angka kejadian dalam setahun dan prevalensi seumur hidup,
berturut-turut : fobia spesifik 5,5% dan 11,3%; fobia sosial 4,5% dan 13,3%; serta
agorafobia 2,3% dan 6,7%. Wanita memiliki kemungkinan 1,5-2 kali lebih besar
dibandingkan laki-laki (12).

Fobia spesifik lebih sering terjadi dibandingkan fobia sosial. Fobia spesifik
adalah gangguan mental yang paling sering pada wanita dan nomor dua tersering
pada laki-laki, setelah gangguan berhububungan dengan zat. Prevelensi enam
bulan fobia spesifik adalah kira-kira 5 sampai 10 per 1000 orang. Rasio wanita
dibandingkan dengan laki-laki adalah 2 berbanding 1. Onset usia puncak untuk
tipe lingkungan alami dan tipe darah, injeksi, dan cedera adalah rentang 5 sampai
9 tahun, walaupun onset terjadi pada usia puncak untuk tipe situasional adalah
lebih tinggi, dalam pertengahan usia 20-an, yang dekat dengan usia onset untuk
agorafobia. Objek dan situasi yang ditakuti pada fobia spesifik (dituliskan dalam
frekuensi menurun) adalah binatang, badai, ketinggian, penyakit, cedera, dan
kematian (12,18).

Prevelensi enam bulan untuk fobia sosial adalah kira-kira 2 sampai 3 per
100 orang. Dalam penelitian epidemiologis, wanita lebih sering tekena daripada
laki-laki, tetapi pada sampel klinis sering kali terjadi hal yang sebaliknya. Alasan
untuk observasi yang berlainan tersebut adalah tidak diketahui. Onset usia
puncakuntuk fobia sosial adalah pada usia belasan tahun, walaupun onset sering
kali paling muda pada usia 5 tahun dan paling lanjut pada usia 35 tahun (12,15).

