You are on page 1of 12

Chairida Nur Aulia N.

I1A014207

UJI AKTIVITAS REPELEN EKSTRAK ETANOL DAUN BINJAI (Mangifera


caesia) TERHADAP NYAMUK Aedes aegypti.

Chairida Nur Aulia N.

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung


Mangkurat

chairida21icha@gmail.com

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)


merupakan masalah kesehatan umun di Indonesia. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan
nyamuk (Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Penanganan terhadap penyebaran penyakit
demam berdarah dengue ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya
adalah memakai lotion pengusir nyamuk. Namun, lotion pengusir nyamuk ada di pasaran
memiliki efek toksik terhadap manusia. Binjai (Mangifera caesia) merupakan tanaman
satu genus dengan Mangifera indica. Daun Mangifera inidica memiliki aktivitas repelen
terhadap nyamuk Aedes aegypti. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan
aktivitas repelen ekstrak etanol daun binjai terhadap nyamuk Aedes aegypti. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan posstest-only with control grup
design. Beberapa konsentrasi ekstrak etanol daun binjai akan dioleskan ke punggung
mencit yang dipaparkan nyamuk selama 5 menitsetiap periode pengamatan RC50 dan
RC90, dan RET akan dianalisis menggunakan uji probit. Hasil penelitian menunjukan
RET dengan RC50 dari ekstrak etanol daun binjai adalah 4,15 jam. Simpulan dar
penelitian ini adalah ekstrak etanol daun binjai memiliki aktivitas repelen terhadap
nyamuk Aedes aegypti.

Kata kunci: demam berdarah dengue, nyamuk Aedes aegypti, repelen, daun binjai

LATAR BELAKANG MASALAH

Penyakit DBD di Indonesia masih merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi. Penyakit DBD bahkan endemis

hampir di seluruh provinsi. Jumlah kasus dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, daerah

terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan Kejadian Luar

Biasa (KLB). Setiap tahunnya diperkirakan ada 3.000.000 kasus di Indonesia, dan

500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000

diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak. Penyakit ini juga sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dan prilaku masyarakat terutama kesadaran masyarakat tentang

kebersihan lingkungan serta perubahan iklim. Penyebaran penyakit DBD di Provinsi

Kalimantan Selatan terjadi di 13 (tiga belas) kota dan kabupaten. Angka IR di Kalimantan

Selatan pada tahun 2007 sebesar 35,59/100.000 penduduk dengan CFR adalah 1,21%,

tahun 2008 sebesar 14,44 per 100.000 penduduk dengan CFR adalah 1,70% di tahun

2009.

Pemberantasan terhadap Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah

dengue pada dasarnya cara yang dapat dilakukan meminimalisir wabah DBD di

Kalimantan Selatan seperti penyemprotan (fogging), pendistribusian bubuk temephos,

sosialisasi 3M Plus, dan penggunaan repelen merupakan salah satu cara pencegahan

penyakit DBD yang telah banyak digunakan saat ini. Repelen yang ada di pasaran

tersedia dalam berbagai macam bentuk, di antaranya adalah lotion, spray, minyak, obat

nyamuk bakar, dan elektrik. Penggunaan insektisida nabati banyak memberikan

keuntungan ramah lingkungan, tidak memberikan dampak buruk pada kesehatan dan

bahan dasar ada di sekitar pemukiman. Maka dipandang perlu untuk mencari insektisida

nabati sebagai repelen untuk menolak gigitan nyamuk penular penyakit. Indonesia

merupakan negara tropis dan terdapat berbagai jenis tumbuhan seperti genus Mangifera

yang belum banyak dimanfaatkan, misal sebagai penolak gigitan nyamuk dan sangat

diharapkan menjadi pilihan masyarakat karena bahan tersebut banyak terdapat disekitar

pemukiman serta aman digunakan dalam jangka panjang sebab tanpa ada efek negatif.

Salah satu genus Mangifera yang sudah di teliti metabolit sekundernya sebagai

repelen adalah mangifera indica. Jenis mangga ini banyak tumbuh di berbagai penjuru di

Indonesia termasuk di Kalimantan Selatan. Mangfera indica L. (mangga) mengandung

senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, dan fitosterol. Daun Mangga ini di gunakan oleh
masyarakat Filipina dengan cara di membakar daunnya untuk mengusir nyamuk

penyebab demam berdarah dengue dan malaria.

RUMUSAN MASALAH

apakah ekstrak etanol dari daun Binjai (Mangifera caesia) mempunyai aktivitas

repelen terhadap nyamuk Aedes aegypti?