2.3 Etiologi Fobia

Baik fobia spesifik dan fobia sosial memiliki tipe-tipe dan penyebab tepat
dari tipe tersebut kemungkinan berbeda. Bahkan didalam tipe-tipe, seperti pada
semua gangguan mental, ditemukan heterogenisitas penyebab. Patogenesis fobia,
jika dimengerti, mungkin terbukti sebagai model yang jelas untuk interaksi antara
faktor biologia dan genetika, pada satu pihak, dan peristiwa lingkungan, pada
pihak lain. Pada fobia spesifik tipe darah, injeksi, cedera orang yang terkena
mungkin memiliki reflex vasovagal yang kuat dan diturunkan, yang menjadi
berhubungan dengan emosi fobik. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
munculnya fobia adalah (6,7,17):
a. Faktor Perilaku
Pada tahun 1920 John B Waston menulis suatu artikel yang berjudul
“Conditioned Emotional Reaction”, dimana ia menceritakan
pengalamannya dengan Little Albert, seorang bayi dengan ketakutan
terhadap tikus dan kelinci. Tidak seperti Little hans dari Freud, yang
memiliki gejala fobik pada perjalanan alami kematangannya, kesulitan
Little Albert merupakan akibat langsung dari percobaan ilmiah oleh dua
ahli psikologis yang menggunakan teknik yang telah berhasil
menginduksi respons yang dibiasakan pada binatang percobaan.
Rumusan Waston menggunakan model stimulus–respons tradisional dari
Pavlov tentang reflex yang dibiasakan (conditional reflex) untuk
menerangkan ciptaan fobia. Dimana, kecemasan dibangkitkan oleh
stimulus yang secara alami menakutkan yang terjadi dalam hubungan
dengan stimulus kedua yang sifatnya netral. Sebagai akibat hubungan
tersebut, khususnya jika dua stimuli dipasangkan pada beberapa keadaan
yang berurutan, stimulus yang pada awalnya netral memiliki
kemampuan untuk membangkitkan kecemasan oleh dirinya sendiri.
Dengan demikian, stimulus netral menjadi stimulus yang dibiasakan
untuk menghasilkan kecemasan.
Dalam teori stimulus-respons klasik, stimulus yang dibiasakan secara
bertahap kehilangan potensinya untuk membangkitkan suatu respons
jika tidak diperkuat oleh pengulangan periodik stimulus yang tidak
dibiasakan. Pada gejala fobik, perlemahan respon terhadap stimulus
fobik yaitu, stimulus yang dibiasakan tidak terjadi; gejala mungkin
berlangsung selama bertahun-tahun tanpa adanya pendorong eksternal
yang terlihat. Teori pembiasaan pelaku (operant conditioning theory)
memberikan suatu model untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pada
teori pembiasan pelaku, kecemasan adalah suatu dorongan yang
memotivasi organisme untuk melakukan apa yang dapat menghilangkan
pengaruh yang menyakitkan. Dalam perjalanan perilaku acaknya,
organisme belajar bahwa tindakan tertentu memungkinkan mereka
menghindari stimulus yang menyebabkan kecemasan. Pola
penghindaran tersebut tetapi stabil untuk jangka waktu yang lama
sebagai akibat penguatan yang diterima organisme dari kapasitas untuk
menekan aktivitas. Model tersebut mudah diterapkan pada fobia dimana
penghindaran objek atau siatuasi yang menimbulkan kecemasan
memainkian peranan inti. Perilaku penghindaran tersebut menjadi
terfiksasi sebagai gejala yang stabil karena efektivitasnya dalam
melindungi seseorang dari kecemasan fobik.
Teori belajar memiliki relevansi terhadap fobia dan memberikan
penjelasan sederhana dan dapat dimengerti bagi banyak aspek gejala
fobik. Tetapi kritik mengatakan bahwa teori ini sebagian besar
membicarakan mekanisme permukaan pembentukan gejala dan kurang
berguna dibandingkan teori psikoanalitik dalam memberikan
pemahaman beberapa proses psikis. Dasar kompleks yang terlibat.
b. Faktor Psikoanalitik
Sigmund Freud mengajukan suatu rumusan neurosi fobik yang tetap
merupakan penjelasan analitik tentang fobia spesifik dan fobia sosial.
Freud menghipotesiskan bahwa fungsi utama kecamasan adalah sebagai
member sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan bawah sadar yang
dilarang mendorong utnuk mendapatkan ekspresi sadar, jadi mengubah
ego untuk memperkuat dan menyusun pertahanannya melawan
dorongan instingtual yang mengancam. Freud memandang fobia-histeria
kecemasan, seperti yang terus disebutnya demikian sebagai akibat dari
konflik yang berpusat pada situasi oedipal masa anak-anak yang tidask
terpecahkan. Karena dorongan seks terus memiliki warna sumbang yang
kuat pada masa dewasa, kebangkitan sekssual cenderung menyalakan
suatau kecemasan yang karakteristiknya adalah ketakutan kastrasi. Jika
represi gagal, ego harus memanggil pertahanan tambahan. Pada pasien
fobik pertahan yang terlibat terutama menggunakan pengalihan; yaitu,
konflik seksual dialihkan dari orang yang menimbulkan konflik kepada
objek atau situasi yang tampaknya tidak relevan dan tidak penting, yang
selanjutnya memiliki kekuatan untuk membangkitkan kumpuilan afek,
termasuk sinyal kecemasan. Objek atau situasi fobik mungkin memiliki