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat diberikan hukuman

pidana.9 Tindak pidana merupakan suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan

karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata

hukum dan menyelamatkan kesejahteraan hukum.10

Undang-Undang No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa

narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di Lapas. Terpidana adalah

seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.11,12

Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat atau wadah pembinaan narapidana

dan anak didik pemasyarakatan.12 Pembinaan yang dilakukan harus didasarkan pada

minat, bakat, dan watak maupun kebutuhan narapidana agar pembinaan tersebut benar-

benar bermanfaat dan dapat dijadikan bekal bagi narapidana itu sendiri setelah selesai

menjalani hukumannya. Kehidupan di Lapas merupakan suatu tekanan, sehingga banyak

menimbulkan masalah kejiwaan. Salah satu masalah kejiwaan tersebut adalah

kecemasan.13

Kecemasan (anxiety) berasal dari bahasa latin angustus yang berarti kaku, dan

ango, anci yang berarti mencekik.14 Kecemasan digambarkan sebagai suatu perasaan

takut terhadap situasi atau objek yang jelas dari luar individu itu sendiri yang sebenarnya

tidak membahayakan.15
Faktor risiko kecemasan antara lain: 5, 15, 16

a. Usia

Usia yang lebih muda cenderung lebih mudah mengalami stres dan kecemasan

daripada usia tua. Penelitian oleh Lutfa dkk menunjukkan semakin bertambahnya usia,

ada kecenderungan penurunan tingkat kecemasan.

b. Jenis kelamin

Wanita dua kali lebih sering mengalami kecemasan daripada pria. Hal ini

dipengaruhi oleh pengaruh hormon sehingga wanita lebih mudah mengalami cemas.

c. Tingkat pendidikan

Orang dengan tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah cenderung lebih

banyak mengalami kecemasan daripada orang yang berpendidikan tinggi. Hal ini

disebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin dapat berpikir secara

rasional dan dapat menahan emosi dengan baik.

d. Status pernikahan

Orang yang sudah menikah lebih sedikit mengalami gelisah dan cemas. Hal ini

dikarenakan rasa percaya yang dimiliki terhadap pasangan. Perasaan percaya membantu

menangani setiap permasalahan dengan mudah.

e. Status ekonomi

Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik. Masyarakat

dengan status sosial ekonomi rendah memiliki kecenderungan terjadinya gangguan jiwa

seperti depresi dan cemas.

f. Sosial budaya

Seseorang yang memiliki falsafah hidup yang jelas dan keyakinan agama yang kuat

lebih sulit mengalami kecemasan.


Narapidana memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan populasi

umum. Kecemasan ini dapat timbul karena beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu

perasaan berdosa dan bersalah, melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan

atau hati nurani, maupun hal tidak jelas yang disertai rasa takut.17 Jenis kejahatan secara

tidak langsung mempengaruhi kecemasan narapidana. Hal ini dikarenakan jenis kejahatan

yang berat meningkatkan lama masa hukuman, sehingga kemungkinan terjadinya

kecemasan lebih tinggi. Narapidana yang menjelang bebas juga cenderung mengalami

kecemasan akibat kekhawatiran mengenai perasaan akan dikucilkan masyarakat dan tidak

dipercaya masyarakat ketika bebas nanti.2,6

Teori mengenai kecemasan dijelaskan oleh Freud. Freud menjelaskan bahwa

kecemasan merupakan konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda bagi

ego untuk memberikan aksi penurunan rasa cemas. Kecemasan dapat menurun apabila

mekanisme diri berhasil. Namun, konflik yang berkepanjangan mengakibatkan

kecemasan berada pada tingkat tinggi.18

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi deskriptif. Cara pengambilan sampel adalah

proportionate stratified random sampling berdasarkan jenis kejahatan. Besar sampel

adalah 100 orang yang terdiri atas 21 responden umum, 74 responden narkoba, tiga

responden korupsi, dan dua responden illegal logging. Kriteria inklusi sampel penelitian

yaitu bersedia menjadi responden, mampu membaca dan menulis, dan jujur.

Penelitian ini menggunakan kuesioner Depression, Stress, and Anxiety Scale-42

(DASS-42). Kuesioner ini memiliki 42 pertanyaan, yang terdiri dari 14 pertanyaan

mengenai depresi, 14 pertanyaan mengenai kecemasan, dan 14 pertanyaan mengenai

stres. Tingkat gejala kecemasan pada DASS-42 terdiri atas normal (0-7), ringan (8-9),

sedang (10-14), berat (15-19), dan sangat berat (≥20).


HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan


Klas IIA Banjarmasin
Gejala Kecemasan Jumlah Persentase (%)
Tidak cemas 36 36
Cemas ringan 14 14
Cemas sedang 28 28
Cemas berat 15 15
Cemas sangat berat 7 7

Tabel di atas menunjukkan 66% responden mengalami gejala kecemasan.

Kecemasan pada narapidana dapat disebabkan oleh banyak hal. Hal tersebut diantaranya

kurangnya perhatian baik secara fisik maupun mental, proses adaptasi yang kurang baik,

kurangnya dukungan dari keluarga, kehidupan di Lapas yang kurang nyaman, perasaan

kehilangan kebebasan, dan khawatir terhadap stigma masyarakat mengenai dirinya.

Narapidana menjalani kehidupan yang monoton, kasar, dan dibatasi. Kehidupan sebagai

narapidana mengakibatkan kehilangan kebebasan, sehingga dapat mengakibatkan

perasaan tertekan.2,4,6

Kecemasan pada narapidana terjadi bukan hanya karena kehidupan di Lapas

sebagai stresor. Namun, kecemasan juga dapat terjadi sebelum masuk Lapas. Banyak

orang yang melakukan kriminalitas sebagai cara untuk mengatasi keadaan yang

membuatnya tertekan. Kurang efektifnya cara mengatasi stresor dapat dikategorikan

sebagai koping yang destruktif.19

Tabel 2. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan


Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Kelompok Usia
Tidak Sangat
Kelompok Ringan Sedang Berat Total
cemas berat
usia
n % n % n % n % n % N %
Pemuda 1 9 2 18 5 46 1 9 2 18 11 100
Dewasa 35 39 12 13 23 26 14 16 5 6 89 100

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa gejala kecemasan pada

pemuda lebih tinggi dibandingkan dewasa. Teori perkembangan emosi dan usia

menyebutkan bahwa pada orang yang berusia lebih tua, kemampuan untuk menyadari,
mengakui, dan merespon terhadap emosi orang lain lebih baik. Pada orang yang berusia

lebih tua juga memiliki regulasi emosi yang lebih baik, sehingga proses adaptasi bisa

berlangsung lebih baik.20

Tabel 3. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan


Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Status Pernikahan
Status pernikahan Tidak Sangat
Ringan Sedang Berat Total
cemas berat
n % n % n % N % n % N %
Menikah 21 40 9 17 14 26 8 15 1 2 53 100
Belum menikah 8 28 3 11 9 32 5 18 3 11 28 100
Bercerai/pasangan 7 37 2 11 5 26 2 10 3 16 19 100
meninggal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang belum menikah memiliki

persentase gejala kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan responden yang sudah

menikah maupun responden yang cerai atau pasangan meninggal. Hal ini disebabkan

orang yang belum menikah mengalami kekhawatiran untuk menghadapi permasalahan

secara sendirian.4

Tabel 4.Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan


Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Lama Hukuman
Lama Tidak Sangat Total
Ringan Sedang Berat
hukuman cemas berat
N % N % n % n % n % N %
BI 35 39 12 13 24 26 15 16 5 6 91 10
0
B IIA 1 13 2 29 2 29 0 0 2 29 7 10
0
B IIB 0 0 0 0 2 100 0 0 0 0 2 10
0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan paling banyak pada kelompok B

IIB, diikuti oleh B IIA dan B I. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kusumawardani

(2014) yang menunjukkan bahwa semakin lama hukuman yang didapatkan, semakin

besar kemungkinan kecemasan muncul. Kecemasan ini diakibatkan oleh lama hukuman

yang akan dijalani dapat meningkatkan kondisi stres pada narapidana.6


Kecemasan narapidana dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor

tersebut antara lain usia, jenis kelamin, status pernikahan, hukuman yang sudah dijalani,

dan sisa masa pidana. Faktor lain yang memengaruhi hasil penelitian ini adalah

ketidakseimbangan besar sampel pada masing-masing kategori.3,4,5,6 Besar sampel pada

kategori B I adalah 91 orang, kategori B IIA adalah 7 orang, dan B IIB adalah 2 orang.