hubungan asosiatif langsung dengan sumber utama konflik dan, dengan
demikian, menyimbolkan (mekanisme pertahanan simbolisasi).
Selanjutnya, situasi atau objek biasanya adalah sesuatu yang mampu
dijauhi oleh seseorang; dengan mekanisme pertahan penghindaran
tambahan tersebut, orang dapat lolos dari kecemasan yang serius. Freud
pertama kali membicarakan rumusan teoritik tentang pembentukan fobia
dalam riwayat kasusnya yang terkenal tentang little Hans, seorang anak
berusia 5 tahun yang memiliki ketakutan terhadap kuda.
Walaupun ahli teori pertama kali berpendapat bahwa fobia dihasilkan
oleh kecemasan kastrasi, ahli teori psikoanalitik sekarang ini telah
mengajuikan bahwa kecemasan tipe lain mungkin terlibat. Sebagai
contoh, pada agoraphobia, kecemasan perpisahan jelas memainkan
peranan yang utama, dan pada eritrofobia (ketakutan terhadap warna
merah yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan terhadap
perdarahan), elemen rasa malu menyatakan keterlibatan kecemasan
superego. Pengamatan klinik menyebabkan pandangan bahwa
kecemasan berhubungan dengan fobia memiliki berbagai sumber dan
warna.
Fobia menggambarkan interaksi antara diatesis genetika-konstitusional
dan stresor lingkungan. Penelitian longitudinal menyatakan bahwa anak-
anak tertentu memiliki predisposisi konstitusional terhadap fobia karena
mereka lahir dengan temperamen tertentu yang dikenal sebagai inhibisi
perilaku terhadap yang tidak dikenal (behavioral inhibition to the
unfamiliar). Tetapi suatu bentuk stres lingkungan kronis harus bekerja
pada disposisi temperamental tersebut untuk menciptakan fobia yang
lengkap. Stresor tertentu seperti kematian orangtua, perpisahan
orangtua, kkritik atau penghinaan oleh saudara kandung yang lebih tua,
dan kekerasan dirumah tangga mungkin mengaktivasi diatesis laten
didalam anak-anak, sehingga anak menjadi simptomatik.
c. Faktor Genetika
Sanak saudara derajat pertama orang denga fobia social aalah kira-kira 3
kali lebih mungkin menderita fobia sosial dibandingkan snak saudaara
derajat pertama orang tanpa gangguan mental. Beberpa data awal
menyatakan bahwa kembar monozigotik adalah lebih sering bersesuaian
dibandingkan kembar dizigotik, walaupun pada fobia sosial adalah
cukup penting untuk mempelajari kembar yang dibesarkan secara
terpisah untuk membantu mengontrol faktor lingkungan.
Fobia spesifik cenderung berada didalam keluarga. Tipe darah, injeksi,
cedera cenderung memiliki kecenderungan keluarga yang tinggi.
Penelitian telah melaporkan duapertiga sampai tigaperempat penderita
yang terkena memiliki sekurangnya satu sanak saudaraderajat pertama
dengan fobia spesifik dari tipe yang sama. Tetapi, pemeriksaan kembar
dan adopsi yang diperlukan belum dilakukan untuk menyingkirkan
peranan bermakna transmisi non genetik pada fobia spesifik.
Beberapa penelitian telah melaporkan kemungkinan adanya sifat pada
beberapa anak yang ditandai oleh pala inhibisi perilaku yang konsisten.
Sifat tersebut mungkin cukup sering pada anak-anak yang orang tuanya
menderita gangguan panik dan mungkin berkembang menjadi pemalu
yang parah saat anak tumbuh menjadi besar. Sekurangnya beberapa
orang dengan fobia sosial mungkin mengalami inhibisi perilaku nyang
terlihat selama masa anak-anak. Kemungkinan berkaitan dengan sifat
tersebut, yang diperkirakan didasarkan secara biologis, adalah data
dengan dasar psikologis yang menyatakan bahwa orang tua dari orang
dengan fobia social, sebagai suatu kelompok adalah, kurang mengasuh,
lebih menolak, dan lebih overprotektif pada anak-anaknya dibandingkan
orangtua lain. Sebagai contoh, orang yang berkuasa mungkin cenderung
berjalan dengan dagu terangkat dan membuat kontak mata, sedangkan
orang yang dikalahkan mungkin cenderung berjalan dengan kepala
tertunduk dan menghindari kontak mata.
d. Faktor Neurokimiawi
Keberhasilan farmakoterapi dalam mengobati fobia sosial telah
menciptakan dua hipotesisi neurokimiawi spesifik tentang dua jenis
fobia social. Secara spesifik, penggunaan antagonis beta adrenergic,
sebagai contoh, Propanolol (inderal) – untuk fobia kinerja (performance
phobia), sebagai contoh, berbicara di depan public telah
mengembangkan teori adrenergic untuk fobia tersebut. Pasien dengan
fobia kinerja mungkin melepaskan lebih banyak norepinefrin dan
epinefrin, baik sentral maupun perifer, dibandingkan orang nonfobik,
atau pasien tersebut mungkin peka terhadap stimulasi adrenergic tingkat
yang normal. Pengamatan bahwa inhibitor monoamine oksidase
(MAOI) mungkin lebih efektif dibandingkan obat trisiklik dalam
pengobatan fobia sosial umum, dikombinasikan dengan data praklinis,
telah menyebabkan beberapa penelitian menghipotesiskan bahwa
aktivitas dopaminergik adalah berhubungan dengan potogenesis
gangguan.

2.4 Patofisiologi Fobia

Fobia spesifik yang umum, gangguan yang heterogen ciri utama adalah
terus-menerus, ketakutan yang tidak masuk akal dari suatu obyek atau situasi
terbatas. Hal ini termasuk pengkondisian, dimodifikasi conditioning dan model
nonassociative pembangunan fobia, fisiologis terhadap rangsangan fobia,
neuroimaging, primata, dan biologis studi tantangan. Hipotesis patofisiologi
disarankan oleh riset terbaru mengenai neurocircuitry dari dikondisikan takut juga
dibahas, meskipun telah fobia spesifik kurang kesehatan masyarakat dan
kepentingan klinis dari gangguan kecemasan lain, mereka mungkin dibatasi alam
dan hubungannya dengan dikondisikan takut dapat membuat mereka menjadi
subjek yang produktif bagi penelitian ke patofisiologi dasar (3,4).

Patofisiologi fobia sosial tidak jelas. Namun, teori-teori telah muncul


didasarkan pada kemanjuran agen farmakologi digunakan untuk mengobati fobia
social. dengan demikian, fungsi serotonergic mungkin terlibat karena serotonergic
reuptake inhibitor mambantu mengurangi gejal. Similary, beberapa peneliti
percaya dalam etiologi adrenergic karena keberhasilan terapi Propanolol.
Neurocircuitry amigdala, suatu struktur yang terlibat dalam ketakutan, mungkin
terlibat (3,4).

Respon fisiologis tinggi dan peningkatan catecholamine memainkan peran


penting dalam respons fisiologis normal tubuh terhadap stress dan kecemasan.
Kecemasan patologis telah dihipotesiskan sebagai akibat dari gangguan di korteks
serebral, terutama sistem limbik. Neurotransmitter terutama terkait dengan
kecemasan di daerah ini norepinephrine, gamma-aminobutyric acid (GABA), dan
serotonin (3,4).

2.5 Diagnosis Fobia

Nama untuk fobia spesifikasi di dalam DSM-III-R adalah fobia sederhana


(simple phobia). Nama ini telah diganti dalam DSM-IV untuk menyesuaikan tata
nama dalam internasional. International Classification of Disease 10 (ICD-10) dan
untuk menghindari sempitnya lingkup diagnosis. Sebagai contohnya, karena
serangan panic adalah sering ditemukan pada pasien fobia spesifik, nama “fobia
sederhana” secara tidak tepat mengesankan bahwa serangan panik adalah tidak
dimungkinkan oleh kriteria diagnostik (16).

Beberapa perubahan lain telah dibuat dari kriteria DSM-III-R menjadi


kriteria DSM-IV untuk fobia spesifik. Kriteria A dan B telah diperbaharui untuk
memungkinkan bahwa pemaparan dengan stimulus fobik menyebabkan suatu
serangan panik. Tetapi, berlawanan dengan gangguan panik, pada fobia spesifik
serangan panik adalah berkaitan secara situaional dengan stimulus fobia
spesifikasi. Kriteria F dalam DSM-IV memasukkan kata “tidak lebih baik
disebabkan oleh” untuk menekankan perlunya pertimbangan klinisi tentang
diagnosis gejala. Isi fobia spesifik dan kekuatan hubungan (sebabgai contoh,
dengan tanda atau tanpa tanda) antara stimulus dan serangan panic juga perlu
dipertimbangkan (16).
Karena suatu tinjauan pada literature manyatakan bahwa fobia spesifikasi
adalah berhubungan denagan onset usia, rasio jenis kelamin, riwayat keluarga,
dan respons fisiologis yang bervariasi, DSM-IV memasukkan tipe fobia spesifik
yang terpisah tipe binatang, tipe lingkungan alami (sebagai contoh, badai), tipe
darah, injeksi, cedera, tipe situasional (sebagai contoh, mobil), dan tipe lain (untuk
fobia spesifikasi yang tidak masuk kedalam keempat tipe sebelumnya). Data
pendahuluan menyatakan bahwa tipe lingkungan alami adalah paling sering pada
anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan tipe situasional sering pada awal
usia 20 tahunan (10,11).