Tabel 5. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan


Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Lama Hukuman yang Sudah Dijalani
Lama hukuman Tidak Sangat Total
Ringan Sedang Berat
yang sudah cemas berat
dijalani N % n % n % n % n % n %
< ½ masa 25 36 9 13 16 23 13 19 6 9 69 100
pidana
≥ ½ masa 11 36 5 16 12 39 2 6 1 3 31 100
pidana

Data di atas menunjukkan terdapat persamaan persentase responden yang

mengalami gejala kecemasan antara responden yang belum menjalani setengah masa

pidana dan yang sudah menjalani setengah masa pidana. Hal ini berkaitan dengan proses

adaptasi pada narapidana. Narapidana yang sudah lama menjalani kehidupan di Lapas

cenderung lebih beradaptasi terhadap stresor. Proses adaptasi dapat berupa partisipasi

dalam berbagai kegiatan di lapas, bersosialisasi dengan narapidana lain, kontak dengan

pegawai di lapas, maupun interaksi dengan keluarga pada waktu kunjungan.21

Tabel 6.Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan


Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Lama Sisa Hukuman
Lama sisa Tidak Sangat
Ringan Sedang Berat Total
hukuman cemas berat
N % n % n % n % n % N %
< ½ masa
11 36 5 16 12 39 2 6 1 3 31 100
pidana
≥ ½ masa
25 36 9 13 16 23 13 19 6 9 69 100
pidana

Data di atas menunjukkan adanya kesamaan persentase responden yang mengalami

gejala kecemasan antara responden yang memiliki lama sisa hukuman kurang dari

setengah masa pidana dan lebih dari setengah masa pidana. Semakin dekat seorang
narapidana terhadap waktu bebasnya, semakin meningkat kecemasan yang dirasakan.

Kecemasan ini diakibatkan keinginan narapidana untuk segera bebas. Namun, stigma

negatif kepada mantan narapidana masih melekat yang mengakibatkan masyarakat akan

mengucilkan mereka. Selain itu, mereka juga memiliki kekhawatiran mengenai

penerimaan keluarga dan masyarakat terhadap dirinya.2,6,22

SIMPULAN

1. Secara umum, 36% responden tidak mengalami gejala kecemasan, 14% memiliki

gejala kecemasan ringan, 28% memiliki gejala kecemasan sedang, 15% memiliki

gejala kecemasan berat, dan 17% memiliki gejala kecemasan sangat berat.

2. Pada kelompok usia muda didapatkan 9% tidak memiliki gejala kecemasan, 18%

memiliki gejala kecemasan ringan, 46% memiliki gejala kecemasan sedang, 9%

memiliki gejala kecemasan berat, 18% memiliki gejala kecemasan sangat berat. Pada

usia dewasa didapatkan 39% tidak cemas, 13% cemas ringan, 26% cemas sedang,

16% cemas berat, 6% cemas sangat berat.

3. Pada responden yang sudah menikah didapatkan 40% tidak cemas, 17% mengalami

gejala kecemasan ringan, 26% mengalami gejala kecemasan sedang, 15%

mengalami gejala kecemasan berat, dan 2% mengalami gejala kecemasan sangat

berat. Pada responden yang belum menikah, didapatkan 28% tidak mengalami gejala

kecemasan, 11% mengalami gejala kecemasan ringan, 32% mengalami gejala

kecemasan sedang, 8% mengalami gejala kecemasan berat, dan 11% mengalami

gejala kecemasan sangat berat. Pada responden yang bercerai atau pasangan

meninggal, didapatkan 37% tidak mengalami gejala kecemasan, 11% mengalami

gejala kecemasan ringan, 26% mengalami gejala kecemasan sedang, 10%

mengalami gejala kecemasan berat, dan 16% mengalami gejala kecemasan sangat

berat.
4. Pada kelompok B I didapatkan 39% tidak mengalami gejala kecemasan, 13%

mengalami gejala kecemasan ringan, 26% mengalami gejala kecemasan sedang,

16% mengalami gejala kecemasan berat, dan 6% mengalami gejala kecemasan

sangat berat. Pada responden B IIA, didapatkan 13% tidak mengalami gejala

kecemasan, 29% mengalami gejala kecemasan ringan, 29% mengalami gejala

kecemasan sedang, tidak ada yang mengalami gejala kecemasan berat, dan 29%

mengalami gejala kecemasan sangat berat. Pada responden B IIB, semuanya

mengalami gejala kecemasan sedang.