Kriteria diagnostik untuk fobia spesifik adalah (11,14):

a. Rasa takut yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak
keberhasilan ditunjukkan oleh adanya atau antisipasi suatu objek atau
situasi tertentu (misalnya, naik pesawat terbang , ketinggian, binatang,
mendapatkan suntikan, melihat darah).

b. Pemaparan dengan stimulus fobik hamper selalu mencetuskan


respons kecemasan yang segera, yang dapat berupa serangan panik yang
berhubungan dengan situasi. Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat
diekspresikan oleh menangis, tantrum, dan membeku.

c. Orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak


beralasan. Catatan : pada anak-anak, ciri ini mungkin tidak ada.

d. Situasi fobik dihindari, atau jika tidak dapat dihindari, dihadapi


dengan kecenasan atau penderitaan yang kuat.

e. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau penderitaan dalam


situasi yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal orang,
fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau hubungan
dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena menderita
fobia.
f. Pada individu yang berusia di bawah 18 tahun, durasi
sekurangnya adalah 6 bulan.

g. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik


berhubungan dengan objek atau situasi spesifik adalah tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain, seperti gangguan obsesif-
kompulsif (misalnya takut kepada kotoran pada seseorang dengan obsesi
tentang kontaminasi), gangguan stress pasca tarumatik (misalnya,
menghindari stimuli yang berhubungan dengan stressor yang berat),
gangguan cemas perpisahan (misalnya, menghindari sekolah), fobia
sosial (misalnya, menghindari situasi social karena takut merasa malu),
gangguan panic dengan agorafobia tanpa riwayat gangguan panic.

Tipe darah, injeksi, cedera dibedakan dari tipe lainnya dimana bradikardia
dan hipotensi sering kali menyusul takikardia awal yang sering terjadi pada semua
fobia. Fobia spesifik tipe darah, injeksi, cedera kemungkinan mengenai banyak
anggota dan generasi dari suatu keluarga. Satu tipe fobia spesifik yang telah
dilaporkan baru-baru ini adalah fobia ruang, dimana pasien takut akan terjatuh
jika disekitarnya tidak ada penopang, seperti dinding atau sebuah kursi. Beberapa
data menyatakan bahwa pasien yang terkena mungkin memiliki fungsi yang
abnormal pada hemisfer kanan, kemungkinan menyebabkan gangguan visual
spasial (penglihatan ruang) (11,19).

Kriteria diagnostik DSM-IV untuk fobia sosial telah dimodifikasi dari


kriteria diagnostik DSM-III. Karena fobia sosial dapat disertai dengan serangan
panik, kriteria B dan F DSM-IV telah ditulis ulang untuk menekankan fakta
tersebut (kriteria B) dan untuk mendorong penggunaan pertimbangan klinis dalam
membuat diagnosis akhir (kriteria F). DSM-IV menambahkan suatu tipe fobia
sosial, tipe umum, yang dapat digunakan utnuk meramalkan perjalanan penyakit,
prognosis, dan respons pengobatan. DSM-IV mengesampingkan diagnosis fobia
jika gejala akibat dari penghindaran sosial yang berakar dari rasa malu tentang
kondisi medis psikiatrik atau nonpsikiatrik lainnya (16,20).
Kriteria diagnostik untuk fobia sosial adalah (11,16):

a. Rasa takut yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih
sitauasi sosial atau kinerja dimana orang bertemu dengan orang yang tidak
dikenal atau dengan kemungkinan diperiksa oleh orang lain. Individu
merasa takut bahwa ia akan bertindak dalam cara (atau menunjukkan
gejala kecemasan) yang akan memalukan atau merendahkan. Catatan :
untuk melakukan hubungan sosial yang sesuai dengan usia dengan orang
yang telah dikenalnya dan kecemasan harus terjadi dalam lingkungan
teman sebaya, dan tidak dalam interaksi dengan orang dewasa.

b. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu


mencetuskan kecemasan, yang dapat berupa serangan panic yang berkaitan
dengan situasi atau dipredisposisikan oleh situasi. Catatan : pada anak-
anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum,
membeku, atau menarik diri dari situasi sosial dengan orang yang tidak
dikenal.

c. Orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak


beralasan. Catatan : pada anak-anak, cirri ini mungkin tidak ditemukan.

d. Situasi sosial atau kinerja yang ditakuti adalah dihindari, atau


jika tidak dapat dihindari dihadapi dengan kecemasan atau penderitaan
yang kuat.

e. Penghindaran, antisipasi fobik, atau penderitaan dalam situasi


sosial atau kinerja secara bermakna mengganggu rutinitas normal orang,
fuingsi pekerjaan (akademik), atau aktivitas sosial dan hubungan dengan
orang lain, atau terdapat penderitaan dala situasi sosial atau kinerja secara
bermakna mengganggu rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan
(akademik), atau aktivitas sosial dan berhubungan dengan orang lain, atau
terdapat pendertiaan yang jelas tentang menderita fobia.
f. Pada Individu di bawah 18 tahun, durasi sekurangnya adalah 6
bulan. g. Rasa takut atau penghindaran adalah bukan karena efek fisiologis
langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi)
atau kondisi medis umum, dan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh
gangguan mental lain (misalnya, gangguan panik dengan atau tanpa
agorafobia, gangguan cemas perpisahan, gangguan dismorfik tubuh,
gangguan perkembangan pervasif, atau gangguan kepribadian skizoid).

h. Jika terdapat suatu kondisi medis umum atau gangguan mental


lain, rasa takut dalam kriteria A adalah bukan gagap, gemetar pada
penyakit Parkinson, atau menunjukkan perilaku makan abnormal pada
anoreksia nervosa atau bulimia nervosa.

2.6 Gambaran Klinis Fobia

Fobia adalah ditandai oleh kesadaran akan kecemasan berat jika pasien
terpapar dengan situasi atau objek spesifik atau jika pasien memperkirakan akan
terpapar dengan situasi atau objek tersebut. DSM-IV menekankan kemungkinan
bahwa serangan panik dapat dan sering kali terjadi pada pasien dengan fobia
spesifik dan sosial, tetapi serangan panik, kecuali kemungkinan bagi beberapa
serangan yang pertama, adalah diperkirakan. Pemaparan dengan stimulus fobik
atau memperkirakannya hampir selalu menyebabkan serangan panik pada orang
yang rentan terhadap serangan panik (panic attack-prone person) (20).

Pasien dengan fobia, menurut definisinya, mencoba untuk menghindari


stimulus fobik. Beberapa pasien mengalami masalah besar dalam menghindari
situasi yang menimbulkan kecemasan. Sebagai contohnya, seorang pasien fobik
mungkin menggunakan bis untuk bepergian jarak jauh, bukannya dengan pesawat
terbang, untuk menghindari kontak dengan objek fobia pasien, yaitu pesawat
terbang. Kemungkinan sebagai cara lain untuk menghindari stres dari stimulus
fobik, banyak pasien fobik menderita gangguan berhubungan dengan zat,
terutama gangguan penggunaan alkohol. Selain itu, diperkirakan sepertiga dari
semua pasien dengan fobia sosial memiliki gangguan depresi berat (19,20).
Temuan utama pada pemeriksaan status mental adalah adanya ketakutan
yang irasional dan egodistonik terhadap situasi, aktivitas, atau objek tertentu,
pasien mampu menggambarkan bagaimana mereka menghindari kontak dengan
situasi fobik. Depresi seringkali ditemukan pada pemeriksaan status mental dan
mungkin ditemukan pada sebanyak sepertiga dari semua pasien fobik (7,8).

Kecemasan hebat pada pasien dengan fobia dapat mengakibatkan gejala


fisik dan psikologik. Manifestasi kecemasan itu termasuk gelisah, diare, pusing,
palpitasi, hiperhidrosis, tremor, sinkope, dan takikardi. Beberapa pasien
menunjukkan perilaku yang justru bertentangan terhadap fobianya itu, misalnya
dengan sengaja mencari rangsangan yang menimbulkan rasa takut itu dan
dihadapi secara berulang dalam usaha untuk mengatasi rasa takutnya (9,10).

2.7 Tatalaksana Fobia

Secara umum terapi fobia meliputi:

A. Terapi psikologik

a. Terapi Perilaku merupakan terapi yang efektif. Seperti terapi


desensitisasi yang sering dilakukan, terapi pemaparan (exposure), imaginal
exposure, participent modelling, guided mastery, imaginal flooding.

b. Psikoterapi bersifat tilikan

c. Terapi lain seperti hypnotherapy, psikoterapi suportif, terapi


keluarga bila diperlukan.