5. Pada responden yang sudah menjalani kurang dari setengah masa pidana, didapatkan

36% tidak mengalami gejala kecemasan, 13% mengalami gejala kecemasan ringan,

23% mengalami gejala kecemasan sedang, 19% mengalami gejala kecemasan berat,

dan 9% mengalami gejala kecemasan sangat berat. Pada responden yang telah

menjalani lebih dari setengah masa pidana, didapatkan 36% tidak mengalami gejala

kecemasan, 16% mengalami gejala kecemasan ringan, 39% mengalami gejala

kecemasan sedang, 6% mengalami gejala kecemasan berat, dan 3% mengalami

gejala kecemasan sangat berat.

6. Pada responden yang memiliki sisa hukuman kurang dari setengah masa pidana,

didapatkan 36% tidak mengalami gejala kecemasan, 16% mengalami gejala

kecemasan ringan, 39% mengalami gejala kecemasan sedang, 6% mengalami gejala

kecemasan berat, dan 3% mengalami gejala kecemasan sangat berat. Pada responden

yang memiliki sisa masa hukuman lebih dari setengah masa pidana, didapatkan 36%

tidak mengalami gejala kecemasan, 13% mengalami gejala kecemasan ringan, 23%

mengalami gejala kecemasan sedang, 19% mengalami gejala kecemasan berat, dan

9% mengalami gejala kecemasan sangat berat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ditjen PAS. Data terakhir jumlah penguni perkanwil. Sistem Database
Permasyarakatan. [online]. 2016. (http://smslap.ditjenpas.go.id/,diakses 12 Maret
2016).

2. Utari DI, Fitria N, Rafiyah I. Gambaran tingkat kecemasan pada warga binaan
wanita menjelang bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Bandung.
Universitas Padjajaran; 2012.

3. Butler T, Stephen A. Mental illness among South Wales prisoners. Correction Health
Services. 2007.

4. Yunitasari LN. Hubungan beberapa faktor demografi dengan tingkat kecemasan


pasien pasca diagnosis kanker di RSUP dr. Kariadi Semarang. Med Hosp.
2012;1(2):129.

5. Lutfa U, Maliya A. faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien


dalam tindakan kemoterapi di rumah sakit dr. Moewardi Surakarta. Berita Ilmu
Keperawatan. 2008;1(4):188-189.

6. Kusumawardani DA, Astuti TP. Perbedaan kecemasan menjelang bebas pada


narapidana ditinjau dari jenis kelamin, tindak pidana, lama pidana, dan sisa masa
pidana. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro;2014.

7. Rector NA, Danielle B, Kate K, Linda JM. Anxiety disorders: an information guide.
Centre of Addiction and Mental Health. 2008.

8. Understanding anxiety disorders and effective treatment. American Psychological


Association. 2010.
9. Yunus M. Analisis yuridis pertanggungjawaban pelaku tindak pidana
penyalahgunaan surat keterangan sahnya hasil hutan [thesis]. Universitas Lampung.
2013.

10. Wahyuni ER. Analisis kriminalisasi santet sebagai tindak pidana dalam konsep pasal
293 RUU KUHP tahun 2013. Fakultas Hukum Universitas Negeri Lampung. 2104.

11. Shofia F. Optimisme masa depan narapidana. Surakarta: Universitas


Muhammadiyah Surakarta; 2009.

12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang


Pemasyarakatan. Jakarta 1995.
13. Bethan PH. Fungsi dan peran lembaga pemasyarakatan di LP Wirogunan
Yogyakarta dalam pembinaan narapidana residivis [skripsi]. Universitas Atmajaya
Yogyakarta. 2011.

14. Volkow ND. Drugs, brain, and addiction: the science of addiction. National Institute
of Drug Abuse. 2010:5-6.

15. Maramis WF, AA Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press, 2009.

16. Leonardo ED, Rene. Anxiety as a developmental disorder.


Neuropsychopharmacology Review. 2008;33:134-40.

17. Talbot J. Prisoners’ voices: experiences of the criminal justice system by prisoners
with learning disabilities and difficulties. Prison Reform Trust. 2008:27-29.

18. Sadock BJ, Sadock VA. Kapan and Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry.
Lippincott William & Wilkins, 2010.

19. Nia A. Fenomena masyarakat dalam mengatasi masalah dan daya tahan dalam
menghadapi stress [tesis]. Universitas Brawijaya; 2015.

20. Lewis M, Barret LF, Jones JM. Handbook of emotions third edition. New York: The
Guilford Press. 2008.

21. Dhami MK, Ayton P, Loewenstein G. Adaptation to imprisonment: indigenous or


imported? Criminal Justice and Behavior 2007;34(8):1086.

22. Shinkfield A. Inmates’ prerelease anxiety level. Australia: University Victoria;2010.

You might also like