B. Farmakoterapi

Obat-obatan yang dipaki untuk tatalaksana fobia adalah : SSRI (Serotonin


Selective Re-Uptake Inhibitor), khususnya untuk fobia sosial umum
merupakan pilihan utama.
Benzodiazepine, Venlafaxine, Buspirone, MAOI, antagonis b-adrenergik
reseptor dapat diberikan satu jam sebelum terpapar dengan stimulus fobia,
misalnya jika individual hendak bicara di depan umum. Terapi terhadap
fobia spesifik yang terutama adalah terapi perilaku yaitu terapi pemaparan
(Exposure Therapy), yaitu desensitisasi pasien dengan pemaparan stimulus
fobik secara bertahap. Juga diajarkan untuk menghadapi kecemasandengan
teknik relaksasi, mengontrol pernafasan dan pendekatan kognitif.
Penggunaan anti ansietas yaitu untuk terapi jangka pendek. Pengobatan
fobia sosial terbatas, dapat menggunakan beta blocker seperti propanolol,
anti ansietas dan antidepressan. Bila keadaan pasien membaik, lorazepam
injeksi dapat diganti dengan lorazepam oral atau golongan benzodiazepin
lain. Terapi ini tidak boleh lebih dari 1 minggu untuk mencegah
ketergantungan. Benzodiazepin digunakan hanya untuk meningkatkan
kepercayaan diri pasien. Setelah serangan panik berlalu, pasien harus
dijelaskan mengenai pentingnya terapi jangka panjang seperti CBT dan
penggunaan obat jenis SSRI.

Contoh Obat Golongan SSRI :

Fluoksetin.

Fluoksetin secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik,


dengan efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake
norepinefrin atau dopamine.

Paroksetin

merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya


berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan
memiliki efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan
dopamine.
Sertralin

Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah
pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.

Fluvoksamin

Fluvoksamin merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake


serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-
adrenergik, histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya
lebih sedikit dibanding obatobatan jenis trisiklik.

Citalopram

Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif


reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik
obat ini lebih sedikit.

Escitalopram

Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya


mirip dengan citalopram.

Efek Samping SSRI

Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama


ketika tubuh mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek
samping seksual yang timbul pada fase akhir pengobatan). Biasanya
penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai mendekat
potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI
antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin,
perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah
dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri dan
meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan.
2. MAO Inhibitor Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)

merupakan salah satu jenis antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi
gangguan panik. Pada masa lalu golongan ini digunakan untuk mengatasi
gangguan panik dan depresi yang sudah resisten terhadap golongan trisiklik.

Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah dan
efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.

Cara Kerja MAOI

MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase,


sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitter dan
meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A
dan MAO-B. MAO-A berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin,
epinephrine and norepinephrine. Sedangkan MAO-B mendeaminasi
phenylethylamine dan sisa amina. Dopamine dideaminasi oleh keduanya.

Contoh Obat MAOI

Phenelzine (Nardil).

Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan dalam
mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan melalui superioritas yang
jelas terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatasi
gangguan panik. Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon
terhadap obat golongan trisklik atau obat antidepresi golongan kedua.

Tranylcypromine (Parnate).

Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan secara
ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan
meningkatkan avaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI

Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine.


Sehingga ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang
dapat menderita krisis hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan
dimakan juga, maka hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah
makanan yang dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbedabeda pada tiap
individu. Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan
krisis hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi
diperkirakan tiramin menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di
vesikel, dalam hal ini norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat
memicu aliran pengeluaran norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis
hipertensi. Teori lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi
katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi. Beberapa makanan yang
mengandung tiramin antara lain hati, makanan yang difermentasi dan zat-zat
lain yang mengandung levodopa seperti kacang-kacangan. Makananmakanan
itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.

2.8 Prognosis Fobia

Fobia spesifik mempunyai prognosis yang paling baik. Fobia sosial


cenderung meningkat secara berangsur-angsur dan agorafobia yang paling buruk
prognosisnya dibandingkan kelompok fobia lainnya karena cenderung ke arah
kronik (9).

Tidak banyak yang diketahui tentang perjalanan penyakit dan prognosis


fobia spesifik dan fobia sosial karena mereka relatif baru dikenali sebagai
gangguan mental yang penting. Diperkenalkannya psikoterapi spesifik dan
farmakoterapi untuk mengobati fobia akan juga mempengaruhi interprestasi data
tentang perjalanan penyakit dan prognosis kecuali kontrol pemeriksaan untuk
strategi pengobatan (10).
Gangguan fobik mungkin disertai dengan lebih bannyak morbiditas
dibandingkan yang diketahui sebelumnya. Tergantung pada derajat mana perilaku
fobik mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi, pasien yang terkena
mungkin memiliki ketergantungan finansial pada orang lain semasa dewasa dan
memiliki berbagai derajat gangguan dalam kehidupan sosialnya, keberhasilan
pekerjaan, dan pada orang muda, prestasi sekolahnya. Perkembangan gangguan
berhubungan zat yang menyertainya juga merugikan perjalanan penyakit dan
prognosis gangguan (19,20).
BAB III

KESIMPULAN

Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan


penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.
Menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV),
fobia terbagi 3, yaitu : fobia sosial, fobia spesifik, dan agorafobia adalah
subkelompok gangguan kecemasan (2,16).

Fobia sosial fokus dari takutnya adalah pada peristiwa dipermalukan


seseorang di tempat ramai, sedangkan agorafobia fokus takutnya ialah
ketidakmampuan untuk melarikan diri. Fobia spesifik ialah rasa takut yang tidak
sesuai kenyataan terhadap stimuli spesifik seperti laba-laba, ular, tempat tinggi,
halilintar, penyakit, cedera, kesendirian, kematian, dan ketularan penyakit (7,8).

Ada beberapa cara dalam pendekatan pengobatan yang dipakai untuk


menanggulangi fobia. Jika cara-cara ini dikombinasikan akan memberikan banyak
manfaat pada penderitaan fobia. Para ahli yang bekerja di bidang kesehatan jiwa
mempunyai orientasi deskriptif dan dinamik, menyadari bahwa keduanya saling
melengkapi dan menambah relevansi klinik dari gejala-gejala yang ditampilkan
pasien. Ditinjau dari aspek dinamik setiap pasien mempunyai ciri khas
masingmasing, dan dari aspek deskriptif kita menemukan gejala yang terlihat saat
itu. Dengan memberikan tempat yang wajar pada kedua pandangan itu serta
penanggualangannya yang tepat, maka diharapkan penderita akan mendapatkan
terapi yang tepat dan adekuat (5,13).
Daftar Pustaka

1. Kaplan, Harold I, Benjamin J, Sadock, Jack A. Greb. Gangguan Kecemasan. Kaplan


dan Saddock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi 7. Jilid
2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.

2. American Psychiatric Association. Social Phobia (Social Anxiety Disorder).


Diagnostic and Statistical of Mental Disorder. Edisi 4. Washington: R.R. Donnelly &
Sons Company. 1994.

3. Puri, Basant K. Laking, Paul J, Treaseden. Text Book of Psychiatry 2nd Edition.
London: Churchill Livingstone. 2010.

4. Rubin EH, Charles FZ. Adult Psychiatry 2nd Edition. Australia: Blackwell Publishing.
2005.

5. Budiman, Richard. Neurosis fobik dan cara penanggulangannya di Indonesia. Jakarta:


Yayasan Kesehatan Jiwa Darmawangsa. 2009.

6. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ IV. Jakarta: PT. Nuh Jaya. 20012.

7. Maramis WE. Ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.

8. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2010.

9. Acocella, J. Alloy, LB. Bootzin, RR. Abnormal Psychology : Current Perspective. New
York : Mc Graw Hill. 2004.

10. Atkinson, RL. Smith EE. Bem, DJ. Hilgard’s Introduction to Psychology 13th edition.
New York: Harcourt College Publishers. 2002.

11. Shelton RC. Anxiety Disorder. In : Ebert MH, Nurcombe B, Loosen PT, Leckman JF,
editors. Current diagnosis & treatment psychiatry. 2nd edition. The Mc Graw Hill Co Inc.
P351-62. 2008.

12. Smoller JW, Sheidley BK, Tsuang MI. Anxiety disorder and social phobia: A
population based twin study. USA: American Psychiatry Publishing Inc; p150-6. 2008.
13. Moscovitch DA, Hofmann SG, Suvak MK. Meditation of changes in anxiety and
depression during treatment of social phobia. J Consult Clin Psychol. 73(5): 945-52.
2005.

14. Chaplin J.P. Kamus lengkap psikologi (terjemahan dr. Kartini Kartono). Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 1997.

15. Neale, JM. Davidson, GC. Abnormal Psychology. New York: John Wiley & Sons,
Inc. 2001.

16. Schneier, FR. Social anxiety disorder. N England J Med 2006; 355: 1029- 1036.

17. Carr A. Abnormal psychology : Psychology focus. East Sussex. Psychology Press,
2012

18. Baihaqi, Sunardi, Euis H, dkk. Psikiatri. Bandung: Refika Aditama, 2007.

19.Dafit, AT. Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2009.


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RSD MADANI PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN DAN
ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO

REFERAT PSIKIATRI
GANGGUAN FOBIA

DISUSUN OLEH :
NAZLA AL AMRI
N 111 17 004

PEMBIMBING KLINIK
dr. Dewi Suriany, Sp.KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RSD MADANI PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018

You might also like